Risiko Harga Sayuran di Indonesia

(1)

1

I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sektor pertanian telah berperan dalam perekonomian nasional melalui peningkatan Produk Domestik Bruto (PDB), perolehan devisa, penyediaan pangan dan bahan baku industri, pengentasan kemiskinan, penciptaan kesempatan kerja, dan peningkatan pendapatan masyarakat. Selain itu, sektor pertanian juga mempunyai efek pengganda ke depan dan ke belakang yang besar, melalui keterkaitan input-output-outcome antar industri, konsumsi dan investasi. Hal ini terjadi secara nasional maupun regional karena keunggulan komparatif sebagian besar wilayah Indonesia adalah di sektor pertanian. Hal ini dapat dibuktikan selama krisis, sektor pertanian masih mampu tumbuh positif dan merupakan tumpuan sebagian tenaga kerja yang terkena pemutusan hubungan kerja dari sektor lain1.

Sektor pertanian merupakan salah satu sektor yang mampu bertahan dalam masa krisis ekonomi dan sektor yang mampu tumbuh positif sebesar 0,26 persen dan memberikan kontribusi sebesar 17,28 persen pada akhir tahun 1998. Kontribusi ini meningkat 2,40 persen dari tahun sebelumnya (1997) yaitu sebesar 14,88 persen (BPS, 2011)2. Meskipun sektor pertanian mampu bertahan pada masa krisis, pada tahun 1997-1999 menunjukkan adanya kecenderungan penurunan kontribusi yang relatif dari sektor pertanian (Makmun dan Yasin, 2003). Kondisi ini menurut Soekartawi (1995), merupakan salah satu ciri transformasi srtuktural yang telah terjadi pada perekonomian Indonesia di mana peran sektor pertanian dan sumbangannya pada PDB serta penyerapan tenaga kerja semakin menurun.

Selama periode tahun 2005-2009, PDB atas dasar harga berlaku sektor pertanian, peternakan, kehutanan, dan perikanan cenderung mengalami peningkatan yang cukup signifikan dan menempati urutan ketiga setelah industri pengolahan dan perdagangan, hotel, restoran (Tabel 1). Pada tahun 2009, PDB sektor pertanian, peternakan, kehutanan, dan perikanan diperkirakan meningkat

1

www.deptan.go.id/pembiayaan/dokumen/RENSTRA.pdf [22 Maret 2011]

2


(2)

2 dengan distribusi persentase sebesar 15,3 persen atau meningkat sekitar 0,8 persen dari tahun sebelumnya. Hal ini menunjukkan peran penting sektor pertanian dalam upaya mendukung perekonomian nasional khususnya untuk peningkatan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat Indonesia. Perkembangan PDB atas dasar harga berlaku menurut lapangan usaha, di Indonesia tahun 2005-2009, disajikan dalam Tabel 1.

Tabel 1. Perkembangan PDB Atas Dasar Harga Berlaku Menurut Lapangan Usaha, di Indonesia Tahun 2005-2009

Lapangan Usaha Nilai PDB (Milyar Rupiah)

2005 2006 2007 2008* 2009**

Pertanian, Peternakan, Kehutanan & Perikanan

364.169,3 (13,1)

433.223,4 (13,0)

541.931,5 (13,7)

716.065,3 (14,5) 858.252,0 (15,3) Pertambangan & Penggalian 309.014,1 (11,1) 366.520,8 (11,0) 440.609,6 (11,2) 540.605,3 (10,9) 591.531,7 (10,5)

Industri Pengolahan 760.361,3 (27,4) 919.539,3 (27,5) 1.068.653,9 (27,1) 1.380.713,1 (27,9) 1.480.905,4 (26,4) Listrik, Gas & Air Bersih 26.693,8 (1,0) 30.354,8 (0,9) 34.723.8 (0,9) 40.846,1 (0,8) 46.823,1 (0,8) Konstruksi 195.110,6 (7,0) 251.132,3 (7,5) 304.996.8 (7,7) 419.642,4 (8,5) 554.982,2 (9,9) Perdagangan, Hotel &

Restoran 431.620,2 (15,6) 501.542,4 (15,0) 592.304.1 (14,9) 691.494,7 (14,0) 750.605,0 (13,4) Pengangkutan dan Komunikasi 180.584,9 (6,5) 231.523,5 (6,9) 264.263.3 (6,7) 312.190,2 (6,3) 352.407,2 (6,3) Keuangan, Real Estate &

Jasa Perusahaan 230.522,7 (8,3) 269.121,4 (8,1) 305.213.5 (7,7) 368.129,7 (7,4) 404.116,4 (7,2)

Jasa-jasa 276.204,2 (10,0) 336.258,9 (10,1) 398.196.7 (10,1) 481.669,9 (9,7) 573.818,7 (10,2) Keterangan:

* Angka Sementara ** Angka Sangat Sementara

Angka dalam kurung menunjukkan persentase distribusi Sumber: Badan Pusat Statistik, 20113

PDB subsektor tanaman bahan makanan memberikan kontribusi yang besar dibandingkan dengan sektor pertanian lainnya. PDB tanaman bahan makanan menempati urutan pertama yang menyumbang terhadap PDB sektor pertanian. Pada tahun 2009, PDB tanaman bahan makanan diperkirakan akan meningkat lebih besar dibandingkan tahun sebelumnya yaitu sebesar 7,5 persen, yang disajikan dalam Tabel 2.

3


(3)

3 Tabel 2. Kontribusi Subsektor Pertanian terhadap PDB Atas Dasar Harga yang

Berlaku Menurut Subsektor Lapangan Usaha Pertanian di Indonesia, Tahun 2005-2009

Lapangan Usaha 2005 2006 2007 2008* 2009**

Tanaman Bahan Makanan 181.331,60 (6,5) 214.346,30 (6,4) 265.090,90 (6,7) 349.795,00 (7,1) 418.963,90 (7,5) Perkebunan 56.433,70

(2,0) 63.401,40 (1,9) 81.664,00 (2,1) 105.969,30 (2,1) 112.522,10 (2,0) Peternakan 44.202,90

(1,6) 51.074,70 (1,5) 61.325,20 (1,6) 82.676,40 (1,7) 104.040,00 (1,9)

Kehutanan 22.561,80

(0,8) 30.065,70 (0,9) 36.154,10 (0,9) 40.375,10 (0,8) 44.952,10 (0,8)

Perikanan 59.639,30

(2,2) 74.335,30 (2,2) 97.697,30 (2,5) 137.249,50 (2,8) 177.773,90 (3,2) Keterangan:

* Angka sementara ** Angka sangat sementara

Angka dalam kurung menunjukkan persentase distribusi Sumber: Badan Pusat Statistik, 20114

Komoditas hortikultura merupakan komoditas potensial yang mempunyai nilai ekonomi tinggi dan prospektif. Wilayah Indonesia dengan keragaman agroekosistem dan sosial budaya memungkinkan pengembangan berbagai jenis tanaman hortikultura. Pada dasarnya, komoditas hortikultura dikelompokkan ke dalam empat kelompok utama yaitu buah-buahan, sayuran, tanaman hias dan biofarmaka (tanaman obat-obatan). Komoditas hortikultura terdiri dari 323 jenis, yaitu buah-buahan 60 jenis, sayuran 80 jenis, biofarmaka 66 jenis, dan tanaman hias 117 jenis. Banyaknya jenis komoditas yang ditangani dan berbagai pertimbangan strategis lain, saat ini pengembangan hortikultura diprioritaskan pada komoditas-komoditas unggulan yang ada5.

Hortikultura memiliki peran yang penting dalam sektor pertanian, baik dari sisi sumbangan ekonomi nasional, pendapatan petani, penyerapan tenaga kerja maupun berbagai segi kehidupan masyarakat. Salah satu indikator ekonomi makro yang cukup penting untuk mengetahui peranan dan kontribusi yang diberikan oleh subsektor hortikultura terhadap pendapatan nasional adalah dengan melihat nilai PDB. Perkembangan PDB Hortikultura selama periode tahun 2005-2009 (Tabel 3), cenderung mengalami peningkatan tiap tahunnya. Rata-rata peningkatan PDB

4

Ibid, hlm. 1

5

Soekirno. 2007. Peran Pelaku Perlindungan Tanaman Dalam Pasar Internasional Produk-Produk Hortikultura Indonesia.http://www.jakerpo.org/ [14 Maret 2011]


(4)

4 Hortikultura sebesar 9,24 persen. Untuk kelompok sayuran memberikan kontribusi PDB terbesar yang terjadi pada tahun 2007-2008 sebesar 10,23 persen. Selain sumbangan terhadap PDB, komoditas hortikultura berperan penting dalam penyerapan tenaga kerja, perdagangan lokal, regional maupun nasional. Sementara di tingkat rumah tangga petani, hortikultura merupakan sumber pendapatan rumah tangga yang penting, bahkan banyak diantara petani-petani hotikultura yang mempunyai kehidupan ekonomi yang cukup baik di pedesaan. Perkembangan PDB hortikultura atas dasar harga berlaku di Indonesia, tahun 2005-2009, yang disajikan dalam Tabel 3.

Tabel 3. Perkembangan PDB Hortikultura Atas Dasar Harga Berlaku di Indonesia, Tahun 2005-2009

Kelompok Hortikultura Nilai PDB (Milyar Rupiah)

2005 2006 2007 2008 2009

Sayuran 22.629,88 24.694,25

(9,12) 25.587,03 (3,62) 28.205,27 (10,23) 30.505,71 (8,16) Buah-buahan 31.694,39 35.447,59

(11,84) 42.362,48 (19,51) 47.059,78 (11,09) 48.436,70 (2,93) Tanaman Hias 4.662,11 4.734,27

(1,55) 4.104,87 (0,14) 3.852,67 (7,25) 3.896,90 (1,15) Tanaman Biofarmaka 2.806,06 3.762,41

(34,08) 4.740,92 (9,10) 5.084,78 (-6,14) 5.494,24 (8,05) Total Hortikultura 61.792,44 68.638,53

(11,08) 76.795,30 (11,88) 84.202,50 (9,65) 88.333,56 (4,91)

Rata-rata Peningkatan PDB Hortikultura (%) 9,24

Keterangan: Angka dalam kurung menunjukkan nilai dalam persen Sumber: Ditjen Hortikultura, Kementrian Pertanian, 2009a

Menurut Ditjen Hortikultura (2009a), komoditas yang termasuk dalam jenis tanaman sayuran unggulan diantaranya adalah kentang, kubis, dan tomat. Kelima komoditas tersebut memberikan kontribusi produksi terbesar terhadap total produksi sayuran di Indonesia khususnya dalam menyumbang pendapatan negara terutama pada tingkat PDB. Ketiga komoditas ini cenderung mengalami fluktuasi selama lima tahun terakhir. Untuk komoditas kubis merupakan komoditas yang cenderung mengalami fluktuasi paling tinggi diantara ketiga komoditas yaitu sebesar 0,33 hingga 5,81 persen, yang disajikan pada Tabel 4.


(5)

5 Tabel 4. Perkembangan Nilai PDB Sayuran Atas Dasar Harga yang Berlaku untuk

Kentang, Kubis, dan Tomat di Indonesia Tahun 2005-2009

Komoditas Nilai PDB (Milyar Rupiah)

2005 2006 2007 2008 2009

Kentang 1.776,22 1.961,03

(10,40) 2.145,85 (9,42) 2.284,45 (6,46) 2.489,57 (8,98)

Kubis 1.784,62 1.868,93

(4,72) 1.862,72 (-0,33) 1.971,02 (5,81) 2.030,19 (3,0)

Tomat 1.466,85 1.441,11

(-1,55) 1.691,74 (17,15) 1.978,39 (16,94) 2.282,38 (15,37) Keterangan: Angka dalam kurung menunjukkan nilai dalam persen

Sumber: Ditjen Hortikultura, Kementrian Pertanian, 2009a

Secara keseluruhan produksi maupun luas panen sayuran menunjukkan adanya peningkatan setiap tahunnya. Rata-rata peningkatan produksi pada tahun 2006 dibandingkan tahun 2005 sebesar 5,47 persen sedangkan peningkatan luas areal panen sebesar 2,62 persen. Secara jumlah, peningkatan produksi tanaman buah dan sayuran pada tahun 2006 cukup besar, yaitu 593.347 ton untuk buah-buahan dan 240.449 ton untuk sayuran. Persentase peningkatan produksi tanaman hias dan tanaman biofarmaka pada tahun 2006 juga cukup signifikan dibandingkan tahun sebelumnya6.

