12 ketidakpastian atas pendapatan yang akan diterima dan merugikan bagi petani
yang mengusahakan ketiga komoditas tersebut. Dari data harga kentang, kubis dan tomat di tingkat petani dan pedagang
grosir Pasar Induk Kramat Jati cenderung mengalami fluktuasi yang cukup tinggi, kondisi ini dapat dilihat dari selisih antara harga tertinggi dengan harga terendah
yang memiliki nilai rupiah yang cukup besar. Hal ini menunjukkan adanya risiko yang ditanggung oleh pihak-pihak terkait terutama oleh petani dan pedagang yang
mengusahakan ketiga komoditas tersebut dalam memperoleh pendapatan. Dari permasalahan di atas, maka dapat dilakukan pengkajian dalam penelitian ini:
1. Mengapa harga sayuran mengalami fluktuasi? dan apa saja faktor-faktor yang menyebabkan fluktuasi harga sayuran?
2. Bagaimana alternatif strategi yang diperlukan untuk mengurangi risiko harga sayuran?
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan dalam melakukan penelitian ini adalah: 1. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi fluktuasi harga sayuran.
2. Menganalisis altenatif strategi yang diperlukan untuk mengurangi risiko harga sayuran.
1.4 Kegunaan Penelitian
1. Sebagai bahan pertimbangan bagi pihak-pihak yang terkait terutama petani dalam menangani risiko harga sayuran.
2. Bagi pembaca, diharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan informasi kepada pihak-pihak yang berkepentingan dan sebagai bahan perbandingan
untuk penelitian selanjutnya.
1.5 Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini dibatasi pada analisis risiko harga sayuran khususnya komoditas kentang, kubis, dan tomat. Analisis risiko harga sayuran menggunakan data time
series dari bulan Januari 2006 sampai Februari 2011 yang diperoleh dari Pasar
Induk Kramat Jati. Variabel yang digunakan dalam pengolahan data meliputi
13 harga harian komoditas rupiah per kilogram, pasokan harian dalam satuan ton,
dan khusus untuk komoditas kentang dengan menambah permintaan harian dalam satuan ton. Model ini dibangun dengan menggunakan angka nominal
yang diperoleh dari Pasar Induk Kramat Jati.
14
II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Perkembangan Produksi Sayuran di Indonesia
Sayuran merupakan produk hortikultura yang mengalami tingkat fluktuasi harga yang tinggi karena sifatnya yang perishable. Hal ini menunjukkan bahwa
ketidakseimbangan antara volume pasokan dan kebutuhan konsumen lebih sering terjadi pada komoditas sayuran dimana transmisi harga sayuran relatif rendah
dibanding buah dan komoditas pangan lain Irawan, 2007. Khusus untuk pasar kentang yang terintegrasi akan membantu produsen dan konsumen, karena rantai
pasokan yang ada dapat mentransmisikan sinyal harga secara benar. Sebagai konsekuensi dari kondisi ini, konsumen di pasar tertentu tidak perlu membayar
lebih mahal dan produsen dapat melakukan spesialisasi berdasarkan keunggulan komparatifnya Adiyoga, et al. 2006. Dilihat dari usahatani komoditas kentang
dan kubis yang memiliki keunggulan komparatif dan kompetitif, akan lebih menguntungkan untuk meningkatkan produksi dalam negeri dibandingkan impor.
Meskipun usahatani kentang dan kubis di lokasi penelitian memiliki keunggulan komparatif, tetapi apabila tidak dilakukan beberapa langkah pembenahan maka
tidak akan dapat mewujud dalam keunggulan kompetitif, terutama orientasi untuk pasar ekspor. Untuk orientasi substitusi impor, kondisinya rawan karena petani
mengalami disinsentif dalam berusahatani kentang dan kubis Saptana, et al. 2002. Di dalam usahtani kubis, faktor produksi ditingkat petani penggunaan
pupuk ZA dan KCl belum efisien sehingga perlu ditingkatkan penggunannya Nurmalina dan Ameriana, 1995. Menurut Karmina dan Aisyah 2008 luas
lahan yang diusahakan responden untuk usahatani tomat dan mentimun masih rendah dibandingkan dengan luas lahan optimal yang dapat di capai oleh
responden dengan tenaga kerja yang tersedia. Luas lahan optimal tersebut dapat dicapai responden jika melakukan peningkatan luas lahan ekstensifikasi
pertanian. Menurut Irawan 2007 yang menganalisis fluktuasi harga, transmisi harga
dan marjin pemasaran sayuran dan buah. Alat analisis yang digunakan adalah analisis kuantitatif dengan menggunakan koefisien Variasi untuk menganalisis
fluktuasi harga. Analisis lebih fokus pada aspek-aspek yang hanya dilakukan pada
15 komoditas hortikultura unggulan nasional yaitu bawang merah, cabai, kentang,
kubis, pisang dan jeruk. Disamping itu, analisis yang sama juga dilakukan untuk komoditas padi dan palawija sebagai pembanding. Komoditas palawija yang
dimaksud meliputi jagung, kacang tanah dan ubi kayu. Hasil penelitian menyatakan bahwa fluktuasi harga sayuran umumnya relatif
tinggi dibanding buah, padi dan komoditas palawija. Hal ini menunjukkan bahwa ketidakseimbangan antara volume pasokan dan kebutuhan konsumen lebih sering
terjadi pada komoditas sayuran. Transmisi harga sayuran relatif rendah 49 hingga
55 persen dibanding buah dan komoditas pangan lain 65 hingga 81 persen. Hal ini menunjukkan bahwa pasar sayuran di tingkat petani cenderung bersifat
monopsonioligopsoni. Konsekuensi adanya kekuatan monopsoni tersebut adalah
marjin pemasaran sayuran cenderung tinggi dibanding buah dan komoditas pangan lain, sebaliknya harga yang diterima petani cenderung rendah 52-57
persen dari harga konsumen pada sayuran, dan 72-86 persen pada buah, padi dan
palawija.
