SEJUMLAH TEORI, KRONIK ASING, DAN SUMBER

91 Bab 3 Perkembangan Pengaruh Agama dan Kebudayaan Islam di Indonesia Indonesia mendapatkan Islam dari orang- orang pertama orang Arab, bukan dari hanya sekadar perdagangan. Pandangan HAMKA ini hampir sama dengan Teori Sufi yang diungkapkan oleh A.H. Johns yang mengatakan bahwa para musafirlah kaum pengembara yang telah melakukan islamisasi awal di Indonesia. Kaum Sufi biasanya mengembara dari satu tempat ke tempat lainnya untuk mendirikan kumpulan atau perguruan tarekat.

b. Teori Gujarat

Teori Gujarat mengatakan bahwa proses kedatangan Islam ke Indonesia berasal dari Gujarat pada abad ke-7 H atau abad ke-13 M. Gujarat ini terletak di India bagain barat, berdekaran dengan Laut Arab. Tokoh yang menyosialisasikan teori ini kebanyakan adalah sarjana dari Belanda. Sarjana pertama yang mengemukakan teori ini adalah J. Pijnapel dari Universitas Leiden pada abad ke 19. Menurutnya, orang-orang Arab bermahzab Syafei telah bermukim di Gujarat dan Malabar sejak awal Hijriyyah abad ke 7 Masehi, namun yang menyebarkan Islam ke Indonesia menurut Pijnapel bukanlah dari orang Arab langsung, melainkan pedagang Gujarat yang telah memeluk Islam dan berdagang ke dunia timur, termasuk Indonesia. Dalam perkembangan selanjutnya, teori Pijnapel ini diamini dan disebarkan oleh seorang orientalis terkemuka Belanda, Snouck Hurgronje . Menurutnya, Islam telah lebih dulu berkembang di kota-kota pelabuhan Anak Benua India. Orang- orang Gujarat telah lebih awal membuka hubungan dagang dengan Indonesia dibanding dengan pedagang Arab. Dalam pandangan Hurgronje, kedatangan orang Arab terjadi pada masa berikutnya. Orang-orang Arab yang datang ini kebanyakan adalah keturunan Nabi Muhammad yang menggunakan gelar “sayid” atau “syarif ” di di depan namanya. Teori Gujarat kemudian juga dikembangkan oleh J.P. Moquetta 1912 yang memberikan argumentasi dengan batu nisan Sultan Malik Al-Saleh yang wafat pada tanggal 17 Dzulhijjah 831 H1297 M di Pasai, Aceh. Menurutnya, batu nisan di Pasai dan makam Maulanan Malik Ibrahim yang wafat tahun 1419 di Gresik, Jawa Timur, memiliki bentuk yang sama dengan nisan yang terdapat di Kambay, Gujarat. Moquetta akhirnya berkesimpulan bahwa batu nisan tersebut diimpor dari Gujarat, atau setidaknya dibuat oleh orang Gujarat atau orang Indonesia yang telah belajar kaligrafi khas Gujarat. Alasan lainnya adalah kesamaan mahzab Syafei yang di anut masyarakat muslim di Gujarat dan Indonesia. Sumber: Indonesian Heritage 3 Gambar 3.3 Batu nisan makam Malik Ibrahim di Gresik, Jawa Timur, bertahun 1419 M; batu nisan tersebut diduga diimpor dari Cambay, Gujarat, India 92 Sejarah SMAMA Program IPS Jilid 2 Kelas XI