Luas panen kelompok sayuran (Tabel 5) cenderung mengalami fluktuasi untuk kentang kubis, dan tomat. Luas panen komoditas kentang mengalami penurunan sebesar 2,94 persen tahun 2006, komoditas tomat sebesar 3,64 persen tahun 2007, dan komoditas kubis mengalami penurunan sebesar 0,06 persen tahun 2006 lebih rendah daripada dua komoditas yang lain. Penurunan luas panen tersebut menyebabkan menurunnya produksi masing-masing komoditas. Untuk komoditas kentang, produksi menurun sebesar 0,81 persen tahun 2007, produksi komoditas kubis menurun sebesar 1,95 persen tahun 2006, dan komoditas tomat menurun sebesar 2,67 persen tahun 2006. Pada tahun 2009, luas panen untuk kentang, kubis, dan tomat mengalami peningkatan yang signifikan yaitu sebesar 11,05, 10,16 dan 5,18 persen lebih besar dibandingkan tahun sebelumnya. Akan tetapi, peningkatan areal panen sayuran relatif lebih sedikit dibandingkan dengan tanaman lainnya karena dalam kebijakan pengembangan sayuran memang lebih ditekankan pada keseimbangan antara produksi atau pasokan (supply) dengan kebutuhan (demand) dan peningkatan kualitas produksi sehingga dapat

6

Bahar, Y H. 2007. Keberhasilan dan Kinerja Agribisnis Hortikultura 2006. http://www. hortikultura.go.id/ [22 Maret 2011]


(6)

6 menghindari fluktuasi harga7. Selain itu, kondisi ini disebabkan oleh dampak pemanasan global sehingga hasil tanaman di dataran tinggi menurun. Hampir seluruh petani di Indonesia merasakan dampak dari pemanasan global tersebut seperti kesulitan menentukan waktu yang tepat untuk tanam, mengalami gagal panen karena hujan yang tidak menentu atau kemarau yang berpanjangan, kelangkaan air di daerah produksi (UNDP Indonesia, 2007). Perkembangan Luas panen, produksi, dan produktivitas tanaman kentang dan tomat, serta perkembangannya di Indonesia tahun 2005-2009, disajikan pada Tabel 5.

Tabel 5. Perkembangan Luas Panen, Produksi, dan Produktivitas Tanaman Kentang, Kubis, dan Tomat, serta Perkembangannya di Indonesia Tahun 2005-2009

Komoditas

Luas Panen Produksi Produktivitas

(Ha) Pertumbuhan

(%) (Ton)

Pertumbuhan

(%) (Ton/Ha)

Pertumbuhan (%) Kentang

2005 61.557 - 1.009.619 - 16,40 -

2006 59.748 -2,94 49.344 0,23 16,94 3,26

2007 62.375 4,40 1.003.732 -0,81 16,09 -4,99

2008 64.151 2,85 1.071.543 6,76 16,70 3,80

2009 71.238 11,05 1.176.304 9,78 16,51 -1,14

Kubis

2005 57.765 - 1.292.984 - 22,38 -

2006 57.732 -0,06 1.267.745 -1,95 21,96 -1,90

2007 60.711 5,16 1.288.738 1,66 21,23 -3,33

2008 61.540 1,37 1.323.702 2,71 21,51 1,33

2009 67.793 10,16 1.358.113 2,60 20,03 -6,86

Tomat

2005 51.205 - 647.020 - 12,64 -

2006 53.492 4,47 629.744 -2,67 11,77 -6,83

2007 51.523 -3,68 635.474 0,91 12,33 4,77

2008 53.128 3,12 725.973 14,24 13,66 10,79

2009 55.881 5,18 853.061 17,51 15,27 11,72

Sumber: Ditjen Hortikultura, Kementrian Pertanian, 2009b

Peningkatan luas panen yang terjadi pada tahun 2009 juga menambah produksi kentang, kubis, dan tomat secara berturut-turut sebesar 9,78; 2,6; dan 17,51 persen. Peningkatan produksi ini terjadi sebagai akibat penambahan luas areal tanam, semakin banyaknya tanaman yang berproduksi, berkembangnya teknologi produksi yang diterapkan petani, semakin intesifnya bimbingan dan fasilitasi yang diberikan kepada petani dan pelaku usaha, semakin baiknya

7


(7)

7 manajemen usaha yang diterapkan pelaku usaha, dan adanya penguatan kelembagaan agribisnis petani8.

Perubahan paradigma menuju pemahaman hidup sehat yang tidak hanya memerlukan protein dan kalori, tetapi juga vitamin dan mineral yang terkandung dalam sayuran dan buah-buahan untuk menjalani pola konsumsi gizi yang seimbang. Tingkat konsumsi sayuran penduduk Indonesia tahun 2005 sebesar 35,30 kilogram/kapita/tahun, kemudian tahun 2006 sebesar 34,06 kilogram/kapita/tahun, dan tahun 2007 meningkat sebesar 40,90 kilogram/kapita/tahun. Standar konsumsi sayur yang direkomendasikan oleh FAO sebesar 73 kilogram/kapita/tahun, sedangkan standar kecukupan untuk sehat sebesar 91,25 kilogram/kapita/tahun9. Pola konsumsi masyarakat Indonesia untuk kentang, kubis, dan tomat di Indonesia periode 1990-2008, disajikan pada Tabel 6.

Tabel 6. Pola Konsumsi Masyarakat Indonesia untuk Kentang, Kubis, dan Tomat di Indonesia Periode 1999-2008

Komoditas Konsumsi per Kapita (Kilogram/Tahun)

1990 1993 1996 1999 2002 2005 2008

Kentang 1,66 1,98 1,77 0,99 1,77 1,92 2,03

Kubis 1,98 1,87 1,82 1,56 1,92 2,03 1,92

Tomat 1,09 0,13 1,24 1,29 1,53 1,34 2,23

Sumber: Ditjen Hortikultura, Kementrian Pertanian, 2009c

Berdasarkan Tabel 6, menunjukkan bahwa pola konsumsi masyarakat Indonesia terhadap sayuran terutama kentang, kubis, dan tomat cenderung mengalami fluktuasi. Konsumsi masyarakat Indonesia terhadap komoditas tomat lebih tinggi dibandingkan komoditas lainnya pada tahun 2008 yang diikuti dengan komoditas kentang yang menunjukkan konsumsi diatas dua kilogram per tahunnya dan kubis 1,92. Pada tahun 1999 konsumsi komoditas kentang dan kubis cenderung mengalami penurunan hal ini dipengaruhi oleh kondisi perekonomian Indonesia sedang mengalami krisis sehingga mempengaruhi daya beli masyarakat terhadap sayuran. Berbeda dengan komoditas tanaman tomat yang cenderung meningkat yang disebabkan oleh komoditas tersebut tergolong sayuran yang ada untuk setiap masakan. Konsumsi sayuran di Indonesia dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya, kemampuan ekonomi, ketersediaan, dan pengetahuan tentang

8

Ibid, hlm. 5

9


(8)

8 manfaat mengkonsumsi sayuran yang sangat berpengaruh terhadap pola dan perilaku konsumsi. Untuk itu, diperlukan upaya untuk meningkatkan konsumsi sayur-sayuran dan buah-buahan yang tidak hanya berupa penyediaan sarana dan prasarana, tetapi juga upaya perubahan sikap dan perilaku dari masyarakat, melalui sosialisasi/penyuluhan dan promosi yang lebih intensif pada masyarakat tentang manfaat dari konsumsi sayur-sayuran dan buah-buahan10.

Seiring dengan peningkatan jumlah produksi untuk kentang, kubis, dan tomat maka jumlah sayuran yang dikonsumsi tersebut semakin tinggi. Peningkatan konsumsi disebabkan oleh kesadaran masyarakat Indonesia akan pentingnya sayuran dalam kebutuhan sehari-hari. Tetapi tidak semua masyarakat Indonesia dapat menikmati sayuran tersebut setiap hari. Hal ini disebabkan oleh kecenderungan harga yang mengalami fluktuasi tiap tahunnya karena perubahan cuaca dan iklim yang tidak menentu sehingga mempengaruhi kuantitas dan kontinuitas panen pada masing-masing daerah penghasil sayuran terutama kentang, kubis dan tomat. Kondisi ini menyebabkan distribusi sayuran tidak merata untuk setiap daerah karena tidak semua wilayah di Indonesia menghasilkan sayuran untuk setiap komoditas terutama kentang, kubis, dan tomat.

Fluktuasi harga tersebut disebabkan oleh besarnya jumlah penawaran dan permintaan konsumen akan sayuran. Semakin tinggi jumlah penawaran yang ditawarkan produsen maka akan berimplikasi terhadap harga yang diperoleh semakin kecil. Sebaliknya, ketika jumlah yang ditawarkan rendah maka harga yang ada dipasar akan tinggi (ceteris paribus). Fluktuasi harga rata-rata tahunan komoditas kentang, tomat, kubis pada tahun 2006-2010 di Pasar Induk Kramat Jati disajikan pada Gambar 1.

10


(9)

9 Gambar 1. Fluktuasi Harga Rata-rata Tahunan Komoditas Kentang, Tomat, dan

Kubis pada Tahun 2006-2010 di Pasar Induk Kramat Jati.

Sumber: Pasar Induk Kramat Jati, 2011

Fluktuasi harga rata-rata tahunan pada Gambar 1, menunjukkan bahwa terjadinya fluktuasi harga untuk kentang, tomat, dan kubis mengindikasikan adanya risiko yang merugikan pihak petani karena ketidakpastian harga dipasar. Ketiga komoditas tersebut cenderung mengalami fluktuasi selama lima tahun terakhir. Untuk komoditas tomat dan kubis pada tahun 2010 mengalami peningkatan harga yang tinggi dibandingkan tahun sebelumnya berturut-turut sebesar Rp. 5.388 dan Rp. 2.913 per kilogram, tetapi untuk komoditas kentang justru mengalami penurunan pada tahun 2010 sebesar Rp. 4,961 per kilogram dan mengalami peningkatan pada tahun 2009 sedangkan kedua komoditas mengalami penurunan pada tahun yang sama. Dengan adanya fluktuasi harga dari komoditas sayuran tersebut (kentang, kubis, dan tomat) maka sangat penting mengkaji risiko harga pada komoditas sayuran yang dapat mengukur tingkat volatilitas harga sehingga fluktuasi harga tersebut dapat diantisipasi oleh pihak yang bersangkutan (petani dan pedagang) dalam menetapkan komoditas yang sesuai untuk ditanam serta disesuaikan dengan jumlah permintaan dan penawaran yang terdapat di pasar.

1.2 Perumusan Masalah

Salah satu indikator untuk mengetahui adanya risiko adalah terdapat fluktuasi di tingkat harga untuk kentang, kubis, dan tomat. Fluktuasi harga ini akan sangat


(10)

10 merugikan pihak yang mengusahakan ketiga komoditas tersebut (petani dan pedagang). Risiko yang dihadapi petani akan semakin tinggi jika harga sayuran (kentang, kubis, dan tomat) yang dihadapi semakin berfluktuasi. Fluktuasi harga pada dasarnya terjadi akibat ketidakseimbangan antara jumlah permintaan dan penawaran yang terjadi di pasar dimana tingkat harga meningkat jika jumlah permintaan melebihi penawaran dan sebaliknya harga akan menurun ketika jumlah penawaran melebihi jumlah permintaan (ceteris paribus).

