107
Bab 3 Perkembangan Pengaruh Agama dan Kebudayaan Islam di Indonesia
dipraktikkan umat Islam, khususnya di Jawa, adalah ajaran yang cenderung bersifat esoteris, artinya kebanyakan umat Islam untuk
pertama kali lebih banyak menghayati Islam dari aspek kebatinannya saja. Hal ini sangat sesuai dengan cakrawala religius
yang dimiliki oleh orang Jawa yang sebelumnya telah terpengaruh secara kuat oleh kebudayaan Hindu-Buddha. Kitab-kitab yang
menggambarkan proses masuknya Islam, seperti hikayat, babad, serat, banyak yang diselubungi oleh cerita-cerita magis dan tidak
rasional.
Namun dalam perkembangan selanjutnya, aspek-aspek eksoteris yang boleh diketahui siapa saja banyak dilaksanakan
oleh kaum muslim seiring dengan dakwah yang bersifat syariah oriented
, berkembang dengan pesat. Pada tahap ini salat, zakat, shaum
dan haji mulai diperkenalkan. Islam dengan segala ritual peribatannya mulai tumbuh dan berkembang. Walau demikian,
proses akulturasi antara kedua kepercayaan tidak bisa dihindari lagi. Ajaran Islam dan ajaran Hindu-Buddha menyatu dan
akhirnya membentuk paham dan “aliran” baru. Oleh orang Jawa, aliran ini disebut kejawen.
Bila memperhatikan stratafikasi sosial yang telah
diungkapkan oleh Clifford Geertz dalam bukunya Religion of Java
, masyarakat Jawa bisa dikategorikan dalam 3 strata sosial. Pertama adalah golongan Islam-priyayi yang mewakili golongan
bangsawan dan keturunan kerajaan. Kedua adalah abangan, yaitu golongan yang tidak terlalu mementingkan aspek-aspek
keagamaan. Mereka masih terpengaruh dengan alam berpikir pra Islam. Ketiga adalah santri, golongan yang disiplin melaksanakan
ajaran-ajaran Islam dengan baik.
Akulturasi dan asimilasi kebudayaan agama Hindu-Buddha dengan Islam paling banyak dilakukan oleh kaum abangan.
Golongan ini kebanyakan melaksanakan ajaran yang sinkretis. Mereka mempraktikkan tradisi-tradisi Hindu seperti
mempersembahkan sesaji untuk nenek moyang, memakai kemenyan setiap waktu tertentu, dan praktik ritual lainnya
Sementara santri hampir secara keseluruhan menolak aspek-aspek yang terdapat dari tradisi Hindu, apalagi menyangkut
permasalahan kepercayaan dan ritual peribadatan.
Ritual peribadatan dalam Islam yang sampai hari ini berpengaruh misalnya: perayaan tabut di Sumatera Barat, hari raya
Assyura sebagai hari raya kaum Syiah atas kematian Husein bin Abi Thalib
di Karbala oleh orang-orang Khawarij. Di Yogyakarta ada upacara sekaten dan grebeg Maulud yang dihitung pada tahun
baru Hijriyah. Di daerah Sunda dan daerah lain ada upacara ekahan atau
”aqiqah”, yakni acara pemotongan rambut pada bayi yang baru
108
Sejarah SMAMA Program IPS Jilid 2 Kelas XI
berusia 7 hari yang memang merupakan sunat Nabi Muhammad. Perayaan-perayaan keagamaan lainnya yang dilaksanakan umat
Islam di Indonesia adalah shalat Idul Fitri, Idul Adha, hara Isra Mikraj, puasa pada bulan Ramadhan, dan lain-lain.
2. Aspek Pendidikan
Para ulama, termasuk wali, berperan besar terhadap penyebaran Islam. Mereka pada mulanya mendirikan pesantren-pesantren di
sekitar kota pelabuhan sebagai tempat transit kapal-kapal dagang guna menyebarkan dakwah Islamnya. Istilah “pesantren” berasal
dari ucapan “pesantrian”, yakni tempat para santri menimba ilmu agama. Di sinilah calon-calon santri—yang tadinya nonmuslim—
dididik oleh guru-guru mereka untuk membaca Al-Quran, baca- tulis huruf Arab, dan segenap aspek Islam lainnya. Materi-materi
yang diajarkannya sebagai besar meliputi hukum syariat Islam
Para Wali di Jawa, contohnya, sebelum berkumpul di Masjid Demak, terlebih dahulu membuka pondok-pondok pesantren di
daerah lain. Sunan Ampel menjadi guru spiritual di Ngampel Denta di Giri; Sunan Gresik memiliki pondok pesantren di Gresik; Sunan
Kalijaga mengasuh pesantren di Kadilangu, dekat Demak.