c. Teori Persia

Teori Persia mengatakan bahwa proses kedatangan Islam ke Indonesia berasal dari daerah Persia atau Parsi kini Iran. Pencetus dari teori ini adalah Hoesein Djajadiningrat, sejarawan asal Banten. Dalam memberikan argumentasinya, Hoesein lebih menitikberatkan analisisnya pada kesamaan budaya dan tradisi yang berkembang antara masyarakat Parsi dan Indonesia. Tradisi tersebut antara lain: tradisi merayakan 10 Muharram atau Asyuro sebagai hari suci kaum Syiah atas kematian Husein bin Ali, cucu Nabi Muhammad, seperti yang berkembang dalam tradisi tabut di Pariaman di Sumatera Barat. Istilah “tabut” keranda diambil dari bahasa Arab yang ditranslasi melalui bahasa Parsi. Tradisi lain adalah ajaran mistik yang banyak kesamaan, misalnya antara ajaran Syekh Siti Jenar dari Jawa Tengah dengan ajaran sufi Al-Hallaj dari Persia. Bukan kebetulan, keduanya mati dihukum oleh penguasa setempat karena ajaran-ajarannya dinilai bertentangan dengan ketauhidan Islam murtad dan membahayakan stabilitas politik dan sosial. Alasan lain yang dikemukakan Hoesein yang sejalan dengan teori Moquetta, yaitu ada kesamaan seni kaligrafi pahat pada batu-batu nisan yang dipakai di kuburan Islam awal di Indonesia. Kesamaan lain adalah bahwa umat Islam Indonesia menganut mahzab Syafei, sama seperti kebanyak muslim di Iran.

d. Teori Cina

Teori Cina mengatakan bahwa proses kedatangan Islam ke Indonesia khususnya di Jawa berasal dari para perantau Cina. Orang Cina telah berhubungan dengan masyarakat Indonesia jauh sebelum Islam dikenal di Indonesia. Pada masa Hindu-Buddha, etnis Cina atau Tiongkok telah berbaur dengan penduduk Indonesia—terutama melalui kontak dagang. Bahkan, ajaran Islam telah sampai di Cina pada abad ke-7 M, masa di mana agama ini baru berkembang. Sumanto Al Qurtuby dalam bukunya Arus Cina-Islam-Jawa menyatakan, menurut kronik masa Dinasti Tang 618-960 di daerah Kanton, Zhang-zhao, Quanzhou, dam pesisir Cina bagian selatan, telah terdapat sejumlah pemukiman Islam. Teori Cina ini bila dilihat dari beberapa sumber luar negeri kronik maupun lokal babad dan hikayat, dapat diterima. Bahkan menurut sejumlah sumber lokat tersebut ditulis bahwa raja Islam pertama di Jawa, yakni Raden Patah dari Bintoro Demak, merupakan keturunan Cina. Ibunya disebutkan berasal dari Campa, Cina bagian selatan sekarang termasuk Vietnam. Berdasarkan Sajarah Banten dan Hikayat Hasanuddin, nama dan gelar raja-raja Demak beserta leluhurnya ditulis dengan menggunakan istilah Cina, seperti “Cek Ko Po”, “Jin Bun”, “Cek Sumber: Indonesian Heritage 1 Gambar 3.4 Prof. Dr. Hoesein Djajadiningrat 93 Bab 3 Perkembangan Pengaruh Agama dan Kebudayaan Islam di Indonesia Ban Cun”, “Cun Ceh”, serta “Cu-cu”. Nama-nama seperti “Munggul” dan “Moechoel” ditafsirkan merupakan kata lain dari Mongol, sebuah wilayah di utara Cina yang berbatasan dengan Rusia. Bukti-bukti lainnya adalah masjid-masjid tua yang bernilai arsitektur Tiongkok yang didirikan oleh komunitas Cina di berbagai tempat, terutama di Pulau Jawa. Pelabuhan penting sepanjang pada abad ke-15 seperti Gresik, misalnya, menurut catatan-catatan Cina, diduduki pertama-tama oleh para pelaut dan pedagang Cina. Semua teori di atas masing-masing memiliki kelemahan dan kelebihan tersendiri. Tidak ada kemutlakan dan kepastian yang jelas dalam masing-masing teori tersebut. Meminjam istilah Azyumardi Azra , sesungguhnya kedatangan Islam ke Indonesia datang dalam kompleksitas; artinya tidak berasal dari satu tempat, peran kelompok tunggal, dan tidak dalam waktu yang bersamaan.

