P. p. wurmbii di barat daya Kalimantan, bagian selatan sungai Kapuas P. p. morio di Sabah dan bagian timur Kalimantan Kalimantan Timur dan

2 pygmaeus diperkirakan sekitar 54 000 individu pada tahun 2008 dan untuk anak jenis P. pygmaeus pygmaeus diperkirakan tinggal 3 000–4 500 individu Ancrenaz et al. 2008. Penurunan jumlah populasi yang besar ini menyebabkan orangutan dimasukkan kedalam satwa yang dilindungi, bahkan sejak tahun 2000 Red List IUCN telah memasukkan orangutan Kalimantan ke dalam kelompok satwa endangered dan orangutan Sumatera ke dalam kategori Criticaly Endangered Ancrenaz et al. 2008, IUCN 2013. Pada awalnya orangutan dikelompokkan ke dalam satu jenis yaitu Pongo pygmaeus, kemudian para ahli membaginya menjadi dua anak jenis sub species yaitu Pongo pygmaeus pygmaeus yang sebaran wilayahnya berada di pulau Kalimantan dan P. p. abelii yang memiliki sebaran di pulau Sumatera Van Bemmel 1968, Jones ML 1969, Muir et al. 2000, Warren et al. 2001. Jika melihat lebih mendalam lagi maka pada dasarnya terdapat perbedaan dalam konsep klasifikasi orangutan, yaitu kelompok yang menganut Biological Species Concept BSC mengenal orangutan hanya ada satu jenis yaitu Pongo pygmaeus, dengan alasan orangutan yang berasal dari Sumatera dapat bereproduksi dengan orangutan Kalimantan dan menghasilkan keturunan yang fertil, sedangkan berdasarkan Phylogenetic Species Concept PSC telah dikenal ada dua jenis orangutan yaitu Pongo pygmaeus dan P. abelii Xu dan Arnason 1996, Nijman dan Meijaard 2008. Hasil penelitian Grooves 2001, Warren et al. 2001, dan Goossen et al. 2005 menyebutkan bahwa orangutan di Kalimantan terdiri dari 3 anak jenis yaitu : P.p pygmaeus, P. p. wurmbii, dan P. p. morio, dengan sebaran sebagai berikut Gambar 1: a. P. p. pygmaeus di bagian barat laut Kalimantan Taman Nasional Betung Kerihun dan Danau Sentarum, sampai ke sekitar Gunung Nyiut dan Sambas, bagian utara Sungai Kapuas sampai timur laut Serawak;

b. P. p. wurmbii di barat daya Kalimantan, bagian selatan sungai Kapuas

Kalimantan Tengah dan selatan Kalimantan Barat dan bagian barat sungai Barito; dan

