Studi deskriptif mengenai adversity quotient pada siswa SMA kelas XI.

(1)

ABSTRAK

STUDI DESKRIPTIF MENGENAI ADVERSITY QUOTIENT PADA SISWA SMA KELAS XI

Theresia Aprilia Rahmawati Universitas Sanata Dharma

Yogyakarta 2007

Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan Adversity Quotient Siswa Kelas XI. Penelitian ini dilatarbelakangi oleh pentingnya Siswa Kelas XI sebagai remaja untuk mempunyai kemampuan menghadapi dan mengatasi masalah, terlebih dengan banyaknya masalah yang harus dihadapi remaja pada abad ke-21. Masa remaja adalah masa kritis sebab dalam masa ini remaja dihadapkan dengan persoalan apakah ia dapat menghadapi dan memecahkan masalah-masalahnya atau tidak. Kemampuan menghadapi dan mengatasi masalah hidup oleh Stoltz disebut dengan Adversity Quotient.

Subyek dalam penelitian ini adalah remaja putra dan putri yang terdaftar sebagai siswa kelas XI SMA Pangudi Luhur Sedayu sebanyak 62 orang, yang berusia antara 15 sampai 17 tahun. Metode penelitian ini adalah deskriptif, dengan menggunakan Skala Adversity Quotient sebagai alat pengumpulan data. Skala Adversity Quotient terdiri dari 45 aitem, yang dinyatakan sahih dengan koefisien korelasi yang bergerak antara 0,2022 sampai 0,5499 dan reliabilitas skala sebesar 0, 8430.

Hasil penelitian tentang Adversity Quotient ini menggambarkan bahwa secara umum subyek penelitian mempunyai tingkat Adversity Quotient yang tinggi, karena mean empirik (136,45) lebih tinggi dari mean teoritik (112,5). Pada pengkategorisasian skor Adversity Quotient secara umum diperoleh bahwa sebanyak 55 subyek mempunyai tingkat Adversity Quotient tinggi, sebanyak 7 subyek mempunyai tingkat Adversity Quotient sedang, dan tidak ada subyek yang mempunyai tingkat Adversity Quotient rendah.


(2)

ABSTRACT

DESCRIPTIVE STUDIES OF ADVERSITY QUOTIENT OF STUDENTS CLASS XI

Theresia Aprilia Rahmawati Sanata Dharma University

Yogyakarta 2007

This research aimed to decribe Adversity Quotient of students class XI. The background of this research was about the necessary of the students class XI as teenager to have ability to face and correct problems, especially problems happen and must be faced by adolescent in the 21st century. Teenage is a critical

period because in this period adolescent will be confronted with a problem wether he or she is able to face and solve the problem or not. Ability to face and overcome problems of life by Stoltz reffered as Adversity Quotient.

Subject of this research are 62 students of Pangudi Luhur Sedayu Senior High School class XI which are 15 to 17 years old. This research used descriptive method and Adversity Quotient Scale as a means of data collecting. Adversity Quotient Scale consists of 45 valid items with peripatetic correlation coefficient between 0.2022 until 0.5499 and realiability scale 0.8430.

The result of the research concerning Adversity Quotient shows that generally the subjects have high level of Adversity Quotient because empiric mean (136.45) is higher than teoritical mean (112.5). In categorizing the score at Adversity Quotient, it is found that 55 subjects have high level of Adversity Quotient, 7 subjects have medium level of Adversity Quotient, and no subjects have low level of Adversity Quotient.


(3)

STUDI DESKRIPTIF MENGENAI

ADVERSITY QUOTIENT

PADA SISWA SMA KELAS XI

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

Oleh :

Theresia Aprilia Rahmawati

NIM : 009114082

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA


(4)

(5)

(6)

Motto :

TITISING TIAS AMANSUDI MANDAWANING

BUDYO TULUSM

Semua manusia mempunyai kewajiban berbusi yang tepat

baik salam perilaku maupun pembicaraan, semua itu supaya

sapat tepat pasa hati semua orang.

“SUNODINO JAYANINGNAT LEBUN DENING

PANGASTUTIM

Yang namanya kekuatan kesaktian bisa hancur karena hasil


(7)

Karya sederhana ini aku persembahkan kepada :

Yesus dan Bunda Maria

Kedua orang tuaku

Keluarga besarku

Kekasih hatiku


(8)

(9)

ABSTRAK

STUDI DESKRIPTIF MENGENAI ADVERSITY QUOTIENT

PADA SISWA SMA KELAS XI

Theresia Aprilia Rahmawati Universitas Sanata Dharma

Yogyakarta 2007

Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan Adversity Quotient Siswa Kelas XI. Penelitian ini dilatarbelakangi oleh pentingnya Siswa Kelas XI sebagai remaja untuk mempunyai kemampuan menghadapi dan mengatasi masalah, terlebih dengan banyaknya masalah yang harus dihadapi remaja pada abad ke-21. Masa remaja adalah masa kritis sebab dalam masa ini remaja dihadapkan dengan persoalan apakah ia dapat menghadapi dan memecahkan masalah-masalahnya atau tidak. Kemampuan menghadapi dan mengatasi masalah hidup oleh Stoltz disebut dengan Adversity Quotient.

Subyek dalam penelitian ini adalah remaja putra dan putri yang terdaftar sebagai siswa kelas XI SMA Pangudi Luhur Sedayu sebanyak 62 orang, yang berusia antara 15 sampai 17 tahun. Metode penelitian ini adalah deskriptif, dengan menggunakan Skala Adversity Quotient sebagai alat pengumpulan data. Skala Adversity Quotient terdiri dari 45 aitem, yang dinyatakan sahih dengan koefisien korelasi yang bergerak antara 0,2022 sampai 0,5499 dan reliabilitas skala sebesar 0, 8430.

Hasil penelitian tentang Adversity Quotient ini menggambarkan bahwa secara umum subyek penelitian mempunyai tingkat Adversity Quotient yang tinggi, karena mean empirik (136,45) lebih tinggi dari mean teoritik (112,5). Pada pengkategorisasian skor Adversity Quotient secara umum diperoleh bahwa sebanyak 55 subyek mempunyai tingkat Adversity Quotient tinggi, sebanyak 7 subyek mempunyai tingkat Adversity Quotient sedang, dan tidak ada subyek yang mempunyai tingkat Adversity Quotient rendah.


(10)

ABSTRACT

DESCRIPTIVE STUDIES OF ADVERSITY QUOTIENT OF STUDENTS CLASS XI

Theresia Aprilia Rahmawati Sanata Dharma University

Yogyakarta 2007

This research aimed to decribe Adversity Quotient of students class XI. The background of this research was about the necessary of the students class XI as teenager to have ability to face and correct problems, especially problems happen and must be faced by adolescent in the 21st century. Teenage is a critical

period because in this period adolescent will be confronted with a problem wether he or she is able to face and solve the problem or not. Ability to face and overcome problems of life by Stoltz reffered as Adversity Quotient.

Subject of this research are 62 students of Pangudi Luhur Sedayu Senior High School class XI which are 15 to 17 years old. This research used descriptive method and Adversity Quotient Scale as a means of data collecting. Adversity Quotient Scale consists of 45 valid items with peripatetic correlation coefficient between 0.2022 until 0.5499 and realiability scale 0.8430.

The result of the research concerning Adversity Quotient shows that generally the subjects have high level of Adversity Quotient because empiric mean (136.45) is higher than teoritical mean (112.5). In categorizing the score at Adversity Quotient, it is found that 55 subjects have high level of Adversity Quotient, 7 subjects have medium level of Adversity Quotient, and no subjects have low level of Adversity Quotient.


(11)

KATA PENGANTAR

Puji dan Syukur atas berkat Allah Yang Maha Kasih sehingga penulis dapat menyelesaikan Skripsi yang berjudul “Studi Deskriptif Mengenai Adversity Quotient Pada Siswa SMA Kelas XI” yang merupakan tugas akhir di Fakultas Psikologi. Keberhasilan ini tercapai atas bantuan dari berbagai pihak yang telah menemani, membimbing bahkan mengorbankan sebagian waktu dan pikiran demi penulis. Oleh karena itu penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada :

1. P. Eddy Suhartanto, S.Psi.,M.Si selaku Dekan Fakultas Psikologi yang telah berkenan memberikan surat ijin pelaksanaan penelitian

2. Drs. H. Wahyudi, M.Si. selaku Dosen Pembimbing Akademik sekaligus Dosen Pembimbing Penyusunan Skripsi yang telah meluangkan waktu untuk membimbing, mengarahkan, memberi masukan-masukan serta memberikan dorongan penulis guna kelancaran penyusunan skripsi

3. Seluruh Dosen Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma yang telah membagikan ilmunya kepada penulis selama penulis menuntut ilmu di Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

4. Mas Muji, Mas Gandung, Bapak Giyono, Mbak Nanik dan seluruh Staf Pengajaran dan Administrasi Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma serta seluruh Staf Perpustakaan atas pelayanannya selama penulis menuntut ilmu.

5. Bapak Drs. Markoes Padmonegoro selaku Kepala Sekolah, Bapak R.B. Pirngadi selaku Guru Bimbingan dan Konseling dan seluruh staf pengajar


(12)

di SMA Pangudi Luhur Sedayu yang telah memberikan kesempatan dan bantuan kepada peneliti selama pelaksanaan penelitian

6. Seluruh siswa-siswi kelas XI SMA Pangudi Luhur Sedayu yang telah bersedia menjadi responden penelitian

7. Bapak Waribi selaku Pimpinan Paguyuban SM 68 RB dan seluruh anggota Paguyuban SM 68 RB yang telah berkenan memberikan dorongan dan banyak bantuan sehingga karya sederhana ini dapat selesai.

8. Bapak dan Ibuku yang dengan kerelaan hatinya telah merawat, membimbing dan mengorbankan waktu dan tenaga selama ini sehingga menjadikanku seorang Sarjana. Terima kasih Pak, terima kasih Bu. Aku sayang kalian.

9. Kakak-kakakku, yang dengan setia selalu memberi perhatian dan semangat dengan pertanyaan sederhana “Kapan Wisuda ?”. Sungguh aku beruntung memiliki saudara seperti kalian.

10. Sepuluh Ponakanku yang lucu-lucu, kalian telah memberi semangat untuk terus menatap masa depan. Memberi arti bahwa hidup harus dijalani bagaimanapun beratnya.

11. Seluruh keluarga besar Samigaluh, yang terus memberi dorongan semangat untuk terus melangkah maju dalam skripsi dan dalam hidup 12. Seluruh karyawan CV. Putra Abadi yang telah dengan tekun bekerja untuk

keluarga kami. Terima kasih karena memperhatikan penulis dengan selalu bertanya “Mbak, kapan to wisuda?” Bagaimanapun juga kita adalah saudara.


(13)

13. Kukuh, sahabat dan kekasihku yang setia, yang telah menemaniku melewati hari-hari yang sulit, yang selalu menganggapku berarti sebagai wanita. Semoga bekal kasih dan sayang kita dapat melewati semua tantangan hidup kelak.

14. Dita, Kampret, Trini, Fang-fang dan teman-teman seperjuangan di Fakultas Psikologi. Terima kasih atas bantuan, semangat dan perhatian yang diberikan khususnya saat-saat akhir kuliah dengan selalu bertanya “Gimana skripsimu ?”

15. Min-min (yang mau mendengarkan keluh kesah dan cerita hidupku), Nila (yang selalu menghibur dan memberikan warna-warna ceria dengan tingkah lakumu) dan Dian (yang memberikan gambaran dan semangat untuk menata hari esok).

16. Saudara-saudaraku di Mapasadha, di tempat itulah aku belajar dan ditempa bagaimana menjalani hidup, bagaimana dapat survive apapun yang terjadi dan bagaimana aku bertahan menghadapi berbagai hal. Aku beruntung karena aku telah menjadi saudara dalam Mapasadha.Viva Mapasadha !!! 17. Mudika Stasi Pringgolayan, Ricki, Dian, Yayan dan teman-teman Mudika

lain yang telah memberikan tuntunan dalam menjalani hidup.

18. Teman-teman Musisi Jalanan Alkid yang bersedia menemani dalam hari-hari sulitku. Thanks Guys, dari kalianlah aku belajar banyak hal tentang hidup.