2. Sejumlah Kronik Luar Negeri dan Sumber Lokal tentang

Keberadaan Masyarakat Islam Awal di Indonesia

a. Kronik-kronik Luar Negeri

Sejak abad ke-5 M, pedagang Arab telah menjalin kontak dengan pedagang dari Cina. Rute dagang bahari pedagang Cina-Arab ini tentunya melintasi perairan Indonesia. Karena itu, orang-orang Arab dipastikan telah mengenal masyarakat Indonesia sejak abad ke-5, yang ketika itu agama Islam pun belum lahir. Selanjutnya pada abad ke-7 M, para pedagang Islam dari Persia dan India telah melakukan kontak dagang di sejumlah pelabuhan di Indonesia. Aktifitas dagang ini semakin ramai sejak Dinasti Umayyah berkuasa. Perdagangan dilakukan oleh Bani Umayyah dengan Dinasti Tang melalui Selat Malaka. Informasi sejarah ini tersiar dari kronik Cina masa Dinasti Tang yang melaporkan perdagangan antara Cina dan Asia Barat. Perdagangan itu melibatkan Indonesia karena kawasan ini dilalui pedagang Asia Barat sebelum dan sepulang dari Cina. Antara abad ke-7 dan 8 M sudah terdapat pemukiman muslim di Baros di pantai barat laut Sumatera, di pesisir utara Jawa, Maluku, dan Kanton di Cina Selatan. Masih menurut berita Cina bahwa pada tahun 977 M, sebuah kerajaan Islam di Indonesia telah mengirim utusannya ke negeri Cina. Kerajaan ini bernama Poni, utusannya bernama Pu Ali. Hingga sekarang data-data lain tentang keberadaan Kerajaan Poni ini belum ditemukan. Pada 1281 Kerajaan Melayu-Jambi mengirim utusan ke Cina dengan dua utusan yang bernama Sulaiman dan Syamsuddin—keduanya nama Islam. 94 Sejarah SMAMA Program IPS Jilid 2 Kelas XI Tulisan pada nisan di Leheran, Gresik, berupa huruf Arab, memberitakan wafatnya wanita muslim bernama Fatimah binti Maimun yang bertanggal 1082 M ada juga yang berpendapat 1181 M. Pemakaman muslim kuno di Trowulan membuktikan adanya bangsawan Majapahit yang memeluk Islam sejak masa Hayam Wuruk . Catatan Ma-Huan memberitakan bahwa pada awal abad ke-15 sebagian masyarakat di pantai utara Jawa mungkin kota- kota pelabuhan seperti Tuban, Sedayu, dan Gresik telah memeluk Islam. Pelayaran kapal dagang dari Asia Barat ke Indonesia cukup bergantung kepada angin musim. Karena harus menunggu pergantian angin musim tersebut, para pedagang muslim akhirnya menetap cukup lama di sejumlah bandar di Indonesia. Selama singgah itulah terjalinlah interaksi sosial. Bandar-bandar dagang Indonesia yang penting berada di sekitar Selat Malaka dan pantai utara Laut Jawa. Komoditas yang diperdagangkan berupa hasil hutan, pertanian, dan kerajinan. Pedagang muslim yang turut andil dalam perdagangan terutama berasal dari Gujarat, di utara Bombay. Singgahnya para pedagang dalam waktu yang relatif lama, mengakibatkan berdirinya sejumlah pemukiman para pedagang muslim. Berdirinya pemukiman-pemukiman itu membuka jalinan sosial antara pedagang muslim dengan penduduk pribumi. Interaksi itu berawal dari lingkup ekonomi lalu ke lingkup sosial, Gambar 3.5 Seorang wanita pribumi sedang berniaga dengan pedagang India Sumber: Indonesian Heritage 3 95 Bab 3 Perkembangan Pengaruh Agama dan Kebudayaan Islam di Indonesia budaya, agama, dan politik. Dalam proses inilah penduduk Indonesia mengenali ajaran Islam. Pengenalan nilai-nilai Islam juga melibatkan peran mubalig yang ikut serta bersama para pedagang muslim. Mereka mendirikan pesantren dan masjid dalam pengenalan ajaran Islam lebih mendalam. Pengenalan itu tidak hanya dilakukan melalui dakwah, melainkan juga dengan perilaku terpuji. Berita Cina memberitakan bahwa pada akhir abad ke-13 M, kerajaan kecil bernama “Sa-mu-ta-la” Samudera mengutus dutanya ke Cina. “Sa-mu-ta-la” merupakan ejaan orang Cina untuk Samudera Pasai. Adanya kerajaan Pasai ini diperkuat oleh catatan Marcopolo yang singgah di Sumatera pada 1292. Marcopolo menyatakan adanya masyarakat muslim di Perlak akhir abad ke-13 M. Suma Oriental, kronik karya Tome Pires musafir Portugis Portugal, mencatat cukup lengkap penyebaran Islam di Sumatera, Kalimantan, Jawa, sampai Maluku pada abad ke-16 M. Tome Pires pernah singgah di Malaka, Sumatera, dan Jawa. Ia meninggalkan Kepulauan Indonesia sekitar tahun 1515 M. Tome Pires menulis kronik lain yang berjudul Portugese Relacion. Selain, Marcopolo dan Tome Pires, ada pula sejumlah pelaut Eropa yang sempat singgah di Indonesia, di antaranya: Ferdinand Mendez Pinto dan De Couto menulis Da Asia dari Portugis yang ke Indonesia tidak lama setelah Tome Pires.

