229
penegakan hukum pajak pasca diadakannya pengampunan pajak. Dengan demikian, wajib pajak secara rasional akan cenderung melihat bahwa biaya
untuk tidak patuh akan lebih besar karena pelanggaran atas ketidakpatuhan akan mudah terdeteksi.
Terdapat tiga argumen mengapa program pengampunan pajak di Indonesia harus dilakukan saat ini tanpa menunggu, misalnya, era keterbukaan informasi
yang akan datang di tahun 2018, yaitu:
i Perubahan lanskap pajak di masa yang akan datang memungkinkan
semakin mudahnya penegakan hukum law enforcement oleh otoritas pajak
. Dengan demikian, terdapatdaya tawar bargaining power yang semakin besar bagi pemerintah di mata wajib pajak. Dengan
demikian, bayangan tentang perubahan di masa mendatang telah menciptakan peluang keberhasilan probability of success yang semakin
besar bagi program pengampunan pajak;
ii Program pengampunan pajak memberikan suatu masa transisi dan peringatan bagi wajib pajak
. Di negara berkembang, ketidakpatuhan wajib pajak juga diakibatkan oleh sistem administrasi pajak yang tidak
sedemikian baik di masa lalu. Oleh karena itu, pengampunan pajak dapat dibaca sebagai kesempatan terakhir, uluran tangan, dan salah satu
bentuk memahami ketidakpatuhan wajib pajak di masa lalu;
iii Pengampunan pajak sejatinya merupakan salah satu wujud upaya pemerintah untuk membangun transparansi data
dengan suatu kesukarelaan dari wajib pajak untuk mengungkapkan harta yang belum
atau belum sepenuhnya dilaporkan dalam SPT. Dengan demikian, pengampunan pajak justru sangat relevan dengan era keterbukaan
informasi.
4. DESAIN PENGAMPUNAN PAJAK
Desain pengampunan pajak juga mempertimbangkan konteks situasi pajak di Indonesia serta dalam rangka menemukan relevansi dengan apa yang menjadi
justifikasinya. Bagian ini menjelaskan tinjauan kritis atas kerangka hukum yang ada dalam program pengampunan pajak.
Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. 021 23529000, Fax 021 3520177, Email: sekretariatmahkamahkonstitusi.go.id
230
4.1. Acuan Hukum
Pertama, dari sisi kerangka hukum. Prinsip demokrasi juga mensyaratkan bahwa pengenaan pajak harus berdasarkan undang-undang dan bukan
administrative regulation.
Terlebih jika hal tersebut mengatur mengenai subjek, objek, tarif dan basis pajak, serta cara atau prosedur administrasi pelunasan
kewajiban pajaknya. Dengan demikian, sifat memaksa yang terdapat dalam pajak idealnya diatur melalui suatu undang-undang. Walaupun bersifat
‘memaksa’, kekuasaan untuk mengenakan pajak dibatasi melalui penerapan prinsip-prinsip yang diperkenalkan oleh Adam Smith yaitu:i equality
dikenakan sesuai kemampuan membayar atau ability to pay, ii prinsip
certainty harus mempunyai kepastian hukum, iii convenience dikenakan
pada saat yang tidak menyulitkan, dan iv economy biaya pemungutan dan kepatuhan seminimal mungkin. Sifat ‘memaksa’ tersebut tunduk pada
keempat elemen tersebut dan tercermin dalam Pasal 2 ayat 1 UU Pengampunan Pajak.
4.2. Sasaran Pada dasarnya, hak untuk mengikuti program pengampunan pajak diberikan
kepada seluruh wajib pajak yang tidak patuh , yakni yang selama ini belum
atau belum sepenuhnya melaksanakan kewajiban pajak.Dalam UU Pengampunan pajak, kriteria ketidakpatuhan ini adalah wajib pajak yang belum
atau belum sepenuhnya melaksanakan kewajiban pajak terkait: i PPh; dan ii PPN atau PPN dan PPNBM.
Dengan kata lain, UU Pengampunan Pajak tidak
hanya memberikan kesempatan sekelompok atau segelintir wajib pajak saja, atau memberikanperlakuan khusus bagi kelompok tertentu apalagi bersifat
diskriminatif. Tetapi, UU Pengampunan Pajak ditujukan kepada seluruh wajib pajak yang tidak patuh
.