Faktor lain yang menyebabkan rendahnya harga yang diterima petani sayuran adalah ketidakmampuan petani menahan penjualannya untuk
mendapatkan harga yang lebih tinggi dan hal ini dapat didorong oleh tiga faktor yaitu desakan kebutuhan modal usahatani, keterbatasan teknologi efisien yang
dapat diterapkan petani untuk mempertahankan kesegaran sayuran, dan keterbatasan sumber pendapatan diluar usahatani sayuran.
Adiyoga, et al. 2006 yang melakukan penelitian integrasi pasar kentang di Indonesia analisis korelasi dan kointegrasi, yang menggunakan pendekatan
korelasi statik untuk mengukur integrasi pasar spasial produk-produk pertanian dan pendekatan two step Engle-Granger EG. Hasil penelitian menyatakan
bahwa koefisien korelasi bukan indikator yang konsisten atau tegas untuk menentukan integrasi pasar. Korelasi bivariat yang tinggi antara dua pasar yang
tidak melakukan perdagangan satu sama lain masih tetap dimungkinkan, jika harga-harga di setiap pasar berkorelasi tinggi melalui hubungan harga dan
perdagangan dengan suatu pasar destinasi gabungan pasar ketiga. Hasil penelitian menyarankan agar pendekatan korelasi sebagai alat diagnosa integrasi
pasar, sebaiknya digunakan secara hati-hati karena berbagai bukti kelemahan yang melekat pada pendekatan tersebut. Penggunaan analisis kointegrasi dengan
16 pendekatan two step Engle-Granger terhadap data serial harga harian, mingguan
dan bulanan secara konsisten mengindikasikan bahwa pasar kentang di Jakarta, Bandung, Sumatera Utara dan Singapura terintegrasi. Kointegrasi dalam hal ini
merupakan implikasi statistik dari adanya hubungan jangka panjang antara peubah-peubah ekonomi harga. Hubungan jangka panjang tersebut mengandung
arti bahwa peubah harga bergerak bersamaan sejalan dengan waktu. Pasar kentang yang terintegrasi seperti ini akan banyak membantu produsen dan konsumen,
karena rantai pasokan yang ada dapat mentransmisikan sinyal harga secara benar. Sebagai konsekuensi dari kondisi ini, konsumen di pasar tertentu tidak perlu
membayar lebih mahal dan produsen dapat melakukan spesialisasi berdasarkan keunggulan komparatifnya. Hal ini pada gilirannya akan mengarah pada
penggunaan sumber daya yang lebih efisien. Saptana, et al. 2002 yang meneliti tentang analisis keunggulan komparatif
dan kompetitif komoditas kentang dan kubis di Wonosobo Jawa Tengah dengan menggunakan alat analisis matrik Policy Analysis Matrix PAM. Berdasarkan
analisis biaya dan keuntungan secara private menunjukkan bahwa usahatani komoditas kentang dan kubis di Wonosobo, baik pada MH maupun MK secara
private menguntungkan. Sementara itu, analisis biaya dan keuntungan secara
sosial atau ekonomik menunjukkan bahwa pengusahaan usahatani komoditas kentang dan kubis secara ekonomik menguntungkan. Besarnya keuntungan
private yang dinikmati oleh petani, baik pada komoditas kentang maupun kubis adalah lebih rendah dari keuntungan ekonomiknya. Fenomena tersebut merupakan
indikasi bahwa harga input yang dibayar petani lebih tinggi dan atau harga output yang diterima oleh petani lebih rendah dari harga sosial. Artinya petani di lokasi
penelitian Wonosobo mengalami disinsentif dalam memproduksi komoditas kentang maupun kubis.
Hasil analisis menunjukkan bahwa usahatani komoditas kentang dan kubis memiliki keunggulan komparatif dan kompetitif yang ditunjukkan oleh sebagian
besar nilai koefisien DRC 1 dan PCR1. Artinya untuk menghasilkan satu- satuan nilai tambah pada harga sosial dan privat diperlukan penggunaan sumber
daya domestik lebih kecil dari satu. Sehingga untuk lokasi penelitian Wonosobo, Jawa Tengah akan lebih menguntungkan untuk meningkatkan produksi dalam
17 negeri dibandingkan impor.