Terjadi fluktuasi harga untuk kentang, kubis, dan tomat yang terjadi selama 2010 (Gambar 2). Di tingkat pedagang grosir Pasar Induk Kramat Jati, fluktuasi harga dipengaruhi oleh jumlah pasokan dari daerah sentra penghasil sayuran komoditas kentang, kubis, dan tomat sehingga mempengaruhi kuantitas dan kontinuitas produk yang masuk ke Pasar Induk Kramat Jati. Untuk komoditas kentang, harga tertinggi berada pada posisi Rp. 7.000,00 per kilogram pada bulan September dan harga terendah berada pada posisi Rp. 3.500,00 per kilogram pada bulan Maret. Untuk komoditas tomat, harga tertinggi berada pada posisi Rp. 9.500,00 per kilogram pada bulan April dan harga terendah berada pada posisi Rp. 2.000,00 per kilogram pada bulan September. Untuk komoditas kubis, harga tertinggi berada pada posisi Rp. 6.000,00 per kilogram bulan Juli dan harga terendah berada pada posisi Rp. 1.000,00 per kilogram pada bulan Oktober. Harga terendah dan tertinggi dari ketiga komoditas tersebut dipengaruhi oleh jumlah pasokan yang masuk ke pasar. Jumlah pasokan yang tinggi disebabkan oleh daerah sentra sedang mengalami panen raya sehingga menyebabkan penumpukan barang di pasar. Kondisi tersebut menyebabkan harga komoditas turun dan mempengaruhi tingkat pendapatan yang akan diperoleh. Untuk harga tertinggi dipengaruhi oleh jumlah pasokan yang masuk ke pasar rendah yang diakibatkan oleh kondisi daerah sentra yang mengalami gagal panen, serangan hama dan penyakit tanaman, dan ketidaktersediaan barang di daerah sentra. Hal ini menyebabkan barang yang terdapat di pasar menjadi sedikit sehingga meningkatkan harga jual dari ketiga komoditas tersebut. Plot deret waktu pergerakan harga kentang, tomat, dan kubis periode tahun 2010, disajikan pada Gambar 2.


(11)

11 Gambar 2. Plot Deret Waktu Pergerakan Harga Kentang, Tomat, dan Kubis

Periode Tahun 2010

Sumber: Pasar Induk Kramat Jati, 2011

Di tingkat petani, fluktuasi harga dipengaruhi oleh produksi sayuran komoditas kentang, kubis, dan tomat. Harga akan menurun ketika panen terjadi secara bersamaan untuk masing-masing komoditas karena sebagian besar petani menanam pada waktu yang sama sehingga saat panen jumlah produk melebihi jumlah permintaan yang ada di pasar (excess supply). Hal ini ditunjukkan dengan adanya jumlah pasokan yang masuk ke Pasar Induk Kramat Jati dalam jumlah yang besar sehingga harga akan turun. Penurunan harga pada tahun 2010, untuk komoditas kentang terjadi pada bulan November dan Desember dengan harga Rp. 3.000 per kilogram, komoditas kubis bulan Juni-Juli dengan harga Rp. 2.200 per kilogram, dan komoditas tomat pada bulan Januari dengan harga Rp. 900 per kilogram. Sedangkan peningkatan harga sayuran komoditas kentang, kubis, dan tomat terjadi karena panen untuk masing-masing komoditas relatif rendah sehingga jumlah produk yang ditawarkan sedikit (excess demand). Khusus untuk komoditas tomat, produksi yang rendah dipengaruhi juga oleh cuaca yang tidak menentu seperti curah hujan yang tinggi. Hal ini terjadi untuk komoditas kentang pada bulan Maret dengan harga berkisar Rp. 6.000 hingga 7.500 per kilogram, komoditas kubis bulan Januari hingga pertengahan Februari dengan harga berkisar dari Rp. 3.500 hingga 4.000 per kilogram, dan untuk komoditas tomat dengan harga Rp. 6.000 per kilogram. Adanya perbedaan harga tersebut menyebabkan


(12)

12 ketidakpastian atas pendapatan yang akan diterima dan merugikan bagi petani yang mengusahakan ketiga komoditas tersebut.

Dari data harga kentang, kubis dan tomat di tingkat petani dan pedagang grosir Pasar Induk Kramat Jati cenderung mengalami fluktuasi yang cukup tinggi, kondisi ini dapat dilihat dari selisih antara harga tertinggi dengan harga terendah yang memiliki nilai rupiah yang cukup besar. Hal ini menunjukkan adanya risiko yang ditanggung oleh pihak-pihak terkait terutama oleh petani dan pedagang yang mengusahakan ketiga komoditas tersebut dalam memperoleh pendapatan. Dari permasalahan di atas, maka dapat dilakukan pengkajian dalam penelitian ini: 1. Mengapa harga sayuran mengalami fluktuasi? dan apa saja faktor-faktor yang

menyebabkan fluktuasi harga sayuran?

2. Bagaimana alternatif strategi yang diperlukan untuk mengurangi risiko harga sayuran?

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan dalam melakukan penelitian ini adalah:

1. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi fluktuasi harga sayuran. 2. Menganalisis altenatif strategi yang diperlukan untuk mengurangi risiko

harga sayuran.

1.4 Kegunaan Penelitian

1. Sebagai bahan pertimbangan bagi pihak-pihak yang terkait terutama petani dalam menangani risiko harga sayuran.

2. Bagi pembaca, diharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan informasi kepada pihak-pihak yang berkepentingan dan sebagai bahan perbandingan untuk penelitian selanjutnya.

1.5 Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini dibatasi pada analisis risiko harga sayuran khususnya komoditas kentang, kubis, dan tomat. Analisis risiko harga sayuran menggunakan data time series dari bulan Januari 2006 sampai Februari 2011 yang diperoleh dari Pasar Induk Kramat Jati. Variabel yang digunakan dalam pengolahan data meliputi


(13)

13 harga harian komoditas (rupiah per kilogram), pasokan harian (dalam satuan ton), dan khusus untuk komoditas kentang dengan menambah permintaan harian (dalam satuan ton). Model ini dibangun dengan menggunakan angka nominal yang diperoleh dari Pasar Induk Kramat Jati.


(14)

14

II TINJAUAN PUSTAKA

2.1Perkembangan Produksi Sayuran di Indonesia

Sayuran merupakan produk hortikultura yang mengalami tingkat fluktuasi harga yang tinggi karena sifatnya yang perishable. Hal ini menunjukkan bahwa ketidakseimbangan antara volume pasokan dan kebutuhan konsumen lebih sering terjadi pada komoditas sayuran dimana transmisi harga sayuran relatif rendah dibanding buah dan komoditas pangan lain (Irawan, 2007). Khusus untuk pasar kentang yang terintegrasi akan membantu produsen dan konsumen, karena rantai pasokan yang ada dapat mentransmisikan sinyal harga secara benar. Sebagai konsekuensi dari kondisi ini, konsumen di pasar tertentu tidak perlu membayar lebih mahal dan produsen dapat melakukan spesialisasi berdasarkan keunggulan komparatifnya (Adiyoga, et al. 2006). Dilihat dari usahatani komoditas kentang dan kubis yang memiliki keunggulan komparatif dan kompetitif, akan lebih menguntungkan untuk meningkatkan produksi dalam negeri dibandingkan impor. Meskipun usahatani kentang dan kubis di lokasi penelitian memiliki keunggulan komparatif, tetapi apabila tidak dilakukan beberapa langkah pembenahan maka tidak akan dapat mewujud dalam keunggulan kompetitif, terutama orientasi untuk pasar ekspor. Untuk orientasi substitusi impor, kondisinya rawan karena petani mengalami disinsentif dalam berusahatani kentang dan kubis (Saptana, et al. 2002). Di dalam usahtani kubis, faktor produksi ditingkat petani penggunaan pupuk ZA dan KCl belum efisien sehingga perlu ditingkatkan penggunannya (Nurmalina dan Ameriana, 1995). Menurut Karmina dan Aisyah (2008) luas lahan yang diusahakan responden untuk usahatani tomat dan mentimun masih rendah dibandingkan dengan luas lahan optimal yang dapat di capai oleh responden dengan tenaga kerja yang tersedia. Luas lahan optimal tersebut dapat dicapai responden jika melakukan peningkatan luas lahan (ekstensifikasi pertanian).

Menurut Irawan (2007) yang menganalisis fluktuasi harga, transmisi harga dan marjin pemasaran sayuran dan buah. Alat analisis yang digunakan adalah analisis kuantitatif dengan menggunakan koefisien Variasi untuk menganalisis fluktuasi harga. Analisis lebih fokus pada aspek-aspek yang hanya dilakukan pada


(15)

15 komoditas hortikultura unggulan nasional yaitu bawang merah, cabai, kentang, kubis, pisang dan jeruk. Disamping itu, analisis yang sama juga dilakukan untuk komoditas padi dan palawija sebagai pembanding. Komoditas palawija yang dimaksud meliputi jagung, kacang tanah dan ubi kayu.

Hasil penelitian menyatakan bahwa fluktuasi harga sayuran umumnya relatif tinggi dibanding buah, padi dan komoditas palawija. Hal ini menunjukkan bahwa ketidakseimbangan antara volume pasokan dan kebutuhan konsumen lebih sering terjadi pada komoditas sayuran.Transmisi harga sayuran relatif rendah (49 hingga 55 persen) dibanding buah dan komoditas pangan lain (65 hingga 81 persen). Hal ini menunjukkan bahwa pasar sayuran di tingkat petani cenderung bersifat monopsoni/oligopsoni.Konsekuensi adanya kekuatan monopsoni tersebut adalah marjin pemasaran sayuran cenderung tinggi dibanding buah dan komoditas pangan lain, sebaliknya harga yang diterima petani cenderung rendah (52-57 persen dari harga konsumen pada sayuran, dan 72-86 persen pada buah, padi dan

palawija). Faktor lain yang menyebabkan rendahnya harga yang diterima petani sayuran adalah ketidakmampuan petani menahan penjualannya untuk mendapatkan harga yang lebih tinggi dan hal ini dapat didorong oleh tiga faktor yaitu desakan kebutuhan modal usahatani, keterbatasan teknologi efisien yang dapat diterapkan petani untuk mempertahankan kesegaran sayuran, dan keterbatasan sumber pendapatan diluar usahatani sayuran.

Adiyoga, et al. (2006) yang melakukan penelitian integrasi pasar kentang di Indonesia analisis korelasi dan kointegrasi, yang menggunakan pendekatan korelasi statik untuk mengukur integrasi pasar spasial produk-produk pertanian dan pendekatan two step Engle-Granger (EG). Hasil penelitian menyatakan bahwa koefisien korelasi bukan indikator yang konsisten atau tegas untuk menentukan integrasi pasar. Korelasi bivariat yang tinggi antara dua pasar yang tidak melakukan perdagangan satu sama lain masih tetap dimungkinkan, jika harga-harga di setiap pasar berkorelasi tinggi melalui hubungan harga dan perdagangan dengan suatu pasar destinasi gabungan (pasar ketiga). Hasil penelitian menyarankan agar pendekatan korelasi sebagai alat diagnosa integrasi pasar, sebaiknya digunakan secara hati-hati karena berbagai bukti kelemahan yang melekat pada pendekatan tersebut. Penggunaan analisis kointegrasi dengan


(16)

16 pendekatan two step Engle-Granger terhadap data serial harga harian, mingguan dan bulanan secara konsisten mengindikasikan bahwa pasar kentang di Jakarta, Bandung, Sumatera Utara dan Singapura terintegrasi. Kointegrasi dalam hal ini merupakan implikasi statistik dari adanya hubungan jangka panjang antara peubah-peubah ekonomi (harga). Hubungan jangka panjang tersebut mengandung arti bahwa peubah harga bergerak bersamaan sejalan dengan waktu. Pasar kentang yang terintegrasi seperti ini akan banyak membantu produsen dan konsumen, karena rantai pasokan yang ada dapat mentransmisikan sinyal harga secara benar. Sebagai konsekuensi dari kondisi ini, konsumen di pasar tertentu tidak perlu membayar lebih mahal dan produsen dapat melakukan spesialisasi berdasarkan keunggulan komparatifnya. Hal ini pada gilirannya akan mengarah pada penggunaan sumber daya yang lebih efisien.

