Klasifikasi antibiotika Rekomendasi penggunaan antibiotika profilaksis untuk sectio caesarea

21 Antibiotika profilaksis pada SC sebaiknya diberikan 30-60 menit sebelum operasi dimulai. Pemberian antibiotika profilaksis yang terlalu awal dapat menyebabkan konsentrasi antibiotika tidak memadai dalam jaringan saat dan selama operasi berlangsung. Efektifitas antibiotika dalam melindungi pasien dari bakteri penyebab infeksi pun menjadi berkurang sehingga risiko terjadinya infeksi postpartum akan meningkat. Begitu pula pada pasien yang baru menerima antibiotika profilaksis setelah operasi. Tidak ada antibiotika profilaksis yang dapat melindungi pasien dari infeksi bakteri selama operasi berlangsung hingga selesai ASHP, 2013; Sullivan, et al., 2007. Rekomendasi durasi pemberian antibiotika profilaksis yaitu maksimal 24 jam setelah pembedahan. Hal ini dikarenakan belum ditemukan bukti mendukung bahwa perpanjangan durasi antibiotika profilaksis memberikan manfaat yang baik. Kekhawatiran justru muncul karena durasi yang panjang terkait dengan munculnya resistensi ASHP, 2013.

2. Klasifikasi antibiotika

Berdasarkan mekanisme aksinya, antibiotika dapat diklasifikasikan menjadi 3 kelompok besar. Pertama, antibiotika dengan target dinding sel, yaitu golongan betalaktam, glikopeptida, daptomisin, dan kolistin. Kedua, antibiotika yang memblok produksi protein. Yang termasuk dalam kelompok ini adalah rifampisin, aminoglikosida, makrolida dan ketolida, tetrasiklin dan glisisiklin, kloramfenikol, klindamisin, streptogramin, linezolid, dan nitrofurantoin. Ketiga, antibiotika dengan target DNA atau replikasi DNA. Golongan sulfa, kuinolon, dan metronidazol termasuk dalam kelompok ini Hauser, 2013. 22

