PERKEMBANGAN TRADISI AGAMA DI INDONESIA

169 Bab 5 Proses dan Hasil Akulturasi Budaya antara Tradisi Lokal, Hindu-Buddha dan Islam di Indonesia Maluku. Ketika Islam datang, masyarakat Indonesia telah berada dalam pengaruh Hindu-Buddha yang masing-masing penganutnya hidup berdampingan. Kedatangan kaum muslim yang relatif damai tersebut diterima oleh sebagian masyarakat pribumi Indonesia, terutama kaum bangsawan dan pedagang. Melalui pendekatan budaya, pengenalan Islam sebagai agama pendatang kepada masyarakat Indonesia penganut Hindu- Buddha, berproses cukup damai. Peranan para ulama dalam penyebaran agama Islam disambut oleh masyarakat karena dakwah yang dilakukan menggunakan pendekatan yang menyesuaikan dengan adat lokal, tanpa menghilangkan tradisi sebelumnya yang lebih tua. Pendekatan kultural ini dapat dilihat pada, misalnya, menara Masjid Kudus yang mirip dengan atap candi Hindu-Buddha atau gapura di komplek makam raja-raja Mataram-Islam di Imogiri yang berbentuk seperti gapura zaman Majapahit. Dalam hal seni, ada Sunan Kalijaga yang konon sering mempertunjukkan tontonan wayang dalam menarik perhatian umat nonmuslim di Jawa dengan menyisipi ajaran-ajaran Islam yang ringan. Meskipun, kisah yang digelarnya diambil dari kakawin Mahabharata dan Ramayana atau cerita-cerita rakyat-tutur legenda dan mitos, namun sehabis pagelaran wayang usai Sunan Kalijaga tidak meminta upah melainkan meminta para penonton mengucapkan dua kalimat syahadat Aku bersaksi, tiada Tuhan selain Allah, dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan [rasul] Allah . INFO SEJARAH Selain dikenal sebagai ulama dan budayawan, Sunan Kalijaga juga terkenal sebagai ahli ukir dan ahli busana. Maka dari itu, dalam hal berpakaian Kalijaga tetap memakai busana bangsawan ala Jawa, tidak seperti para wali yang lain yang berbusana ala Timur-Tengah. Dengan demikian, penampilan Sunan Kalijaga dikenal cukup fashionable. Cerita pewayangan yang telah dikenal sejak zaman Mataram Kuno yang semula berwujud boneka golek yang tiga dimensi oleh Sang Sunan dibentuk menjadi pipih dua dimensi yang terbuat dari kulit binatang. Contoh lain dari islamisasi dalam koridor kebudayaan ini adalah busana yang dipakai Raden Patah sewaktu menjadi penguasa Demak bukanlah pakaian adat Timur- Tengah, melainkan memakai kuluk, jamang, dan sumping laiknya bangsawan Jawa yang Hindu-Buddha. Selain hanya cukup mengucapkan syahadat, Islam tidak mengenal struktur sosial kasta seperti dalam Hindu. 170 Sejarah SMAMA Program IPS Jilid 2 Kelas XI Di samping faktor internal yang bersifat sosiokultural, faktor luar pun cukup memberikan pengaruhnya terhadap perkembangan Islam. Faktor luar tersebut di antaranya adalah tingkat intelektualitas kaum muslim yang—dalam beberapa hal—lebih tinggi dari masyarakat pribumi. Misalnya tradisi menulis: sebelumnya hanya para brahmana dan pujangga saja yang mampu membaca dan menulis aksara Sansekerta, Kawi, Melayu Kuno, dan abjad tradisional lainnya; dan setelah Islam masuk tradisi menulis lebih berkembang karena hampir semua kalangan di umat muslim melek huruf— setidaknya hanya mampu membaca sekalipun. Perpaduan antara unsur budaya asli, Hindu-Budha dan Islam membentuk corak tersendiri di dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Oleh para wali dan sunan, corak kebudayaan yang lama tidak dihilangkan dengan alasan agar masyarakat tidak terlalu kaget dengan perubahan. Dengan demikian, ajaran Islam dapat diterima dengan mudah dan tanpa ketakutan. Kaum ulama menyadari bahwa masyarakat Indonesia bersifat plural, masyarakat yang beranekaragam dalam hal bahasa, budaya, dan suku-bangsa. Unsur-unsur tradisi masih melekat dapat dirasakan hingga sekarang, di antaranya acara tahlilan, halal bi halal, berziarah, sekatenan , dan tembangan khususnya di Jawa. 1. Tahlilan Umat Islam di Indonesia memiliki kekhasan sendiri yang tidak ditemui pada masyarakat Islam di Timur Tengah, salah satunya adalah tahlilan. Tahlilan adalah acara doa bersama yang diadakan di rumah keluarga orang yang meninggal, yang diikuti oleh keluarga yang berduka, para tetangga, dan sanak-saudara orang yang meninggal. Tahlilan pada dasarnya pengucapan ”La ilaha illallah ”, yang berarti ”Tiada Tuhan selain Allah”. Tahlilan dimulai pada hari di mana orang bersangkutan meninggal, biasanya pada malam hari setelah salat magrib atau isya. Dalam pelaksanaannya, dibacakan ayat-ayat dari Al-Quran, Gambar 5.3 Wujud Sunan Ampel, Bonang, Gunung Jati, Giri, dan Kalijaga dalam bentuk wayang kulit dari kiri ke kanan Sumber: Indonesian Heritage 9 Sunan Ampel Sunan Bonang Sunan Gunung Jati Sunan Giri Sunan Kalijaga 171 Bab 5 Proses dan Hasil Akulturasi Budaya antara Tradisi Lokal, Hindu-Buddha dan Islam di Indonesia terutama Surat Yaasin hingga dari ayat pertama hingga terakhir, doa-doa agar sang almarhumalmarhumah diampuni segala dosanya dan diterima amal-ibadahnya, serta salawat salam terhadap Nabi Muhammad beserta para kekuarganya, sahabatnya, dan para pengikutnya. Pembacaan ayat dan doa tersebut biasanya dipimpin oleh seorang ulama. Setelah pembacaan doa selesai, biasanya tuan rumah yang berduka menyediakan penganan makanan tradisional, air minum, serta berbungkus-bungkus rokok untuk disajikan kepada peserta tahlilan. Setelah berbincang- bincang sekadarnya, para peserta tahlilan pulang. Acara tahlilan ini lazimnya diselenggarakan selama tujuh hari berturut-turut. Lalu setelah itu, diadakan pula tahlilan untuk memperingati 40 bahkan hingga 1.000 hari kematian almarhum almarhumah. Peringatan 7, 40, dan 100 hari merupakan tradisi Indonesia pra-Islam, yakni budaya lokal yang telah bersatu dengan tradisi Hindu-Buddha. Pada zaman Majapahit, penghormatan terhadap orang yang meninggal dilakukan secara bertahap, yakni pada hari orang bersangkutan meninggal, 3 hari kemudian, 7 hari kemudian, 40 hari kemudian, 1 tahun kemudian, 2 tahun kemudian, dan 1000 hari kemudian. Terlihat bahwa acara tahlilan tak sepenuhnya ajaran murni Islam. Nabi Muhammad tak pernah mengadakan acara tahlilan bila ada yang meninggal, melainkan hanya mendoakan agar orang meninggal tersebut diampuni dosanya dan diterima keimanan Islamnya.