(14)

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam kutipan dan daftar pustaka, sebagaimana layaknya karya ilmiah.

Yogyakarta, November 2007 Penulis


(15)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDULKKKKKKKKKKKKKKKKKKKKK.KK...i HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBINGKKKKKKKKKKK.KK.ii HALAMAN PENGESAHANKKKKKKKKKKKKKKKKKKKKiii HALAMAN MOTTOKKKKKKKKKKKKKKKKKKKKKKK.iv HALAMAN PERSEMBAHANKKKKKKKKKKKKKKKKK.KK..v ABSTRAKKKKKKKKKKKKKKKKKKKKKKKKKKKK..vi

ABSTRACTKKKKKKKKKKKKKKKKKKKKKKKKK..K...vii

KATA PENGANTARKKKKKKKKKKKKKKKKKKKKKK..viii PERNYATAAN KEASLIAN KARYAKKKKKKKKKKKKKKKK.xi DAFTAR ISIKKKKKKKKKKKKKKKKKKKKKKKKKK..xii DAFTAR TABELKKKKKKKKKKKKKKKKKKKKKK.KKxvi BAB I : PENDAHULUAN

A. Latar Belakang KKKKKKKKKKKKKKKKKKKKKKK...1 B. Rumusan Masalah KKKKKKKKKKKKKKKKKKKKKK..5 C. Tujuan Penelitian KKKKKKKKKKKKKKKKKKKKKK...5 D. Manfaat Penelitian KKKKKKKKKKKKKKKKKKKKKK.5 BAB II: TINJAUAN PUSTAKA

A. Adversity Quotient

1. Adversity Quotient KKKKKKKKKKKKKKKKKKK...K6

2. Karakter Individu dalam Adversity Quotient KKKKKKKKKK...9 3. Dimensi Adversity Quotient KKKKKKKKKKKKKKKK...12


(16)

B. Perkembangan Psikologis Siswa Kelas XI

1. Perkembangan Kognitif KKKKKKKKKKKKKKKKKK.16 2. Ciri Khas Masa Remaja

2.1. Masa remaja sebagai masa peralihan KKKKKKKKKKK..18 2.2. Masa remaja sebagai masa belajar KKKKKKKKKKKK.18 2.3 Masa remaja sebagai usia bermasalah KKKKKKKKKKK.19 2.4 Masa Remaja sebagai Masa Ketidakstabilan ...KKKKKKKK23 2.5 Masa Remaja sebagai Masa yang Tidak Realistik KKKKKK...23 3. Tugas Perkembangan Remaja KKKKKKKKKKKKKKKK24 4. Kebutuhan Khas Remaja KKKKKKKKKKKKKKKKK...26 5. Pergaulan Remaja KKKKKKKKKKKKKKKKKKKK...27 C. SMA Pangudi Luhur

1. Sejarah Yayasan Pangudi Luhur Pusat KKKKKKKKKKKK..27 2. Visi dan misi Yayasan Pangudi Luhur KKKKKKKKKKKK.. 29 3. Sejarah Singkat SMA Pangudi Luhur Sedayu KKKKKKKKK...30

D. Adversity Quotient Siswa Kelas XI K KKKKKKKKKKKKKK.30

BAB III: METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian KKKKKKKKKKKKKKKKKKKKKKK.35 B. Subyek Penelitian KKKKKKKKKKKKKKKKKKKKKK.36 C. Variabel Penelitian KKKKKKKKKKKKKKKKKKKKK...36 D. Definisi Operasional KKKKKKKKKKKKKKKKKKKKK.36 E. Metode Pengumpulan Data KKKKKKKKKKKKKKKKKK..37 F. Pertanggungjawaban Mutu Alat Ukur


(17)

1. Validitas Alat Ukur KKKKKKKKKKKKKKKKKKKK42 2. Seleksi Aitem dan Uji Reliabilitas Alat Ukur

2.1 Uji Kesahihan Skala Uji Coba KKKKK.KKKK..KKKK..43 2.2 Reliabilitas Skala Uji Coba KKKKKKKKK..KKKKKK47 2.3 Uji Normalitas Skala Uji Coba KKKKKKKKKKK..KK..47 G. Analisis Data KKKKKKKKKKKKKKKKKKKKKKKK48 BAB IV: HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Orientasi Kancah Penelitian

1. Kondisi Gedung SMA Pangudi Luhur Sedayu KKKKKKKKK 50 2. Kondisi Siswa SMA Pangudi Luhur Sedayu K...KKKKKKKK..50 B. Pelaksanaan Penelitian KKKKKKKKKKKKKKKKKKKK.51 C. Persiapan Analisis Data Statistik Hasil Penelitian

1. Reliabilitas Skala Penelitian KKKKKKKKKKKKKKKK...53 2. Uji Normalitas Skala Penelitian KKKKKKKKKKKKK...53 D. Deskripsi Data KKKKKKKKKKKKKKKKKKKKKKK..54 E. Kategorisasi Tingkat Adversity Quotient

1. Kategorisasi Adversity Quotient KKKKKKKKKKKKKKK.56 2. Kategorisasi Aspek Adversity Quotient

2.1 Aspek Control KKK...58 2.2 Aspek Origin dan Ownership KKKK..KKKKKKKKKK.59 2.3 Aspek Reach KKKKKKKKKKKKK.KKKKKKKK60 2.4 Aspek Endurance KKKKKKKKKKKKK.KKKKKK62


(18)

F. Pembahasan

1. Adversity Quotient secara umum KKKKKKKKKKKKKK...63

2. Aspek-aspek Adversity Quotient

2.1 Aspek Control KKKKKKKKKKKKKKKKKKKK..68 2.2 Aspek Origin dan Ownership KKKKKKKKKKK...KKK70 2.3 Aspek Reach KKKKKKKKKKKKKKKKKKKKK.73 2.4 Aspek Endurance KKKKKKKKKKKKKKKKKKK.76 BAB V: PENUTUP

A. Kesimpulan KKKKKKKKKKKKKKKKKKKKKKK...79 B. Saran

1. Bagi Sekolah KKKKKKKKKKKKKKKKKKKKK...81 2. Bagi Peneliti Lain KKKKKKKKKKKKKKKKKKKK81 C. Keterbatasan Penelitian KKKKKKKKKKKKKKKKKKK.82 DAFTAR PUSTAKA KKKKKKKKKKKKKKKKKKKKKK...83 LAMPIRAN I : Skala Penelitian

A. Skala Uji Coba KKKKKKKKKKKKKKKKKKKKKK..85 B. Skala Penelitian KKKKKKKKKKKKKKKKKKKKKK.86 LAMPIRAN II : Data Penelitian

A. Data Pelaksanaan Uji Coba KKKKKKKKKKKKKKKKK...87 B. Data Pelaksanaan Penelitian KKKKKKKKKKKKKKKKK.88 LAMPIRAN III : Seleksi Aitem Skala Uji Coba

A. Hasil Uji Reliabilitas Skala Uji Coba KKKKKKKKKKKKKK89 B. Hasil Uji Normalitas Skala Uji Coba KKKKKKKKKKKKKK91


(19)

LAMPIRAN IV : Persiapan Analisis Data

A. Hasil Uji Reliabilitas Skala Penelitian KKKKKKKKKKKKK..92 B. Hasil Uji Normalitas Skala Penelitian KKKKKKKKKKKKK...94 LAMPIRAN V : Deskripsi Data Penelitian KKKKKKKKKKKKKK..95 LAMPIRAN VI : Kategorisasi dan Deskripsi Skor Subyek

A. Skor Adversity Quotient KKKKKKKKKKKKKKKKKKK96 B. Skor aspek-aspek Adversity Quotient KKKKKKKKKKKKKK99 LAMPIRAN VII : Surat Keterangan Penelitian KKKKKKKKKKKK.111


(20)

DAFTAR TABEL

Tabel 3.1 : Susunan butir Skala Uji Coba Adversity Quotient KKKKK...K...39 Tabel 3.2 : Blue Print Skala Uji Coba Adversity Quotient KK..KKKKKK.40 Tabel 3.3 : Skor jawaban pernyataan favorable dan unfavorable

Skala Adversity Quotient KKKKKKKKKKKKKKKKK41 Tabel 3.4 : Aitem gugur skala Adversity Quotient KKKKKKKKKKK...45 Tabel 3.5 : Aitem sahih skala Adversity Quotient KKKKKKKKKKKK46 Tabel 3.6 : Hasil Uji Normalitas Skala Uji Coba KKKKKKKKKKKK.48 Tabel 3.7 : Tabel Norma Kategorisasi .KKKKKKKKKKKKK...KK..49 Tabel 4.1 : Hasil Uji Normalitas Skala Penelitian KKKKKKKKKKK....53 Tabel 4.2 : Rangkuman Deskripsi Data Penelitian KKKKKKKKKKK...54 Tabel 4.3 : Deskripsi Data Adversity Quotient KKKKKKKKKKKKK.56 Tabel 4.4 : Norma kategorisasi Adversity Quotient KKKKKKKKKK...56 Tabel 4.5 : Norma kategorisasi Adversity Quotient dengan batasan angka K...57 Tabel 4.6 : Kategorisasi Adversity Quotient KKKKKKKKKKKKKK.57 Tabel 4.7 : Deskripsi Data Aspek Control KKKKKKKKKKKKKKK58 Tabel 4.8 : Norma kategorisasi Aspek Control dengan batasan angka KK.KK58 Tabel 4.9 : Kategorisasi aspek Control KKKKKKKKKKKKKKKK.59 Tabel 4.10 : Deskripsi Data aspek Origin dan Ownership .KKKKKKKK...59 Tabel 4.11 : Norma kategorisasi Origin dan Ownership dgn batasan angka K...59 Tabel 4.12 : Kategorisasi aspek Origin dan Ownership KKKKKKKKK...60 Tabel 4.13 : Deskripsi Data Aspek Reach KKKKKKKKKKKKKK...60


(21)

Tabel 4.14 : Norma kategorisasi Aspek Reach dengan batasan angka KKKK.61 Tabel 4.15 : Kategorisasi aspek Reach KKKKKKKKKKKKKKKK.61 Tabel 4.16 : Deskripsi Data aspek Endurance KKKKKKKKKKKKK.62 Tabel 4.17 : Norma kategorisasi Aspek Endurance dengan batasan angka KK.. 62


(22)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Siswa kelas XI termasuk dalam usia remaja menurut pembagian rentangan usia yang dikemukakan oleh Hurlock (1997) yaitu antara 13-18 tahun. Masa remaja merupakan masa yang penting dalam rentang kehidupan, suatu periode peralihan, suatu masa perubahan, usia bermasalah, saat dimana individu mencari identitas, usaha yang menakutkan, masa tidak realistik dan ambang dewasa.

Masa remaja juga disebut sebagai usia bermasalah. Masalah remaja sering menjadi masalah yang sulit diatasi baik oleh remaja laki-laki maupun remaja perempuan. Mappiare (1982) mengemukakan bahwa dalam masa remaja banyak masalah yang harus dihadapi oleh remaja. Terlebih pada abad ke-21 yang menyodorkan lingkungan sosial yang sangat berbeda dengan lingkungan sosial, ekonomi, budaya dan teknologi pada abad sebelumnya. Perubahan teknologi yang sangat cepat dan disertai adanya semangat globalisasi akan membawa perubahan cara hidup masyarakat. Dalam perubahan itu, persoalan yang dihadapi oleh remaja Indonesia menjadi semakin beragam. (Suyanto dan Hisyam, 2000)

Mappiare (1982) mengungkapkan bahwa masa remaja adalah masa yang kritis. Dikatakan kritis sebab dalam masa ini remaja akan dihadapkan dengan

persoalan apakah ia dapat menghadapi dan memecahkan masalah-masalahnya atau tidak.


(23)

Soesilowindradini (2006) mengungkapkan bahwa remaja merasa dirinya menghadapi masalah yang banyak sekali dan sukar untuk diselesaikan. Beberapa masalah yang dihadapi oleh remaja antara lain masalah-masalah yang berhubungan dengan pendidikan, nilai-nilai yang diyakini dan pergaulan.

