Adversity Quotient Adversity Quotient

Sementara orang yang meragukan kemampuan dirinya, bekerja dengan kinerja rendah. Keempat, AQ memprediksi siapa yang akan menyerah dan siapa yang akan menang. Apakah seseorang akan berhasil atau gagal dalam melaksanakan tugas dapat diprediksi dari nilai AQ yang dimiliki. Nggermanto, 2002 AQ mempunyai tiga bentuk. Pertama, AQ adalah suatu kerangka kerja konseptual yang baru untuk memahami dan meningkatkan semua segi kesuksesan. Kedua, AQ adalah suatu ukuran untuk mengetahui respons terhadap kesulitan. Terakhir, AQ adalah serangkaian peralatan yang memiliki dasar ilmiah untuk memperbaiki respons terhadap kesulitan. Gambaran ketiga unsur ini yaitu pengetahuan baru, tolok ukur dan peralatan yang praktis, merupakan sebuah paket yang lengkap untuk memahami dan memperbaiki komponen dasar pendakian sehari-hari dan seumur hidup. Stoltz, 2000 Definisi Adversity Quotient dalam penelitian ini adalah kemampuan seseorang dalam bertahan dan mengatasi masalah atau kesulitan serta tantangan hidup yang dihadapi.

2. Karakter Individu dalam Adversity Quotient

Menurut Stoltz 2000, dalam pemahaman mengenai AQ diambil analogi pendaki gunung yang melakukan pendakian. Stoltz menjelaskan tiga jenis orang yang akan dijumpai dalam perjalanan mendaki, orang-orang tersebut memiliki respons yang berbeda-beda terhadap pendakian dan sebagai akibatnya dalam hidup ini mereka menikmati berbagai macam tingkat kesuksesan dan kebahagiaan. a. Mereka yang berhenti Quitters Quitters atau orang-orang yang berhenti adalah orang yang memilih untuk keluar, menghindari kewajiban, mundur, dan berhenti. Mereka mengabaikan, menutupi, atau meninggalkan dorongan inti yang manusiawi untuk mendaki, dan dengan demikian meninggalkan banyak hal yang ditawarkan oleh kehidupan. b. Mereka yang berkemah Campers Berbeda dengan Quitters, Campers sekurang-kurangnya telah menanggapi tantangan pendakian itu. Mereka telah mencapai tingkat tertentu. Perjalanan mereka mungkin memang mudah, atau mungkin mereka telah mengorbankan banyak hal dan telah bekerja dengan rajin untuk sampai ke tempat dimana mereka kemudian berhenti. Pendakian yang tidak selesai itu oleh sementara orang dianggap sebagai “kesuksesan”. Mereka menganggap kesuksesan sebagai tujuan yang harus dicapai, jika dibandingkan dengan perjalanannya. Campers melepaskan kesempatan untuk maju, yang sebenarnya dapat dicapai jika energi dan sumber dayanya diarahkan dengan semestinya. Mereka tidak memanfaatkan potensi mereka sepenuhnya. c. Para pendaki Climbers Climbers selalu menyambut tantangan-tantangan yang disodorkan kepadanya. Climbers yakin bahwa segala hal bisa dan akan terlaksana, meskipun orang lain bersikap negatif dan sudah memutuskan bahwa jalannya tidak mungkin ditempuh. Mereka bisa memotivasi diri sendiri, memiliki semangat tinggi, dan berjuang untuk mendapatkan yang terbaik dari hidup. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI Kemampuan Quitters, Campers dan Climbers dalam menghadapi kesulitan. Quitters mempunyai kemampuan yang kecil atau bahkan tidak mempunyai sama sekali, itulah yang menyebabkan mereka berhenti. Campers mungkin telah menghadapi cukup banyak kesulitan sampai menemukan tempat berkemah. Sayangnya, kesulitan ini jugalah yang pada akhirnya mendorong Campers untuk mempertimbangkan resiko-resiko dan imbalan-imbalannya, yang akhirnya menghentikan pendakiannya. Campers seperti Quitters mempunyai ambang kemampuan yang terbatas dalam menghadapi kesulitan, dan menemukan alasan-alasan yang kuat untuk berhenti mendaki. Climbers tidak asing terhadap situasi yang sulit. Kehidupan mereka memang menghadapi dan mengatasi arus rintangan yang tiada hentinya. Climbers memahami bahwa kesulitan adalah bagian dari hidup. Jadi, menghindari kesulitan sama saja dengan menghindari kehidupan. Berdasarkan teori “Ketidakberdayaan Yang Dipelajari” dalam Stoltz,2000, kesuksesan seseorang terutama ditentukan oleh cara dia menjelaskan atau merespon peristiwa-peristiwa dalam kehidupan. Seligman dalam Stoltz,2000 menemukan bahwa mereka yang merespon kesulitan sebagai sesuatu yang sifatnya tetap, internal dan dapat digeneralisasi ke bidang-bidang kehidupan lainnya cenderung menderita di semua bidang kehidupannya, sedangkan mereka yang menanggapi situasi-situasi sulit sebagai sesuatu yang sifatnya eksternal, sementara, dan terbatas cenderung menikmati banyak manfaat, mulai dari kinerja sampai kesehatan. Martin Seligman dalam Stoltz, 2000 menjelaskan hal tersebut sebagai pesimisme versus optimisme. Mereka yang menjelaskan kesulitan sebagai PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI sesuatu yang sifatnya permanen, meluas dan pribadi memiliki gaya pesimistis. Mereka yang merespon kesulitan sebagai sesuatu yang sifatnya sementara, eksternal, dan terbatas memiliki gaya optimistis. Menurut Werner, orang yang ulet adalah “perencana-perencana, orang- orang yang mampu menyelesaikan masalah, dan bisa memanfaatkan peluang”. Orang yang kurang ulet akan langsung menyerah. Sama dengan kaum optimis, orang-orang yang ulet memiliki kemampuan untuk bangkit kembali dari kegagalan. Mereka adalah Climbers. Kemampuan ini tidak berasal dari kesulitan yang dialami tetapi dari cara mereka merespons kesulitan. Carol Dweck membuktikan bahwa orang dengan respons–respons yang pesimistis terhadap kesulitan tidak akan banyak belajar dan berprestasi jika dibandingkan dengan orang yang memiliki pola-pola yang lebih optimistis. Stoltz, 2000

3. Dimensi Adversity Quotient

Stoltz 2000 mengemukakan bahwa Adversity Quotient terdiri atas 4 dimensi CO 2 RE, dimana dimensi-dimensi CO 2 RE ini akan menentukan Adversity Quotient keseluruhan seseorang. a. C = Control Kendali C adalah singkatan dari “control” atau kendali. C mempertanyakan berapa banyak kendali yang dirasakan terhadap sebuah peristiwa yang menimbulkan kesulitan. Kata kuncinya adalah merasakan. Kendali yang sebenarnya dalam suatu situasi hampir tidak mungkin diukur. Kendali yang dirasakan jauh lebih PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI