14 Adapun primer sexing yang digunakan adalah untuk Forward SRY_F 5’AGT
GAA GCG ACC CAT GAA CG 3’ sedangkan untuk Reverse adalah SRY_R 5’ TGT GCC TCC TGG AAG AAT GG 3’ dengan target pada 168 bp.
Amplifikasi DNA pada penelitian ini menggunakan mesin GeneAmpRPCR system 2400 Perkin Elmer. Kondisi PCR dilakukan sebagai berikut: tahap
pertama pra-PCR denaturasi awal pada suhu 94
o
C selama 10 menit, kemudian tahap kedua sebanyak 35 siklus dimulai dari denaturasi pada suhu 94
o
C selama 45 detik, selanjutnya pada suhu 60
o
C selama 90 detik untuk penempelan primer annealing, kemudian 72
o
C selama 60 detik untuk untuk perpanjangan elongation dan diakhiri dengan post PCR berupa extention pada suhu 72
o
C selama 7 menit dan penyimpanan pada suhu 20
o
C selama 10 menit.
3 Sequencing
Produk PCR hasil amplifikasi dimurnikan dengan menggunakan DNA purification kit
Qiagen, selanjutnya konsentrasi DNA diukur dengan menggunakan Spektrofotometer Bio-Spectro Shimazu, setelah itu dilakukan cycle
sequencing dengan melakukan reaksi PCR dengan menggunakan primer orangutan dengan reagent khusus untuk DNA sequencing DIG Dye dari ABI. Kemudian
hasil cycle sequencing dipurifikasi. Setelah itu dilakukan perunutan DNA dengan menggunakan alat perunut otomatis ABI Prism versi 3100-Avant Genetic Analyzer
USA. Hasil sequencing selanjutnya dianalisis dengan menggunakan software Mega4 Tamura et al. 2007.
Dari data yang diperoleh diketahui bahwa seluruh orangutan merupakan hewan peliharaan masyarakat dari beberapa daerah yang berbeda, dan tidak
diketahui asal mereka ditangkap sebelumnya, sehingga tidak diketahui masuk kedalam anak jenis yang mana orangutan yang di pusat rehabilitasi tersebut.
Beberapa lokasi terletak di bagian utara dari sungai Kapuas seperti Singkawang, Toho dan Nanga Pinoh, yang lainnya terletak di selatan sungai Kapuas yaitu
Tempunak, akan tetapi tempat yang lainnya dipotong oleh sungai Kapuas seperti Putussibau, Penai dan Ngabang Landak sehingga sulit untuk mengetahui masuk
kedalam anak jenis yang mana orangutan yang dipelihara tersebut.
2.6 Analisis Spasial
Untuk keperluan kajian analisis spasial, maka pada saat dilakukan pengumpulan sampel dari alam dilakukan juga pencatatan lokasi penemuan sampel
tersebut dengan menggunakan GPS. Titik koordinat yang didapat dari masing- masing sampel kemudian dipetakan dan dianalisis dengan menggunakan program
Arcgis 9.1. Sampel rambut orangutan yang diperoleh dari alam yang berhasil dianalisis DNAnya kemudian dipetakan sebarannya. Maka akan diperoleh data
sebaran spasial berdasarkan kandungan genetiknya.
15
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1 Pemodelan Spasial Kesesuaian Habitat Orangutan Kalimantan Pongo pygmaeus pygmaeus Di Taman Nasional Betung Kerihun, Koridor Dan
TN Danau Sentarum, Kalimantan Barat
1 Luas daerah penelitian
Berdasarkan hasil analisis spasial diketahui bahwa luas seluruh daerah penelitian adalah sekitar 509 556.65 ha yang meliputi 127 562.33 ha di wilayah
TNDS, 269 018.68 ha untuk wilayah TNBK dan 112 875.64 ha untuk wilayah koridor, untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1 Luas daerah penelitian di TNBK, koridor dan TNDS No.
Lokasi Luas ha
1. TNBK
269 018.68 2.