c. P. p. morio di Sabah dan bagian timur Kalimantan Kalimantan Timur dan

Kalimantan Utara sampai sejauh sungai Mahakam Alih fungsi lahan untuk perkebunan dan perubahan kawasan untuk logging baik secara legal maupun illegal telah menimbulkan kehilangan habitat habitat loss yang massif bagi orangutan. Jika dilihat secara umum berdasarkan Status Lingkungan Hidup Ekoregion Kalimantan Tahun 2011 maka dapat dilihat perubahan tutupan lahan yang terjadi di Kalimantan dari tahun 2000 sampai 2009 di daerah yang menjadi habitat bagi orangutan. Diantaranya tutupan hutan lahan kering primer pada tahun 2000 memiliki luas 10 978 213 ha, dan berubah pada tahun 2009 menjadi 9 797 260 artinya terjadi perubahan pada tutupan lahan ini seluas 1 180 953 ha, selain itu perubahan tutupan lahan juga terjadi pada hutan rawa primer, pada tahun 2000 memiliki luas 121 178 ha berubah menjadi 108 892 ha pada tahun 2009, artinya telah berkurang seluas 12 286 ha, tutupan hutan rawa sekunder pada tahun 2000 memiliki luas 5 032 406 ha telah berubah menjadi 4,361,523 ha pada tahun 2009, telah berkurang seluas 670.883 ha. Sementara itu perubahan bertambah luas terjadi pada lahan perkebunan, pada tahun 2000 3 Sumber : World Atlas of Great Apes and Their Conservation, Coldecott dan Miles 2005 Gambar 1 Peta sebaran orangutan berdasarkan pembagian anak jenis di Kalimantan memiliki luas 1 520 384 ha dan bertambah luas pada tahun 2009 menjadi 2 553 784 ha, artinya terjadi penambahan luas lahan perkebunan terutama di habitat ortangutan seluas 1 033 400 ha. Selain itu terjadi perubahan luas juga pada lahan hutan tanaman sebelumnya pada tahun 2000 memiliki luas 526 765 ha, pada tahun 2009 menjadi 2 553 784 ha, terjadi perluasan sebesar 2 027 019 ha. Konsekuensi yang telah terjadi pada saat ini dari perubahan habitat orangutan Yuwono et al. 2007, National Geographic 2013, adalah: a. orangutan terdesak di habitat yang lebih sempit b. terjadi penangkapan dan pembunuhan orangutan di habitat aslinya yang masih tersisa terutama di lokasi yang berdekatan dengan perkebunan kelapa sawit, karena orangutan “dianggap hama” oleh pihak perkebunan dengan alasan memakan umbut sawit yang baru ditanaman sehingga terjadi penurunan populasi secara besar-besaran. c. kenaikkan populasi orangutan di pusat-pusat rehabilitasi tanpa diketahui dengan jelas asal-usul mereka, d. fragmentasi populasi di habitat aslinya dan akan terjadi penurunan kualitas 4 genetik karena jumlah populasinya kecil dan dengan derajat inbreeding semakin tinggi yang dapat berakibat pada orangutan menjadi mudah terserang penyakit, tidak memiliki daya kebal terhadap lingkungan atau perubahan iklim, steril atau akibat lainnya dan akan berujung pada kepunahan jenis ini Frankham 1998, Yeager 1999, Taft dan Roff 2011, Nater et al. 2012. e. masalah baru muncul ketika akan menempatkan orangutan yang ada di pusat rehabilitasi ke habitat aslinya karena informasi asal-usul tidak jelas, kesalahan dalam penempatan akan merusak sumberdaya genetik hasil seleksi alam dan kemungkinan kepunahan akan semakin cepat. Oleh karena itu untuk mengetahui termasuk ke dalam anak jenis yang mana orangutan yang berada di pusat rehabilitasi diperlukan penanda genetik yang mampu memilah ketiga anak jenis tersebut secara jelas. Sehingga dapat dipisahkan antara masing-masing anak jenis ini mulai dari pusat rehabilitasi. Penanda genetik D-loop control region pada mtDNA dapat digunakan dalam memilah individu atau populasi asal orangutan, selain itu penanda genetik kromosom Y yaitu gen SRY yang spesifik juga digunakan untuk individu jantan dan kemungkinan penelusuran asal usul berdasarkan kedua marka genetik tersebut. Beberapa penelitian untuk mengetahui variasi genetik orangutan yang telah dilakukan dengan menggunakan sampel orangutan Sumatera dan Kalimantan diantaranya adalah oleh Zhi et al. 1996 dan Noda et al. 2001 menggunakan lokus 16S, Kaessmann et al. 2001 menggunakan lokus Xq13.3, Muir et al. 2000 menggunakan lokus ND3 dan CytB, Warren et al. 2001 menggunakan lokus Control Region, Steiper et al. 2005 menggunakan lokus Alpha-2 Globin, dan Zhang et al. 2001 menggunakan lokus ND5. Penelitian spasial yang dipadukan dengan penelitian genetika menjadi penelitian di bidang konservasi yang sangat menarik. Penelitian spasial dengan menggunakan teknologi GIS memungkinkan pengelola kawasan konservasi dan satwa liar untuk memanfaatkan sumber-sumber data baru seperti tutupan lahan, vegetasi, dan data habitat lainnya, dikombinasikan dengan data dari foto udara, citra landsat dan sensor satelit serta database GIS lainnya seperti elevasi, permukaan air, data iklim, dan jenis tutupan lahan Larson et al. 2003. Untuk mengetahui penyebaran orangutan di wilayah ini maka pemanfaatan teknologi satelit juga dilakukan, sehingga sebaran spasial dan kondisi serta kualitas habitat yang saat ini masih tersisa dapat dibaca dengan baik sehingga dapat memberikan informasi yang jelas untuk kelestarian orangutan di wilayah ini. Penelitian genetika dilakukan untuk mengetahui keanekaragaman genetik dengan menggunakan sampel yang diambil secara invasive maupun non invasive. Pengambilan sampel secara invasive yaitu dengan mengambil sampel secara langsung berupa darah dan rambut di pusat rehabilitasi yang tidak diketahui secara jelas asal-usulnya. Secara non invasive adalah dengan mengambil sampel dari alam berupa rambut di sarang orangutan, hanya saja pengambilan rambut dari alam memiliki kelemahan yaitu kondisi rambut terutama bagian yang mengandung DNA dan protein sudah hancur karena dimakan oleh organisme yang berada di dalam sarang orangutan. Hasil penelitian ini dapat digunakan oleh pengelola konservasi untuk melepasliarkan kembali orangutan ke habitatnya secara tepat.

1.2 Rumusan Masalah