2. Halal bi Halal

Salah satu lagi kekhasan sinkretisme dalam masyarakat Indonesia adalah tradisi halah bi halal. Halal bi halal secara harfiah berarti ”yang halal dengan yang halal”, ”yang boleh dengan yang boleh”, ”saling melepaskan ikatan”, atau ”saling mencairkan hubungan yang membeku sebelumnya”. Dengan kalimat lain, ia dapat berarti acara saling maaf-memaafkan antarsesama umat Islam. Di Indonesia tradisi ini biasanya dilaksanakan setelah bulan puasa shaum pada bulan Ramadhan berakhir, yakni perayaan Idul Fitri Lebaran pada tahun Hijriyah. Bila di Arab dan negara- negara Timur-Tengah, budaya saling maaf-memaafkan antarumat Islam dilakukan ketika menjelang puasa bulan Ramadhan, di Indonesia tradisi maaf-memaafkan cenderung dilakukan setelah Ramadhan berakhir, yakni pada perayaan Idul Fitri Lebaran. Perayaan saling memaafkan ini biasanya ”diformalkan” menjadi acara saling mengunjungi atau dikunjungi antara saudara, kerabat, atau sahabat untuk saling meminta memaafkan. Tradisi ini disebut pula silaturahmi silaturrahim, yang bertujuan umtuk memperpanjang dan menjaga hubungan antarsesama. Sumber: Indonesian Heritage 9 Gambar 5.4 Halal bi halal dalam tradisi Islam Indonesia 172 Sejarah SMAMA Program IPS Jilid 2 Kelas XI Bila ditelusuri, kebiasaan berhalal bi halal ini dilaksanakan sejak zaman kesultanan kekhalifahan non-Arab yang memiliki budaya sendiri sebelum Islam datang. Jadilah, pengaruh budaya lokal non-Arab tersebut saling berdialektika dengan tradisi asli Islam.

3. Ziarah

Dalam agama Islam dikenal tradisi ziarah, yakni berkunjung kepada makam atau kuburan untuk mendoakan almarhum almarhumah agar iman Islamnya diterima oleh Sang Pencipta dan dihapuskan segala dosa yang pernah dilakuan selama hidupnya. Namun, pada perkembangannya di Indonesia, tradisi ziarah ini disisipi oleh kehendak-kehendak lain yang tak ada hubunganya dalam konteks keislaman. Tradisi berziarah pilgrim Islam bercampur padu dengan tradisi pemujaan terhadap roh nenek-moyang atau dewa-dewa Hindu-Buddha, dan hasilnya adalah sang penziarah bukannya mendoakaan arwah yang meninggal akan tetapi memiliki tujuan lain, di antaranya meminta kekuatan gaib kepada roh nenek- moyang atau arwah tokoh-tokoh penting dan keramat. Tak jarang, makam para wali di Jawa banyak dikunjungi oleh mereka yang memintai ”petunjuknya” kepada roh sang wali yang telah meninggal. Padahal dalam pandangan Islam, orang yang sudah meninggal itu tidak memiliki kemampuan sama sekali untuk memberikan bantuan kepada orang yang masih hidup, seperti memberikan kekayaan, jabatan, pangkat, kekebalan tubuh, atau yang lainnya. Maka dari itu, ada orang yang menyebut ziarah sebagai nandran atau nyadran atau nyekar. Tradisi nyekar ini merupakan peninggalan prasejarah yang paling kental dalam tradisi Islam sekarang. Alkisah, pada tahun 1284 Saka atau 1362 M, Raja Majapahit, Hayam Wuruk melakukan acara srada untuk memperingati wafatnya Rajapatni. Tradisi penghormatan terhadap roh nenek moyang terasa masih sangat kental, walaupun sudah masuk agama Hindu-Buddha. Di saat masuknya agama Islam, upacara seperti ini tidak hilang malah dibumbui dengan unsur-unsur Islam. Acara srada dalam bahasa Jawa sekarang adalah nyadran dilakukan pada bulan arwah Ruwah atau disebut pula Syaban untuk menjemput datangnya bulan Ramadhan serta pada hari raya Idul-Fitri dan Idul Adha Lebaran Haji. Para penziarah mulanya membacakan doa-doa dan Surat Yaasin dari Al-Quran. Setelah itu mereka menaburkan bebungaan berwarna-warni dan mengucurkan air tawar yang telah diberi bacaandoa di atas tanah makam yang dimaksud. Sumber: Indonesian Heritage 9 Gambar 5.6 Sejumlah pria muslim tengah berziarah ke makam Sunan Gunung Jati, diiringi dengan bunga dan kemenyan sebagai sesaji Sumber: Indonesian Heritage 9 Gambar 5.5 para muslimah sedabng berziarah dan berdoa di makam Sunan Bonang 173 Bab 5 Proses dan Hasil Akulturasi Budaya antara Tradisi Lokal, Hindu-Buddha dan Islam di Indonesia INFO SEJARAH