b. Sumber-sumber Lokal: Historiografi Tradisional

Berbeda dengan sumber-sumber luar negeri, sumber-sumber lokal kebanyakan berbentuk kesusastraan. Kitab-kitab yang memuat informasi sejarah tersebut banyak bentuknya. Di Melayu, Sumatera, Banten, dan Kalimantan, biasanya berbentuk hikayat. Sedangkan di Jawa, seperti di Banten, Cirebon, Demak, Mataram, biasanya berbentuk babad, kitab, sajarah, kidung, carita, atau serat. Meski demikian, baik kronik luar negeri maupun sumber lokal, keduanya sama-sama merupakan penulisan historiografi tradisional. Bila kronik dari luar negeri ditulis oleh nama dan tahun yang jelas, para penulis lokal sering tak bernama. Sering sebuah karya dicatat oleh lebih dari satu orang. Kebanyakan kitab tesebut berbahasa Melayu dan Jawa dan beraksara Arab gundul atau Jawi. Selain tak tercantum nama penulis, kitab-kitab mereka acap kali tak mencantumkan tanggal, bulan, dan tahun yang pasti. Malah bisa saja, sebuah kitab yang menceritakan, misalnya, abad ke-15, ditulis pada satu-dua abad berikutnya. Oleh karena itu, peristiwa- peristiwa yang tercantum dalam kitab itu banyak yang tidak faktual. Sering terjadi pula adanya perbedaan antara kitab satu dengan yang lain, seperti perbedaan waktu, nama raja, gelar, tempat, atau silsilah. Sumber: Indonesian Heritage 3 Gambar 3.6 Naskah Hikayat Raja-Raja Pasai, dapat digunakan sebagai sumber lokal dalam menelusuri kehidupan awal Islam di Sumatera dan Malaka pada Abad ke-16 96 Sejarah SMAMA Program IPS Jilid 2 Kelas XI Tujuan masing-masing penulis pun berbeda dengan tujuan para penulis luar negeri. Para penulis pribumi banyak yang tinggal di istana raja tertentu. Maka, mereka tentunya menulis untuk tujuan mengagung-agungkan raja mereka. Di samping itu, isi dari kitab-kitab tersebut sering tak masuk akal. Para penulisnya banyak memasukkan kisah yang sebetulnya tak pernah terjadi. Banyak cerita legenda atau mitologi yang mengisi kitab-kitab tersebut. Meskipun demikian, ada beberapa peristiwa di dalamnya yang memang pernah terjadi secara historis. KEGIATAN 3.1 Untuk menumbuhkan semangat kerja dan kreativitas, lakukanlah kegiatan berikut secara per kelompok masing-masing berjumlah tiga orang. Buatlah peta yang memuat kota- kota pelabuhan di Indonesia yang ramai dikunjungi para pedagang muslim mancanegara pada abad ke-15 dan 16 M. Berilah warna yang menarik, ukuran skala peta bebas, boleh menggunakan fasilitas komputer atau coretan tangan. Kumpulkan pada guru kalian Bila telah dinilai, pajanglah di dinding kelas kalian.