Saptana, et al. (2002) yang meneliti tentang analisis keunggulan komparatif dan kompetitif komoditas kentang dan kubis di Wonosobo Jawa Tengah dengan menggunakan alat analisis matrik Policy Analysis Matrix (PAM). Berdasarkan analisis biaya dan keuntungan secara private menunjukkan bahwa usahatani komoditas kentang dan kubis di Wonosobo, baik pada MH maupun MK secara private menguntungkan. Sementara itu, analisis biaya dan keuntungan secara sosial atau ekonomik menunjukkan bahwa pengusahaan usahatani komoditas kentang dan kubis secara ekonomik menguntungkan. Besarnya keuntungan private yang dinikmati oleh petani, baik pada komoditas kentang maupun kubis adalah lebih rendah dari keuntungan ekonomiknya. Fenomena tersebut merupakan indikasi bahwa harga input yang dibayar petani lebih tinggi dan atau harga output yang diterima oleh petani lebih rendah dari harga sosial. Artinya petani di lokasi penelitian Wonosobo mengalami disinsentif dalam memproduksi komoditas kentang maupun kubis.

Hasil analisis menunjukkan bahwa usahatani komoditas kentang dan kubis memiliki keunggulan komparatif dan kompetitif yang ditunjukkan oleh sebagian besar nilai koefisien DRC <1 dan PCR<1. Artinya untuk menghasilkan satu-satuan nilai tambah pada harga sosial dan privat diperlukan penggunaan sumber daya domestik lebih kecil dari satu. Sehingga untuk lokasi penelitian Wonosobo, Jawa Tengah akan lebih menguntungkan untuk meningkatkan produksi dalam


(17)

17 negeri dibandingkan impor. Meskipun usahatani kentang dan kubis di lokasi penelitian memiliki keunggulan komparatif, tetapi apabila tidak dilakukan beberapa langkah pembenahan maka tidak akan dapat mewujud dalam keunggulan kompetitif, terutama jika orientasinya adalah pasar ekspor. Untuk orientasi substitusi impor, kondisinya rawan karena petani mengalami disinsentif dalam berusahatani kentang dan kubis. Jika kondisi disinsentif tersebut berlangsung permanen dalam jangka waktu dua sampai tiga tahun mendatang, barangkali pengusahaan komoditas kentang dan kubis di lokasi yang diteliti tidak akan berkelanjutan.

Nurmalina dan Ameriana (1995) dalam penelitiannya mengenai efisiensi penggunaan faktor produksi dalam usahatani kubis ditingkat petani, yang menggunakan fungsi produksi Cobb-Douglas. Terdapat delapan Variabel yang mempengaruhi produksi kubis, antara lain bibit, tenaga kerja, ZA, TSP, KCl, pupuk kandang, insektisida, dan fungisida. Diantara beberapa input yang berpengaruh terhadap fungsi produksi kubis adalah pupuk KCl dengan nilai elastisitas sebesar 0,19 dan ZA sebesar 0,65 yang menunjukkan pengaruh nyata. Berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan, ternyata penggunaan pupuk ZA dan KCl belum efisien sehingga perlu ditingkatkan penggunannya.

Menurut Karmina dan Aisyah (2008) yang melakukan penelitian mengenai optimalisasi lahan usahatani tomat dan mentimun dengan kendala tenaga kerja (pendekatan program linier). Penggunaan tenaga kerja terbesar pria untuk komoditas tomat terjadi pada bulan Februari karena sebagian besar responden melakukan kegiatan pengolahan lahan dan perempuan terjadi pada bulan Maret, sedangkan untuk mentimun penggunaan tenaga kerja pria dan perempuan terbesar terjadi pada bulan April. Luas lahan optimal untuk komoditas tomat dan mentimun adalah satu hektar. Rata-rata lahan yang dimiliki responden untuk komoditas tomat sebesar 0,43 hektar dan untuk komoditas mentimun sebesar 0,38 hektar. Luas lahan yang diusahakan responden masih lebih rendah dibandingkan dengan luas lahan optimal yang dapat di capai oleh responden dengan tenaga kerja yang tersedia. Luas lahan optimal tersebut dapat di capai responden jika melakukan peningkatan luas lahan (ekstensifikasi pertanian).


(18)

18 2.1.1 Produksi Kentang di Indonesia

Tanaman kentang (Solanum tuberosum L.) merupakan tanaman semusim yang berbentuk semak, termasuk Divisi Spermatophyta, Subdivisi Angiospermae, Kelas Dicotyledonae, Ordo Tubiflorae, Famili Solanaceae, Genus Solanum, dan Spesies Solanum tuberosum L. (Beukema, 1977). Kentang memiliki umbi batang yang dapat dimakan dan disebut "kentang" pula. Umbi kentang sekarang telah menjadi salah satu makanan pokok penting di Eropa walaupun pada awalnya didatangkan dari Amerika Selatan (Peru, Chili, Bolivia, dan Argentina) serta beberapa daerah Amerika Tengah. Penjelajah Spanyol dan Portugis pertama kali membawa ke Eropa dan mengembangbiakkan tanaman ini pada abad 17. Dengan cepat menu baru ini tersebar di seluruh bagian Eropa. Dalam sejarah migrasi orang Eropa ke Amerika, tanaman ini pernah menjadi pemicu utama perpindahan bangsa Irlandia ke Amerika pada abad ke-19, di kala terjadi wabah penyakit umbi di daratan Irlandia yang diakibatkan oleh jenis jamur yang disebut ergot11.

Masuknya tanaman kentang di Indonesia tidak diketahui dengan pasti, tetapi pada tahun 1794 tanaman kentang ditemukan telah ditanam di sekitar Cisarua (Kabupaten Bandung) dan pada tahun 1811 tanaman kentang telah tersebar luas di Indonesia, terutama di daerah-daerah pegunungan di Aceh, Tanah Karo, Sumatera Barat, Bengkulu, Sumatera Selatan, Minahasa, Bali, dan Flores. Di Jawa daerah-daerah pertanaman kentang berpusatdi Pangalengan, Lembang, dan Pacet (Jawa Barat), Wonosobo dan Tawangmangu (Jawa Tengah), serta Batu dan Tengger (Jawa Timur).

Kentang termasuk tanaman yang dapat tumbuh di daerah tropika dan subtropika, dapat tumbuh pada ketinggian 500 sampai 3000 m di atas permukaan laut, dan yang terbaik pada ketinggian 1300 m di atas permukaan laut. Tanaman kentang dapat tumbuh baik pada tanah yang subur, mempunyai drainase yang baik, tanah liat yang gembur, debu atau debu berpasir. Tanaman kentang toleran terhadap pH pada selang yang cukup luas, yaitu 4,5 sampai 8,0, tetapi untuk pertumbuhan yang baik dan ketersediaan unsur hara, pH yang baik adalah 5,0 sampai 6,5. Tanaman kentang yang ditanam pada pH kurang dari 5,0 akan menghasilkan umbi yang bermutu jelek. Di daerah-daerah yang akan ditanam


(19)

19 kentang yang menimbulkan masalah penyakit kudis, pH tanah diturunkan menjadi 5,0 sampai 5,212.

2.1.2 Produksi Kubis di Indonesia

Secara biologi, tumbuhan ini adalah dwimusim (biennial) dan memerlukan vernalisasi untuk pembungaan. Apabila tidak mendapat suhu dingin, tumbuhan ini akan terus tumbuh tanpa berbunga. Setelah berbunga, tumbuhan mati. Kubis termasuk dalam Kerajaan Plantae, Divisi Magnoliophyta, Kelas Magnoliopsida, Ordo Brassicales, Famili Brassicaceae, Genus Brassica, Spesies B. Oleracea, nama binomial Brassica oleracea L13.

Kubis adalah komoditas semusim yang memiliki ciri khas membentuk krop. Pertumbuhan awal ditandai dengan pembentukan daun secara normal. Namun semakin dewasa daun-daunnya mulai melengkung ke atas hingga akhirnya tumbuh sangat rapat. Pada kondisi ini petani biasanya menutup krop dengan daun-daun di bawahnya supaya warna krop makin pucat. Apabila ukuran krop telah mencukupi maka kubis siap dipanen.

Kubis, kol, kobis, atau kobis bulat adalah nama yang diberikan untuk tumbuhan sayuran daun yang populer. Tumbuhan dengan nama ilmiah Brassica oleracea L. Kelompok Capitata ini dimanfaatkan daunnya untuk dimakan. Daun ini tersusun sangat rapat membentuk bulatan atau bulatan pipih, yang disebut krop, kop atau kepala (capitata berarti "berkepala"). Kubis berasal dari Eropa Selatan dan Eropa Barat dan, walaupun tidak ada bukti tertulis atau peninggalan arkeologi yang kuat, dianggap sebagai hasil pemuliaan terhadap kubis liar B. oleracea Var. sylvestris. Nama "kubis" diambil dari bahasa Perancis, chou cabus (harafiah berarti "kubis kepala"), yang diperkenalkan oleh sebagian orang Eropa yang tinggal di Hindia-Belanda. Nama "kol" diambil dari bahasa Belanda kool.

Kubis menyukai tanah yang sarang dan tidak becek. Meskipun relatif tahan terhadap suhu tinggi, produk kubis ditanam di daerah pegunungan (400 m dpl ke atas) di daerah tropik. Di dataran rendah, ukuran krop mengecil dan tanaman sangat rentan terhadap ulat pemakan daun Plutella. Karena penampilan kubis

12Ibid. Hlm. 18 13Ibid. Hlm. 18


(20)

20 menentukan harga jual, kerap dijumpai petani (Indonesia) melakukan penyemprotan tanaman dengan insektisida dalam jumlah berlebihan agar kubis tidak berlubang-lubang akibat dimakan ulat14.

2.1.3 Produksi Tomat di Indonesia

Seluruh anggota dari genus Lycopersicon merupakan tanaman setahun atau tanaman tahunan yang berumur pendek, tanaman berupa semak, diploid dengan kromosom somatis yang berjumlah 24. Sistematika tanaman tomat menurut para ahli botani adalah Divisi Spermatophyta, Subdivisi Angiospermae, Kelas Dicotyledonae, Ordo Tubiflorae, Famili Solanaceae, Genus Lycopersicon, Species: Lycopersicon esculentum Mill15.

Menurut sejarahnya tanaman tomat berasal dari Amerika, yaitu daerah Andean yang merupakan bagian dari negara-negara Bolivia, Chili, Colombia, Equador, dan Peru. Sejalan dengan penemuan benua Amerika, tanaman tomat juga kemudian dikenal di Eropa. Di Italia, tanaman ini dikenal sebagai tanaman yang buahnya berwarna merah, sedangkan di Eropa dikenal sebagai tanaman yang buahnya berjumlah banyak.

Tomat dapat dikategorikan sebagai tanaman sayuran utama yang semakin populer keberadaannya sejak abad terakhir. Bagian yang dikonsumsi dari tanaman tersebut adalah bagian buahnya. Selain memiliki rasa yang enak, buah tomat juga merupakan sumber vitamin A dan C yang sangat baik. Disamping itu, kandungan lycopenenya sangat berguna sebagai antioksidan yang dapat mencegah perkembangan penyakit kanker.

Akhir-akhir ini konsumsi tomat di negara-negara maju semakin meningkat dan sering diasosiasikan sebagai luxurious crop. Contohnya, di Israel buah tomat merupakan komoditas yang sangat penting bagi konsumen, sehingga seringkali digunakan sebagai acuan dalam menghitung indeks harga konsumen. Di negara-negara sedang berkembang tomat sudah mulai menjadi sayuran yang penting, namun orientasi petani dalam mengusahakannya masih lebih mengacu pada peningkatan produksi dibandingkan dengan peningkatan kualitas. Tomat biasanya

14Ibid. Hlm. 18 15Ibid. Hlm. 18


(21)

21 ditanam di dataran tinggi diatas 1000 m dpl seperti daerah Cianjur, Lembang, Sukabumi, dan daerah lainnya16.