Remaja menghadapi banyak masalah yang berhubungan dengan pendidikan. Dalam keseluruhan proses pendidikan di sekolah, kegiatan belajar merupakan kegiatan yang paling pokok bagi siswa namun aktivitas belajar bagi setiap siswa tidak selamanya dapat berlangsung secara lancar. (Ahmadi dan Supriyono,1991)

Remaja juga menghadapi masalah yang berhubungan dengan nilai-nilai yang diyakininya. Remaja menganggap bahwa yang benar ialah kesesuaian antara ideal dengan prakteknya. Namun, dengan banyaknya ketidaksesuaian yang dilakukan oleh masyarakat sendiri menyebabkan sering muncul konflik-konflik dalam diri remaja ketika menilai benar dan salahnya suatu perbuatan. Remaja mulai menyangsikan konsep benar dan salah yang dikemukakan oleh orang dewasa.(Mappiare,1982)

Selain masalah yang berhubungan dengan pendidikan dan nilai-nilai yang diyakini, remaja juga sering menghadapi masalah yang berhubungan dengan pergaulan. Pergaulan dianggap penting bagi remaja, dan kesulitan-kesulitan di bidang itu menimbulkan kekecewaan dan gangguan emosional yang besar artinya. Remaja sering dihadapkan pada persoalan penerimaan atau penolakan teman sebaya terhadap kehadirannya dalam pergaulan. (Brouwer,1981)

Bila remaja dapat menghadapi masalah-masalah tersebut dengan baik, maka akan menjadi modal dasar dalam menghadapi masalah selanjutnya sampai


(24)

dewasa. Kemampuan remaja dalam menghadapi masalah-masalah hidup inilah yang oleh Stoltz disebut dengan Adversity Quotient.

Menurut Stoltz (2000), Adversity Quotient mengukur kemampuan seseorang dalam mengatasi masalah atau kesulitan. Abdilah (2006) juga mengemukakan bahwa Adversity Quotient adalah kecerdasan mengelola hidup dan mampu melihat kemalangan menjadi peluang. Hal ini didukung Soedarsono (2006) yang mengungkapkan betapa pentingnya seseorang memiliki Adversity Quotient, yaitu kemampuan seseorang dalam mengubah tantangan bahkan ancaman menjadi peluang.

Sebenarnya para remaja memiliki Adversity Quotient atau kemampuan mengatasi masalah atau kesulitan. Hal ini dikemukakan oleh Gunarsa, S dan Gunarsa (1991) dimana pemuda pemudi atau para remaja memiliki daya juang, daya menegakkan diri dan membentuk masa depannya sendiri. Dengan ketekunan dan daya juang untuk mengatasi rintangan-rintangan diluar dirinya, seseorang dapat membentuk dan mengarahkan perjalanan hidupnya. Remaja mencoba menggunakan kemampuan berpikirnya untuk memecahkan problema-problema, menganalisa kesukaran dan mensitesanya kembali sebagai bahan untuk merumuskan pengalaman-pengalamannya.(Soejanto,1990)

Stoltz (2000), mengemukakan bahwa kesuksesan seseorang terutama ditentukan oleh cara dia menjelaskan atau merespon peristiwa-peristiwa dalam kehidupan. Bermacam kesulitan yang dihadapi lebih baik dipositifkan.

Mempositifkan kesulitan berarti menjalani kehidupan dengan optimisme. Dengan pandangan optimis seseorang akan lebih sukses. (Soejanto,1990)


(25)

Bila remaja dapat menghadapi persoalan-persoalannya, dia akan mengembangkan rasa percaya pada diri sendiri dan mampu menghadapi segala sesuatu. Bila tidak, dia akan mengembangkan perasaan gagal dan tidak mampu menghadapi apa-apa, dimana perasaan itu dapat tetap tinggal dalam dirinya untuk selanjutnya. (Soesilowindradini, 2006)

Berpijak dari uraian di atas yang menyatakan peranan Adversity Quotient

yang dapat menentukan kesuksesan dan kegagalan remaja dalam menjalani masa remajanya dan masa perkembangan selanjutnya, maka peneliti merasa tertarik untuk melihat tingkat Adversity Quotient yang dimiliki oleh siswa kelas XI sebagai remaja.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang permasalahan diatas maka rumusan masalah yang diajukan dalam penelitian ini adalah : Bagaimana tingkat Adversity Quotient siswa SMA kelas XI ?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka penelitian ini bertujuan untuk melihat tingkat Adversity Quotient siswa SMA kelas XI .


(26)

D. Manfaat Penelitian

Manfaat Penelitian ini dibagi menjadi dua bagian , yaitu: 1. Manfaat Teoritis

Penelitian ini dapat bermanfaat sebagai sumbangan teoritis di bidang Psikologi Perkembangan mengenai Adversity Quotient remaja. 2. Manfaat Praktis

Penelitian ini dapat bermanfaat sebagai sumbangan praktis yang memberikan informasi yang berkaitan dengan Adversity Quotient.

a. Bagi sekolah, penelitian ini dapat memberikan informasi tentang

Adversity Quotient siswa kelas XI

b. Bagi peneliti sendiri, penelitian ini dapat memperkaya wawasan dan menambah pengetahuan mengenai Adversity Quotient


(27)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Adversity Quotient

Pada bagian ini akan diterangkan mengenai definisi Adversity Quotient, karakter-karakter individu dalam Adversity Quotient dan dimensi-dimensi

Adversity Quotient.

1. Adversity Quotient

Menurut Stoltz (2000), hidup ini seperti mendaki gunung. Kepuasan dicapai melalui usaha yang tidak kenal lelah untuk terus mendaki, meskipun kadang-kadang langkah demi langkah yang ditapakkan terasa lambat dan menyakitkan. Kesuksesan dapat dirumuskan sebagai tingkat dimana seseorang bergerak ke depan dan keatas, terus maju dalam menjalani hidupnya, kendati terdapat berbagai rintangan atau bentuk-bentuk kesengsaraan lainnya.

Setiap kesulitan merupakan tantangan, setiap tantangan merupakan suatu peluang, dan setiap peluang harus disambut. Perubahan merupakan bagian dari suatu perjalanan yang harus diterima dengan baik. Pada umumnya ketika dihadapkan pada tantangan-tantangan hidup, kebanyakan orang berhenti berusaha sebelum tenaga dan batas kemampuan mereka benar-benar teruji. Kemampuan seseorang dalam mengatasi setiap kesulitan hidup disebut dengan Adversity Quotient. (Stoltz, 2000)


(28)

Menurut Stoltz (2000), Adversity Quotient mengukur kemampuan seseorang dalam mengatasi kesulitan. Abdilah (2006) juga mengemukakan bahwa

Adversity Quotient adalah kecerdasan mengelola hidup dan mampu melihat kemalangan menjadi peluang. Hal ini didukung Soedarsono (2006) yang mengungkapkan pentingnya seseorang memiliki Adversity Quotient, yaitu kemampuan seseorang dalam mengubah tantangan menjadi peluang.

IQ tidak cukup untuk mencapai kesuksesan. Pemikiran lama tentang IQ atau Intelligence Quotient, kecerdasan yang terukur secara ilmiah dan dipengaruhi oleh faktor keturunan ini telah lama dianggap oleh para orang tua dan guru sebagai si peramal kesuksesan. Namun banyak orang yang memiliki IQ tinggi tapi tidak mewujudkan potensinya.

Dalam bukunya Emotional Intelligence, Daniel Goleman (dalam Stoltz, 2000) menjelaskan mengapa beberapa orang yang IQ-nya tinggi mengalami kegagalan, sementara banyak yang lainnya dengan IQ yang sedang-sedang saja bisa berkembang pesat. Selain IQ, kita semua mempunyai EQ atau Emotional Intelligence. EQ mencerminkan kemampuan untuk berempati dengan orang lain, menunda rasa gembira, mengendalikan dorongan-dorongan hati, sadar diri, bertahan dan bergaul secara efektif dengan orang lain. Goleman mengemukakan EQ lebih penting daripada IQ, namun seperti halnya IQ tidak setiap orang memanfaatkan EQ dan potensi mereka sepenuhnya, meskipun kecakapan-kecakapan yang berharga itu mereka miliki. Karena EQ tidak mempunyai tolok ukur yang sah dan metode yang jelas untuk mempelajarinya, maka kecerdasan emosional tetap sulit dipahami. Agaknya bukan IQ ataupun EQ yang menentukan


(29)

suksesnya seseorang. Tapi, keduanya memainkan suatu peran dalam pencapaian keberhasilan. Stoltz (2000), mengajukan konsep yang menjembatani peranan IQ dan EQ, serta lebih menentukan kesuksesan seseorang yaitu Adversity Quotient.

Berdasarkan konsep tersebut, menurut Stoltz (2000) kesuksesan dalam hidup sebagian besar ditentukan oleh AQ. Stoltz juga mengemukakan bahwa ada beberapa orang yang mempunyai IQ ataupun EQ yang tinggi tetapi gagal

menunjukkan kemampuannya. Pertanyaan yang muncul adalah mengapa ada orang yang mampu bertahan dan berprestasi. Ia mengemukakan bahwa yang mempengaruhi orang yang bertahan tersebut adalah bagaimana seseorang melihat hambatan-hambatan sebagai peluang. Hal tersebut yang menjadi inti Adversity Quotient. (Prabowo dan Setyorini, 2005)

AQ menjadi demikian penting karena: pertama, AQ menunjukkan

seberapa baik seseorang dapat bertahan menghadapi kesulitan dan mengatasinya. Penelitian menunjukkan bahwa orang yang sukses adalah orang yang tetap gigih berusaha meskipun banyak rintangan atau bahkan kegagalan. Tidak ada orang mencapai sukses sejati tanpa merasakan kegagalan sebelumnya. Kedua, AQ merupakan alat ukur yang dapat digunakan untuk memprediksi siapa yang akan mampu mengatasi kesulitan dan siapa yang jatuh. Dimensi-dimensi AQ

merupakan faktor signifikan penentu kesuksesan atau kegagalan seseorang. Ketiga, AQ memprediksi siapa yang akan mencapai kinerja sesuai harapan dan potensi dan siapa yang gagal. Semua orang memiliki potensi yang besar untuk menjadi sukses. Tetapi hanya sedikit orang yang menyakini potensi dirinya. Orang yang memiliki keyakinan terhadap potensinya dapat bekerja dengan baik.


(30)

Sementara orang yang meragukan kemampuan dirinya, bekerja dengan kinerja rendah. Keempat, AQ memprediksi siapa yang akan menyerah dan siapa yang akan menang. Apakah seseorang akan berhasil atau gagal dalam melaksanakan tugas dapat diprediksi dari nilai AQ yang dimiliki. (Nggermanto, 2002)

AQ mempunyai tiga bentuk. Pertama, AQ adalah suatu kerangka kerja konseptual yang baru untuk memahami dan meningkatkan semua segi kesuksesan. Kedua, AQ adalah suatu ukuran untuk mengetahui respons terhadap kesulitan. Terakhir, AQ adalah serangkaian peralatan yang memiliki dasar ilmiah untuk memperbaiki respons terhadap kesulitan. Gambaran ketiga unsur ini yaitu pengetahuan baru, tolok ukur dan peralatan yang praktis, merupakan sebuah paket yang lengkap untuk memahami dan memperbaiki komponen dasar pendakian sehari-hari dan seumur hidup. (Stoltz, 2000)

Definisi Adversity Quotient dalam penelitian ini adalah kemampuan seseorang dalam bertahan dan mengatasi masalah atau kesulitan serta tantangan hidup yang dihadapi.

2. Karakter Individu dalam Adversity Quotient

Menurut Stoltz (2000), dalam pemahaman mengenai AQ diambil analogi pendaki gunung yang melakukan pendakian. Stoltz menjelaskan tiga jenis orang yang akan dijumpai dalam perjalanan mendaki, orang-orang tersebut memiliki respons yang berbeda-beda terhadap pendakian dan sebagai akibatnya dalam hidup ini mereka menikmati berbagai macam tingkat kesuksesan dan kebahagiaan.