Meskipun usahatani kentang dan kubis di lokasi penelitian memiliki keunggulan komparatif, tetapi apabila tidak dilakukan
beberapa langkah pembenahan maka tidak akan dapat mewujud dalam keunggulan kompetitif, terutama jika orientasinya adalah pasar ekspor. Untuk
orientasi substitusi impor, kondisinya rawan karena petani mengalami disinsentif dalam berusahatani kentang dan kubis. Jika kondisi disinsentif tersebut
berlangsung permanen dalam jangka waktu dua sampai tiga tahun mendatang, barangkali pengusahaan komoditas kentang dan kubis di lokasi yang diteliti tidak
akan berkelanjutan. Nurmalina dan Ameriana 1995 dalam penelitiannya mengenai efisiensi
penggunaan faktor produksi dalam usahatani kubis ditingkat petani, yang menggunakan fungsi produksi Cobb-Douglas. Terdapat delapan Variabel yang
mempengaruhi produksi kubis, antara lain bibit, tenaga kerja, ZA, TSP, KCl, pupuk kandang, insektisida, dan fungisida. Diantara beberapa input yang
berpengaruh terhadap fungsi produksi kubis adalah pupuk KCl dengan nilai elastisitas sebesar 0,19 dan ZA sebesar 0,65 yang menunjukkan pengaruh nyata.
Berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan, ternyata penggunaan pupuk ZA dan KCl belum efisien sehingga perlu ditingkatkan penggunannya.
Menurut Karmina dan Aisyah 2008 yang melakukan penelitian mengenai optimalisasi lahan usahatani tomat dan mentimun dengan kendala tenaga kerja
pendekatan program linier. Penggunaan tenaga kerja terbesar pria untuk komoditas tomat terjadi pada bulan Februari karena sebagian besar responden
melakukan kegiatan pengolahan lahan dan perempuan terjadi pada bulan Maret, sedangkan untuk mentimun penggunaan tenaga kerja pria dan perempuan terbesar
terjadi pada bulan April. Luas lahan optimal untuk komoditas tomat dan mentimun adalah satu hektar. Rata-rata lahan yang dimiliki responden untuk
komoditas tomat sebesar 0,43 hektar dan untuk komoditas mentimun sebesar 0,38 hektar. Luas lahan yang diusahakan responden masih lebih rendah dibandingkan
dengan luas lahan optimal yang dapat di capai oleh responden dengan tenaga kerja yang tersedia. Luas lahan optimal tersebut dapat di capai responden jika
melakukan peningkatan luas lahan ekstensifikasi pertanian.
18
2.1.1 Produksi Kentang di Indonesia
Tanaman kentang Solanum tuberosum L. merupakan tanaman semusim yang berbentuk semak, termasuk Divisi Spermatophyta, Subdivisi Angiospermae,
Kelas Dicotyledonae, Ordo Tubiflorae, Famili Solanaceae, Genus Solanum, dan Spesies Solanum tuberosum L. Beukema, 1977. Kentang memiliki umbi batang
yang dapat dimakan dan disebut kentang pula. Umbi kentang sekarang telah menjadi salah satu makanan pokok penting di Eropa walaupun pada awalnya
didatangkan dari Amerika Selatan Peru, Chili, Bolivia, dan Argentina serta beberapa daerah Amerika Tengah. Penjelajah Spanyol dan Portugis pertama kali
membawa ke Eropa dan mengembangbiakkan tanaman ini pada abad 17. Dengan cepat menu baru ini tersebar di seluruh bagian Eropa. Dalam sejarah migrasi
orang Eropa ke Amerika, tanaman ini pernah menjadi pemicu utama perpindahan bangsa Irlandia ke Amerika pada abad ke-19, di kala terjadi wabah penyakit umbi
di daratan Irlandia yang diakibatkan oleh jenis jamur yang disebut ergot
11
. Masuknya tanaman kentang di Indonesia tidak diketahui dengan pasti, tetapi
pada tahun 1794 tanaman kentang ditemukan telah ditanam di sekitar Cisarua Kabupaten Bandung dan pada tahun 1811 tanaman kentang telah tersebar luas di
Indonesia, terutama di daerah-daerah pegunungan di Aceh, Tanah Karo, Sumatera Barat, Bengkulu, Sumatera Selatan, Minahasa, Bali, dan Flores. Di Jawa daerah-
daerah pertanaman kentang berpusatdi Pangalengan, Lembang, dan Pacet Jawa Barat, Wonosobo dan Tawangmangu Jawa Tengah, serta Batu dan Tengger
Jawa Timur. Kentang termasuk tanaman yang dapat tumbuh di daerah tropika dan
subtropika, dapat tumbuh pada ketinggian 500 sampai 3000 m di atas permukaan laut, dan yang terbaik pada ketinggian 1300 m di atas permukaan laut. Tanaman
kentang dapat tumbuh baik pada tanah yang subur, mempunyai drainase yang baik, tanah liat yang gembur, debu atau debu berpasir. Tanaman kentang toleran
terhadap pH pada selang yang cukup luas, yaitu 4,5 sampai 8,0, tetapi untuk pertumbuhan yang baik dan ketersediaan unsur hara, pH yang baik adalah 5,0
sampai 6,5. Tanaman kentang yang ditanam pada pH kurang dari 5,0 akan menghasilkan umbi yang bermutu jelek. Di daerah-daerah yang akan ditanam
11
http:www.wikipedia.com [25 Mei 2011]
19 kentang yang menimbulkan masalah penyakit kudis, pH tanah diturunkan menjadi
5,0 sampai 5,2
12
.
2.1.2 Produksi Kubis di Indonesia
Secara biologi, tumbuhan ini adalah dwimusim biennial dan memerlukan vernalisasi untuk pembungaan. Apabila tidak mendapat suhu dingin, tumbuhan ini
akan terus tumbuh tanpa berbunga. Setelah berbunga, tumbuhan mati. Kubis termasuk dalam Kerajaan Plantae, Divisi Magnoliophyta, Kelas Magnoliopsida,
Ordo Brassicales, Famili Brassicaceae, Genus Brassica, Spesies B. Oleracea, nama binomial Brassica oleracea L
13
. Kubis adalah komoditas semusim yang memiliki ciri khas membentuk krop.