B. PROSES PERSEBARAN ISLAM SERTA PERKEM-

BANGANNYA DI INDONESIA DALAM BIDANG AGAMA DAN PENDIDIKAN Islamisasi di Indonesia melibatkan banyak faktor: perdagangan, pendidikan, politik, serta semangat “jihad” masyarakat muslim. Para ulama syekh, wali, kyai memegang peranan penting dalam hal ini. Di bawah ini akan diuraikan proses pengislaman di berbagai wilayah di Indonesia.

1. Proses Islamisasi di Indonesia

Proses persebaran Islam di Indonesia berlangsung lancar relatif damai. Kelancaran ini dikarenakan syarat-syarat untuk memeluk Islam tidaklah sukar. Seseorang dianggap telah menjadi muslim bila ia mengucapkan dua kalimat syahadat, yaitu pengakuan bahwa “tidak ada Tuhan selain Allah dan Nabi Muhammad adalah utusan Allah ”. Upacara-upacara dalam Islam juga cenderung lebih sederhana daripada upacara dalam agama Hindu atau Buddha. Salah satu bukti Islam mudah diterima adalah ketika raja Ternate yang nonmuslim tidak keberatan ketika sejumlah rakyatnya memeluk Islam. Bukti lainnya dalah adanya makam bangsawan Majapahit yang beragama Islam. Menurut catatan Tome Pires, kaum bangsawan Hindu-Buddha di Jawa masuk Islam dengan sukarela tanpa paksaan. Penyebaran Islam disampaikan sesuai dengan adat dan tradisi pribumi Indonesia. Islam juga tidak Kata Kunci Islamisasi, wali, masjid, suluk, sunan, kyai, mubalig, sekatenan, syahadat 97 Bab 3 Perkembangan Pengaruh Agama dan Kebudayaan Islam di Indonesia mengenal pengkastaan dan menganggap derajat manusia itu sama. Faktor lain yang mengakibatkan Islam berkembang adalah keruntuhan Majapahit. Akan tetapi, tidak selamanya proses persebaran Islam di Indonesia, khususnya di Jawa, berlangsung damai. Menurut Tome Pires, para pedagang asing yang muslim menetap dan membuka pemukiman tersendiri di sejumlah pelabuhan; selanjutnya pemukiman tersebut dijadikan kubu pertahanan mereka dalam menjalankan roda perdagangannya. Setelah kekuatan mereka dirasakan kuat, mereka kemudian menyerang bandar-bandar bersangkutan untuk dikuasai. Cara-cara kekerasan seperti ini terjadi, misalnya, di bandar-bandar Demak dan Jepara. Sedangkan, proses pengislaman secara damai dilakukan di pantai utara Jawa Timur, seperti di Tuban dan Gresik. Ketika itu pedagang muslim mancanegara atau pribumi yang telah muslim, dianggap sebagai kalangan terpandang. Mereka, yang sebelumnya golongan menengah, serta-merta menjadi golongan terpandang. Sebagai orang penting dalam masyarakat, mereka dihadiahi hak memiliki tanah oleh penguasa setempat. Tome Pires, menyebut mereka sebagai “cavaleiro” atau ksatria. INFO SEJARAH Gambar 3.7 Masjid di Jepara menurut pelukis Belanda yang berada dekat pelabuhan; sebagai pelabuhan tempat tersebut penuh dengan aktifitas dagang Sumber: Indonesian Heritage 3 Kedudukan kaum pedagang ini menarik sejumlah penguasa Indonesia untuk menikahkan anak gadisnya dengan mereka. Sebelum menikah, si gadis menjadi muslim dahulu. Perkawinan ini lalu membentuk keluarga muslim yang berkembang menjadi masyarakat muslim. Beberapa tokoh penting raja dan para ulama atau wali Islam melakukan perkawinan jenis ini. Raden Rahmat