(31)

a. Mereka yang berhenti (Quitters)

Quitters atau orang-orang yang berhenti adalah orang yang memilih untuk keluar, menghindari kewajiban, mundur, dan berhenti. Mereka mengabaikan, menutupi, atau meninggalkan dorongan inti yang manusiawi untuk mendaki, dan dengan demikian meninggalkan banyak hal yang ditawarkan oleh kehidupan.

b. Mereka yang berkemah (Campers)

Berbeda dengan Quitters, Campers sekurang-kurangnya telah menanggapi tantangan pendakian itu. Mereka telah mencapai tingkat tertentu. Perjalanan mereka mungkin memang mudah, atau mungkin mereka telah mengorbankan banyak hal dan telah bekerja dengan rajin untuk sampai ke tempat dimana mereka kemudian berhenti. Pendakian yang tidak selesai itu oleh sementara orang dianggap sebagai “kesuksesan”. Mereka menganggap kesuksesan sebagai tujuan yang harus dicapai, jika dibandingkan dengan perjalanannya.

Campers melepaskan kesempatan untuk maju, yang sebenarnya dapat dicapai jika energi dan sumber dayanya diarahkan dengan semestinya. Mereka tidak memanfaatkan potensi mereka sepenuhnya.

c. Para pendaki (Climbers)

Climbers selalu menyambut tantangan-tantangan yang disodorkan kepadanya. Climbers yakin bahwa segala hal bisa dan akan terlaksana, meskipun orang lain bersikap negatif dan sudah memutuskan bahwa jalannya tidak mungkin ditempuh. Mereka bisa memotivasi diri sendiri, memiliki semangat tinggi, dan berjuang untuk mendapatkan yang terbaik dari hidup.


(32)

Kemampuan Quitters, Campers dan Climbers dalam menghadapi kesulitan. Quitters mempunyai kemampuan yang kecil atau bahkan tidak mempunyai sama sekali, itulah yang menyebabkan mereka berhenti. Campers

mungkin telah menghadapi cukup banyak kesulitan sampai menemukan tempat berkemah. Sayangnya, kesulitan ini jugalah yang pada akhirnya mendorong

Campers untuk mempertimbangkan resiko-resiko dan imbalan-imbalannya, yang akhirnya menghentikan pendakiannya. Campers seperti Quitters mempunyai ambang kemampuan yang terbatas dalam menghadapi kesulitan, dan menemukan alasan-alasan yang kuat untuk berhenti mendaki. Climbers tidak asing terhadap situasi yang sulit. Kehidupan mereka memang menghadapi dan mengatasi arus rintangan yang tiada hentinya. Climbers memahami bahwa kesulitan adalah bagian dari hidup. Jadi, menghindari kesulitan sama saja dengan menghindari kehidupan.

Berdasarkan teori “Ketidakberdayaan Yang Dipelajari” (dalam

Stoltz,2000), kesuksesan seseorang terutama ditentukan oleh cara dia menjelaskan atau merespon peristiwa-peristiwa dalam kehidupan. Seligman (dalam

Stoltz,2000) menemukan bahwa mereka yang merespon kesulitan sebagai sesuatu yang sifatnya tetap, internal dan dapat digeneralisasi ke bidang-bidang kehidupan lainnya cenderung menderita di semua bidang kehidupannya, sedangkan mereka yang menanggapi situasi-situasi sulit sebagai sesuatu yang sifatnya eksternal, sementara, dan terbatas cenderung menikmati banyak manfaat, mulai dari kinerja sampai kesehatan. Martin Seligman (dalam Stoltz, 2000) menjelaskan hal tersebut sebagai pesimisme versus optimisme. Mereka yang menjelaskan kesulitan sebagai


(33)

sesuatu yang sifatnya permanen, meluas dan pribadi memiliki gaya pesimistis. Mereka yang merespon kesulitan sebagai sesuatu yang sifatnya sementara, eksternal, dan terbatas memiliki gaya optimistis.

Menurut Werner, orang yang ulet adalah “perencana-perencana, orang-orang yang mampu menyelesaikan masalah, dan bisa memanfaatkan peluang”. Orang yang kurang ulet akan langsung menyerah. Sama dengan kaum optimis, orang-orang yang ulet memiliki kemampuan untuk bangkit kembali dari

kegagalan. Mereka adalah Climbers. Kemampuan ini tidak berasal dari kesulitan yang dialami tetapi dari cara mereka merespons kesulitan. Carol Dweck

membuktikan bahwa orang dengan respons–respons yang pesimistis terhadap kesulitan tidak akan banyak belajar dan berprestasi jika dibandingkan dengan orang yang memiliki pola-pola yang lebih optimistis. (Stoltz, 2000)

3. Dimensi Adversity Quotient

Stoltz (2000) mengemukakan bahwa Adversity Quotient terdiri atas 4 dimensi CO2RE, dimana dimensi-dimensi CO2RE ini akan menentukan Adversity Quotient keseluruhan seseorang.

a. C = Control (Kendali)

C adalah singkatan dari “control” atau kendali. C mempertanyakan berapa banyak kendali yang dirasakan terhadap sebuah peristiwa yang menimbulkan kesulitan. Kata kuncinya adalah merasakan. Kendali yang sebenarnya dalam suatu situasi hampir tidak mungkin diukur. Kendali yang dirasakan jauh lebih


(34)

penting. Kendali diawali dengan pemahaman bahwa sesuatu apapun itu, dapat dilakukan.

Perbedaan antara respons AQ yang rendah dan yang tinggi dalam dimensi ini cukup dramatis. Mereka yang AQ-nya lebih tinggi merasakan kendali yang lebih besar atas peristiwa-peristiwa dalam hidup daripada yang AQ-nya lebih rendah. Akibatnya, mereka akan mengambil tindakan yang akan menghasilkan lebih banyak kendali lagi. Merasakan tingkat kendali, bahkan yang terkecil sekalipun akan membawa pengaruh yang radikal dan sangat kuat pada tindakan-tindakan dan pikiran-pikiran yang mengikutinya. Mereka yang memiliki AQ lebih tinggi cenderung melakukan pendakian, sementara orang-orang yang AQ-nya lebih rendah cenderung berkemah atau berhenti.

b. O2 = Origin dan Ownership (Asal Usul dan Pengakuan)

O2 merupakan kependekan dari “origin” (asal usul) dan “ownership”

(pengakuan). O2 mempertanyakan dua hal yaitu siapa atau apa yang menjadi

asal usul kesulitan dan sampai sejauh manakah seseorang mengakui akibat-akibat kesulitan itu. Ada perbedaan besar diantara keduanya.

Asal-usul atau origin ada kaitannya dengan rasa bersalah. Orang yang AQ-nya rendah cenderung menempatkan rasa bersalah yang tidak semestiAQ-nya atas peristiwa-peristiwa buruk yang terjadi. Dalam banyak hal, mereka melihat dirinya sendiri sebagai satu-satunya penyebab atau asal usul (origin) kesulitan tersebut.

Mempersalahkan diri sendiri itu penting dan efektif tapi hanya sampai tahap tertentu. Terlalu berlebihan mempersalahkan diri sendiri, sampai


(35)

melampaui peran seseorang dalam menimbulkan kesulitan, bisa menjadi destruktif. Yang jauh lebih penting lagi adalah sampai sejauh mana seseorang, bersedia mengakui akibat kesulitan itu. Rasa bersalah tidak sama dengan memikul tanggung jawab. Mengakui akibat-akibat yang ditimbulkan oleh kesulitan mencerminkan tanggung jawab, inilah paro kedua dari dimensi O2.

Semakin tinggi skor pengakuan seseorang, semakin besar dirinya mengakui akibat-akibat dari suatu perbuatan, apapun penyebabnya. Semakin rendah skor pengakuan seseorang, semakin besar kemungkinannya untuk tidak mengakui akibat-akibatnya, apapun penyebabnya.

Orang yang memiliki AQ tinggi tidak akan mempersalahkan orang lain sambil mengelakkan tanggung jawab. Orang yang AQ-nya tinggi lebih unggul daripada orang yang AQ-nya rendah dalam kemampuan untuk belajar dari kesalahan-kesalahan. Cenderung mengakui akibat-akibat yang ditimbulkan oleh kesulitan, seringkali tanpa mengingat penyebabnya. Rasa tanggung jawab semacam itu memaksa mereka untuk bertindak, membuat mereka jauh lebih berdaya daripada rekan-rekan mereka yang nya rendah. Orang yang AQ-nya tinggi melakukan pekerjaanAQ-nya dengan lebih baik, dengan menempatkan peran mereka pada tempat yang sewajarnya. Mereka tahu mana yang betul-betul merupakan tanggung jawab mereka.

c. R = Reach (Jangkauan)

Dimensi R ini mempertanyakan sejauh manakah kesulitan akan menjangkau bagian-bagian lain dari kehidupan. Respons-respons dengan AQ


(36)

yang rendah akan membuat kesulitan merembes ke segi-segi lain dari kehidupan seseorang.

Jadi, semakin rendah skor R semakin besar kemungkinan menganggap peristiwa-peristiwa buruk sebagai bencana, dengan membiarkannya meluas. Sebaliknya, semakin tinggi skor R, semakin besar kemungkinan membatasi jangkauan masalahnya pada peristiwa yang sedang dihadapi.

Semakin jauh seseorang membiarkan kesulitan itu mencapai wilayah-wilayah lain dalam kehidupan, akan semakin merasa tidak berdaya dan kewalahan. Membatasi jangkauan kesulitan memungkinkan untuk berpikir jernih dan mengambil tindakan.

d. E = Endurance (Daya tahan)

E atau Endurance mempertanyakan dua hal yang berkaitan yaitu berapa lama kesulitan akan berlangsung dan berapa lama penyebab kesulitan itu akan berlangsung. Semakin rendah skor E, semakin besar kemungkinannya untuk menganggap kesulitan dan atau penyebab-penyebabnya akan berlangsung lama, kalau bukan selama-lamanya.

Berdasarkan penelitian Selligman dan riset yang dilakukan oleh Lorraine Johnson dan Stuart Biddle (dalam Stolz, 2000) menunjukkan bahwa ada perbedaan dramatis antara orang yang mengkaitkan kesulitan dengan sesuatu yang sifatnya sementara versus sesuatu yang lebih permanen atau abadi. Mereka menemukan bahwa orang yang melihat kemampuan mereka sebagai penyebab kegagalan (penyebab yang stabil) cenderung kurang bertahan


(37)

dibandingkan dengan orang yang mengkaitkan kegagalan dengan usaha (penyebab yang sifatnya sementara) yang mereka lakukan.

B. Perkembangan Psikologis Siswa Kelas XI

Berdasarkan penggolongan usia yang dikemukakan oleh Hurlock (1997), siswa kelas XI termasuk dalam usia remaja, yaitu antara 13 sampai 18 tahun yaitu usia matang secara hukum. Karena itulah pada bagian ini akan dikemukakan berbagai hal mengenai remaja yaitu perkembangan kognitif, ciri khas masa remaja, tugas perkembangan remaja, kebutuhan khas remaja, dan pergaulan remaja.

1. Perkembangan kognitif

Tahap perkembangan kognitif pada masa remaja menurut Piaget (dalam Gunarsa, S dan Gunarsa, 1981) terletak pada Tahap IV : yaitu masa formal-operasional. Dalam usia remaja dan seterusnya seseorang sudah mampu berfikir abstrak dan hipotetis. Berpikir abstrak merupakan cara berpikir yang bertalian dengan hal-hal yang tidak dilihat dan kejadian-kejadian yang tidak langsung dihayati.

Shaw dan Costanzo (dalam Ali dan Asrori, 2005) menambahkan bahwa dengan taraf berpikir operasional formal, memungkinkan remaja mampu berpikir secara lebih abstrak, menguji hipothesis dan mempertimbangkan apa saja peluang yang ada padanya daripada sekedar melihat apa adanya. Hal yang sama diungkapkan oleh Piaget (dalam Hurlock,1997) bahwa dengan berkembangnya kemampuan kognitif menyebabkan remaja dalam menghadapi masalah atau


(38)

kesulitan mampu mempertimbangkan semua kemungkinan untuk menyelesaikan dan mempertanggungjawabkannya. Jadi ia dapat memandang masalahnya dari beberapa sudut pandang dan menyelesaikannya dengan mengambil banyak faktor sebagai dasar pertimbangan.

