Karakter Individu dalam Adversity Quotient

sesuatu yang sifatnya permanen, meluas dan pribadi memiliki gaya pesimistis. Mereka yang merespon kesulitan sebagai sesuatu yang sifatnya sementara, eksternal, dan terbatas memiliki gaya optimistis. Menurut Werner, orang yang ulet adalah “perencana-perencana, orang- orang yang mampu menyelesaikan masalah, dan bisa memanfaatkan peluang”. Orang yang kurang ulet akan langsung menyerah. Sama dengan kaum optimis, orang-orang yang ulet memiliki kemampuan untuk bangkit kembali dari kegagalan. Mereka adalah Climbers. Kemampuan ini tidak berasal dari kesulitan yang dialami tetapi dari cara mereka merespons kesulitan. Carol Dweck membuktikan bahwa orang dengan respons–respons yang pesimistis terhadap kesulitan tidak akan banyak belajar dan berprestasi jika dibandingkan dengan orang yang memiliki pola-pola yang lebih optimistis. Stoltz, 2000

3. Dimensi Adversity Quotient

Stoltz 2000 mengemukakan bahwa Adversity Quotient terdiri atas 4 dimensi CO 2 RE, dimana dimensi-dimensi CO 2 RE ini akan menentukan Adversity Quotient keseluruhan seseorang. a. C = Control Kendali C adalah singkatan dari “control” atau kendali. C mempertanyakan berapa banyak kendali yang dirasakan terhadap sebuah peristiwa yang menimbulkan kesulitan. Kata kuncinya adalah merasakan. Kendali yang sebenarnya dalam suatu situasi hampir tidak mungkin diukur. Kendali yang dirasakan jauh lebih PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI penting. Kendali diawali dengan pemahaman bahwa sesuatu apapun itu, dapat dilakukan. Perbedaan antara respons AQ yang rendah dan yang tinggi dalam dimensi ini cukup dramatis. Mereka yang AQ-nya lebih tinggi merasakan kendali yang lebih besar atas peristiwa-peristiwa dalam hidup daripada yang AQ-nya lebih rendah. Akibatnya, mereka akan mengambil tindakan yang akan menghasilkan lebih banyak kendali lagi. Merasakan tingkat kendali, bahkan yang terkecil sekalipun akan membawa pengaruh yang radikal dan sangat kuat pada tindakan-tindakan dan pikiran-pikiran yang mengikutinya. Mereka yang memiliki AQ lebih tinggi cenderung melakukan pendakian, sementara orang- orang yang AQ-nya lebih rendah cenderung berkemah atau berhenti. b. O 2 = Origin dan Ownership Asal Usul dan Pengakuan O 2 merupakan kependekan dari “origin” asal usul dan “ownership” pengakuan. O 2 mempertanyakan dua hal yaitu siapa atau apa yang menjadi asal usul kesulitan dan sampai sejauh manakah seseorang mengakui akibat- akibat kesulitan itu. Ada perbedaan besar diantara keduanya. Asal-usul atau origin ada kaitannya dengan rasa bersalah. Orang yang AQ- nya rendah cenderung menempatkan rasa bersalah yang tidak semestinya atas peristiwa-peristiwa buruk yang terjadi. Dalam banyak hal, mereka melihat dirinya sendiri sebagai satu-satunya penyebab atau asal usul origin kesulitan tersebut. Mempersalahkan diri sendiri itu penting dan efektif tapi hanya sampai tahap tertentu. Terlalu berlebihan mempersalahkan diri sendiri, sampai melampaui peran seseorang dalam menimbulkan kesulitan, bisa menjadi destruktif. Yang jauh lebih penting lagi adalah sampai sejauh mana seseorang, bersedia mengakui akibat kesulitan itu. Rasa bersalah tidak sama dengan memikul tanggung jawab. Mengakui akibat-akibat yang ditimbulkan oleh kesulitan mencerminkan tanggung jawab, inilah paro kedua dari dimensi O 2 . Semakin tinggi skor pengakuan seseorang, semakin besar dirinya mengakui akibat-akibat dari suatu perbuatan, apapun penyebabnya. Semakin rendah skor pengakuan seseorang, semakin besar kemungkinannya untuk tidak mengakui akibat-akibatnya, apapun penyebabnya. Orang yang memiliki AQ tinggi tidak akan mempersalahkan orang lain sambil mengelakkan tanggung jawab. Orang yang AQ-nya tinggi lebih unggul daripada orang yang AQ-nya rendah dalam kemampuan untuk belajar dari kesalahan-kesalahan. Cenderung mengakui akibat-akibat yang ditimbulkan oleh kesulitan, seringkali tanpa mengingat penyebabnya. Rasa tanggung jawab semacam itu memaksa mereka untuk bertindak, membuat mereka jauh lebih berdaya daripada rekan-rekan mereka yang AQ-nya rendah. Orang yang AQ- nya tinggi melakukan pekerjaannya dengan lebih baik, dengan menempatkan peran mereka pada tempat yang sewajarnya. Mereka tahu mana yang betul- betul merupakan tanggung jawab mereka. c. R = Reach Jangkauan Dimensi R ini mempertanyakan sejauh manakah kesulitan akan menjangkau bagian-bagian lain dari kehidupan. Respons-respons dengan AQ yang rendah akan membuat kesulitan merembes ke segi-segi lain dari kehidupan seseorang. Jadi, semakin rendah skor R semakin besar kemungkinan menganggap peristiwa-peristiwa buruk sebagai bencana, dengan membiarkannya meluas. Sebaliknya, semakin tinggi skor R, semakin besar kemungkinan membatasi jangkauan masalahnya pada peristiwa yang sedang dihadapi. Semakin jauh seseorang membiarkan kesulitan itu mencapai wilayah- wilayah lain dalam kehidupan, akan semakin merasa tidak berdaya dan kewalahan. Membatasi jangkauan kesulitan memungkinkan untuk berpikir jernih dan mengambil tindakan. d. E = Endurance Daya tahan E atau Endurance mempertanyakan dua hal yang berkaitan yaitu berapa lama kesulitan akan berlangsung dan berapa lama penyebab kesulitan itu akan berlangsung. Semakin rendah skor E, semakin besar kemungkinannya untuk menganggap kesulitan dan atau penyebab-penyebabnya akan berlangsung lama, kalau bukan selama-lamanya. Berdasarkan penelitian Selligman dan riset yang dilakukan oleh Lorraine Johnson dan Stuart Biddle dalam Stolz, 2000 menunjukkan bahwa ada perbedaan dramatis antara orang yang mengkaitkan kesulitan dengan sesuatu yang sifatnya sementara versus sesuatu yang lebih permanen atau abadi. Mereka menemukan bahwa orang yang melihat kemampuan mereka sebagai penyebab kegagalan penyebab yang stabil cenderung kurang bertahan