Sistem pendidikan Islam tradisonal ini—dalam arti belum tersentuh sistem pendidikan ala Barat—berlangsung hingga abad
ke-18. Setelah pendidikan formal Barat diperkenalkan, materi- materi yang diajarkan dipesantren bertambah. Malah banyak di
antaranya pesantren tersebut yang menjadi pelopor perlawan terhadap pemerintah kolonial Belanda. Atas nama Tuhan dan
semangat jihad melawan kaum penjajah yang kebetulan berbeda keyakinan, pondok-pondok pesantren merupakan pusat
perlawanan. Meskipun semangat juang mereka belum didasari semangat nasionalisme dan hanya bersifat kedaerahan, kaum
santri yang didukung oleh rakyat setempat dan segelintir kaum bangsawan begitu gigih dan berani mati. Contoh-contoh
perlawanan yang bersifat sosial dan lokal, di antaranya, perlawanan rakyat Cilegon, Banten, yang dipimpin oleh Tugabus
Ismail pada tahun 1818.
KEGIATAN 3.3
Untuk mengembangkan kecakapan akademik, lakukanlah kegiatan berikut. Pergilah ke perpustakaan atau toko buku atau warung internet. Carilah referensi tentang salah satu
masjid tua atau pesantren kuno yang kini masih berfungsi. Tulislah sejarah berdirinya masjid atau pesantren tersebut, cantumkan fotonya bila ada. Kerjakan secara kelompok
maksimal tiga siswa dan tulis pada kertas selembar, ukuran kertas bebas. Kumpulkan kepada gurumu.
109
Bab 3 Perkembangan Pengaruh Agama dan Kebudayaan Islam di Indonesia
D. PENGARUH AGAMA ISLAM TERHADAP
PERKEMBANGAN KEBUDAYAAN DI INDONESIA
Berbicara kebudayaan Islam tentunya akan selalu bersinggungan dengan budaya Arab dan Timur-Tengah. Perlu dicatat bahwa tidak
semua masyarakat Timur Tengah merupakan orang Arab. Orang Iran, misalnya, adalah orang bangsa Persia, yang memiliki bahasa
serta budaya tersendiri—meskipun dalam ha-hal tertentu ada kesamaan dengan budaya Arab. Maka dari itu, menghubungkan
budaya Islam dengan hanya budaya Arab tentunya kurang adil. Apalagi, persebaran Islam di Indonesia dilakukan bukan hanya
oleh satu bangsa saja, melainkan oleh berbagai bangsa yang berdagang di Indonesia: orang Arab sendiri, Persia, Moor, India,
bahkan Cina.
INFO SEJARAH
Bangsa Moor Latin: Mauri adalah keturunan orang-orang Arab dengan orang-orang Barbar yang berdiam di Afrika Utara. Oleh orang Eropa istilah “moor” ini diidentikkan dengan orang
Islam secara keseluruhan.
Persebaran Islam di Indonesia tak serempak terjadi dalam waktu yang sama, melainkan berproses melalui aktifitas dagang
dan sosial. Oleh karena itu, kekentalan pengaruh budaya dan ajaran Islam di tiap-tiap tempat di Indonesia tentunya berbeda-
beda. Ada masyarakat yang nuansa Islamnya kental, seperti Aceh atau Banten; adapula masyarakat yang nilai “kefanatikan”
Islamnya tidak begitu kentara, seperti di Jawa.
Dalam bidang kebudayaan, pengaruh Islam begitu kental sekali, baik dalam bahasa, kesusastraan, arsitektur, seni kaligrafi,
nama-nama hari dan orang, seni tarian dan musik. Bagi orang santri, cara berpakaian pun sangat kental nuansa Timur-
Tengahnya.