4. Sekatenan dan Grebeg Maulid

Upacara sekatenan diciptakan Sunan Bonang dalam rangka menyambut hari Maulud Nabi Muhammad Saw. yang jatuh pada bulan Rabiul Awal tahun Hijriah. Jadi, sekatenan merupakan bagian dari acara grebeg Maulud. Sunan Bonang, seperti Sunan Kalijaga, menggunakan pertunjukan wayang sebagai media dakwahnya. Lagu gamelan wayang berisikan pesan-pesan ajaran agama Islam. Setiap bait diselingi ucapan syahadatain yang kemudian dikenal dengan istilah sekaten. Dalam tradisi sekatenan, semua pihak diharapkan keikutsertaannya, dari raja, abdi dalem istana, pasukan kerajaan, hingga rakyat kecil. Mereka tumpah- ruah di jalan guna berebutan berkah yang berupa nasi dan lauk- pauk berikut sayur mayurnya untuk disantap.

5. Kebatinan dan Kejawen

Kebatinan merupakan bentuk kerohanian yang menggabungkan kepercayaan agama kuno orang Jawa dengan tradisi mistik Hindu, Buddha, dan sufi-Islam dan juga Kristen. Meski di luar Jawa terdapat pula pengikut kebatinan, namun sebagian besar pengikut ajaran ini memang orang Jawa. Ajaran kebatinan dan kejawen ini bukan hanya mencakup pengetahuan mistik, namun juga alam gaib yang dijalankan oleh kaum bangsawan maupun rakyat biasa. Dunia kebatinan ini sering disebut pula dunia asketisme dan dijalaninya dengan cara yang bermacam-macam, seperti bertapa, berpuasa, mengatur pernafasan. Para pengikut kebatinan maupun kejawen tidak melaksanakan perintah syariat Islam secara lengkap. Mereka tidak sembahyang lima waktu, percaya terhadap kekuatan benda-benda sakti dan roh leluhur. Selain roh nenek-moyang, mereka pun memuja arwah- arwah tokoh sejarah dan legendaris, misalnya tokoh Wali Sanga, Panembahan Senopati, dewa-dewi Hindu seperti Dewi Sri atau Batara Kala. Dalam acara ruwatan, misalnya, seseorang diharapkan terhindarkan dari segala marabahaya dan kesialan dengan menanggap pagelaran wayang kulit semalam suntuk. Tradisi tahlilan dan nyekar atau nyadran oleh sebagain ulama dipandang bid’ah, artinya menyimpang dari syariat Islam sesunggunya. Adapula yang menilainya sebagai makruh, yaitu tak dilarang namun lebih baik jangan dilaksanakan. Namun, oleh kalangan Islam liberal yang memegang paham pluralisme, tradisi-tradisi tadi sah-sah saja selama tak menyekutukan Tuhan. Menurut mereka, tradisi tersebut merupakan fakta yang tak bisa dipungkiri dan dihapus bahwa sejak dahulu dalam kehidupan masyarakat Indonesia terdapat keanekaragaman diversity, dan Islam bukanlah agama yang kaku dan tak fleksibel, melainkan sebaliknya: luwes dan rahmat bagi semesta alam. Sumber: Indonesian Heritage 9 Gambar 5.7 Arak-arakan tradisi sekatenan di keraton Yogyakarta Sumber: Indonesian Heritage 9 Gambar 5.8 Seorang penganut kejawen berziarah ke makam tokoh wali, mengharap berkat dan pertolongan dari arwah sang wali 174 Sejarah SMAMA Program IPS Jilid 2 Kelas XI