Pertumbuhan awal ditandai dengan pembentukan daun secara normal. Namun semakin dewasa daun-daunnya mulai melengkung ke atas hingga akhirnya
tumbuh sangat rapat. Pada kondisi ini petani biasanya menutup krop dengan daun- daun di bawahnya supaya warna krop makin pucat. Apabila ukuran krop telah
mencukupi maka kubis siap dipanen. Kubis, kol, kobis, atau kobis bulat adalah nama yang diberikan untuk
tumbuhan sayuran daun yang populer. Tumbuhan dengan nama ilmiah Brassica oleracea L. Kelompok Capitata ini dimanfaatkan daunnya untuk dimakan. Daun
ini tersusun sangat rapat membentuk bulatan atau bulatan pipih, yang disebut krop, kop atau kepala capitata berarti berkepala. Kubis berasal dari Eropa
Selatan dan Eropa Barat dan, walaupun tidak ada bukti tertulis atau peninggalan arkeologi yang kuat, dianggap sebagai hasil pemuliaan terhadap kubis liar B.
oleracea Var. sylvestris. Nama kubis diambil dari bahasa Perancis, chou cabus harafiah berarti kubis kepala, yang diperkenalkan oleh sebagian orang Eropa
yang tinggal di Hindia-Belanda. Nama kol diambil dari bahasa Belanda kool. Kubis menyukai tanah yang sarang dan tidak becek. Meskipun relatif tahan
terhadap suhu tinggi, produk kubis ditanam di daerah pegunungan 400 m dpl ke atas di daerah tropik. Di dataran rendah, ukuran krop mengecil dan tanaman
sangat rentan terhadap ulat pemakan daun Plutella. Karena penampilan kubis
12
Ibid . Hlm. 18
13
Ibid . Hlm. 18
20 menentukan harga jual, kerap dijumpai petani Indonesia melakukan
penyemprotan tanaman dengan insektisida dalam jumlah berlebihan agar kubis tidak berlubang-lubang akibat dimakan ulat
14
.
2.1.3 Produksi Tomat di Indonesia
Seluruh anggota dari genus Lycopersicon merupakan tanaman setahun atau tanaman tahunan yang berumur pendek, tanaman berupa semak, diploid dengan
kromosom somatis yang berjumlah 24. Sistematika tanaman tomat menurut para ahli botani adalah Divisi Spermatophyta, Subdivisi Angiospermae, Kelas
Dicotyledonae, Ordo Tubiflorae, Famili Solanaceae, Genus Lycopersicon, Species: Lycopersicon esculentum Mill
15
. Menurut sejarahnya tanaman tomat berasal dari Amerika, yaitu daerah
Andean yang merupakan bagian dari negara-negara Bolivia, Chili, Colombia, Equador, dan Peru. Sejalan dengan penemuan benua Amerika, tanaman tomat
juga kemudian dikenal di Eropa. Di Italia, tanaman ini dikenal sebagai tanaman yang buahnya berwarna merah, sedangkan di Eropa dikenal sebagai tanaman yang
buahnya berjumlah banyak. Tomat dapat dikategorikan sebagai tanaman sayuran utama yang semakin
populer keberadaannya sejak abad terakhir. Bagian yang dikonsumsi dari tanaman tersebut adalah bagian buahnya. Selain memiliki rasa yang enak, buah tomat juga
merupakan sumber vitamin A dan C yang sangat baik. Disamping itu, kandungan lycopenenya sangat berguna sebagai antioksidan yang dapat mencegah
perkembangan penyakit kanker. Akhir-akhir ini konsumsi tomat di negara-negara maju semakin meningkat
dan sering diasosiasikan sebagai luxurious crop. Contohnya, di Israel buah tomat merupakan komoditas yang sangat penting bagi konsumen, sehingga seringkali
digunakan sebagai acuan dalam menghitung indeks harga konsumen. Di negara- negara sedang berkembang tomat sudah mulai menjadi sayuran yang penting,
namun orientasi petani dalam mengusahakannya masih lebih mengacu pada peningkatan produksi dibandingkan dengan peningkatan kualitas. Tomat biasanya
14
Ibid . Hlm. 18
15
Ibid . Hlm. 18
21 ditanam di dataran tinggi diatas 1000 m dpl seperti daerah Cianjur, Lembang,
Sukabumi, dan daerah lainnya
16
.
2.2 Perkembangan Pemasaran Sayuran di Indonesia 2.2.1 Pemasaran Kentang di Indonesia
Pola pemasaran kentang cenderung bersifat musiman. Panen raya kentang terjadi ada bulan April, Juli-Agustus, dan November. Pada musim-musim raya
tersebut volume perdagangan dapat mencapai 2 tonhari, sedang pada bulan-bulan biasa hanya mencapai 500 kilogramhari. Biasanya pada musim kemarau petani
mengurangi jumlah tanaman pada lahan yang sama, untuk mengurangi risiko kegagalan panen yang disebabkan oleh musim. Di tingkat pembelian dari petani,
kentang belum diklasifikasikan menurut mutubesar kecilnya kentang. Pada umumnya para pedagangagen kentang membeli kentang dari petani di kebun,
dengan harga sama untuk semua mutu secara campuran. Posisi petani dalam menentukan harga sangat rendah. Pada waktu panen langsung dipotong dengan
jumlah pinjaman, dan petani sama sekali tidak mengetahui berapa harga kentang di pasar. Petani hanya dapat menerima harga yang ditetapkan pedagang Hastuti,
2001. Menurut Sihombing 2005 petani kentang di daerah penelitian, berladang
kentang dengan luas efektif 0,21 ha dengan jarak tanam 20 x 60 cm atau 40 x 70 cm. Dengan demikian jumlah populasinya adalah 1.155 rumpun tiap hektar.