Mappiare (1982) mengungkapkan dalam masa remaja, perkembangan kemampuan pikir remaja dalam menerima dan mengolah informasi abstrak dari lingkungannya memungkinkan remaja menilai benar atau salahnya pendapat-pendapat orang tua atau pendapat-pendapat orang dewasa lainnya. Seirama dengan perkembangan pikirnya, remaja sering mempertanyakan tentang “mengapa”-nya sesuatu. Berbantahan dengan orang tua atau dengan orang dewasa lainnya merupakan hal yang wajar terjadi dalam masa ini.

Selain itu, remaja juga mempunyai kemampuan untuk berpikir secara rasional, artinya ketika menghadapi masalah remaja dapat membuat dan menentukan pilihan atau keputusan-keputusan dengan pertimbangan akal yang intelegent. Hal emosi dan aspirasi-aspirasi memang tidak dapat diabaikan oleh remaja, tetapi remaja juga mempunyai kemampuan mengadakan konsesus terhadap berbagai pertimbangan yang saling bertentangan dan tidak selaras. (Mappiare, 1982)

Dialaminya pertumbuhan otak dan perkembangan kemampuan pikir yang normal pada remaja menyebabkan remaja mampu memecahkan persoalan-persoalan yang dihadapinya, hal ini kemudian menimbulkan kepuasan. (Mappiare, 1982)


(39)

2. Ciri khas masa remaja

2.1. Masa remaja sebagai masa peralihan

Masa remaja adalah masa transisi atau peralihan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa. Ditinjau dari segi fisiknya, mereka sudah bukan anak-anak lagi tetapi jika mereka diperlakukan sebagai orang dewasa ternyata belum dapat menunjukkan sikap dewasa. Sebagai masa transisi, tidak jarang remaja mengalami kesulitan untuk menemukan identitas diri secepatnya. Itulah sebabnya masa ini disebut juga sebagai masa pencarian identitas diri. (Kristiyani, 2005)

Tugas perkembangan dan harapan sosial terhadap orang di masa remaja banyak sekali berkaitan dengan masalah kemandirian Remaja dituntut untuk mandiri dalam segala aspek kehidupan. Tentu saja ini bukan sesuatu yang mudah, mengingat sebelumnya mereka banyak bergantung pada orang tua atau orang dewasa lain di sekitarnya. Keadaan ini seringkali menimbulkan konflik yang dapat menghambat perkembangan pribadi remaja. Remaja ingin diperlakukan sebagai orang dewasa, tetapi di sisi lain mereka belum bisa dikatakan sebagai orang dewasa. (Hurlock,1997)

2.2. Masa remaja sebagai masa belajar

Masa remaja menurut Soejanto (1990) adalah masa yang sebaik-baiknya untuk belajar. Tinjauan psikologis bahwa masa remaja adalah masa belajar karena pada masa remaja itulah tercapai kemasakan-kemasakan jasmani maupun rohani secara menyeluruh dan mencapai puncaknya seoptimal-optimalnya.


(40)

Masa remaja adalah masa belajar karena dalam masa ini remaja mempelajari segala sesuatu, baik karena tuntutan kematangan psikopsikis dan karena keharusan-keharusan sebagai akibat dari perkembangannya.

Minat remaja akan pendidikan sungguh besar. Karena kecerdasan dan bakat yang semakin berkembang, remaja tertarik pada pelajaran dan latihan. Di SMA mereka dibantu untuk memilih pendidikan lanjutan atau pekerjaan yang sesuai bagi bakat dan minat mereka masing-masing(Staf Yayasan Cipta Loka Caraka, 1982). Selain itu minat yang muncul adalah minat remaja pada prestasi. Prestasi yang baik dapat memberikan kepuasan pribadi dan ketenaran. Inilah sebabnya mengapa prestasi, baik dalam olah raga maupun tugas-tugas sekolah menjadi minat yang kuat sepanjang masa remaja. (Hurlock,1997)

Ahmadi dan Supriyono (1991), mengungkapkan bahwa aktivitas belajar remaja tidak selamanya dapat berlangsung secara wajar. Kadang-kadang lancar, kadang-kadang tidak, kadang-kadang dapat cepat menangkap apa yang

dipelajari, kadang-kadang terasa amat sulit. Dalam hal semangat terkadang semangatnya tinggi, tetapi terkadang juga sulit untuk mengadakan konsentrasi. Kesulitan belajar ini tidak hanya disebabkan karena faktor intelegensi yang rendah, akan tetapi dapat juga disebabkan oleh faktor-faktor non intelegensi.

2.3 Masa remaja sebagai usia bermasalah

Salah satu ciri masa remaja yaitu masa remaja sebagai usia bermasalah. Masalah remaja sering menjadi masalah yang sulit diatasi baik oleh remaja. Terdapat 2 alasan bagi kesulitan itu. Pertama pada masa kanak-kanak masalah


(41)

sebagian diselesaikan oleh orang tua dan guru, sehingga kebanyakan remaja menjadi tidak berpengalaman dalam mengatasi masalah. Kedua, karena para remaja merasa diri mandiri sehingga mereka ingin mengatasi masalahnya sendiri dan menolak bantuan orang tua dan guru(Hurlock, 1997).

Hal yang sama diungkapkan pula oleh Mappiare (1982) yang mengemukakan bahwa dalam masa remaja banyak masalah yang harus dihadapi oleh remaja sebagai individu, hal ini dikarenakan sifat emosional remaja. Kemampuan berpikir lebih dikuasai emosionalitasnya sehingga remaja kurang mampu mengadakan konsensus dengan pendapat orang lain yang bertentangan dengan dirinya.

Mappiare (1982) juga mengungkapkan bahwa masa remaja adalah masa yang kritis. Dikatakan kritis sebab dalam masa ini remaja akan dihadapkan dengan persoalan apakah ia dapat menghadapi dan memecahkan masalahnya atau tidak. Keadaan remaja yang dapat menghadapi masalahnya dengan baik, menjadi modal dasar dalam menghadapi masalah selanjutnya sampai dewasa

Soesilowindradini (2006) mengungkapkan bahwa remaja merasa dirinya menghadapi masalah yang banyak sekali dan sukar untuk diselesaikan. Beberapa masalah yang dihadapi oleh remaja :

a) Masalah yang berhubungan dengan Pendidikan

Dalam keseluruhan proses pendidikan di sekolah, kegiatan belajar merupakan kegiatan yang paling pokok bagi siswa. Aktivitas belajar bagi setiap siswa tidak selamanya dapat berlangsung secara wajar. Kadang-kadang lancar, Kadang-kadang-Kadang-kadang tidak. (Ahmadi dan Supriyono,1991)


(42)

Keadaan dimana siswa tidak dapat belajar sebagaimana mestinya disebut dengan kesulitan belajar. Kesulitan belajar ini tidak selalu disebabkan karena faktor intelegensi, tetapi dapat juga karena faktor-faktor non intelegensi. Kesulitan belajar adalah suatu kondisi proses belajar yang ditandai hambatan-hambatan tertentu untuk mencapai hasil belajar. (Ahmadi dan Supriyono,1991)

Soesilawindradini (2006) mengungkapkan pada umumnya remaja suka mengeluh tentang sekolah. Hal-hal yang menyebabkan timbulnya keluh kesah antara lain mengenai pekerjaan rumah, mata pelajaran, peraturan sekolah, dan lain lain. Selain itu, remaja juga bersikap kritis terhadap guru dan cara guru mengajar. (Hurlock,1997)

b) Masalah yang berhubungan dengan nilai-nilai

Akibat perkembangan kemampuan pikir, remaja memikirkan tentang nilai-nilai yang memberikan konsep-konsep mengenai benar dan salah, baik dan buruk serta patut dan tidak patut. Remaja tidak begitu saja menerima konsep-konsep yang dimaksud, tetapi dipertentangkannya dengan citra diri dan struktur kognitif yang dimilikinya.(Mappiare,1982)

Remaja menganggap bahwa yang benar ialah kesesuaian antara ideal dengan prakteknya. Namun, dengan banyaknya ketidaksesuaian yang dilakukan oleh masyarakat sendiri menyebabkan sering muncul konflik-konflik dalam diri remaja ketika menilai benar dan salahnya suatu perbuatan. Remaja mulai menyangsikan konsep benar dan salah yang dikemukakan oleh orang dewasa.(Mappiare,1982)


(43)

Menurut Garrison dalam Mappiare (1982), remaja sangat tertarik pada persoalan-persoalan yang menyangkut kehidupan dan falsafah hidup. Para remaja diharapkan memiliki standar-standar pikir, sikap-perasaan dan perilaku yang dapat menuntun dan mewarnai berbagai aspek kehidupannya. Remaja memerlukan perangkat nilai dan falsafah hidup. Jika remaja tidak memiliki falsafah hidup (terutama yang diterapkan dalam perbuatan) maka mereka tidak memiliki kendali dalam hidupnya, yang dapat membuatnya tidak memiliki kepastian diri.

c) Masalah yang berhubungan dengan Pergaulan

Remaja biasanya tidak banyak berhubungan lagi dengan orang tua serta saudara dan diganti dengan teman-teman sekelas atau teman sekolah. Dalam masa peralihan ini timbul dorongan yang kuat dalam diri remaja yaitu kebutuhan untuk diterima di lingkungannya. (Brouwer,1981) Ini sesuai dengan tugas perkembangan masa remaja yang dikemukakan oleh Mappiare (1982) yaitu menjalin hubungan-hubungan baru dengan teman-teman sebaya baik sesama jenis maupun lain jenis kelamin.

Pergaulan dianggap sangat penting, dan kesulitan-kesulitan di bidang itu menimbulkan kekecewaan yang besar dan gangguan emosional yang besar artinya. Dalam hubungan ini, remaja sering dihadapkan pada persoalan penerimaan atau penolakan teman sebaya terhadap kehadirannya dalam pergaulan. Kalau remaja berhasil menjalin relasi-relasi yang baik dengan teman-temannya, dia akan berhasil melewati masa peralihan itu tanpa banyak kesukaran. (Brouwer,1981)


(44)

2.4 Masa Remaja sebagai Masa Ketidakstabilan

Dalam masa ini remaja sangat tidak stabil keadaannya. Kesedihan yang tiba-tiba berganti dengan kegembiraan, rasa percaya kepada diri sendiri berganti dengan rasa meragukan diri sendiri, semuanya ini adalah ketidakstabilan emosi yang biasa dari remaja. Ketidak stabilan ini juga nampak dalam hubungannya dengan masyarakat. Persahabatannya berganti-ganti, juga sifat yang disukainya dari orang lain selalu berganti-ganti. Dalam memilih jabatanpun berganti-ganti, sehingga belum dapat menentukan rencana untuk masa depan. Keadaan tidak stabil ini adalah akibat dari perasaan yang tidak pasti mengenai dirinya. (Soesilowindradini, 2006)

2.5 Masa Remaja sebagai Masa yang Tidak Realistik

Remaja cenderung memandang kehidupan melalui kaca berwarna merah jambu. Ia melihat dirinya sendiri dan kehidupan sebagaimana yang ia inginkan dan bukan sebagaimana adanya (Hurlock,1997). Cara pandang yang kurang realistik ini akan menimbulkan ketidakstabilan emosi, selain itu ketika ada persoalan yang timbul akan dirasakan remaja mencekam dirinya, karena disangkanya orang lain sepikiran dan ikut tidak puas mengenai dirinya. (Gunarsa, S dan Gunarsa,1981). Dengan bertambahnya pengalaman pribadi dan pengalaman sosial, dan dengan meningkatnya kemampuan untuk berpikir rasional, akan membuat remaja memandang diri sendiri, keluarga, teman dan kehidupan pada umumnya secara lebih realistik. (Hurlock,1997)


(45)

3. Tugas Perkembangan Remaja

Tugas perkembangan masa remaja difokuskan pada upaya meninggalkan sikap dan perilaku kekanak-kanakkan serta berusaha untuk mencapai kemampuan bersikap dan berperilaku secara dewasa. Adapun tugas-tugas perkembangan masa remaja menurut Hurlock (1997) adalah berusaha:

1. Mampu menerima keadaan fisiknya

Remaja senantiasa membandingkan keadaan fisiknya dengan teman-teman sebayanya. Perbandingan yang tidak memuaskan dapat menjadi sumber kekecewaan dan rendah diri.