Koridor 112 875.64
3. TNDS
127 562.33 Luas Keseluruhan
509 556.65 Parameter kesesuaian habitat orangutan
Beberapa parameter menjadi penyusun habitat bagi orangutan, dan hubungan antara parameter ini dengan orangutan dapat dipetakan di dianalisis diantara
keduanya dan dibuatkan suatu model kesesuaian habitat bagi orangutan. Pada penelitian ini parameter yang dianggap berpengaruh terhadap keberadaan orangutan
ada 7 parameter yaitu pemukiman, jalan, sungai besar, sungai kecil, ketinggian, kelerengan, dan NDVI Normalized Difference Vegetation Index.
a. Distribusi sarang berdasarkan jarak dari pemukiman
Faktor pemukiman menjadi faktor yang berpengaruh terhadap habitat orangutan. Pemukiman hanya dijumpai di daerah koridor dan dalam kawasan
TNDS yang penduduknya hidup sebagai nelayan. Di dalam kawasan TNBK yang merupakan daerah penelitian yaitu TNBK bagian barat juga tidak dijumpai adanya
pemukiman Gambar 3. Secara umum suku yang mendiami pemukiman di daerah koridor dan TNDS adalah suku Dayak Iban, Kantuk, Tamambaloh dan Melayu.
Dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya masyarakat Dayak secara umum melakukan perburuan di hutan sekitar tempat mereka tinggal, sehingga keberadaan
masyarakat ini memberi pengaruh yang cukup besar terhadap orangutan. Masyarakat Melayu umumnya sebagai nelayan dan lebih sedikit melakukan
perburuan didaerahnya, dan pada saat berburu juga tidak semua satwa akan diburu, mereka akan memburu sebatas yang mereka butuhkan untuk memenuhi kebutuhan
hidup sehari-hari.
16 Berdasarkan Tabel 2 tampak sebaran sarang orangutan berdasarkan jarak dari
pemukiman. Daerah TNDS dan koridor telah dihuni oleh masyarakat tradisional sejak dulu. Walaupun TNDS memiliki status sebagai taman nasional akan tetapi
banyak kampung di dalamnya yang terbentuk sebelum kawasan ini ditetapkan sebagai taman nasional. Hampir seluruh masyarakat yang berada di TNDS
merupakan nelayan, pasokan ikan dari kawasan ini sangat melimpah. Untuk daerah koridor banyak juga dihuni oleh masyarakat terutama oleh suku Dayak yang
memiliki mata pencaharian sebagai petani dan peramu. Wilayah TNBK merupakan wilayah yang bersih dari perkampungan, jarak kampung terdekat ke dalam kawasan
ini adalah sekitar 4 jam perjalanan dengan menggunakan long boat.
Tabel 2 Sebaran sarang n dan luas daerah berdasarkan kelas jarak dari pemukiman
Kelas m n
Sarang Luas ha
Luas Kepadatan sarangha
0-1000 4
0.50 11 852.93
2.33 0.034
1000-3000 84
10.47 47 187.74
9.26 0.178
3000-5000 378
47.13 53 706.54
10.54 0.704
5000-7000 246
30.67 46 637.54
9.15 0.527
7000 90
11.22 350 171.89
68.72 0.026
Jumlah 802
100.00 509 556.64
100
Masyarakat biasa melakukan perburuan di sekitar pemukiman sehingga jarak 01000 meter bahkan 3 000 meter merupakan daerah yang tidak aman bagi
orangutan, karena pada saat berburu babi dan rusa yang menjadi satwa buruannya, bisa saja masyarakat menjumpai orangutan dan menangkapnya. Soemarna et al.
1995 menyatakan bahwa orangutan adalah salah satu primata yang sangat sensitif terhadap perburuan dan menurut peta lokasi komunitas adat masyarakat pemburu,
terungkap bahwa lokasi hutan tanpa dijumpai populasi orangutan di dalamnya merupakan pusat dari suku pemburu Bugo 1995. Menurut Rijksen dan Meijaard
1999 orangutan dijumpai di semua habitat yang sesuai di Kalimantan, akan tetapi kemudian punah secara local di beberapa tempat. Di lokasi yang punah ini
merupakan tempat tinggal masyarakat tradisional untuk beberapa suku pemburu dan pengumpul yang diduga juga berburu orangutan sehingga orangutan punah di lokasi
tersebut. Wilayah TNBK relatif aman bagi orangutan, pemukiman jaraknya jauh dari TNBK yaitu 7000 meter. Berdasarkan penjelasan tersebut, semakin dekat
dengan pemukiman maka tingkat kesesuaian semakin rendah, sebaliknya semakin jauh dari pemukiman semakin tinggi kesesuaiannya Tabel 2.
b. Distribusi sarang orangutan berdasarkan jarak dari jalan