3. Rekomendasi penggunaan antibiotika profilaksis untuk sectio caesarea

Rekomendasi antibiotika yang digunakan sebagai profilaksis bedah adalah antibiotika golongan sefalosporin generasi I dan generasi II. Pada kasus tertentu yang dicurigai melibatkan bakteri anaerob dapat dikombinasikan dengan metronidazol. Tidak dianjurkan menggunakan sefalosporin generasi III dan IV, golongan karbapenem, dan golongan kuinolon untuk profilaksis bedah Menteri Kesehatan Republik Indonesia, 2011. Sefalosporin adalah golongan antibiotika yang paling sering diresepkan untuk profilaksis bedah karena memiliki spektrum luas, profil farmakokinetik yang menguntungkan, efek samping jarang terjadi, dan murah. Cefazolin merupakan sefalosporin generasi pertama dan antibiotika profilaksis pilihan untuk SC. Rekomendasi penggunaan cefazolin sebagai profilaksis yaitu 2 g dosis tunggal dan diberikan 30-60 menit sebelum pembedahan. Kombinasi klindamisin dan aminoglikosida menjadi pilihan terapi untuk pasien yang alergi dengan betalaktam ASHP, 2013; Kanji and Devlin, 2008. Cefuroxime merupakan sefalosporin generasi II yang lebih poten melawan E. coli, K. pneumoniae, dan P. mirabilis dibanding dengan sefalosporin generasi I. Generasi II ini juga mampu melawan Neisseria spp., dan H. influenzae Hauser, 2013. Cefuroxime memiliki keamanan dan efektifitas yang sama dengan ampicillin yang dikombinasikan dengan sulbaktam sebagai antibiotika profilaksis pada prosedur SC Ziogos, et al., 2010. Cefotaxime, ceftriaxon, dan cefditoren merupakan sefalosporin generasi III. Modifikasi yang ada pada generasi ini yaitu penambahan aminotiazol yang 23 dapat meningkatkan penetrasi agen antibiotika untuk menembus membran luar bakteri, meningkatkan afinitas dan meningkatkan stabilitas saat melawan bakteri. Generasi ini dapat melawan E. coli, Klebsiella spp., Proteus spp., Neisseria spp., and H. influenzae. Selain itu dapat pula melawan Enterobacteriaceae, termasuk Enterobacter spp., Citrobacter freundii, Providencia spp., Morganella morganii, dan Serratia spp.. Karena kemampuannya yang tidak sesuai untuk mencegah dan mengatasi bakteri yang biasa mengkontaminasi pada prosedur bedah, maka sefalosporin generasi III, IV, dan V tidak digunakan sebagai profilaksis bedah Hauser, 2013. Tidak ada bukti bahwa sefalosporin generasi III lebih efektif dibanding sefalosporin generasi I dan II sebagai profilaksis pada bedah. Sefalosporin generasi III dan IV sebaiknya tidak digunakan untuk profilaksis karena beberapa alasan diantaranya yaitu harganya yang lebih mahal, kurang aktif dibanding cefazolin dalam mengatasi staphylococci, memiliki spektrum yang tidak spesifik untuk mikroorganisme pada bedah elektif, dan penggunaannya sebagai profilaksis dapat meningkatkan risiko resistensi McEvoy, 2005. Ampicillin atau aminopenicillin diketahui memiliki efikasi yang sama dengan antibiotika golongan sefalosporin generasi I dan II. Golongan antibiotika tersebut merupakan antibiotika spektrum luas yang memiliki aktifitas baik terhadap bakteri Gram negatif maupun Gram positif. Waktu paruh ampicillin pendek dan spektrumnya yang lebih sempit dibanding sefalosporin generasi I. Ampicillin dapat mengatasi bakteri Gram positif Streptococcus pyogenes, Viridans streptococci, Streptococcus pneumonia, enterokokus, Listeria 24 monocytogenes, Gram negatif Neisseria meningitides, Haemophilus influenzae, Enterobacteriaceae, dan bakteri anaerob Clostridia spp. kecuali C. difficile dan Actinomyces israelii. Ampicillin tidak dapat mengatasi bakteri yang memproduksi enzim betalaktamase yang dapat menyebabkan bakteri menjadi resisten terhadap antibiotika golongan ini. Oleh karena itu, ampicillin perlu dikombinasikan dengan antibiotika golongan inhibitor beta-laktamase, seperti klavulanat dan sulbaktam. Kombinasi ini memperlebar spektrum antibiotika. Bakteri yang dapat diatasi dengan kombinasi ini adalah bakteri-bakteri yang dapat diatasi oleh ampicillin tunggal dan diperluas sehingga juga dapat mengatasi bakteri lain seperti Streptococcus pyogenes dan Bacteroides spp Gyte, Dou1, and Vazquez, 2014; Hauser, 2013. Tidak seperti ampicillin, antibiotika golongan sefalosporin generasi I dan II lebih poten untuk mengatasi bakteri yang memiliki enzim beta laktamase. Sefalosporin generasi I dan II dapat melindungi struktur betalaktamnya sehingga tidak mudah dirusak oleh bakteri. Ketiganya memiliki kelemahan yang sama yaitu lemah melawan bakteri anaerob Hauser, 2013. Untuk meningkatkan hasil terapi khususnya pada kasus yang melibatkan bakteri anaerob, maka penggunaan sefalosporin dan ampicillin dapat dikombinasikan dengan agen antibiotika lain seperti metronidazol, klindamisin atau doxycycline, atau azitromisin ASHP, 2013; Hopkins and Smaill, 2000. Metronidazol efektif melawan hampir semua bakteri Gram negatif anaerob, termasuk Bacteroides fragilis, dan bakteri gram positif yang paling anaerob, termasuk Clostridium spp. Metronidazol merupakan salah satu dari beberapa 25 antibiotik yang memiliki aktivitas terhadap C. difficile dan merupakan pilihan perawatan untuk infeksi yang disebabkan oleh organisme ini Hauser, 2013. Antibiotika yang memperluas spektrum antibiotik untuk terapi profilaksis pada SC lainnya adalah azitromisin. Azitromisin lebih baik digunankan sebagai antibiotika profilaksis untuk memperluas spektrum dibanding antibiotika lainnya. Azitromisin memiliki half-life 68 jam, konsentrasi di jaringan yang lebih tinggi dan pada bagian transplasenta lebih rendah dari beberapa antibiotik lain yang umum digunakan untuk indikasi ini. Selain itu, azitromisin aktif terhadap kuman aerob dan anaerob, serta Ureaplasmas, sehingga secara signifikan mengurangi risiko endometritis dan SSI Hanya saja harganya lebih mahal dibanding pilihan antibiotika lain Lamont, et al, 2011, Tita, et al, 2009. Terapi antibiotika profilaksis dosis tunggal lebih efektif dibanding terapi multidosis. Terapi dengan dosis tunggal juga mengurangi biaya, potensi toksisitas, dan risiko kolonisasi organisme resisten Murtha and Silverman, 2011. Rekomendasi dosis dan dosis berulang antibiotika profilaksis dapat dilihat pada Tabel III . Tabel III. Rekomendasi dosis dan dosis berulang beberapa antibiotika profilaksis ASHP, 2013. Antibiotika Rekomendasi dosis Half-life dengan fungsi ginjal normal jam Rekomendasi dosis berulang jam Ampicillin- sulbactam Ampicillin Cefazolin Cefuroxime Cefotaxime Ceftriaxone Clindamycin Gentamicin Metronidazol 3 g ampicillin 2 g sulbactam 1 g 2 g 2 g 1,5 g 1 2 g 900 mg 5 mgkgBB 500 mg 0,8-1,3 1-1,9 1,2-2,2 1-2 0,9-1,7 5,4-10,9 2-4 2-3 6-8 2 2 4 4 3 6 - - - 26