2. Mampu menerima dan memahami peran seks usia dewasa

Mulai masa pubertas perbedaan antara pria dan wanita makin jelas adanya dan dengan ini timbul peranan-peranan bagi remaja pria dan wanita. 3. Mampu membina hubungan baik dengan anggota kelompok yang berlainan

jenis

Hal yang penting dalam masa ini adalah diterimanya seseorang dalam suatu kelompok, sehingga pada permulaan masa remaja terlihat pembentukan kelompok-kelompok

4. Mencapai kemandirian emosional

Mencapai kebebasan emosional dalam masa remaja adalah penting. Orang-orang dewasa yang gagal menjalankan tugas ini dalam masa remaja mereka, akan menjadi orang yang tidak dapat membuat keputusan sendiri dan menerima tanggung jawab sebagai yang diharapkan dari orang dewasa.


(46)

5. Mencapai kemandirian ekonomi

Tugas ini berasal dari keinginan untuk menjadi dewasa dan menerima tanggung jawab atas hal-hal yang berhubungan dengan kebutuhan ekonomi. 6. Mengembangkan konsep dan keterampilan intelektual yang sangat

diperlukan untuk melakukan peran sebagai anggota masyarakat

7. Memahami dan menginternalisasikan nilai-nilai orang dewasa dan orang tua Bila remaja tidak mengembangkan nilai, dia tidak akan mempunyai pembimbing yang tetap dalam membuat keputusan-keputusan. Padahal remaja makin lama makin harus berdiri sendiri, maka harus membuat pilihan yang banyak berhubungan dengan berbagai hal. Macam pilihan yang dibuatnya sangat penting sehubungan dengan penyesuaiannya dan kebahagiaannya di kemudian hari. (Hurlock, 1997)

8. Mengembangkan perilaku tanggung jawab sosial yang diperlukan untuk memasuki dunia dewasa

Tanggung jawab hidup yang harus semakin ditingkatkan oleh remaja, yaitu mampu memikul sendiri juga menjadi masalah tersendiri bagi mereka. Karena tuntutan peningkatan tanggung jawab tidak hanya datang dari orang tua atau anggota keluarganya tetapi juga dari masyarakat sekitarnya. Tidak jarang masyarakat juga menjadi masalah bagi remaja. Melihat fenomena yang sering terjadi dalam masyarakat yang seringkali juga menunjukkan adanya kontradiksi dengan nilai-nilai moral yang mereka ketahui, tidak jarang remaja mulai meragukan tentang apa yang disebut baik dan buruk. (Ali dan Asrori, 2005)


(47)

9. Mempersiapkan diri untuk memasuki perkawinan

10. Memahami dan mempersiapkan berbagai tanggung jawab kehidupan keluarga

Agar dapat memenuhi dan melaksanakan tugas-tugas perkembangan, diperlukan kemampuan kreatif remaja. Kemampuan kreatif ini banyak diwarnai oleh perkembangan kognitifnya.

4. Kebutuhan khas remaja

Kekhasan dalam perkembangan fase remaja dibandingkan dengan fase perkembangan lainnya adalah adanya kebutuhan khas remaja. Menurut Garrison (dalam Ali dan Asrori, 2005) tujuh kebutuhan khas remaja adalah :

1. kebutuhan akan kasih sayang

2. kebutuhan akan keikutsertaan dan diterima dalam kelompok 3. kebutuhan untuk berdiri sendiri

4. kebutuhan untuk berprestasi

5. kebutuhan akan pengakuan dari orang lain 6. kebutuhan untuk dihargai

7. kebutuhan memperoleh falsafah hidup yang utuh

Pada dasarnya setiap remaja menghendaki semua kebutuhannya dapat terpenuhi secara wajar. Terpenuhinya kebutuhan akan menimbulkan keseimbangan dan keutuhan pribadi. Sebaliknya, remaja akan mengalami kekecewaan, ketidakpuasan, atau bahkan frustasi dan pada akhirnya akan


(48)

mengganggu pertumbuhan dan perkembangannya jika kebutuhannya tidak terpenuhi.

5. Pergaulan Remaja

Pikunas mengungkapkan bahwa remaja dalam tahapan pencarian diri, ditandai dengan kedekatan dan pembentukan kelompok-kelompok dengan teman sebaya, pencarian nilai-nilai baru, pengembangan kepribadian dan identitas diri dalam usaha mencapai status orang dewasa yang memiliki tugas dan tanggung jawab.(Syafitri, 2004) Remaja biasanya tidak banyak berhubungan lagi dengan orang tuanya, dengan kakak atau adik, dan diganti dengan teman-teman sekelas atau teman sekolah. Dalam masa peralihan itu remaja mulai merasa sendirian dan kurang harga diri. Pergaulan dianggap sangat penting, dan kesulitan-kesulitan di bidang itu menimbulkan kekecewaan yang besar dan gangguan emosional yang besar artinya. Kalau remaja berhasil menjalin relasi-relasi yang baik dengan teman-temannya, dia akan berhasil melewati masa peralihan itu tanpa banyak kesukaran. (Brouwer, 1981)

C. SMA Pangudi Luhur Sedayu

1. Sejarah Yayasan Pangudi Luhur Pusat

Berawal pada tahun 1952, sekolah-sekolah dibawah naungan Yayasan Kanisius yang didalamnya berkarya para Bruder FIC bertambah banyak, hingga mengalami kesulitan dalam pengelolaan terutama dari segi finansial. Akhirnya sejumlah sekolah dan asrama ditanggung konggresi FIC, sekaligus menjadi titik


(49)

awal menuju tanggungjawab sendiri. Dua tahun kemudian didirikan Yayasan Pangudi Luhur tepatnya pada tanggal 6 Oktober 1954 dengan akta notaris, yang dirumuskan dalam rapat dewan oleh Br. Petrus Claver. Sekaligus penyerahan sekolah-sekolah yang ditanggung FIC kepada Yayasan Pangudi Luhur sesuai dengan SK kementerian pada tanggal 1 Agustus 1955. Dalam waktu yang singkat nama “Pangudi Luhur” sudah terkenal dan mempunyai reputasi yang cukup baik.

Pada tahun 1958, Br. Leonardus menjabat sebagai pimpinan Badan Pengurus Yayasan Pangudi Luhur dan berkantor dibekas pastoran dan rumah yavenat, disinilah kantor Yayasan Pangudi Luhur didirikan. Pada tahun 1973 Br. Leonardo pindah ke Yogyakarta, Kantor Yayasan Pangudi Luhur diambil alih oleh Br. Cajetanus Wiyarsoatmaja. Ia melanjutkan kebijakan Br. Leonardo dan dibantu Br. Ignatius Ngadiso hingga tahun 1980 dan kepemimpinan Kantor Yayasan Pangudi Luhur diserahterimakan pada Br. Antherus Sutrisno.

Tak dapat disangkal perkembangan Pendidikan Pangudi Luhur sangat pesat semenjak dipegang tanduk kepemimpinan oleh kalangan akademis, terlebih lagi dilanjutkan kepemimpinan baru oleh Br. Dr. Martinus T.H, Br. Drs. Anton Hadiwardaya, Br. Drs. Heribertus Sumarjo MM (th. 1996 – 2001), Br. Antherus Sutrisno, FIC ( 2004 - 2007 ),

Pada tahun 2007 - 2011 Kantor Yayasan Pangudi Luhur dipercayakan generasi muda yang potensial dengan memadukan dua model kepemimpinan yaitu manajemen dan sosial dengan tetap mengedapankan kualitas, akuntabilitias dan kredibilitas pendidikan. Beliau adalah Drs. Br. Theodorus Suwariyanto, MA, FIC.


(50)

2. Visi dan Misi Yayasan Pangudi Luhur

Visi Yayasan Pangudi Luhur yaitu Yayasan Pangudi Luhur merupakan lembaga pendampingan kaum muda untuk berkembang menjadi seorang pribadi yang berkualitas tinggi, beriman, berwatak dan berbudi pekerti luhur.

Misi Yayasan Pangudi Luhur adalah untuk bisa mencapai cita-cita yang termaktub dalam rumusan Visi diatas yang dirumuskan dalam upaya-upaya konkret sebagai berikut :

Visi Pertama yaitu :

a. Menghidupkan dan mengembangkan unit kerja sebagai komunitas iman dan persaudaraan sejati.

b. Meningkatkan peranan mitra kerja dengan melaksanakan shared mission

yaitu menanggung karya perutusan bersama.

c. Menangani Karya Kerasulan Pendidikan Yayasan Pangudi Luhur secara profesional, realistis, kritis, dan kontekstual.

d. Meningkatkan dan mengembangkan komunikasi secara formal dan informal antara Yayasan Pangudi Luhur dan Bruder serta Instansi terkait. e. Mengupayakan pelaksanaan Karya Kerasulan Pendidikan Yayasan

Pangudi Luhur dengan memberikan perhatian kepada kaum miskin, tersingkir dan cacat, lemah, dan mereka yang kurang mengalami cinta. Visi Kedua yaitu mengupayakan pelaksanaan Karya Kerasulan Pendidikan Yayasan Pangudi Luhur sebagai karya pendampingan kaum muda untuk berkembang menjadi seorang pribadi yang berkualitas tinggi, beriman, berwatak,


(51)

dan berbudi pekerti luhur, dengan terlaksananya kegiatan pendidikan dan pembelajaran yang bermutu, terencana, tertib, disiplin, konsisten.

3. Sejarah singkat SMA Pangudi Luhur Sedayu, Bantul

SMA Pangudi Luhur Sedayu berdiri pada tahun 1967. Pada awal mulanya berbentuk SPG dan proses belajar mengajar masih dilakukan dirumah–rumah penduduk, karena pada saat itu belum mempunyai gedung sendiri. Pada saat itu ketika pelaksanaan ujian, para murid harus pergi ke Bantul untuk mengikuti ujian.

SMA Pangudi Luhur Sedayu, membangun gedung sendiri sejak tanggal 1 Oktober 1971 sampai 1 April 1972 dan diresmikan pada tanggal 22 April 1972. Mulai saat itu SMA Pangudi Luhur Sedayu mulai menyelenggarakan ujian sekolah sendiri, sehingga para murid tidak harus pergi ke Bantul untuk mengikuti ujian.

SMA Pangudi Luhur Sedayu termasuk dalam wilayah provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, terletak di Kabupaten Bantul dengan alamat Argosari, Sedayu, Bantul. Dengan bapak Kepala Sekolah saat ini adalah Bpk Drs. Markoes Padmonegoro.

D. Adversity Quotient Siswa Kelas XI

Seperti yang telah diungkapkan pada bagian sebelumnya bahwa siswa kelas XI termasuk dalam usia remaja berdasarkan penggolongan usia yang dikemukakan oleh Hurlock (1997), maka pada bagian ini akan digambarkan


(52)

adalah masa transisi atau peralihan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa. Ditinjau dari segi fisiknya, mereka sudah bukan anak-anak lagi tetapi jika mereka diperlakukan sebagai orang dewasa ternyata belum dapat menunjukkan sikap dewasa. (Kristiyani, 2005)

Tugas perkembangan dan harapan sosial di masa remaja banyak sekali berkaitan dengan masalah kemandirian. Remaja dituntut untuk mandiri dalam segala aspek kehidupan. Ini tidak mudah, mengingat sebelumnya mereka banyak bergantung pada orang tua atau orang dewasa lain. Keadaan ini seringkali menimbulkan konflik yang dapat menghambat perkembangan pribadi remaja. Remaja ingin diperlakukan sebagai orang dewasa, tetapi di sisi lain mereka belum bisa dikatakan sebagai orang dewasa. (Hurlock, 1997).

