Rumusan Masalah Pendugaan kesesuaian habitat orangutan kalimantan (Pongo pygmaeus pygmaeus) dan karakteristik genetiknya di Kabupaten Kapuas Hulu Kalimantan Barat
4 genetik karena jumlah populasinya kecil dan dengan derajat inbreeding
semakin tinggi yang dapat berakibat pada orangutan menjadi mudah terserang penyakit, tidak memiliki daya kebal terhadap lingkungan atau
perubahan iklim, steril atau akibat lainnya dan akan berujung pada kepunahan jenis ini Frankham 1998, Yeager 1999, Taft dan Roff 2011,
Nater et al. 2012.
e. masalah baru muncul ketika akan menempatkan orangutan yang ada di pusat rehabilitasi ke habitat aslinya karena informasi asal-usul tidak jelas,
kesalahan dalam penempatan akan merusak sumberdaya genetik hasil seleksi alam dan kemungkinan kepunahan akan semakin cepat.
Oleh karena itu untuk mengetahui termasuk ke dalam anak jenis yang mana orangutan yang berada di pusat rehabilitasi diperlukan penanda genetik yang
mampu memilah ketiga anak jenis tersebut secara jelas. Sehingga dapat dipisahkan antara masing-masing anak jenis ini mulai dari pusat rehabilitasi. Penanda genetik
D-loop control region pada mtDNA dapat digunakan dalam memilah individu atau populasi asal orangutan, selain itu penanda genetik kromosom Y yaitu gen
SRY yang spesifik juga digunakan untuk individu jantan dan kemungkinan penelusuran asal usul berdasarkan kedua marka genetik tersebut.
Beberapa penelitian untuk mengetahui variasi genetik orangutan yang telah dilakukan dengan menggunakan sampel orangutan Sumatera dan Kalimantan
diantaranya adalah oleh Zhi et al. 1996 dan Noda et al. 2001 menggunakan lokus 16S, Kaessmann et al. 2001 menggunakan lokus Xq13.3, Muir et al. 2000
menggunakan lokus ND3 dan CytB, Warren et al. 2001 menggunakan lokus Control Region, Steiper et al. 2005 menggunakan lokus Alpha-2 Globin, dan
Zhang et al. 2001 menggunakan lokus ND5.
Penelitian spasial yang dipadukan dengan penelitian genetika menjadi penelitian di bidang konservasi yang sangat menarik. Penelitian spasial dengan
menggunakan teknologi GIS memungkinkan pengelola kawasan konservasi dan satwa liar untuk memanfaatkan sumber-sumber data baru seperti tutupan lahan,
vegetasi, dan data habitat lainnya, dikombinasikan dengan data dari foto udara, citra landsat dan sensor satelit serta database GIS lainnya seperti elevasi, permukaan air,
data iklim, dan jenis tutupan lahan Larson et al. 2003. Untuk mengetahui penyebaran orangutan di wilayah ini maka pemanfaatan teknologi satelit juga
dilakukan, sehingga sebaran spasial dan kondisi serta kualitas habitat yang saat ini masih tersisa dapat dibaca dengan baik sehingga dapat memberikan informasi yang
jelas untuk kelestarian orangutan di wilayah ini.
Penelitian genetika dilakukan untuk mengetahui keanekaragaman genetik dengan menggunakan sampel yang diambil secara invasive maupun non invasive.
Pengambilan sampel secara invasive yaitu dengan mengambil sampel secara langsung berupa darah dan rambut di pusat rehabilitasi yang tidak diketahui secara
jelas asal-usulnya. Secara non invasive adalah dengan mengambil sampel dari alam berupa rambut di sarang orangutan, hanya saja pengambilan rambut dari alam
memiliki kelemahan yaitu kondisi rambut terutama bagian yang mengandung DNA dan protein sudah hancur karena dimakan oleh organisme yang berada di dalam
sarang orangutan. Hasil penelitian ini dapat digunakan oleh pengelola konservasi untuk melepasliarkan kembali orangutan ke habitatnya secara tepat.