Wajib pajak dikatakan tidak patuh apabila tidak mengisi dan menyampaikan SPT secara benar, lengkap, dan jelas, termasuk ketika tidak melaporkan
hartanya
dalam SPT. Pertanyaannya, apakah wajib pajak yang tidak melaporkan hartanya dalam SPT PPh yang ikut pengampunan pajak serta
merta dapat dikatakan pengemplang pajak? Jawabannya jelas belum tentu. Karena, bisa jadi harta yang tidak dilaporkan tersebut memang berasal dari
Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. 021 23529000, Fax 021 3520177, Email: sekretariatmahkamahkonstitusi.go.id
231
penghasilan yang sudah dikenakan pajak atau berasal dari penghasilan yang bukan objek pajak.
4.3. Pengungkapan Harta
Dalam UU Pengampunan Pajak, diatur bahwa untuk mendapatkan pengampunan atas kewajiban pajak yaitu: i PPh; dan ii PPN atau PPN dan
PPNBM yang belum dilaksanakan sesuai dengan ketentuan pajak yang berlaku, mekanismenya dilakukan melalui pengungkapan harta yang belum
atau belum sepenuhnya dilaporkan di SPT PPh tahun 2015
. Uang tebusan yang dibayar untuk mendapatkan pengampunan dihitung dengan basis
pengungkapan harta tersebut. Jadi, terdapat perbedaan antara ‘pengertian’ pengampunan pajak untuk menghapuskan pajak terutang atas kewajiban dua
jenis pajak, dan ‘basis’ penghitungan uang tebusan yang didasarkan atas harta untuk mendapatkan fasilitas penghapusan pajak terutang atas dua jenis
kewajiban jenis pajak tersebut. Dengan demikian, program pengampunan pajak pada dasarnya tidak menciptakan jenis objek pajak baru.
Harta yang belum atau belum sepenuhnya dilaporkan dalam SPT PPh 2015 digunakan sebagai basis untuk mendapatkan pengampunan pajak.
Alasannya, karena harta yang belum atau belum sepenuhnya dilaporkan di SPT PPh 2015 tersebut merepresentasikan kewajiban perpajakan yang
belum atau belum sepenuhnya diselesaikan oleh wajib pajak sampai dengan tahun pajak 2015.
Adapun alasan penggunaan harta sebagai basis mekanisme perhitungan untuk mendapatkan pengampunan pajak adalah sebagai berikut:
i Banyak penghasilan terutama dari aktivitas-aktivitas shadow economy
sulit untuk diidentifikasi dan dikalkulasi, sehingga dibutuhkan suatu informasi lain, yaitu harta, yang mampu mengestimasi
approximation besaran pajak terutang. Pada umumnya, akumulasi dari penghasilan, baik yang dilaporkan maupun tidak, akan diinvestasikan
dalam bentuk harta. Harta tersebut dapat saja berupa aset tidak bergerak, logam mulia, dana deposito, hingga misalkan surat berharga
dan asuransi. Oleh karena itu, sebagian dari harta yang dimiliki oleh wajib pajak pada dasarnya dapat menjadi suatu prediksi tentang kondisi riil dari
aktivitas ekonomi yang dilakukan oleh wajib pajak. Dengan kata lain,
Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. 021 23529000, Fax 021 3520177, Email: sekretariatmahkamahkonstitusi.go.id
232
informasi atas harta yang belum atau belum sepenuhnya diungkap tersebut dapat dipergunakan dalam memetakan perilaku kepatuhan
wajib pajak
. ii Alasan kesederhanaan.Upaya melacak harta pada hakikatnya akan jauh
lebih mudah jika dibandingkan dengan upaya melacak transaksi penghasilan. Pengungkapan harta sebagai prasyarat pengampunan juga
turut mempertimbangkan administrative costpada saat periode pasca pengampunan pajak, di mana meningkatkan kepatuhan akan lebih efisien
karena adanya informasi atas harta wajib pajak sebagai alat verifikasi.
iii Dalam konteks sistem self assessment dengan besaran shadow economy
yang tinggi, seperti di Indonesia, maka upaya matching antara harta dengan pembayaran pajak menjadi sangat penting.Matching antara
nilai pajak yang selama ini dibayarkan dengan jumlah kekayaan akan membuat pemeriksaan pajak semakin mudah. Pada berikutnya, gap
antara pembayaran pajak dan jumlah harta dapat menjadi indikasi adanya penghasilan yang selama ini tidak tercatat atau tidak dilaporkan.