Masa remaja juga disebut sebagai usia bermasalah. Masalah remaja sering menjadi masalah yang sulit diatasi baik oleh anak laki-laki maupun anak perempuan. Mappiare (1982) mengemukakan bahwa dalam masa remaja banyak masalah yang harus dihadapi oleh remaja sebagai individu. Masa remaja juga disebut masa yang kritis, sebab dalam masa ini remaja akan dihadapkan dengan persoalan apakah ia dapat menghadapi dan memecahkan masalah-masalahnya atau tidak. Keadaan remaja yang dapat menghadapi masalahnya dengan baik, menjadi modal dasar dalam menghadapi masalah selanjutnya sampai dewasa

Para remaja dalam menghadapi permasalahannya ada yang mampu memenuhi tuntutan dan kebutuhan diri sendiri, akan tetapi ada yang tidak mampu memenuhi tuntutan yang ada di lingkungannya yang sangat cepat bertambah dan berubah.(Djuwarijah, 2002)


(53)

Tuntutan dan harapan sosial terhadap perilaku remaja membuat remaja merasa mengalami kesulitan, sehingga remaja harus mampu memilih dengan bijak hal-hal apa yang baik untuk dilakukannya. Ketangguhan dan daya juang dalam memenuhi tuntutan sosial harus dimiliki remaja kalau dia tidak ingin dikatakan sebagai orang yang menyimpang dan ingin mendapatkan penerimaan di masyarakat. Dengan demikian, ketangguhan dan daya tahan dalam menghadapi kesulitan pada masa remaja menjadi sangat penting serta menunjang pencapaian tugas-tugas perkembangan dan harapan sosial yang berlaku pada saat itu. (Kristiyani,2005)

Setiap kesulitan merupakan tantangan, setiap tantangan merupakan suatu peluang, dan setiap peluang harus disambut. Perubahan merupakan bagian dari suatu perjalanan yang harus diterima dengan baik. Pada umumnya ketika dihadapkan pada tantangan-tantangan hidup, kebanyakan orang berhenti berusaha sebelum tenaga dan batas kemampuan mereka benar-benar teruji. Kemampuan seseorang dalam mengatasi setiap kesulitan hidup itulah yang oleh Stoltz disebut dengan Adversity Quotient.(Stoltz, 2000)

Sebenarnya para remaja memiliki Adversity Quotient atau kemampuan mengatasi kesulitan. Hal ini dikemukakan oleh Gunarsa, S dan Gunarsa (1991), para remaja memiliki daya juang, daya menegakkan diri dan membentuk masa depannya sendiri. Dengan ketekunan dan daya juang untuk mengatasi rintangan-rintangan di luar dirinya, seseorang dapat membentuk dan mengarahkan perjalanan hidupnya. Para remaja atau muda mudi harus meneliti diri sendiri, dimanakah letak kelemahan dan kekuatan kemampuannya. Setelah diperoleh


(54)

pemahaman diri tentang kemampuannya yang dimiliki dan dapat meningkatkannya, barulah tiba saatnya mengambil suatu keputusan. Remaja mencoba menggunakan kemampuan berpikirnya untuk memecahkan problema-problema, menganalisa kesukaran-kesukaran dan mensitesanya kembali sebagai bahan untuk merumuskan pengalaman-pengalamannya.(Soejanto,1990)

Berdasarkan teori Ketidakberdayaan Yang Dipelajari (dalam Stoltz, 2000), kesuksesan seseorang mungkin terutama ditentukan oleh cara dia menjelaskan atau merespon peristiwa-peristiwa dalam kehidupan. Seligman (dalam Stoltz, 2000) menemukan bahwa mereka yang merespon kesulitan sebagai sesuatu yang sifatnya tetap, internal dan dapat digeneralisasi ke bidang-bidang kehidupan lainnya cenderung menderita di semua bidang kehidupannya, sedangkan mereka yang menanggapi situasi-situasi sulit sebagai sesuatu yang sifatnya eksternal, sementara, dan terbatas cenderung menikmati banyak manfaat, mulai dari kinerja sampai kesehatan.

Bermacam kesulitan yang dihadapi lebih baik dipositifkan. Sebab hanya dengan mempositifkan itulah efisiensi akan ditemukan. Mempositifkan kesulitan berarti menjalani kehidupan dengan optimisme. Dengan pandangan optimis seseorang akan lebih sukses. (Soejanto,1990)

Bila remaja dapat menghadapi persoalan-persoalannya, dia akan mengembangkan rasa percaya pada diri sendiri dan mampu menghadapi segala sesuatu. Bila tidak, dia akan mengembangkan perasaan gagal dan tidak mampu menghadapi apa-apa, dimana perasaan itu dapat tetap tinggal dalam dirinya untuk selanjutnya. (Soesilowindradini, 2006)


(55)

Kesuksesan dalam pelaksanaan tugas-tugas perkembangan pada masa remaja akan membawa kesuksesan dalam pelaksanaan tugas-tugas perkembangan selanjutnya. Semakin banyak tugas perkembangan yang tidak dilaksanakannya dengan baik, makin tinggi pula intensitas persoalan yang menghadangnya (Mappiare, 1982)

Remaja dalam hal ini siswa- siswa kelas XI, jika mempunyai Adversity Quotient yang tinggi dan mampu mengatasi kesulitan serta hambatan yang ada, maka akan timbul rasa puas dan percaya diri dalam menghadapi masalah. Akhirnya siswa-siswa tersebut akan mencapai kesuksesan dalam masa perkembangan selanjutnya. Begitu pula sebaliknya, bila siswa-siswa kelas XI mempunyai Adversity Quotient rendah, maka siswa-siswa tersebut tidak mampu mengatasi kesulitan dan hambatan yang ada, maka akan timbul perasaan gagal dan tidak mampu menghadapi masalah, yang akhirnya dapat menimbulkan kegagalan dalam masa perkembangan selanjutnya.

Melihat penjelasan diatas mengenai peran Adversity Quotient bagi siswa kelas XI sebagai remaja dan melihat sepintas mengenai SMA Pangudi Luhur Sedayu pada bagian sebelumnya, menimbulkan pertanyaan dalam diri peneliti yaitu bagaimana sebenarnya tingkat Adversity Quotient yang dimiliki oleh siswa-siswa kelas XI SMA Pangudi Luhur Sedayu.


(56)

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Jenis Penelitian ini adalah penelitian Deskriptif. Penelitian Deskriptif adalah penelitian yang bertujuan menggambarkan secara sistematik dan akurat fakta dan karakteristik mengenai populasi atau mengenai bidang tertentu. Data yang dikumpulkan semata-mata bersifat deskriptif sehingga tidak bermaksud mencari penjelasan, menguji hipothesis, membuat prediksi maupun

mempelajari implikasi. (Azwar, 2005) Hal ini sesuai dengan tujuan penelitian ini yaitu untuk melihat tingkat Adversity Quotient siswa SMA kelas XI, tanpa disertai dengan pengajuan hipothesis mengenai Adversity Quotient.

Pada penelitian deskripsi ini dilakukan analisis hanya sampai pada taraf deskripsi, yaitu menganalisis dan menyajikan fakta secara sistematik sehingga dapat lebih mudah untuk difahami dan disimpulkan. Pendekatan yang

digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kuantitatif yang menekankan analisisnya pada data-data numerikal (angka) yang diolah dengan metoda statistika, sehingga uraian kesimpulan dalam penelitian ini didasari oleh angka meskipun diolah tidak secara terlalu dalam. (Azwar,2005)


(57)

B. Subyek Penelitian

Subyek dalam penelitian ini adalah siswa Kelas XI angkatan 2006/2007 SMA Pangudi Luhur Sedayu. Penelitian ini dilaksanakan di SMA Pangudi Luhur Sedayu dikarenakan sekolah ini adalah sekolah yang terbuka dan memberi kesempatan bagi semua pihak yang hendak melakukan kegiatan penelitian di SMA Pangudi Luhur Sedayu.

C. Variabel Penelitian

Bentuk penelitian ini adalah studi deskriptif, karena itu tidak ada kontrol terhadap variabel. Variabel dalam penelitian ini adalah Adversity Quotient .

D. Definisi Operasional

Definisi operasional dimaksudkan untuk membatasi arti variabel penelitian yang digunakan dalam penelitian ini, sehingga tidak terjadi salah pengertian dalam menginterpretasikan data dan hasil penelitian yang akan diperoleh.

Adversity Quotient adalah kemampuan seseorang dalam bertahan dan mengatasi masalah atau kesulitan serta tantangan hidup yang dihadapi. Adversity Quotient diukur dengan menggunakan skala Adversity Quotient yang dibuat oleh peneliti berdasar karakteristik yang dikemukakan Stoltz(2000). Adversity Quotient seseorang diukur dalam 4 dimensi CO2RE, dimana dimensi-dimensi

CO2RE ini akan menentukan AQ keseluruhan seseorang. Dimensi CO2RE yang

dimaksud :


(58)

b. O2 = Origin dan Ownership (Asal Usul dan Pengakuan)

c. R = Reach (Jangkauan) d. E = Endurance (Daya tahan)

Kemampuan Adversity Quotient dalam penelitian ini dilihat dalam 3 area permasalahan sesuai dengan dikemukakan oleh Ahmadi dan Supriyono(1991), Soesilawindradini (2006), (Hurlock,1997), (Mappiare,1982) dan (Brouwer,1981). Tiga area permasalahan tersebut antara lain :

1. Masalah yang berhubungan dengan pendidikan

yaitu masalah-masalah yang dialami oleh remaja yang berhubungan dengan pendidikan.

2. Masalah yang berhubungan dengan nilai-nilai

yaitu masalah-masalah yang dialami oleh remaja yang berhubungan dengan nilai-nilai yang diyakini atau dianut remaja.

3. Masalah yang berhubungan dengan pergaulan

yaitu masalah-masalah yang dialami oleh remaja yang berhubungan dengan pergaulan baik itu pergaulan dengan sesama jenis maupun pergaulan dengan lain jenis.

Tinggi rendahnya Adversity Quotient dinilai dari skor total Skala Adversity Quotient. Semakin tinggi skor total subyek dalam skala tersebut, semakin tinggi pula Adversity Quotient subyek.


(59)

E. Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode skala. Metode skala yang digunakan dalam penelitian ini digunakan untuk melihat tingkat Adversity Quotient pada siswa SMA kelas XI.

Skala mempunyai karakteristik sebagai alat ukur psikologi, yaitu stimulus berupa pernyataan yang mengungkap indikator perilaku dari atribut yang akan diukur, skala berisikan banyak aitem dan jawaban dalam skala dapat diterima sejauh diberikan secara jujur dan bersungguh-sungguh. Alasan pemilihan skala dalam penelitian ini karena metode skala jika dirancang dengan baik umumnya memiliki reliabilitas yang memuaskan. (Azwar,2002)

Skala Adversity Quotient ini disusun oleh peneliti. Pembuatan skala ini berdasarkan 4 dimensi CO2RE Adversity Quotient yang dikemukakan oleh Stoltz,

yang terdiri atas :

a. C = Control (Kendali)

b. O2 = Origin dan Ownership (Asal Usul dan Pengakuan)

c. R = Reach (Jangkauan) d. E = Endurance (Daya tahan)

Skala Adversity Quotient untuk uji coba terdiri atas enam puluh empat butir. Dalam blue print skala Adversity Quotient dapat dilihat prosentase masing-masing aspek dan area masalah, dimana area masalah pendidikan memiliki prosentase yang lebih besar dibanding 2 area masalah yang lain. Hal ini dikarenakan subyek dalam penelitian ini adalah siswa kelas XI sehingga


(60)

peneliti lebih berfokus pada masalah siswa yang berhubungan dengan pendidikan.

Blue print skala Adversity Quotient dapat dilihat dalam tabel 3.1. sedangkan sebaran butir dalam skala uji coba dapat dilihat dalam tabel 3.2.