2.2 Perkembangan Pemasaran Sayuran di Indonesia 2.2.1 Pemasaran Kentang di Indonesia

Pola pemasaran kentang cenderung bersifat musiman. Panen raya kentang terjadi ada bulan April, Juli-Agustus, dan November. Pada musim-musim raya tersebut volume perdagangan dapat mencapai 2 ton/hari, sedang pada bulan-bulan biasa hanya mencapai 500 kilogram/hari. Biasanya pada musim kemarau petani mengurangi jumlah tanaman pada lahan yang sama, untuk mengurangi risiko kegagalan panen yang disebabkan oleh musim. Di tingkat pembelian dari petani, kentang belum diklasifikasikan menurut mutu/besar kecilnya kentang. Pada umumnya para pedagang/agen kentang membeli kentang dari petani di kebun, dengan harga sama untuk semua mutu secara campuran. Posisi petani dalam menentukan harga sangat rendah. Pada waktu panen langsung dipotong dengan jumlah pinjaman, dan petani sama sekali tidak mengetahui berapa harga kentang di pasar. Petani hanya dapat menerima harga yang ditetapkan pedagang (Hastuti, 2001).

Menurut Sihombing (2005) petani kentang di daerah penelitian, berladang kentang dengan luas efektif 0,21 ha dengan jarak tanam 20 x 60 cm atau 40 x 70 cm. Dengan demikian jumlah populasinya adalah 1.155 rumpun tiap hektar. Waktu yang dibutuhkan dari penanaman sampai panen sekitar 3,5 bulan. Produktivitas rata-rata 10.337,84 kilogram/ha. Biaya produksi yang diperlukan adalah Rp 19.230.600/ha dengan rataan harga yang diterima Rp 2.900/kilogram maka penerimaan total adalah Rp. 29.979.000/ha/thn. Dengan demikian besarnya pendapatan bersih petani produsen adalah Rp. 10.748.400 /ha/thn.

Pedagang desa/ranting, umumnya pelaku pemasaran ini mempunyai tipe yang sangat aktif mencari pasokan kentang sampai ke ladang petani. Pedagang ini berkedudukan di desa, mereka dapat bertindak sendiri, namun seringkali sudah menjadi perpanjangan tangan dari pengumpul dengan berbekal modal yang

16Ibid


(22)

22 diberikan oleh pengumpul, dapat juga berdasarkan permintaan pedagang ranting atau pemberian pedagang pengumpul (Sihombing, 2005).

Pedagang Pengumpul merupakan induk pedagang ranting desa yang berkedudukan atau berasal dari kecamatan sendiri atau lainnya. Fungsi tataniaga yang diperankan mereka umumnya adalah sortasi, pengemasan dalam keranjang dan transportasi, baik dari maupun ke pedagang besar antar kota. Pedagang Besar yang terlibat dalam tataniaga kentang terdiri atas tiga, yaitu pedagang besar antar kota, pedagang besar kota Medan dan pedagang besar propinsi. Pedagang besar ini memiliki peran yang sangat besar dalam pembentukan harga kentang. Tipe pedagang besar ini ada dua macam. Pertama, pedagang yang langsung berhubungan dengan petani produsen dan pedagang yang hanya berhubungan dengan pedagang pengumpul di kecamatan. Agen Eksportir dan Eksportir Baik agen eksportir maupun eksportir umumnya berkedudukan di iibukota propinsi dan kabupaten. Untuk wilayah Karo dan Dairi umumnya mereka berdomisisli di Brastagi dan Medan. Rata-rata volume eksport adalah 670 ton/bulan dengan negara tujuan Singapura dan Malaysia. Fungsi utama yang dijalankan adalah grading, penyimpanan dan pengemasan (Sihombing, 2005). Pengolah pada mata rantai tataniaga kentang bentuk olahan (kripik) di Medan Propinsi Sumatera Utara pada tahun 2002 tercatat berjumlah 9 pabrik, namun banyak usaha rumah tangga yang belum tercatat. Kapasitas produksi keripik kentang baru mencapai 51,25 ton setara dengan 128,125 ton bahan baku kentang. Dengan demikian, retention index komoditas ini berkisar sebesar 99,95. Sedangkan produksi keseluruhan kentang segar di Propinsi Sumatera Utara mencapai 252.451 ton.

Ada tiga rantai pemasaran kentang (Gambar 3), pertama, dari petani ke pedagang pengumpul – pedagang besar – agen eksportir, eksportir selanjutnya diekspor melalui pelabuhan Belawan. Kedua, mulai dari petani produsen ke pusat pasar, tingkat kabupaten dilanjutkan ke pusat pasar propinsi (Medan), kemudian ke pengecer dan akhirnya ke konsumen akhir. Ketiga, dari petani produsen ke pedagang pengumpul desa atau ranting yang bermuara ke pasar kabupaten. Rantai pemasaran sebagai bahan baku kripik cukup sederhana. Pabrik pengolah memperoleh bahan baku dari pedagang pengumpul. Hasil olahannya berupa kripik didistribusikan melalui toko pengecer baru ke konsumen. Pabrik juga melakukan


(23)

23 penjualan langsung ke konsumen, misalnya melalui forum pameran, dan lain-lain (Sihombing, 2005). Skema saluran tataniaga kentang di Sumatera Utara, disajikan pada Gambar 3.

Gambar 3. Skema Saluran Tataniaga Kentang di Sumatera Utara

Sumber: Sihombing, 2005

2.2.2 Pemasaran Kubis di Indonesia

Berdasarkan penelitian Agustian et al. (2005) mengenai tujuan dan pertimbangan pemasaran kubis dari petani hingga konsumen (Gambar 4). Pada jalur pemasaran komoditas kubis di lokasi penelitian (Kabupaten Bandung, Kabupaten Garut dan Kabupaten Karo), petani melakukan pemasaran kubis cukup berVariasi yaitu melalui pedagang pengumpul desa, pedagang pengumpul tingkat kecamatan, dan pedagang besar atau Bandar. Rantai Pemasaran Kubis di Lokasi Penelitian Kabupaten Garut, Kabupaten Bandung dan Kabupaten Karo, disajikan dalam Gambar 4.

Sub-Sistem Produksi

Sub-Sistem Pemasaran

Sub-Sistem Pra Produksi

Dalam Negeri

Sub-Sistem Pengolahan

Kentang Segar Kripik

Dalam Negeri Luar

Negeri

Pedagang desa Eksporti Pengecer Merk Dagang Pdg

Pdg Besar

Eksportir Grosir

Grosir

Pengecer Pengecer

Konsumen Sumatra

Utara

Konsumen Jakarta/

Jawa

Konsumen Luar Negeri


(24)

24 Gambar 4. Rantai Pemasaran Kubis di Lokasi Penelitian Kabupaten Garut,

Kabupaten Bandung dan Kabupaten Karo

Sumber: Agustian et al., 2005

Pedagang pengumpul desa di ketiga lokasi penelitian mempunyai kaki tangan yang dikenal dengan sebutan “penyiar” di Kabupaten Garut dan “agen” di Kabupaten Karo, yang bertugas memberikan informasi mengenai petani yang akan panen dan berapa jumlah produk yang dihasilkan. Berdasarkan Gambar 9 dapat dilihat bahwa alur pemasaran komoditas kubis dari petani ke konsumen akhir cukup panjang. Hal ini tentunya akan sangat terpengaruh oleh adanya perbedaan selisih harga yang ada untuk mendorong penjualan tersebut yang dilakukan oleh pedagang pengumpul desa/penyiar/agen. Pedagang pengumpul tingkat kecamatan atau kabupaten selanjutnya dapat menjual ke pedagang di pasar tradisional yaitu pasar induk (Pasar Induk Caringin, Gedebage, Kramat Jati, Cibitung, Tanah Tinggi, Bogor), sedangkan untuk pedagang besar jangkauan pemasarannya dapat langsung ke pasar induk, atau ke supplier.

Sementara itu, pola pemasaran kubis dari petani ke pedagang di Provinsi Sumatera Utara (Agustian et al., 2005) adalah sebagai berikut :

a. Petani umumnya menjual langsung kepada pedagang di lahan untuk menaksir produksi dan dilakukan tawar menawar harga yang disebut dengan pola lelang. Penjualan berlangsung beberapa hari sebelum panen dilakukan.

b. Petani terikat untuk menjual langsung ke pedagang yang telah memberi pinjaman modal. Pola ini umum terjadi pada pedagang yang memasok kubis ke Batam, untuk seterusnya di ekspor ke Malaysia dan Singapura.

Pedagang besar/bandar

Pedagang pengumpul kecamatan/kabupaten

Pedagang pengumpul desa

Petani

Pdg Antar pulau

Supplier

PI. Caringin

PI. Bitung

PI. Tanah Tinggi

PI. Kramat Jati

Pdg Luar Jawa/ Luar Negeri

Supermarket

Pdg eceran dr luar daerah


(25)

25 c. Petani menjual ke pasar terdekat, pada pola ini petani memanen dan

mengangkut sendiri kubisnya ke pasar terdekat. Petani yang memilih pola ini biasanya petani yang produksinya sedikit, maksimal satu ton.

2.2.3 Pemasaran Tomat di Indonesia

Seperti halnya pada komoditas sayuran lainnya, kegiatan pemasaran tomat bertujuan untuk memindahkan produk dari tangan produsen ke tangan konsumen. Pada umumnya kegiatan produksi berlangsung di daerah pedesaan, sementara daerah konsumen terletak di perkotaan. Hal ini memberikan gambaran besarnya kontribusi lembaga-lembaga pemasaran dalam menjembatani produsen dan konsumen. Hampir seluruh sektor pemasaran tomat ditangani oleh pihak swasta dan intervensi pemerintah dalam hal ini relatif minimal, khusus terbatas pada penyediaan infrastruktur. Oleh karena itu, pasar tomat seringkali dianggap beroperasi berdasarkan kekuatan penawaran dan permintaan.

Dibandingkan komoditas sayuran lainnya seperti kentang, tomat termasuk sayuran yang mudah rusak. Oleh karena itu jarang sekali petani tomat yang mempunyai gudang penyimpanan. Pada umumnya, petani menjual hasil produksi segera setelah panen. Cara penjualan tomat yang paling sering dilakukan oleh petani adalah dengan cara menimbang berat (kiloan) dan tebasan. Penjualan secara ditimbang dilakukan apabila panen telah selesai. Penentuan harga jual dilakukan berdasarkan harga kiloan yang berlaku. Hampir seluruh petani di sentra produksi Lembang dan Pangalengan menggunakan sistem penjualan tersebut. Tebasan merupakan cara penjualan yang dilakukan berdasarkan taksiran hasil produksi. Transaksi dilakukan menjelang panen, sedangkan biaya pemeliharaan selanjutnya dibebankan kepada pembeli. Sistem tebasan ini banyak dilakukan oleh petani tomat di daerah Garut Jawa Barat (Adiyoga et al., 2004).

Sebelum menjual hasil panennya, petani biasa melakukan sortasi (memisahkan/memilih tomat yang marketabledan non-marketable) dan grading (pada umumnya berdasarkan ukuran /berat tomat). Grading atau pengkelasan ternyata banyak memberikan keuntungan baik bagi produsen maupun konsumen tomat, antara lain: 1) memudahkan pembeli untuk mendapatkan tomat sesuai dengan kualitas yang diinginkan, 2) dapat meningkatkan keperca-yaan konsumen,


(26)

26 3) memberikan kepuasan kepada konsumen, dan 4) bagi produsen dapat menamba nilai keuntungan yang cukup besar. Berdasarkan Standarisasi Nasional Indonesia (SNI), grading pada komoditas tomat dapat dibedakan menjadi tiga kelas (Adiyoga, et al. 2004) yaitu :

Kelas A : SPL = spesial besar besar (> 150 gram) Kelas B : GH = menengah (100 – 150 gram) Kelas C : TO = kecil (<100 gram)

Secara umum harga tomat untuk masing-masing kelas berbeda, semakin tinggi kelas grading harga akan semakin mahal. Namun demikian, generalisasi hubungan harga antar kelas, sukar untuk ditetapkan, karena terlalu banyaknya kemungkinan kombinasi perubahan penawaran dan permintaan berdasarkan pengkelasan ini. Terlepas dari hal tersebut, sebagian besar petani dan pedagang mengindikasikan bahwa perbedaan harga antar kelas secara proporsional meningkat/ menurun sejalan dengan peningkatan/penurunan harga tomat.