Waktu yang dibutuhkan dari penanaman sampai panen sekitar 3,5 bulan. Produktivitas rata-rata 10.337,84 kilogramha. Biaya produksi yang diperlukan
adalah Rp 19.230.600ha dengan rataan harga yang diterima Rp 2.900kilogram maka penerimaan total adalah Rp. 29.979.000hathn. Dengan demikian besarnya
pendapatan bersih petani produsen adalah Rp. 10.748.400 hathn. Pedagang desaranting, umumnya pelaku pemasaran ini mempunyai tipe
yang sangat aktif mencari pasokan kentang sampai ke ladang petani. Pedagang ini berkedudukan di desa, mereka dapat bertindak sendiri, namun seringkali sudah
menjadi perpanjangan tangan dari pengumpul dengan berbekal modal yang
16
Ibid
.
Hlm. 18
22 diberikan oleh pengumpul, dapat juga berdasarkan permintaan pedagang ranting
atau pemberian pedagang pengumpul Sihombing, 2005. Pedagang Pengumpul merupakan induk pedagang ranting desa yang
berkedudukan atau berasal dari kecamatan sendiri atau lainnya. Fungsi tataniaga yang diperankan mereka umumnya adalah sortasi, pengemasan dalam keranjang
dan transportasi, baik dari maupun ke pedagang besar antar kota. Pedagang Besar yang terlibat dalam tataniaga kentang terdiri atas tiga, yaitu pedagang besar antar
kota, pedagang besar kota Medan dan pedagang besar propinsi. Pedagang besar ini memiliki peran yang sangat besar dalam pembentukan harga kentang. Tipe
pedagang besar ini ada dua macam. Pertama, pedagang yang langsung berhubungan dengan petani produsen dan pedagang yang hanya berhubungan
dengan pedagang pengumpul di kecamatan. Agen Eksportir dan Eksportir Baik agen eksportir maupun eksportir umumnya berkedudukan di iibukota propinsi dan
kabupaten. Untuk wilayah Karo dan Dairi umumnya mereka berdomisisli di Brastagi dan Medan. Rata-rata volume eksport adalah 670 tonbulan dengan
negara tujuan Singapura dan Malaysia. Fungsi utama yang dijalankan adalah
grading, penyimpanan dan pengemasan Sihombing, 2005. Pengolah pada mata rantai tataniaga kentang bentuk olahan kripik di Medan Propinsi Sumatera Utara
pada tahun 2002 tercatat berjumlah 9 pabrik, namun banyak usaha rumah tangga yang belum tercatat. Kapasitas produksi keripik kentang baru mencapai 51,25 ton
setara dengan 128,125 ton bahan baku kentang. Dengan demikian, retention index komoditas ini berkisar sebesar 99,95. Sedangkan produksi keseluruhan kentang
segar di Propinsi Sumatera Utara mencapai 252.451 ton.
Ada tiga rantai pemasaran kentang Gambar 3, pertama, dari petani ke pedagang pengumpul – pedagang besar – agen eksportir, eksportir selanjutnya
diekspor melalui pelabuhan Belawan. Kedua, mulai dari petani produsen ke pusat pasar, tingkat kabupaten dilanjutkan ke pusat pasar propinsi Medan, kemudian
ke pengecer dan akhirnya ke konsumen akhir. Ketiga, dari petani produsen ke pedagang pengumpul desa atau ranting yang bermuara ke pasar kabupaten. Rantai
pemasaran sebagai bahan baku kripik cukup sederhana. Pabrik pengolah memperoleh bahan baku dari pedagang pengumpul. Hasil olahannya berupa kripik
didistribusikan melalui toko pengecer baru ke konsumen. Pabrik juga melakukan
23 penjualan langsung ke konsumen, misalnya melalui forum pameran, dan lain-lain
Sihombing, 2005. Skema saluran tataniaga kentang di Sumatera Utara, disajikan pada Gambar 3.
Gambar
3. Skema Saluran Tataniaga Kentang di Sumatera Utara
Sumber: Sihombing, 2005
2.2.2 Pemasaran Kubis di Indonesia
Berdasarkan penelitian Agustian et al. 2005 mengenai tujuan dan pertimbangan pemasaran kubis dari petani hingga konsumen Gambar 4. Pada
jalur pemasaran komoditas kubis di lokasi penelitian Kabupaten Bandung, Kabupaten Garut dan Kabupaten Karo, petani melakukan pemasaran kubis cukup
berVariasi yaitu melalui pedagang pengumpul desa, pedagang pengumpul tingkat kecamatan, dan pedagang besar atau Bandar. Rantai Pemasaran Kubis di Lokasi
Penelitian Kabupaten Garut, Kabupaten Bandung dan Kabupaten Karo, disajikan dalam Gambar 4.