6. Tembangan

Selain Sunan Bonang, dakwah dengan menggunakan media seni dilakukan oleh Sunan Giri. Ia menciptakan lagu-lagu bernuansa Islam namun dengan langgam nada-irama Jawa. seperti ”Ilir- ilir” dan ”Jamuran”. Sunan Drajat pun menciptakan tembang berbahasa Jawa, yakni ”Pangkur”. Tak ketinggalan, Sunan Muria ikut menciptakan tembang seperti ”Sinom” dan ”Kinanti”. Tembang ”Sinom” umumnya menggambarkan suasana ramah tamah dan berisi nasehat, sedangkan ”Kinanti” yang bernada gembira digunakan guna menyampaikan ajaran agama, nasihat, dan filsafat hidup. Sementara itu, Sunan Kalijaga berhasil menciptakan ”Dandanggula”, tembang yang berisi rukun iman. Berikut ini petikan dari ”Dandanggula” dalam bahasa Jawa. ”...wa man tu bi’ilahi tegesi pun pracaya ing Allah ing Pangeran sejatine, ya Pangeran kang agung kang akarna bumi lan langit angganjar lawan niksa mring manusa sagung langgeng tur murba misesa maha suci angganjar paring rezeki, aniksa angapur a” Yang artinya adalah: Sifat iman itu percaya kepada Allah Tuhan yang sejati dan Yang Maha Besar Yang menciptakan bumi dan langit, memberi dan menyiksa Kepada seluruh manusia, kekal dan berbuat sekehendaknya Yang memberi rezeki, yang memberi siksa dan mengampuni

7. Tradisi-Tradisi Lainnya

Selain tahlilan, halal bi halal, ziarah, sekatenan-gerebeg, dan tembangan Jawa, masih banyak tradisi lainnya yang dalam praktiknya terbentuk dari campuran tradisi lokal, Hindu-Buddha, dengan Islam. Tradisi tersebut mencakupi acara selamatan kelahiran bayi aqiqah, hari ashura, sunat atau khitan, pernikahan, dan lain-lainnya. Tradisi-tradisi ini hampir terdapat di semua daerah Indonesia yang terpengaruh agama-budaya Islam. Bagi masyarakat Bugis, tanggal 10 Muharam dirayakan sebagai hari ashura, yakni tradisi kaum Syiah dalam memperingati kematian cucu Nabi Muhammad, yakni Husein bin Abi Thalib yang dihabisi musuhnya secara kejam. Pada perayaan ashura disajikan hidangan ”bubur tujuh macam” yang berisi lauk-pauk berbeda. Khusus bagi masyarakat Sasak di Lombok, di daerah ini sebagian masyarakatnya melakukan praktik Islam yang berbeda dengan ajarah syariah Islam. Ajaran Islam-sinkretis yang dilakukan oleh masyarakat bagian utara dan selatan Pulau Lombok ini disebut wetu telu atau tiga waktu. Ajaran wetu telu ini Sumber: Indonesian Heritage 9 Gambar 5.9 Tradisi hari ashura di Bugis Sumber: Indonesian Heritage 9 Gambar 5.10 Seorang wanita sasak tengah menumbuk padi untuk persiapan perayaan ritual memanggl roh leluhur. 175 Bab 5 Proses dan Hasil Akulturasi Budaya antara Tradisi Lokal, Hindu-Buddha dan Islam di Indonesia hampir sama dengan ajaran Hindu-Bali dan kejawen-Jawa. Mereka percaya akan roh leluhur atau kerabat yang mati akan tetap hidup di dunia lain. Arwah leluhur itu dipercaya dapat menolong orang yang masih hidup. Ada dua orang yang dapat memanggil arwah leluhur, yakni pemangku dan kyai. Bagi penganut wetu telu, alam sekitar seperti mata air dan bukit, memiliki jiwa. Dalam menjalankan ajaran Islam, para kyai tidak memimpin shalat lima kali sehari. Pada hari Jumat, khotbah tidak dilakukan. Di dalam mesjid wetu telu, terdapat patung kayu berbentuk naga yang disebut bayan, yang dianggap nenek moyang mereka. KEGIATAN 5.1 Untuk menumbuhkan semangat etos kerja dan kecakapan personal, carilah oleh kalian tembang-tembang lain yang diciptakan para wali. Atau boleh pula kalian mencari lagu yang serupa yang mencerminkan perpaduan tradisi daerah dan Islam atau Hindu-Buddha dengan Islam. Gunakan bahasa aslinya bahasa daerahnya beserta terjemahan bahasa Indonesia. Tulislah pada kertas kosong, bacakan di depan kelas. Setelah itu, kumpulkan pada guru. Selamat menembang