D. Drug related problems DRPs

Dokumen yang terkait

Korelasi Drug Related Problems (DRP) Penggunaan Antibiotika Terhadap Outcomes Pasien Pneumonia di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik Medan Periode Oktober-Desember 2010 dan Januari-Maret 2011

2 74 111

Evaluasi drug related problems obat antidiabetes pada pasien geriatri dengan diabetes melitus tipe 2 di ruang rawat inap rumah sakit umum pelabuhan periode januari-juni 2014

4 24 164

Identifikasi Drug Related Problems (DRPs) Diare Akut Infeksi Pada Pasien Pediatri di Instalasi Rawat Inap RS “X” Kota Tangerang Selatan Periode Januari- Desember 2015

8 22 167

Identifikasi Drug Related Problems (DRPs) Diare Akut Infeksi Pada Pasien Pediatri di Instalasi Rawat Inap RS “X” Kota Tangerang Selatan Periode Januari- Desember 2015.

0 2 167

Evaluasi Drug Related Problems (DRPs) pada pengobatan pasien HIV dengan kandidiasis di Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta periode Januari 2010-Juni 2014.

3 13 142

Evaluasi Drug Related Problems (DRPs) penggunaan diuretik pada pasien geriatri dengan hipertensi komplikasi stroke di Rumah Sakit Panti Rini Yogyakarta periode Januari 2012 - Juni 2013.

0 3 123

Evaluasi drug related problems pada pasien geriatri dengan hipertensi disertai vertigo di RS Panti Rini Yogyakarta periode Januari 2012 - Juni 2013.

1 3 9

Evaluasi drug related problems pada pasien geriatri dengan hipertensi disertai vertigo di RS Panti Rini Yogyakarta periode Januari 2012 Juni 2013

0 0 7

Evaluasi Drug Related Problems (DRPs) penggunaan diuretik pada pasien geriatri dengan hipertensi komplikasi stroke di Rumah Sakit Panti Rini Yogyakarta periode Januari 2012 Juni 201

0 14 121

Persetuj uan Pembimbing EVALUASI DRUG RELATED PROBLEMS (DRPs) PENGGUNAAN ANTIHIPERTENSI DAN ANTIDIABETES PADA PASIEN GERIATRI DENGAN HIPERTENSI DISERTAI DM TIPE2 DI RUMAH SAKIT PANTI RINI YOGYAKARTA PERIODE JANUARI

0 0 145