Sub-Sistem Produksi
Sub-Sistem Pemasaran
Sub-Sistem Pra Produksi
Dalam Negeri
Sub-Sistem Pengolahan Kentang Segar
Kripik Dalam
Negeri Luar
Negeri Pedagang desa
Eksporti Pengecer
Merk Dagang
Pdg Pdg Besar
Eksportir Grosir
Grosir Pengecer
Pengecer Konsumen
Sumatra Utara
Konsumen Jakarta
Jawa Konsumen
Luar Negeri
24 Gambar 4. Rantai Pemasaran Kubis di Lokasi Penelitian Kabupaten Garut,
Kabupaten Bandung dan Kabupaten Karo
Sumber: Agustian et al., 2005
Pedagang pengumpul desa di ketiga lokasi penelitian mempunyai kaki tangan yang dikenal dengan sebutan “penyiar” di Kabupaten Garut dan “agen” di
Kabupaten Karo, yang bertugas memberikan informasi mengenai petani yang akan panen dan berapa jumlah produk yang dihasilkan. Berdasarkan Gambar 9
dapat dilihat bahwa alur pemasaran komoditas kubis dari petani ke konsumen akhir cukup panjang. Hal ini tentunya akan sangat terpengaruh oleh adanya
perbedaan selisih harga yang ada untuk mendorong penjualan tersebut yang dilakukan oleh pedagang pengumpul desapenyiaragen. Pedagang pengumpul
tingkat kecamatan atau kabupaten selanjutnya dapat menjual ke pedagang di pasar tradisional yaitu pasar induk Pasar Induk Caringin, Gedebage, Kramat Jati,
Cibitung, Tanah Tinggi, Bogor, sedangkan untuk pedagang besar jangkauan pemasarannya dapat langsung ke pasar induk, atau ke supplier.
Sementara itu, pola pemasaran kubis dari petani ke pedagang di Provinsi Sumatera Utara Agustian et al., 2005 adalah sebagai berikut :
a. Petani umumnya menjual langsung kepada pedagang di lahan untuk menaksir produksi dan dilakukan tawar menawar harga yang disebut dengan pola
lelang. Penjualan berlangsung beberapa hari sebelum panen dilakukan. b. Petani terikat untuk menjual langsung ke pedagang yang telah memberi
pinjaman modal. Pola ini umum terjadi pada pedagang yang memasok kubis ke Batam, untuk seterusnya di ekspor ke Malaysia dan Singapura.
Pedagang besarbandar
Pedagang pengumpul kecamatankabupaten
Pedagang pengumpul desa
Petani Pdg Antar
pulau Supplier
PI. Caringin PI. Bitung
PI. Tanah Tinggi
PI. Kramat Jati
Pdg Luar Jawa Luar Negeri
Supermarket
Pdg eceran dr luar daerah
Konsumen
25 c. Petani menjual ke pasar terdekat, pada pola ini petani memanen dan
mengangkut sendiri kubisnya ke pasar terdekat. Petani yang memilih pola ini biasanya petani yang produksinya sedikit, maksimal satu ton.
2.2.3 Pemasaran Tomat di Indonesia
Seperti halnya pada komoditas sayuran lainnya, kegiatan pemasaran tomat bertujuan untuk memindahkan produk dari tangan produsen ke tangan konsumen.
Pada umumnya kegiatan produksi berlangsung di daerah pedesaan, sementara daerah konsumen terletak di perkotaan. Hal ini memberikan gambaran besarnya
kontribusi lembaga-lembaga pemasaran dalam menjembatani produsen dan konsumen. Hampir seluruh sektor pemasaran tomat ditangani oleh pihak swasta
dan intervensi pemerintah dalam hal ini relatif minimal, khusus terbatas pada penyediaan infrastruktur. Oleh karena itu, pasar tomat seringkali dianggap
beroperasi berdasarkan kekuatan penawaran dan permintaan. Dibandingkan komoditas sayuran lainnya seperti kentang, tomat termasuk
sayuran yang mudah rusak. Oleh karena itu jarang sekali petani tomat yang mempunyai gudang penyimpanan. Pada umumnya, petani menjual hasil produksi
segera setelah panen. Cara penjualan tomat yang paling sering dilakukan oleh petani adalah dengan cara menimbang berat kiloan dan tebasan. Penjualan secara
ditimbang dilakukan apabila panen telah selesai. Penentuan harga jual dilakukan berdasarkan harga kiloan yang berlaku. Hampir seluruh petani di sentra produksi
Lembang dan Pangalengan menggunakan sistem penjualan tersebut. Tebasan merupakan cara penjualan yang dilakukan berdasarkan taksiran hasil produksi.