Selain itu, pengungkapan harta tersebut akan sangat bermanfaat bagi penegakan hukum pajak dan upaya memonitor naik turunnya kekayaan
wajib pajak di masa mendatang.
Terkait dengan kewajiban untuk mengungkapkan harta, pengampunan pajak seharusnya ‘tidak dibaca’ sebagai penghilangan unsur paksaan, karena
melalui pengampunan pajak justru pemerintah memaksa wajib pajak yang selama ini tidak patuh agar menjadi patuh. Lebih lanjut lagi, sifat ‘memaksa’
dari pajak juga dapat dilihat dari upaya memaksa pengungkapan harta yang belum atau belum sepenuhnya dilaporkan bagi wajib pajak yang ingin
mendapatkan pengampunan. Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 5 dan 6 UU Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak. Jadi, elemen paksaan
yang ada dalam sistem pajak sejatinya tidak hilang.
4.4. Fasilitas yang Diberikan
Desain program pengampunan pajak paling tidak memberikanempatfasilitas yang berkaitan dengan kewajiban PPh, dan PPN atau PPnBM, yaitu:
i penghapusan pajak terutang yang belum diterbitkan ketetapan pajak, tidak dikenai sanksi administrasi perpajakan, dan tidak dikenai sanksi
Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. 021 23529000, Fax 021 3520177, Email: sekretariatmahkamahkonstitusi.go.id
233
pidana di bidang perpajakan, untuk kewajiban perpajakan dalam masa pajak, bagian Tahun Pajak, dan Tahun Pajak, sampai dengan akhir
Tahun Pajak Terakhir 2015;
ii Penghapusan sanksi administrasi perpajakan berupa bunga, atau denda, untuk kewajiban perpajakan dalam masa pajak, bagian Tahun Pajak, dan
Tahun Pajak, sampai dengan akhir Tahun Pajak Terakhir;
iii Tidak dilakukan pemeriksaan pajak, pemeriksaan bukti permulaan, dan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan, atas kewajiban
perpajakan dalam masa pajak, bagian Tahun Pajak, dan Tahun Pajak, sampai dengan akhir Tahun Pajak Terakhir; dan
iv Penghentian pemeriksaan pajak, pemeriksaan bukti permulaan, dan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan, dalam hal wajib pajak
sedang dilakukan pemeriksaan pajak, pemeriksaan bukti permulaan, dan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan atas kewajiban
perpajakan, sampai dengan akhir Tahun Pajak Terakhir, yang sebelumnya telah ditangguhkan.
Dari fitur-fitur tersebut terlihat bahwa pengampunan pajak kali ini diberikan secara penuh
fully fledge. Terdapat dua alasan pemberian fasilitas-fasilitas
tersebut. Pertama, untuk memastikan bahwa program ini menarik dan dapat mendorong partisipasi yang luas
. Dengan demikian, dapat dimanfaatkan oleh seluruh wajib pajak yang berada pada kelompok 2, 3, dan 4 sesuai
piramida kepatuhan. Kedua, pemberian fasilitas tersebut telah mempertimbangkan aspek proporsionalitas dalam hukum pajak, yaitu
pemilihan cara yang tepat untuk mencapai tujuannya. Tujuan dari program pengampunan pajak ini adalah sesuatu yang lebih luas dan strategis yang
meliputi upaya repatriasi, peningkatan basis pajak, serta penerimaan. Mencapai ketiga tujuan sekaligus merupakan hal yang sulit dan membutuhkan
suatu desain pengampunan pajak yang cakupannya juga luas. Selain itu, aspek proporsionalitas juga terlihat dari keseimbangan antara reward fasilitas-
fasilitas dengan punishment sanksi bagi pihak yang tidak memanfaatkan namun tidak patuh, maupun pihak yang memanfaatkan namun tidak jujur.
Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. 021 23529000, Fax 021 3520177, Email: sekretariatmahkamahkonstitusi.go.id
234
4.5. Tidak Mengampuni atau Melegalisasi Tindak Pidana Lainnya Dalam program pengampunan pajak, hanya tindak pidana perpajakan saja
yang diampuni. Artinya, pengampunan pajak tidak akan menggugurkan, mengurangi, atau menghapuskan tindak pidana lain. Dengan demikian,
peluang untuk penegakan hukum di bidang tindak pidana lainnya masih terbuka. Akan tetapi, dalam upaya penegakan tersebut dasar penyelidikan,
penyidikan, danatau penuntutan pidana informasi yang dipergunakan haruslah berasal dari sumber lain dan bukan yang terkandung dalam Surat
Pernyataan Harta untuk Pengampunan Pajak.
Lebih lanjut lagi, penting untuk dicatat bahwa Undang-Undang Perpajakan di Indonesiatidak memperhatikan asal dari penghasilan yang dikenakan pajak.
Oleh karena itu, setiap tambahan kemampuan ekonomis yang bersumber dari aktivitas ilegal sekalipun seharusnya dapat dikenakan pajak. Selain itu, otoritas
pajak juga hanya berwenang memungut pajak dan tidak memiliki otoritas untuk melegalisasi aktivitas ekonomi tersebut. Pemungutan pajak atas aktivitas yang
melanggar hukum tidak serta merta berarti melegalkannya.
4.6. Jaminan Kerahasiaan Informasi
Pasal 20 UU Pengampunan Pajak memberikan jaminan bahwa data dan informasi yang bersumber dari Surat Pernyataan Harta dan lampirannya yang
diadministrasikan oleh Kementerian Keuangan atau pihak lain yang berkaitan dengan pelaksanaan UU Pengampunan Pajak tidak dapat dijadikan sebagai
dasar penyelidikan, penyidikan, danatau penuntutan pidana terhadap wajib pajak.
Adapun Pasal 21 ayat 3 UU Pengampunan Pajak menyatakan bahwa Menteri, Wakil Menteri, pegawai Kementerian Keuangan, termasuk pihak lain
yang berkaitan dengan pelaksanaan Pengampunan Pajak, dilarang membocorkan, menyebarluaskan, danatau memberitahukan data dan
informasi yang diketahui atau diberitahukan oleh wajib pajak kepada pihak lain.
Pasal 20 dan Pasal 21 ayat 3 di atas sejalan dengan masalah pengaturan kerahasiaan confidentiality informasi wajib pajak merupakan salah satu
elemen utama hak-hak wajib pajak yang mendasar. Artinya, undang-undang maupun ketentuan administrasi pajak harus mengatur bahwa informasi yang
diberikan wajib pajak terkait kewajiban perpajakannya tidak boleh diungkapkan
Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. 021 23529000, Fax 021 3520177, Email: sekretariatmahkamahkonstitusi.go.id
235
kepada publik kecuali dengan seijin wajib pajak yang bersangkutan. Hak wajib pajak atas privasi maupun atas kerahasiaan mengharuskan otoritas pajak
untuk tidak akan menggunakan atau membocorkan informasi pribadi atau keuangan wajib pajak, menjaga kerahasiaan setiap informasi yang diperoleh,
diterima, atau didapat, serta hanya mengizinkan petugas yang telah disahkan oleh hukum untuk menjalankan pemeriksaan data pribadi atau data keuangan
wajib pajak. Jika terdapat perlakuan yang adil dan penghormatan atas hak- haknya, wajib pajak cenderung bersedia lebih patuh terhadap kewajiban
perpajakannya.
Sekali lagi perlu dipahami bahwa UU Pengampunan Pajak hanya dimaksudkan untuk mengampuni kewajiban pajak dan pidana pajak dan tidak
dimaksudkan untuk mengampuni pidana lainnya
. Apabila aparat penegak
hukumpihak lain memiliki sumber data sendiri atas harta yang dilaporkan oleh wajib pajak dalam Surat Pernyataan maka atas harta yang dilaporkan
dalam Surat Pernyataan dapat dijadikan sebagai objek sita, perampasan, objek sengketa perdata dan sebagainya.
5. PROSPEK KEBERHASILAN PENGAMPUNAN PAJAK