Beberapa tipe saluran pemasaran yang menggerakkan tomat dari sentra produksi ke daerah konsumsi adalah sebagai berikut (Adiyoga et al., 2004):

1. Petani produsen -- Pedagang pengumpul – Konsumen lembaga

2. Petani Produsen -- Pedagang pengumpul -- Pedagang besar – Konsumen lembaga

3. Petani Produsen -- Pedagang pengumpul -- Pedagang besar -- Pedagang pengecer – Konsumen rumah tangga.

4. Petani Produsen -- Pedagang pengumpul – Pedagang besar – Pedagang besar pembantu -- Pedagang pengecer – Konsumen rumah tangga.

5. Petani produsen – pedagang pengunpul – Pedagang besar – Pedagang besar pembantu – konsumen rumah tangga.

2.3 Kajian Risiko Harga dengan Pendekatan Model ARCH-GARCH

GARCH merupakan suatu teknik permodelan data time series yang menggunakan varian masa lalu dan dari dugaan varian masa lalu tersebut digunakan untuk melakukan (forecast) varian masa yang akan datang. Pada penelitian Fariyanti (2008) untuk analisis risiko produksi kentang dan kubis, Sari (2009) menganalisis risiko harga cabai merah besar, Herviyani (2009)


(27)

27 menganalisis risiko harga kubis dan risiko harga bawang merah, Siregar (2009) menganalisis risiko harga DOC broiler, Sumaryanto (2009) harga eceran terigu dan gula pasir memperoleh model GARCH (1,1) yang menunjukkan bahwa pergerakan harga dipengaruhi oleh volatilitas dan varian harga satu hari sebelumnya.

Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Siregar (2009) untuk analisis harga DOC layer dan Sumaryanto (2009) yang menganalisis harga eceran beras, cabai merah dan bawang merah, diperoleh model ARCH (1) dimana model ARCH (1) GARCH (0) hanya dipengaruhi oleh volatilitas harga periode sebelumnya tetapi tidak dipengaruhi oleh varian harga. Pada penelitian Sari (2009), risiko harga cabai merah keriting diperoleh model ARCH (1) GARCH (2) yang berarti bahwa pola pergerakan harga cabai merah keriting dipengaruhi oleh volatilitas satu hari sebelumnya dan varian pada dua hari sebelumnya. Sedangkan penlitian yang dilakukan Sumaryanto (2009) untuk harga eceran minyak goreng dan telur dapat menggunakan pendekatan ARIMA karena efek ARCH-nya tidak nyata.

Fariyanti (2008) selanjutnya meneliti mengenai perilaku ekonomi rumah tangga petani sayuran dalam menghadapi risiko produksi dan harga produk di Kecamatan Pengalengan, Kabupaten Bandung. Komoditas sayuran yang difokuskan dalam penelitian ini adalah kentang dan kubis. Analisis risiko produksi dilakukan dengan menggunakan model GARCH (1,1) merupakan salah satu model yang dapat mengakomodasi adanya fluktuasi atau Variasi sedangkan analisis risiko harga menggunakan perhitungan nilai Varian. Berdasarkan hasil penelitian dapat diketahui bahwa risiko produksi pada kentang lebih tinggi dibandingkan kubis, tetapi sebaliknya risiko harga kentang lebih rendah daripada kubis. Besarnya risiko produksi kentang diindikasikan oleh fluktuasi produksi kentang yang disebabkan oleh risiko produksi pada musim sebelumnya dan penggunaan input pupuk dan tenaga kerja sedangkan lahan, benih, dan obat-obatan merupakan faktor yang mengurangi risiko produksi. Sementara itu, pada komoditas kubis justru sebaliknya dimana lahan dan obat-obatan merupakan faktor yang dapat menimbulkan risiko sedangkan benih, pupuk dan tenaga kerja menjadi faktor yang mengurangi risiko produksi. Oleh karena itu, diversifikasi usahatani kentang dan kubis dapat dilakukan untuk memperkecil risiko produksi


(28)

28 (portofolio) dibandingkan jika petani melakukan spesialisasi usahatani kentang atau kubis.

Sedangkan Sari (2009) yang menganalisis risiko harga cabai merah keriting dan cabai merah besar di Indonesia dengan menggunakan metode ARCH-GARCH dan VaR. Dari hasil analisis ARCH-ARCH-GARCH didapatkan model yang terbaik untuk menganalisis risiko harga cabai merah keriting adalah model ARCH (1) GARCH (2) yang berarti bahwa pola pergerakan harga cabai merah keriting dipengaruhi oleh volatilitas satu hari sebelumnya dan varian pada dua hari sebelumnya. Untuk risiko harga cabai merah besar adalah model ARCH (1) GARCH (1) yang menunjukkan bahwa pergerakan harga dipengaruhi oleh volatilitas dan varian harga satu hari sebelumnya. Selanjutnya, dilakukan perhitungan VaR dan didapatkan hasil bahwa nilai risiko cabai merah keriting lebih besar dibandingkan cabai merah besar. Hal ini disebabkan oleh faktor tingginya volume permintaan cabai merah keriting sementara pasokan lebih berfluktuasi akibat risiko di tingkat produksi yang lebih rendah. Semakin lama periode penjualan setelah panen maka besarnya risiko yang ditanggung oleh petani.

Menurut Herviyani (2009) yang melakukan penelitian mengenai risiko harga kubis dan bawang merah di Indonesia menggunakan ARCH-GARCH dan VaR. Berdasarkan hasil analisis ARCH-GARCH didapatkan model yang terbaik untuk menganalisis risiko harga kubis dan risiko harga bawang merah adalah model GARCH (1,1) yang menunjukkan bahwa tingkat risiko harga kubis dan bawang merah dipengaruhi oleh volatilitas dan varian harga satu hari sebelumnya. Artinya peningkatan risiko harga kubis dan bawang merah periode sebelumnya, maka akan meningkatkan risiko harga kubis dan bawang merah pada periode berikutnya. Selanjutnya, dilakukan perhitungan VaR dan didapatkan hasil bahwa risiko harga kubis lebih tinggi dibandingkan risiko harga bawang merah. Hal ini disebabkan karakteristik dari komoditas kubis yang merupakan jenis sayuran daun yang dapat lebih cepat busuk dan mengalami penyusutan sehingga kubis tidak dapat disimpan lebih lama untuk menunggu harga jual yang lebih tinggi. Disamping itu, komoditas kubis juga umumnya masih belum banyak digunakan sebagai bahan baku oleh perusahaan atau industri pengolahan. Hal ini


(29)

29 mengakibatkan harga kubis dapat turun secara tajam jika terjadi kelebihan pasokan, karena kelebihan pasokan tersebut tidak dapat langsung terserap oleh pasar.

Siregar (2009) dalam penelitiannya mengenai risiko harga Day Old Chick (DOC) broiler dan layer pada PT. Sierad Produce Tbk. dengan menggunakan analisis kuantitatif dan kualitatif. Analisis kuantitatif dilakukan untuk menganalisis risiko dengan menggunakan model ARCH-GARCH dan perhitungan VaR sedangkan analisis kualitatif dilakukan untuk mengetahui gambaran tentang manajemen perusahaan terkait dengan harga DOC pada perusahaan tersebut. Berdasarkan hasil analisis diketahui bahwa model terbaik untuk DOC broiler adalah model ARCH (1) GARCH (1) yang berarti bahwa pola pergerakan DOC broiler dipengaruhi oleh volatilitas dan varian harga DOC broiler periode sebelumnya, sedangkan untuk DOC layer adalah model ARCH (1) GARCH (0) DOC layer hanya dipengaruhi oleh volatilitas harga DOC layer periode sebelumnya tetapi tidak dipengaruhi oleh varian harga DOC layer.

Dilakukan perhitungan VaR menunjukkan risiko harga DOC broiler lebih besar dibandingkan dengan risiko harga DOC layer. Tingginya risiko harga jual DOC broiler dibandingkan risiko harga jual DOC layer disebabkan karena permintaan daging ayam yang lebih berfluktuatif dibandingkan dengan permintaan telur dan dapat pula disebabkan oleh siklus layer yang lebih lama daripada broiler.

Sumaryanto (2009), yang melakukan penelitian mengenai analisis volatilitas harga eceran beberapa komoditas pangan utama dengan model ARCH-GARCH menyatakan bahwa dari keseluruhan hasil pendugaan yang sesuai untuk harga eceran beras, cabai merah dan bawang merah adalah ARCH (1), sedangkan untuk harga eceran terigu dan gula pasir adalah GARCH (1,1), kecuali pada harga eceran bawang merah, bentuk sebaran ht harga eceran empat komoditas lainnya adalah fat tail. Hal tersebut menunjukkan bahwa volatilitas harga eceran antarjenis komoditas pangan berbeda, secara empiris terbukti bahwa sejak reformasi harga komoditas pangan semakin volatil, stabilitas sosial politik mempengaruhi volatilitas harga komoditas pangan, periode dan durasi puncak volatilitas harga eceran komoditas pangan antarjenis komoditas berbeda. Hasil penelitian ini


(30)

30 menunjukkan bahwa pendekatan yang lebih sesuai untuk model peramalan harga eceran dengan data univariat untuk komoditas beras, tepung terigu, gula pasir, cabai merah, dan bawang merah adalah ARCH-GARCH, sedangkan untuk harga eceran minyak goreng dan telur dapat menggunakan pendekatan ARIMA karena efek ARCH-nya tidak nyata.

2.4 Perbedaan dengan Penelitian Terdahulu

Penelitian ini memiliki persamaan dan perbedaan dengan penelitian-penelitian sebelumnya. Penelitian ini memiliki perbedaan dengan penelitian Karmina dan Aisyah (2008), Nurmalina dan Ameriana (1995), Saptana, et al. (2002), Adiyoga, et al. (2006), Irawan (2007) pada alat analisis yang digunakan dalam penelitian dan memiliki persamaan pada beberapa objek komoditas yang dikaji. Sedangkan pada penelitian Fariyanti (2008), Herviyani (2009), Sumaryanto (2009), memiliki persamaan pada salah satu komoditas yang dikaji, Siregar (2009), Mega (2009) memiliki persamaan pada alat analisis yang digunakan dan memiliki perbedaan pada komoditas yang dikaji.

Pada penelitian risiko harga sayuran di Indonesia ini menggunakan alat analisis dengan pendekatan model ARCH-GARCH yang ditujukan untuk mencari model terbaik melalui nilai AIC dan SC terkecil sehingga dapat digunakan untuk menghitung nilai VaR. secara umum, data mengenai penelitian terdahulu disajikan pada Tabel 7.