Transaksi dilakukan menjelang panen, sedangkan biaya pemeliharaan selanjutnya dibebankan kepada pembeli. Sistem tebasan ini banyak dilakukan oleh petani tomat
di daerah Garut Jawa Barat Adiyoga et al., 2004. Sebelum menjual hasil panennya, petani biasa melakukan sortasi
memisahkanmemilih tomat yang marketabledan non-marketable dan grading pada umumnya berdasarkan ukuran berat tomat. Grading atau pengkelasan
ternyata banyak memberikan keuntungan baik bagi produsen maupun konsumen tomat, antara lain: 1 memudahkan pembeli untuk mendapatkan tomat sesuai
dengan kualitas yang diinginkan, 2 dapat meningkatkan keperca-yaan konsumen,
26 3 memberikan kepuasan kepada konsumen, dan 4 bagi produsen dapat menamba
nilai keuntungan yang cukup besar. Berdasarkan Standarisasi Nasional Indonesia SNI, grading pada komoditas tomat dapat dibedakan menjadi tiga kelas Adiyoga,
et al . 2004 yaitu :
Kelas A : SPL = spesial besar besar 150 gram Kelas B : GH = menengah 100 – 150 gram
Kelas C : TO = kecil 100 gram Secara umum harga tomat untuk masing-masing kelas berbeda, semakin
tinggi kelas grading harga akan semakin mahal. Namun demikian, generalisasi hubungan harga antar kelas, sukar untuk ditetapkan, karena terlalu banyaknya
kemungkinan kombinasi perubahan penawaran dan permintaan berdasarkan pengkelasan ini. Terlepas dari hal tersebut, sebagian besar petani dan pedagang
mengindikasikan bahwa perbedaan harga antar kelas secara proporsional
meningkat menurun sejalan dengan peningkatanpenurunan harga tomat. Beberapa tipe saluran pemasaran yang menggerakkan tomat dari sentra
produksi ke daerah konsumsi adalah sebagai berikut Adiyoga et al., 2004: 1. Petani produsen -- Pedagang pengumpul – Konsumen lembaga
2. Petani Produsen -- Pedagang pengumpul -- Pedagang besar – Konsumen lembaga
3. Petani Produsen -- Pedagang pengumpul -- Pedagang besar -- Pedagang pengecer – Konsumen rumah tangga.
4. Petani Produsen -- Pedagang pengumpul – Pedagang besar – Pedagang besar pembantu -- Pedagang pengecer – Konsumen rumah tangga.
5. Petani produsen – pedagang pengunpul – Pedagang besar – Pedagang besar pembantu – konsumen rumah tangga.
2.3 Kajian Risiko Harga dengan Pendekatan Model ARCH-GARCH
GARCH merupakan suatu teknik permodelan data time series yang menggunakan varian masa lalu dan dari dugaan varian masa lalu tersebut
digunakan untuk melakukan forecast varian masa yang akan datang. Pada penelitian Fariyanti 2008 untuk analisis risiko produksi kentang dan kubis, Sari
2009 menganalisis risiko harga cabai merah besar, Herviyani 2009
27 menganalisis risiko harga kubis dan risiko harga bawang merah, Siregar 2009
menganalisis risiko harga DOC broiler, Sumaryanto 2009 harga eceran terigu dan gula pasir memperoleh model GARCH 1,1 yang menunjukkan bahwa
pergerakan harga dipengaruhi oleh volatilitas dan varian harga satu hari sebelumnya.
Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Siregar 2009 untuk analisis harga DOC layer dan Sumaryanto 2009 yang menganalisis harga eceran beras, cabai
merah dan bawang merah, diperoleh model ARCH 1 dimana model ARCH 1 GARCH 0 hanya dipengaruhi oleh volatilitas harga periode sebelumnya tetapi
tidak dipengaruhi oleh varian harga. Pada penelitian Sari 2009, risiko harga cabai merah keriting diperoleh model ARCH 1 GARCH 2 yang berarti bahwa
pola pergerakan harga cabai merah keriting dipengaruhi oleh volatilitas satu hari sebelumnya dan varian pada dua hari sebelumnya. Sedangkan penlitian yang
dilakukan Sumaryanto 2009 untuk harga eceran minyak goreng dan telur dapat menggunakan pendekatan ARIMA karena efek ARCH-nya tidak nyata.
Fariyanti 2008 selanjutnya meneliti mengenai perilaku ekonomi rumah tangga petani sayuran dalam menghadapi risiko produksi dan harga produk di
Kecamatan Pengalengan, Kabupaten Bandung. Komoditas sayuran yang difokuskan dalam penelitian ini adalah kentang dan kubis. Analisis risiko
produksi dilakukan dengan menggunakan model GARCH 1,1 merupakan salah satu model yang dapat mengakomodasi adanya fluktuasi atau Variasi sedangkan
analisis risiko harga menggunakan perhitungan nilai Varian. Berdasarkan hasil penelitian dapat diketahui bahwa risiko produksi pada kentang lebih tinggi
dibandingkan kubis, tetapi sebaliknya risiko harga kentang lebih rendah daripada kubis. Besarnya risiko produksi kentang diindikasikan oleh fluktuasi produksi
kentang yang disebabkan oleh risiko produksi pada musim sebelumnya dan
penggunaan input pupuk dan tenaga kerja sedangkan lahan, benih, dan obat- obatan merupakan faktor yang mengurangi risiko produksi. Sementara itu, pada
komoditas kubis justru sebaliknya dimana lahan dan obat-obatan merupakan faktor yang dapat menimbulkan risiko sedangkan benih, pupuk dan tenaga kerja
menjadi faktor yang mengurangi risiko produksi. Oleh karena itu, diversifikasi usahatani kentang dan kubis dapat dilakukan untuk memperkecil risiko produksi
28 portofolio dibandingkan jika petani melakukan spesialisasi usahatani kentang
atau kubis. Sedangkan Sari 2009 yang menganalisis risiko harga cabai merah keriting
dan cabai merah besar di Indonesia dengan menggunakan metode ARCH- GARCH dan VaR. Dari hasil analisis ARCH-GARCH didapatkan model yang
terbaik untuk menganalisis risiko harga cabai merah keriting adalah model ARCH 1 GARCH 2 yang berarti bahwa pola pergerakan harga cabai merah
keriting dipengaruhi oleh volatilitas satu hari sebelumnya dan varian pada dua hari sebelumnya. Untuk risiko harga cabai merah besar adalah model ARCH 1
GARCH 1 yang menunjukkan bahwa pergerakan harga dipengaruhi oleh volatilitas dan varian harga satu hari sebelumnya. Selanjutnya, dilakukan
perhitungan VaR dan didapatkan hasil bahwa nilai risiko cabai merah keriting lebih besar dibandingkan cabai merah besar. Hal ini disebabkan oleh faktor
tingginya volume permintaan cabai merah keriting sementara pasokan lebih berfluktuasi akibat risiko di tingkat produksi yang lebih rendah. Semakin lama
periode penjualan setelah panen maka besarnya risiko yang ditanggung oleh petani.