B. PENGARUH TRADISI LOKAL, HINDU-BUDDHA,

DENGAN ISLAM TERHADAP PERKEMBANGAN KEBUDAYAAN DI INDONESIA Interaksi antara tradisi lokal, Hindu-Buddha, dengan Islam akhirnya menghasilkan sesuatu yang budaya yang khas. Melalui proses akulturasi yang evolusioner berjalan lambat-laun, masyarakat Indonesia semakin kaya akan keberagaman budaya, dari mulai bidang seni arsitekturnya, sastra, seni rupa, seni tarian dan musik, konsep kekuasaan, dan bidang-bidang yang lainnya.

1. Dalam Seni Arsitektur dan Bangunan

Corak arsitektur bangunan bercorak Islam yang ada di Indonesia banyak dipengaruhi warna Gujarat, India. Masyarakat Gujarat ini pada awalnya beragama Hindu, namun sejak Islam masuk ke India sebagian dari mereka memeluk Islam. Gaya arsitektur bangunan di Gujarat merupakan akulturasi antara Hindu dan Islam, sehingga bentuknya berbeda dengan bangunan yang berada di Arab. Dengan demikian, masuknya Islam melalui Gujarat tidak memengaruhi bentuk bangunan Indonesia yang masih melekat dengan budaya Hindu-Buddhanya. Seperti candi dan biara, arsitektur bangunan mesjid dibuat secara khusus agar terlihat beda dengan bangunan-bangunan Kata Kunci Gujarat, mesjid, makam, pujangga, sinkretisme, suluk, raja 176 Sejarah SMAMA Program IPS Jilid 2 Kelas XI lainnya. Sebagai tempat beribadah tetntunya bangunan bersangkutan harus terlihat lebih spesial dibandingkan bangunan- bangunan lainnya dan tahan lama. Biasanya atap masjid dibuat berundak-undak bertingkat, sedangkan masjidnya berdenah persegi panjang, memiliki serambi depan atau samping, dikelilingi benteng, dan gerbang masjid tersebut berbentuk gapura yang berornamen Hindu-Buddha. Contoh masjid-masjid yang berarsitektur seperti ini dapat dijumpai pada Mesjid Marunda di Jakarta, Mesjid Agung Demak, Mesjid Agung Banten, dan Mesjid Agung Cirebon. Adapula beberapa masjid arsitekturnya sangat kental akan nuansa Cina; masjid ini biasanya didirikan oleh komunitas Tionghoa muslim yang ada di Indonesia, dan tak jarang masjid tersebut berubah fungsi menjadi kelenteng karena ditinggalkan penduduk aslinya. Biasanya, di sekitar masjid pada zaman dahulu selalu terdapat makam orang-orang penting di zamannya. Makam yang terdapat di belakang atau di samping masjid tersebut, biasanya merupakan tempat peristirahatan terakhir para raja beserta keluarga dan kerabatnya atau para wali. Makam-makam tersebut dibuat lebih tinggi dari tanah sebagai penanda bahwa kedudukan almarhum almarhumah berbeda dengan rakyat biasa. Makam raja dan keturunannya dikumpulkan dalam satu wilayah seperti halnya keluarga ayah, ibu, dan anak. Batu nisan pada makam dibuat dari batu dan ditulisi nama orang, tempat dan tanggal lahir dan meninggal orang bersangkutan dengan huruf Arab dan bertarikh hijriah.

a. Keraton

Perpaduan budaya dalam bentuk bangunan dapat dilihat dari bentuk arsitektur pada keraton sebagai tempat raja. Keraton yang Gambar 5.11 Gerbang Masjid Jamik di Sumenep, Madura; perhatikan atap masjid yang dipengaruhi arsitektur Cina Sumber: Indonesian Heritage 6 Sumber: Indonesian Heritage 6 Gambar 5.12 Batu nisan Islam tertua di Jawa, di Truloyo, dekat Trowulan bekas ibukota Majapahit pada akhir abad ke-14