(31)

31 Tabel 7. Studi Terdahulu yang Berkaitan dengan Penelitian Risiko Harga

Nama Penulis Tahun Judul Metode Analisis

Adiyoga, et al. 2006 Integrasi Pasar Kentang di Indonesia Analisis Korelasi dan Kointegrasi

Pendekatan korelasi statik dan two step Engle-Granger (EG) Sumaryanto 2009

Analisis Volatilitas Harga Eceran Beberapa Komoditas Pangan Utama dengan Model ARCH/GARCH

Model ARCH-GARCH

Herviyani 2009 Risiko Harga Kubis dan Bawang Merah di Indonesia

Model ARCH-GARCH dan Value at Risk (VaR) Sari 2009 Risiko Harga Cabai Merah Keriting dan Cabai

Merah Besar di Indonesia

Model ARCH-GARCH dan Value at Risk (VaR)

Siregar 2009

Analisis Risiko Harga Day Old Chick (DOC) Broiler dan Layer pada PT. Sierad Produce Tbk Parung, Bogor

Model ARCH-GARCH dan Value at Risk (VaR)

Fariyanti 2008

Perilaku Ekonomi Rumah tangga Petani Sayuran dalam Menghadapi Risiko Produksi dan Harga Produk di Kecamatan Pengalengan Kabupaten Bandung

Model ARCH-GARCH dan Value at Risk (VaR)

Karmina 2008

Optimalisasi Lahan Usahatani Tomat dan Mentimun dengan Kendala Tenaga Kerja (Pendekatan Program Linier)

Pendekatan Program Linier Nurmalinda 1995 Efisiensi Penggunaan Faktor Produksi dalam

Usahatani Kubis di Tingkat Petani

Fungsi Produksi Cobb-Douglas

Saptana 2002

Analisis Keunggulan Komparatif dan Kompetitif Komoditas Kentang dan Kubis di Wonosobo Jawa Tengah

Policy Analysis Matrix (PAM) Irawan 2007 Fluktuasi Harga, Transmisi Harga dan Marjin


(32)

32

III KERANGKA PEMIKIRAN

3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis 3.1.1 Konsep Risiko

Dalam menjalankan usaha atau bisnis selalu dihadapkan pada suatu risiko yang menyebabkan kerugian pada usaha yang dijalankan. Setiap risiko yang terdapat dalam suatu usaha atau bisnis akan menimbulkan kerugian bagi pelaku usaha atau bisnis, karena tingginya tingkat risiko tergantung dari besarnya usaha atau bisnis yang dijalankan. Semakin tinggi usaha atau bisnis yang dijalankan maka semakin besar pula tingkat risikonya. Pengertian risiko ini memiliki beberapa pengertian, menurut Robison dan Barry (1987) yang menyitir pendapat Frank Knight menyatakan bahwa risiko menunjukkan peluang terhadap suatu kejadian yang dapat diketahui oleh pembuat keputusan berdasarkan pengalaman. Menurut Harwood et al. (1999) risiko menunjukkan kemungkinan kejadian yang menimbulkan kerugian bagi pelaku bisnis yang mengalaminya. Kountur (2006) mendefinisikan risiko sebagai kemungkinan kejadian yang merugikan. Berdasarkan definisi tersebut terdapat tiga unsur penting dari risiko diantaranya risiko dianggap sebagai suatu kejadian, dari kejadian tersebut mengandung suatu kemungkinan yang dapat terjadi atau tidak terjadi, dan jika terjadi terdapat akibat yang ditimbulkan berupa kerugian. Rangkaian kejadian risiko dan ketidakpastian, disajikan dalam Gambar 5.

Probability dan Probability dan

hasil hasil tidak

dapat diketahui dapat diketahui

Risiko Ketidakpastian

(Risk events) (Uncertain events)

Gambar 5. Rangkaian Kejadian Risiko dan Ketidakpastian

Sumber: Debertin (1986)

Menurut Debertin (1986) yang membedakan antara konsep risiko dan ketidakpastian. Ketidakpastian lingkungan, kemungkinan hasil dan kemungkinan


(33)

33 kejadian tersebut tidak dapat diketahui. Sedangkan risiko, antara hasil dan kemungkinan dari suatu kejadian dapat diketahui. Suatu rangkaian kesatuan seperti pada Gambar 5 menjelaskan bahwa peristiwa di dunia dapat digolongkan menjadi dua situasi ekstrim, yaitu kejadian yang mengandung risiko atau risk events dan dalam keadaan ekstrim lainnya adalah kejadian yang tidak pasti atau uncertainty risk. Selain itu, gambar ini juga menjelaskan mengenai perbedaan antara risiko dengan ketidakpastian. Risiko berhubungan dengan suatu kejadian yang hasil akhir dan probabilitas terjadinya dapat diketahui, sedangkan ketidakpastian dihubungkan dengan kejadian yang hasil akhir dan probabilitas terjadinya tidak dapat diketahui. Tiga Fungsi Kemungkinan Utility to Income, disajikan pada Gambar 6.

Gambar 6. Tiga Fungsi Kemungkinan Utility to Income

Sumber : Debertin (1986)

Kesediaan petani untuk mengambil risiko sebagai ukuran luas yang dipetakan untuk menangani psikologi petani dalam menghadapi risiko tersebut. Kepuasan atau kegunaan yang diterima petani dari penghasilan lain secara luas untuk memutuskan strategi yang akan diambil. Maksimisasi utility menjadi kewajiban yang membebani tingkat pendapatan yang akan diperoleh dan menjadi tujuan akhir dari petani atau untuk beberapa permasalahan lainnya.

Hubungan fungsi utility atau kepuasan sama dengan satu atau lebih baik tersedia. Maksimisasi utilitas menjadi kriteria yang dipilih dan dibuat oleh manajer. Utility atau kepuasan petani tidak berkaitan dengan expected income yang mereka terima, tetapi hal tersebut tidak sama dengan expected income diantara keduanya. Jika Utility dan expected income memiliki kesamaan, maka

Income

U

ti

li

t

y

Risk Averse

Income

U

ti

li

t

y

Risk Neutral

Income

U

ti

li

t

y


(34)

34 petani akan tertarik untuk maksimisasi utility sehingga menjadi strategi pilihan dalam memperoleh pendapatan expected income yang lebih tinggi.

Transaksi yang baik dari upaya yang dilakukan oleh para ekonomis memiliki sesuatu yang perlu dibuktikan pada fungsi utilitas untuk masing-masing individu, khususnya untuk manajer pertanian yang ada. Pada Gambar 6. mengilustrasikan tiga kemungkinan yang menyangkut hubungan fungsi kemungkinan utility dan income. Diasumsikan bahwa petani dapat mencapai income yang lebih tinggi dengan mengambil risiko atau ketidakpastian yang lebih besar pula. Risk averter akan memiliki fungsi utilitas yang meningkat atau menurun sebagai dampak dari risiko income. Fungsi utilitas untuk orang yang mengambil risk neutral akan memiliki slope yang konstan. Sedangkan fungsi utilitas untuk risk preferrer akan meningkat.

3.1.2 Sumber-sumber Risiko

Beberapa Risiko adalah sesuatu yang unik di dalam pertanian, seperti risiko cuaca yang buruk dapat mengurangi hasil pada tahun tersebut dan tidak dapat ditentukan sehingga mengurangi hasil yang akan diperoleh petani. Jika petani melihat dari sisi manfaat-biaya yang diperdagangkan memilih mengurangi, kemudian petani akan mencoba untuk menurunkan kemungkinan terjadinya dari efek yang tidak menguntungkan tersebut. Beberapa sumber risiko menurut Harwood et al. (1999) yang dihadapi oleh petani diantaranya adalah risiko produksi, risiko pasar atau harga, risiko kelembagaan, risiko manusia, dan risiko finansial. Dari beberapa sumber risiko tersebut, risiko yang paling utama dihadapi rumah tangga petani adalah risiko produksi dan harga produk.

1.

Risiko Produksi (Production or yield risk)

Terjadi karena pertanian dipengaruhi oleh banyak peristiwa yang tidak dapat dikendalikan dan sering terjadi seperti cuaca termasuk curah hujan yang rendah atau terlalu tinggi, temperatur yang ekstrim, serangan hama dan penyakit. Untuk itu, diperlukan teknologi yang memiliki peran utama di dalam risiko produksi pertanian. Pengenalan teknik produksi dan Varietas tanaman baru yang ditawarkan untuk peningkatan efisiensi yang potensial, tetapi dari teknik tersebut belum memberikan hasil yang maksimal, terutama dalam


(35)

35 jangka pendek. Sebagai pembanding, ancaman keusangan yang ada dengan praktek tertentu (sebagai contoh, penggunaan mesin di mana salah satu bagiannya sudah tidak tersedia lagi) dengan menciptakan mesin lain dan berbeda sehingga menjadi risiko.

2. Risiko pasar atau harga (Price or market risk)

Mencerminkan risiko yang berhubungan dengan perubahan pada harga output maupun input yang dapat terjadi setelah komitmen untuk melakukan kegiatan produksi. Di dalam pertanian, produksi yang biasanya adalah suatu proses panjang. Sebagai contoh, produksi ternak yang memerlukan investasi berkelanjutan pada peralatan dan pakan ternak yang mungkin tidak menghasilkan return untuk beberapa tahun atau bulan. Karena pasar biasanya melibatkan keduanya antara domestik dan pertimbangan internasional, tingkat return produsen mungkin terpengaruh secara dramatis oleh peristiwa-peristiwa bergerak jauh dari wilayahnya.

3. Risiko kelembagaan (Institutional risk)

Disebabkan oleh perubahan-perubahan di dalam peraturan dan kebijakan yang mempengaruhi pertanian. Risiko tipe ini biasanya dinyatakan pada perubahan harga atau batasan produksi yang tidak diantisipasi untuk output maupun input. Sebagai contoh, perubahan peraturan pemerintah mengenai penggunaan pestisida ( untuk tanaman budidaya) atau obat-obatan ( untuk ternak) yang merubah biaya produksi atau keputusan suatu negera yang membatasi impor dari tanaman tertentu yang mengurangi harga tanaman. Risiko kelembagaan yang lain bisa di bangun dari perubahan kebijakan yang mempengaruhi penjualan pupuk kandang, pembatasan praktek konservasi atau penggunaan lahan, atau perubahan kebijakan pajak pendapatan atau kredit.

4. Risiko manusia (human or personal risks)

Petani juga menjadi salah satu subjek dari risiko manusia (human or personal risks) yang biasa terjadi untuk semua pelaku bisnis. Perubahan yang mengganggu bisa diakibatkan oleh suatu peristiwa seperti peristiwa kematian, perceraian, kecelakaan, atau gangguan kesehatan menjadi persoalan utama di dalam sebuah perusahaan. Sebagai tambahan, perubahan objektif yang melibatkan individu di dalam perusahaan pertanian yang mungkin memiliki


(36)

36 efek penting dalam jangka panjang untuk pencapaian dari suatu operasi. Asset risiko juga umum untuk semua bisnis dan melibatkan pencurian, kebakaran, atau kerugian lain atau kerusakan pada peralatan, bangunan, dan peternakan. Suatu jenis risiko yang terlihat penting untuk tumbuh adalah risiko kontrak (contracting risk), yang melibatkan perilaku oportunis dan keterikatan kontrak mitra yang dapat dipercaya.

5. Risiko keuangan (Financial risk)

Berbeda dengan risiko bisnis yang diuraikan sebelumnya bahwa hal tersbut diakibatkan oleh cara perusahaan memperoleh modal dan membiayainya. Petani mungkin tunduk pada fluktuasi pada tingkat bunga atas pinjaman modal atau menghadapi berbagai kesulitan cash flow jika tidak ada dana yang cukup untuk membayar kembali ke kreditur. Penggunaan pinjaman dana berarti bahwa suatu bagian return dari bisnis harus dialokasikan atau dipisahkan untuk pembayaran hutang. Bahkan ketika suatu lahan 100 persen dibiayai pemilik, peminjam modal masih mengarahkan kepada kemungkinan kehilangan kepemilikan atau net worth.

3.1.3 Strategi untuk Mengurangi Risiko

Petani memiliki sejumlah strategi yang ada untuk mengurangi dampak dari risiko dan ketidakpastian. Masing-masing dari strategi ini dapat mengurangi kerugian ketika alam atau pasar berada pada posisi yang tidak menguntungkan bagi petani tetapi juga dapat mengurangi keuntungan yang diperoleh petani ketika alam dan pasar dalam kondisi yang menguntungkan atau membantu. Strategi-strategi yang bisa diterapkan petani menurut Debertin (1986) adalah sebagai berikut:

a. Asuransi pertanian

Polis asuransi tersedia dari pendapatan yang tidak menentu yang merupakan sumber risiko dapat dikurangi dengan pembelian polis asuransi. Seseorang membeli asuransi kebakaran tidak berarti bahwa mereka berharap terjadinya suatu kebakaran pada sesuatu yang telah diasuransikan. Hal ini dilakukan karena biaya asuransi relatif lebih rendah dibandingkan dengan kemungkinan biaya yang harus ditanggung jika kebakaran benar-benar terjadi.