Menurut Herviyani 2009 yang melakukan penelitian mengenai risiko harga kubis dan bawang merah di Indonesia menggunakan ARCH-GARCH dan VaR.
Berdasarkan hasil analisis ARCH-GARCH didapatkan model yang terbaik untuk menganalisis risiko harga kubis dan risiko harga bawang merah adalah model
GARCH 1,1 yang menunjukkan bahwa tingkat risiko harga kubis dan bawang merah dipengaruhi oleh volatilitas dan varian harga satu hari sebelumnya. Artinya
peningkatan risiko harga kubis dan bawang merah periode sebelumnya, maka akan meningkatkan risiko harga kubis dan bawang merah pada periode
berikutnya. Selanjutnya, dilakukan perhitungan VaR dan didapatkan hasil bahwa risiko harga kubis lebih tinggi dibandingkan risiko harga bawang merah. Hal ini
disebabkan karakteristik dari komoditas kubis yang merupakan jenis sayuran daun yang dapat lebih cepat busuk dan mengalami penyusutan sehingga kubis tidak
dapat disimpan lebih lama untuk menunggu harga jual yang lebih tinggi. Disamping itu, komoditas kubis juga umumnya masih belum banyak digunakan
sebagai bahan baku oleh perusahaan atau industri pengolahan. Hal ini
29 mengakibatkan harga kubis dapat turun secara tajam jika terjadi kelebihan
pasokan, karena kelebihan pasokan tersebut tidak dapat langsung terserap oleh pasar.
Siregar 2009 dalam penelitiannya mengenai risiko harga Day Old Chick DOC broiler dan layer pada PT. Sierad Produce Tbk. dengan menggunakan
analisis kuantitatif dan kualitatif. Analisis kuantitatif dilakukan untuk menganalisis risiko dengan menggunakan model ARCH-GARCH dan
perhitungan VaR sedangkan analisis kualitatif dilakukan untuk mengetahui gambaran tentang manajemen perusahaan terkait dengan harga DOC pada
perusahaan tersebut. Berdasarkan hasil analisis diketahui bahwa model terbaik untuk DOC broiler adalah model ARCH 1 GARCH 1 yang berarti bahwa pola
pergerakan DOC broiler dipengaruhi oleh volatilitas dan varian harga DOC broiler periode sebelumnya, sedangkan untuk DOC layer adalah model ARCH 1
GARCH 0 DOC layer hanya dipengaruhi oleh volatilitas harga DOC layer periode sebelumnya tetapi tidak dipengaruhi oleh varian harga DOC layer.
Dilakukan perhitungan VaR menunjukkan risiko harga DOC broiler lebih besar dibandingkan dengan risiko harga DOC layer. Tingginya risiko harga jual
DOC broiler dibandingkan risiko harga jual DOC layer disebabkan karena permintaan daging ayam yang lebih berfluktuatif dibandingkan dengan
permintaan telur dan dapat pula disebabkan oleh siklus layer yang lebih lama daripada broiler.
Sumaryanto 2009, yang melakukan penelitian mengenai analisis volatilitas harga eceran beberapa komoditas pangan utama dengan model ARCH-GARCH
menyatakan bahwa dari keseluruhan hasil pendugaan yang sesuai untuk harga eceran beras, cabai merah dan bawang merah adalah ARCH 1, sedangkan untuk
harga eceran terigu dan gula pasir adalah GARCH 1,1, kecuali pada harga eceran bawang merah, bentuk sebaran h
t
harga eceran empat komoditas lainnya adalah fat tail. Hal tersebut menunjukkan bahwa volatilitas harga eceran antarjenis
komoditas pangan berbeda, secara empiris terbukti bahwa sejak reformasi harga komoditas pangan semakin volatil, stabilitas sosial politik mempengaruhi
volatilitas harga komoditas pangan, periode dan durasi puncak volatilitas harga eceran komoditas pangan antarjenis komoditas berbeda. Hasil penelitian ini
30 menunjukkan bahwa pendekatan yang lebih sesuai untuk model peramalan harga
eceran dengan data univariat untuk komoditas beras, tepung terigu, gula pasir, cabai merah, dan bawang merah adalah ARCH-GARCH, sedangkan untuk harga
eceran minyak goreng dan telur dapat menggunakan pendekatan ARIMA karena efek ARCH-nya tidak nyata.
2.4 Perbedaan dengan Penelitian Terdahulu