Tabel : 3.1

Blue Print Skala Uji Coba Adversity Quotient

Aspek Permasalahan Indikator

Pendidikan Nilai-nilai Pergaulan

fav unfav fav unfav fav unfav

Total C Kendali yang dirasa terhadap peristiwa yang menimbulkan kesulitan

6,25 % 7,81 % 4,69 % 3,13 % 1,56 % 1,56 % 25%

O2

Yang menjadi asal usul kesulitan

3,13 % 1,56 % 1,56 % 3,13 % 1,56 % 1,56 %

Sejauh mana mengakui akibat kesulitan

3,13 % 3,13 % 1,56 % 1,56 % 1,56 % 1,56 %

25% R Sejauh mana kesulitan menjangkau bagian dari kehidupan

7,81 % 7,81% 1,56 % 1,56 % 3,13 % 3,13 %


(61)

E

Berapa lama kesulitan berlangsung

3,13 % 1,56 % 1,56 % 3,13 % 1,56 % 1,56 %

Berapa lama penyebab kesulitan berlangsung

1,56 % 3,13 % 3,13 % 1,56 % 1,56 % 1,56 %

25%

Total 50 % 28.% 22% 100%

Tabel : 3.2

Susunan Butir Skala Uji Coba Adversity Quotient

Aspek Permasalahan Indikator

Pendidikan Nilai-nilai Pergaulan

fav unfav fav unfav fav unfav

Total C Kendali yang dirasakan terhadap peristiwa yang menimbulkan kesulitan 2, 30, 40, 52 15, 20, 36, 47, 48 1, 11, 29 31, 53

39 35 16

O2

Yang menjadi asal usul kesulitan

22, 56 24 21 37, 59 6 17

Sejauh mana mengakui akibat kesulitan

14, 60 27, 28, 34 32 3 61 16 R Sejauh mana kesulitan menjangkau bagian dari kehidupan 25, 26, 33, 63, 64 4, 5, 18, 49, 62


(62)

E

Berapa lama kesulitan berlangsung

51,41 23 12 9, 42 7 44

Berapa lama penyebab kesulitan berlangsung

13 19, 55 38, 46 10 58 43 16

Total 16 16 9 9 7 7 64

Metode yang digunakan dalam penyusunan Skala Adversity Quotient adalah metode Likert. Pilihan jawaban atas masing-masing aitem terdiri dari 4

kategori dengan skornya masing-masing yang dapat dilihat dalam tabel berikut ini:

Tabel : 3.3

Skor jawaban Pernyataan favorable dan Unfavorable

Skala Adversity Quotient

Kategori Jawaban

Skor Pernyataan

Favorable

Pernyataan

Unfavorable

SS 4 1

S 3 2


(63)

STS 1 4 Keterangan kategori jawaban :

SS : Sangat setuju

S : Setuju

TS : Tidak Setuju

STS : Sangat Tidak Setuju

Peneliti hanya memberikan 4 pilihan jawaban dan meniadakan kategori

jawaban tengah atau netral untuk menghindari adanya kecenderungan jawaban ketengah (central tendency effect) dan untuk melihat kecenderungan jawaban ke arah sesuai atau tidak sesuai (Hadi,1996)

Dalam pemberian skor, bila subyek memberikan respon positif pada

pernyataan favorable maka akan mendapat skor lebih tinggi daripada respon yang negatif. Sedangkan pada aitem unfavorable, respon negatif akan mendapat skor yang lebih tinggi daripada respon yang positif.

F. Pertanggungjawaban Mutu Alat Ukur 1. Validitas Alat Ukur

Validitas alat ukur adalah seberapa jauh suatu alat ukur dapat mengukur aspek yang diukur (Hadi,1996). Validitas berarti tingkat ketepatan dan kecermatan suatu alat ukur dalam melakukan fungsi ukurnya (Azwar,2002). Alat ukur dikatakan valid jika dapat memberikan hasil ukur yang sesuai dengan maksud dilakukannya pengukuran.


(64)

Validitas yang digunakan dalam skala penelitian ini adalah validitas isi. Validitas isi dilakukan melalui pengujian terhadap isi alat ukur dengan analisis rasional yaitu dengan menganalisis sejauh mana alat ukur merefleksikan keseluruhan isi kawasan ukur dan ciri atribut yang hendak diukur (Azwar,2002). Salah satu cara untuk mengetahui apakah validitas isi telah dipenuhi adalah dengan melihat apakah aitem-aitem telah disusun menurut blue print-nya yaitu batasan domain ukur yang telah ditetapkan semula.

Dalam hal ini, peneliti menyusun skala berdasarkan aspek-aspek yang ada dalam landasan teori yang telah termuat dalam blue print, kemudian mengkonsultasikannya dengan dosen pembimbing selaku pihak yang berkompeten. Setelah skala dikoreksi oleh dosen pembimbing dan telah dilakukan perbaikan-perbaikan, selanjutnya dilakukan uji coba sampel kecil pada 5 orang mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Uji coba sampel kecil ini dilakukan dengan tujuan meminta masukan apakah kalimat dari masing-masing pernyataan mudah dipahami. Selain itu, untuk mengetahui apakah pemahaman dari kelima subyek uji coba sampel kecil tersebut sesuai dengan yang dimaksudkan dengan isi pernyataan atau tidak. Dari hasil uji coba sampel kecil tersebut, peneliti mendapatkan beberapa masukan yang kemudian dikonsultasikan kembali dengan dosen pembimbing.

Setelah Dosen Pembimbing melakukan analisis rasional terhadap Skala

Adversity Quotient yang disusun oleh peneliti, dan menyatakannya mampu memberikan hasil ukur yang sesuai dengan maksud dilakukannya pengukuran


(65)

tersebut, maka peneliti menyusun skala tersebut dalam satu bendel skala yang disebut sebagai Skala Adversity Quotient.

2. Seleksi aitem dan Uji Reliabilitas Alat Ukur

Sebelum mengadakan penelitian, peneliti melakukan uji coba alat ukur. Uji coba alat ukur dilakukan untuk melihat kesahihan dan reliabilitas aitem alat ukur yang akan digunakan untuk penelitian. Peneliti mengambil sebagian dari siswa kelas XI SMA Pangudi Luhur Sedayu, sebagai subyek dalam uji coba alat ukur yang dilaksanakan pada hari Sabtu tanggal 25 Agustus 2007 pukul 12.00 – 12.30 di SMA Pangudi Luhur Sedayu, Bantul.

Subyek uji coba alat ukur berjumlah 36 orang. Dari 36 bendel skala yang diberikan, seluruhnya memenuhi syarat untuk dianalisis. Berikut ini analisis data yang diperoleh dalam uji coba alat ukur.

2.1 Uji Kesahihan Skala Uji Coba

Uji kesahihan butir skala ini dilakukan dengan menggunakan program

SPSS 10.0 for Windows dengan mengukur korelasi antara aitem-aitem yang diuji dengan skor total responden uji coba. Dari hasil pengujian ini, 19 aitem dari 64 aitem dinyatakan gugur karena mempunyai korelasi rendah terhadap skor total, koefisein korelasi < 0,3 (Azwar, 2002)

Aitem-aitem yang gugur tersebut mencakup 4 aitem dari aspek Control, 6 aitem dari aspek Origin dan Ownership, 3 aitem dari aspek Reach dan 6 aitem dari aspek Endurance. Diantara aspek-aspek dalam skala ini tidak didapati satupun aspek yang hilang akibat keseluruh aitemnya gugur.


(66)

Aspek Reach merupakan aspek dengan jumlah aitem terbesar, yaitu terdiri dari 13 aitem. Aspek Origin dan Ownership dan aspek Endurance merupakan aspek dengan jumlah aitem terkecil, yaitu 10 aitem. Dengan demikian selisih antara aspek dengan jumlah aitem terbesar dan aspek dengan jumlah aitem terkecil tidak terlalu besar.

Dalam tabel berikut ini disajikan aitem gugur dan aitem sahih dalam skala uji coba Adversity Quotient, serta sebaran aitem dalam skala penelitian.


(67)

Tabel : 3.4

Aitem Gugur Skala Adversity Quotient

Aspek Permasalahan Indikator

Pendidikan Nilai-nilai Pergaulan

fav unfav fav unfav Fav unfav

Total C Kendali yang dirasakan terhadap peristiwa yang menimbulkan kesulitan

20 1, 29 4

O2

Yang menjadi asal usul kesulitan

56 6 17

Sejauh mana mengakui akibat kesulitan

60 28 32 61

6 R Sejauh mana kesulitan menjangkau bagian dari kehidupan

33 5 16 3

E Berapa lama kesulitan berlangsung 51 23 Berapa lama penyebab kesulitan berlangsung

13 19 38 43

6

Total 5 5 3 1 2 3 19


(68)

Aitem Sahih Skala Adversity Quotient

Aspek Permasalahan Indikator

Pendidikan Nilai-nilai Pergaulan

fav unfav fav Unfav fav unfav

Total C Kendali yang dirasakan terhadap peristiwa yang menimbulkan kesulitan 2(1) 30(22) 40(28) 52(39) 15(10) 36(20) 48(42) 47(32) 11(7) 31(12) 53(35) 39(23) 35(24) 12 O2 Yang menjadi asal usul kesulitan

22(15) 24(18) 21(14) 37(19) 59(37)

Sejauh mana mengakui akibat kesulitan

14(9) 27(25) 34(21) 3(2)

10 R Sejauh mana kesulitan menjangkau bagian dari kehidupan 25(16) 26(17) 63(44) 64(45) 4(5) 18(13) 49(36) 62(43)

57(38) 54(41) 50(33) 45(31) 8(4) 13 E Berapa lama kesulitan berlangsung 41(27) 12(8) 9(6),

42(26) 7(3) 44(30)

Berapa lama penyebab kesulitan berlangsung

55(40) 46(29) 10(11) 58(34)

10

Total 11 11 6 8 5 4 45

Keterangan Aitem Sahih :

-angka tanpa ( ) adalah nomer aitem dalam skala uji coba -angka dengan ( ) adalah nomer aitem dalam skala penelitian


(1)

Kategori dan Deskripsi skor aspek Reach

Subyek Skor Aspek R Kategori

R1 39 Tinggi R2 44 Tinggi R3 35 Tinggi R4 44 Tinggi R5 38 Tinggi R6 43 Tinggi R7 40 Tinggi R8 35 Tinggi R9 40 Tinggi R10 42 Tinggi R11 24 Rendah R12 30 Sedang R13 36 Tinggi R14 36 Tinggi R15 35 Tinggi R16 34 Sedang R17 44 Tinggi R18 32 Sedang R19 48 Tinggi R20 43 Tinggi R21 46 Tinggi R22 45 Tinggi R23 35 Tinggi R24 37 Tinggi R25 38 Tinggi R26 41 Tinggi R27 38 Tinggi R28 41 Tinggi R29 41 Tinggi R30 39 Tinggi R31 34 Sedang R32 33 Sedang R33 41 Tinggi R34 34 Sedang R35 41 Tinggi R36 36 Tinggi R37 38 Tinggi R38 34 Sedang R39 42 Tinggi


(2)

R42 36 Tinggi R43 39 Tinggi R44 45 Tinggi R45 36 Tinggi R46 35 Tinggi R47 38 Tinggi R48 37 Tinggi R49 38 Tinggi R50 36 Tinggi R51 37 Tinggi R52 34 Sedang R53 38 Tinggi R54 36 Tinggi R55 38 Tinggi R56 33 Sedang R57 39 Tinggi R58 36 Tinggi R59 35 Tinggi R60 38 Tinggi R61 40 Tinggi R62 42 Tinggi


(3)

Kategori dan Deskripsi skor aspek Endurance

Subyek Skor aspek E Kategori

R1 29 Tinggi R2 30 Tinggi R3 29 Tinggi R4 28 Tinggi R5 23 Sedang R6 36 Tinggi R7 32 Tinggi R8 34 Tinggi R9 31 Tinggi R10 35 Tinggi R11 27 Tinggi R12 27 Tinggi R13 35 Tinggi R14 30 Tinggi R15 28 Tinggi R16 31 Tinggi R17 36 Tinggi R18 27 Tinggi R19 35 Tinggi R20 31 Tinggi R21 38 Tinggi R22 34 Tinggi R23 34 Tinggi R24 35 Tinggi R25 29 Tinggi R26 30 Tinggi R27 34 Tinggi R28 32 Tinggi R29 30 Tinggi R30 30 Tinggi R31 32 Tinggi R32 32 Tinggi R33 22 Rendah R34 30 Tinggi R35 31 Tinggi R36 32 Tinggi R37 33 Tinggi R38 29 Tinggi


(4)

R41 29 Tinggi R42 28 Tinggi R43 31 Tinggi R44 34 Tinggi R45 28 Tinggi R46 27 Tinggi R47 32 Tinggi R48 33 Tinggi R49 32 Tinggi R50 32 Tinggi R51 29 Tinggi R52 27 Tinggi R53 28 Tinggi R54 29 Tinggi R55 32 Tinggi R56 29 Tinggi R57 31 Tinggi R58 31 Tinggi R59 29 Tinggi R60 28 Tinggi R61 31 Tinggi R62 32 Tinggi


(5)

LAMPIRAN VII :


(6)