1. Huruf, Bahasa, dan Nama-Nama Arab
Al-Quran, sebagai kitab suci Islam, menggunakan bahasa Arab, bahasa-ibu Nabi Muhammad. Dalam perkembangannya, bahasa
Arab digunakan juga oleh para muslim yang non-Arab dalam berbagai kegiatan agama, terutama shalat dan mengaji membaca
Al-Quran. Tak jarang seorang muslim yang pandai membaca Al- Quran dakam bahasa Arab namun ia kurang atau tidak mengerti
arti harfiah teks-teks dalam kitab suci tersebut. Dan memang salah satu hadis menyatakan bahwa sangat diwajibkan bagi setiap
muslim untuk membaca Quran meski orang bersangkutan tak
Kata Kunci Arab, Quran, hikayat, syair,
arsitektur, pegon, serat, babad, suluk, kaligrafi, debus,
seudati, zapin
110
Sejarah SMAMA Program IPS Jilid 2 Kelas XI
mengetahui arti dan makna ayat-ayat yang dibacakan kecuali ia membaca terjemaahannya.
Dari kebiasaan tersebut, pengaruh bahasa Arab lambat laut merambat dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Indonesia.
Persebarah bahasa Arab ini lebih cepat dari pada persebaran bahasa Sansekerta karena dalam Islam tak ada pengkastaan, karena
itu dari raja hingga rakyat jelata mampu berbahasa Arab. Pada mulanya memang hanya kaum bangsawan saja yang pandai meulis
dan membaca huruf dan bahasa Arab, namun pada selanjutnya rakyat kecil pun mampu berbahasa Arab, setidaknya membaca
dan menulis Arab kendati tak begitu paham akan maknanya.
Penggunaan huruf Arab di Indonesia pertama kali terlihat pada batu nisan di Leran Gresik, yang diduga makam salah seorang
bangsawan Majapahit yang telah masuk Islam. Dalam perkembangan selanjutnya, pengaruh huruf dan bahasa Arab
terlihat pada karya-karya sastra di wilayah-wilayah yang keislamannya lumayan kuat seperti di Sumatera, Sulawesi,
Makassar, dan Jawa. Penggunaan bahasa Arab pun berkembang di pesantren-pesanten Islam.
Penulisan huruf Arab berkembang pesat ketika karya-karya yang bercorak Hindu-Buddha disusupi unsur-unsur Islam. Huruf
yang lebih banyak dipergunakan adalah aksara Arab gundul pegon, yakni abjad arab yang ditulis tanpa tanda bunyi.
Sedangkan bahasanya masih menggunakan bahasa setempat seperti Melayu, Jawa, dan bahasa-bahasa ibu lainnya. Sebelum
bersentuhan dengan budaya Eropa Portugis dan Belanda}, kitab- kitab sastra, hukum, sejarah ditulis dengan huruf pegon ini.
Di samping melalui kesusatraan, penggunaan bahasa dan huruf Arab terjadi di kalangan pedagang. Dalam kalender Masehi,
nama-nama hari yang berjumlah tujuh dalam seminggu, di Indonesia menggunakan nama-nama Arab, yakni Senin Isnain,
Selasa Sulasa, Rabu Rauba’a, Kamis Khamis, Jumat Jum’at, Sabtu Sabt. Enam dari tujuh hari tersebut semuanya berasal dari
bahasa Arab, kecuali Minggu bahasa Arabnya: Ahad yang berasal dari Flaminggo dari bahasa Portugis. Hanya orang-orang tertentu
yang menggunakan kata “ahad” untuk hari Minggu. Pengabadian istilah “minggu” dilakukan oleh umat Nasrani Portugis ketika
melakukan ibadah di gereja pada hari bersangkutan. Selain huruf, sistem angka 0, 1, 2, 3, dan seterusnya pun diadopsi dari budaya
Arab; bahkan semua bangsa mempergunakannya hingga kini.
Selain nama-nama hari, nama-nama Arab diterapkan pula pada nama-nama orang, misalnya Muhammad, Abdullah, Umar,
Ali, Musa, Ibrahim, Hasan, Hamzah, dan lain-lain. Begitu pula kosa kata Arab—kebanyakan diambil dari kata-kata yang ada
dalam Al-Quran—banyak yang dipakai sebagai nama orang,
Sumber: Indonesian Heritage 10
Gambar 3.13 Naskah Sajarah Banten yang
menggunakan aksara Arab, mula-mula ditulis di ibukota
Kesultanan Banten pada tahun 1662-1663 M