(37)

37 Polis asuransi memberikan yang terbaik ketika kemungkinan suatu kejadian dari suatu peristiwa tersebut kecil, tetapi jika suatu kejadian terjadi hasilnya akan menjadi musibah. Dengan kata lain, asuransi akan digunakan pada situasi dimana kemungkinan terjadinya kecil dari kerugian yang besar.

Asuransi pertanian menyebabkan pendapatan yang diterima petani berkurang karena harus membayar asuransi premium. Biaya asuransi premium mengurangi keuntungan potensial yang diterima petani dalam sepuluh tahun terakhir dimana risiko kegagalan tersebut tidak terjadi.

b. Kontrak

The future market dapat menjadi sebuah gagasan dari suatu cara yang bisa dilakukan oleh petani untuk kontrak selama penjualan dari komoditas yang spesifik berada pada harga yang spesifik pula untuk pengiriman pada beberapa waktu yang akan datang. Dengan demikian, sistem kontrak adalah suatu mekanisme untuk mengurangi atau menghilangkan risiko dan ketidakpastian harga dengan penentuan harga yang harus dibayar setelah panen atau ketika komoditas tersebut siap untuk dipasarkan. Meskipun terdapat harga dan pendapatan yang diperoleh akan dikurangi, pasar meningkat, petani akan membatasi pertumbuhan potensialnya jika penetapan harga ditentukan dari awal musim produksi.

The future market bukan satu-satunya kontrak untuk mengurangi risiko dan ketidakpastian harga. Beberapa kontrak menyatakan bahwa penetapan harga di awal saat musim produksi dan penerimaan di akhir produksi juga akan menghilangkan ketidakpastian harga. Kontrak biasanya digunakan pada komoditas seperti broiler dan tanaman hortikultura. Kontrak harga akan bekerja dengan baik dalam sebuah model analisis marjinal yang mewakili kepastian harga.

c. Fasilitas dan perlengkapan yang fleksibel

Jika petani dapat menyesuaikan perubahan harga produk dan input maka kemungkinan untuk menyesuaikan bangunan dan perlengkapan yang dapat digunakan lebih dari satu jenis produk pertanian. Fasilitas khusus akan memungkinkan petani memiliki perencanaan jangka panjang. Petani yang mencoba untuk mengatasi ketidakpastian harga lebih memilih untuk


(38)

38 membangun atau membeli mesin dan fasilitas yang disesuaikan dengan susunan yang berbeda pada penggunannya atau dua komoditas dengan proporsi yang tepat dan tetap yang akan menuju ke elastisitas nol dari sisi subtitusi produk.

d. Diversifikasi

Diversifikasi adalah strategi lama yang digunakan petani untuk mengatasi ketidakpastian harga dan hasil (output). Strategi diversifikasi pada intinya adalah untuk memperoleh keuntungan dari salah satu jenis usaha peternakan atau tanaman budidaya untuk menghindari kerugian yang ditimbulkan dari jenis usaha lainnya. Diversifikasi digunakan lebih efektif pada tenga kerja dan input sepanjang tahun. Hal ini dapat meningkatkan pendapatan pada tahun yang baik dan buruk. Transaksi yang lebih efektif dengan perubahan harga dan pendapatan, dimana usaha diversifikasi pertanian harus memiliki harga dan output yang memiliki karakter berlawanan antara satu dengan yang lainnya.

e. Program pemerintah

Pemerintah berperan dalam mengatasi ketidakpastian harga dan produksi yang dihadapi oleh petani. Peran pemerintah dapat berupa dukungan dalam bentuk program-program yang dapat meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani. Partisipasi dalam program secara normal akan mengurangi Variabilitas pendapatan, tetapi saat pendapatan jangka panjang akan jauh lebih besar.

3.1.4 Konsep Permintaan, Penawaran dan Harga

Menurut Lipsey et al. (1995) menyatakan bahwa harga suatu komoditas dan kuantitas yang akan diminta berhubungan negatif, dengan faktor lain sama. Dengan kata lain, semakin rendah harga suatu komoditas maka jumlah yang akan di minta untuk komoditas itu akan semakin besar, dan semakin besar harga maka semakin rendah jumlah yang diminta. Kebanyakan komoditas, harga komoditas, dan kuantitas atau jumlah yang akan ditawarkan berhubungan secara positif, dengan semua faktor yang lain tetap sama. Dengan kata lain, semakin tinggi harga suatu komoditas semakin besar jumlah komoditas yang akan ditawarkan dan


(39)

39 semakin rendah harga maka semakin kecil jumlah komoditas yang akan ditawarkan.

Lipsey et al. (1995) menjelaskan bahwa kekuatan permintaan dan kekuatan penawaran akan saling berinteraksi dalam menentukan harga yang terjadi dalam suatu pasar yang bersaing. Perpotongan antara kurva permintaan dan kurva penawaran akan membentuk suatu kondisi keseimbangan dimana jumlah yang diminta sama dengan jumlah yang ditawarkan. Pada kondisi ini, kedua pihak baik konsumen maupun produsen akan sama-sama diuntungkan. Pembentukan Harga oleh Permintaan dan Penawaran, disajikan dalam Gambar 7.

Gambar 7. Pembentukan Harga oleh Permintaan dan Penawaran

Sumber: Lipsey et al. (1995)

Proses terjadinya kondisi keseimbangan pada Gambar 7 menunjukkan bahwa harga equilibrium yang merupakan titik potong antara kurva permintaan dengan kurva penawaran. Titik E merupakan titik equilibrium dimana jumlah yang diminta sama dengan jumlah yang ditawarkan. Ketika harga diatas equilibrium (P1), akan terjadi kelebihan penawaran dan harga akan terdorong ke bawah (excess supply). Sebaliknya, pada tingkat harga di bawah equilibrium (P2) maka akan terjadi kelebihan permintaan dan harga akan terdorong untuk naik menuju harga keseimbangan atau (excess demand).

Menurut Lipsey et al. (1995) menyatakan bahwa perubahan Variabel mana pun selain harga yang mempengaruhi jumlah yang diminta atau jumlah yang ditawarkan akan menyebabkan pergeseran kurva penawaran atau kurva permintaan atau keduanya. Terdapat empat pergeseran yang mungkin terjadi,

E

Jumlah Harga

Excess supply

Excess demand

P1

Pe

P2

S


(1)

103

Lampiran 16. Pendugaan Koefisien Model dengan Metode OLS pada Model

Persamaan Harga Tomat

Dependent Variable: LNP_TOMAT Method: Least Squares

Date: 05/10/11 Time: 05:27 Sample (adjusted): 2 1872

Included observations: 1871 after adjustments

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. LNP_TOMAT(-1) 0.970257 0.005549 174.8505 0.0000 LNQ_TOMAT -0.010060 0.005751 -1.749120 0.0804 C 0.283935 0.056764 5.002026 0.0000 R-squared 0.946206 Mean dependent Var 8.059073 Adjusted R-squared 0.946148 S.D. dependent Var 0.445087 S.E. of regression 0.103287 Akaike info criterion -1.701014 Sum squared resid 19.92809 Schwarz criterion -1.692140 Log likelihood 1594.299 Hannan-Quinn criter. -1.697745 F-statistic 16428.55 Durbin-Watson stat 2.157215 Prob(F-statistic) 0.000000


(2)

104

Lampiran 17. Ringkasan Pemilihan Model Terbaik untuk Komoditas Tomat

Koef

ARCH (1)

ARCH (2) ARCH (3)

GARCH

(1,1)

GARCH

(2,1)

GARCH

(3,1)

C

0.009096

0.008797

0.008395

0.000506

0.000393

0.000428

1

0.154696

0.154566

0.121727

0.079162

0.144668

0.139718

2

-

0.029221

0.030408

-

-0.076373

-0.093729

3

-

-

0.066748

-

-

0.026337

1

-

-

-

0.876343

0.897884

0.890565

2

-

-

-

-

-

-

3

-

-

-

-

-

-

AIC

-1.726955

-1.728558

-1.731172

-1.782461

-1.784220

-1.783928

SC

-1.712166

-1.710810

-1.710467

-1.764714

-1.763514

-1.760264

Koef

GARCH

(1,2)

GARCH

(2,2)

GARCH

(3,2)

GARCH

(1,3)

GARCH

(2,3)

GARCH

(3,3)

C

0.000752

0.000475

6.99E-05

0.001129

0.001076

0.001067

1

0.120923

0.144569

0.147156

0.165317

0.158064

0.156034

2

-

-0.062800

-0.236186

-

0.001528

-0.006921

3

-

-

0.100083

-

-

0.019582

1

0.194664

0.719025

1.815798

0.144177

0.145966

0.178175

2

0.618362

0.158185

-0.832834

-0.104722

-0.109894

-0.180782

3

-

-

-

0.693899

0.705800

0.738961

AIC

-1.784627

-1.783521

-1.787221

-1.803686

-1.802597

-1.804069


(3)

105

Lampiran 18. Model GARCH (1,1) untuk Komoditas Tomat

Dependent Variable: P

Method: ML - ARCH (Marquardt) - Normal distribution Date: 06/08/11 Time: 16:28

Sample (adjusted): 2 1872

Included observations: 1871 after adjustments Convergence achieved after 18 iterations Presample variance: backcast (parameter = 0.7) GARCH = C(4) + C(5)*RESID(-1)^2 + C(6)*GARCH(-1)

Variable Coefficient Std. Error z-Statistic Prob. P(-1) 0.975501 0.004177 233.5145 0.0000 S -0.003973 0.003559 -1.116362 0.2643 C 0.215384 0.039412 5.464990 0.0000

Variance Equation

C 0.000506 8.08E-05 6.256933 0.0000 RESID(-1)^2 0.079162 0.007443 10.63639 0.0000 GARCH(-1) 0.876343 0.011399 76.87890 0.0000 R-squared 0.946158 Mean dependent var 8.059073 Adjusted R-squared 0.946014 S.D. dependent var 0.445087 S.E. of regression 0.103415 Akaike info criterion -1.782461 Sum squared resid 19.94571 Schwarz criterion -1.764714 Log likelihood 1673.493 Hannan-Quinn criter. -1.775923 F-statistic 6554.741 Durbin-Watson stat 2.163497 Prob(F-statistic) 0.000000


(4)

106

Lampiran 19. Hasil Pengujian Galat Terbakukan Jarque-Bera pada Komoditas

Tomat

0

100

200

300

400

500

-6

-4

-2

0

2

4

6

Series: Standardized Residuals

Sample 2 1872

Observations 1871

Mean

-0.012048

Median

-0.005224

Maximum

7.342743

Minimum

-5.891026

Std. Dev.

1.000202

Skewness 0.479597

Kurtosis

9.201339

Jarque-Bera 3069.739

Probability

0.000000


(5)

107

Lampiran 20. Hasil Pengujian ARCH-LM untuk Model Terbaik ARCH-GARCH

pada Komoditas Tomat

Heteroskedasticity Test: ARCH

F-statistic 0.128381 Prob. F(1,1868) 0.7202 Obs*R-squared 0.128510 Prob. Chi-Square(1) 0.7200

Test Equation:

Dependent Variable: WGT_RESID^2 Method: Least Squares

Date: 06/15/11 Time: 17:34 Sample (adjusted): 3 1872

Included observations: 1870 after adjustments

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. C 1.008493 0.070108 14.38481 0.0000 WGT_RESID^2(-1) -0.008290 0.023137 -0.358304 0.7202 R-squared 0.000069 Mean dependent Var 1.000199 Adjusted R-squared -0.000467 S.D. dependent Var 2.861008 S.E. of regression 2.861676 Akaike info criterion 4.941761 Sum squared resid 15297.40 Schwarz criterion 4.947679 Log likelihood -4618.546 Hannan-Quinn criter. 4.943941 F-statistic 0.128381 Durbin-Watson stat 1.999446 Prob(F-statistic) 0.720157


(6)

108

Lampiran 21. Perhitungan VaR untuk Komoditas Tomat

Indikator

Komoditas Tomat Periode ke

1

7

14

W

Rp. 2.500.000,00

Rp. 2.500.000,00

Rp. 2.500.000,00

t+1

0,094

0,094

0,094

Z

1,645

1,645

1,645