290
respon terhadap insentif, yaitu jika keadaan sekeliling seseorang berubah sedemikian rupa sehingga dia dapat meningkatkan kepuasannya dengan
berubah sikap, dia akan melakukan sikap yang demikian Richard A. Posner, Economic Analysis of Law, 1986, h. 4 Kita dapat mengelaborasi
teori tersebut berdasarkan asumsi bahwa orang mengambil keputusan untuk berbuat atau tidak berbuat berdasarkan pertimbangan cost and
benefit.
Dalam soal perpajakan, orang tidak akan menghindari jika keuntungan yang diharapkan dari kepatuhan akan lebih besar dibanding
biaya yang timbul. Terdapat 2 dua cost yang timbul jika menghindari pajak dan melarikannya ke luar negeri, yaitu:
a. Kemampuan aparat untuk menegakkan hukumnya dan memaksa
pembayar pajak memenuhi kewajibannya probability to adjudicate= P; b. Hukuman denda maksimum yang diharapkan=[Sanction].
Perkalian faktor inilah yang membentuk biaya cost yang diperhitungkan akan timbul bagi seseorang yang ingin menghindari pajak.
Seandainya biaya tersebut disebut C, maka C adalah P kemampuan aparatur pajak untuk menegakkan kewenangannya dikalikan denda
maksimum S. Berdasarkan dalil tersebut, maka dalam kondisi pendapatan yang di investasikan di luar wilayah hukum NKRI, menjadikannya di luar
kompetensi aparatur pajak untuk memaksakan dan menegakkan sanksi, sehingga C= P x S, menyebabkan tetap menguntungkan untuk terus
menempatkan uang yang dibawa dari Indonesia tersebut berada dan ditanam di luar wilayah NKRI, karena aman dari jangkauan hukum
Indonesia dan menguntungkan.
Dengan tax amnesty yang memberikan kemudahan dan jaminan- jaminan hukum di Indonesia jika modal tersebut di repatriasi, dengan
pengenaan denda tebusan yang sangat rendah, maka dari analisis cost and benefit,
respon wajib pajak yang di luar jangkauan hukum pajak Indonesia, dengan rasionalitas sebagai maximizer of benefit, akan berubah sikap
karena akan meningkatkan kepuasannya akan benefit yang diperoleh. Fakta empirik dalam tahap pertama tax amnesty, menjadi bukti yang nyata.
2. Affirmative Action.
Dalil para Pemohon tentang UU Tax Amnesty yang mendiskriminasikan pembayar pajak yang taat, maka sesungguhnya tidak
Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. 021 23529000, Fax 021 3520177, Email: sekretariatmahkamahkonstitusi.go.id
291
merupakan issue yang timbul dari Undang-Undanga quo, karena semua berhak untuk meminta tax amnesty dengan mengungkap harta dan
pembayaran pajak yang masih belum sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Jikalau seandainya terjadi – terutama ketika pembayar pajak yang
taat yang telah membayar kewajiban pajaknya selama ini sesuai dengan tarif yang ditentukan UU KUP yang berlaku, tetapi kemudian terjadi
pengampunan kepada mereka yang tidak taat dengan tarif yang berbeda, maka kondisi demikian merupakan hal yang dilihat dari dampak suatu
kebijakan yang diambil dalam apa yang sering disebut sebagai affirmative action.
Tujuan utama affirmative action adalah untuk memungkinkan suatu negara mencapai potensinya secara penuh, dalam hal ini di bidang
perpajakan, dengan jumlah pembayar pajak yang memiliki NPWP, diharapkan akan mendukung kehidupan sektor ekonomi dan sosial. Dengan
demikian mempeprluas basis ekonomi dan dapat merangsang pertumbuhan ekonomi.
a. Affirmative action dirancang untuk memperbaiki penerimaan pajak dari
semua sektor untuk optimalisasi potensi sumber daya yang ada dengan meningkatkan kesadaran dan kepatuhan pembayaran pajak;
b. Affirmative action merupakan seperangkat aturan, kebijakan, pedoman serta praktek administratif yang bermaksud mengakhiri ketidakadilan
dalam perpajakan;
c. Tax amnesty bukan amnesti kepada tindak pidana korupsi yang jika ada dilakukan menjadi masalah tersendiri. Pengampunan pajak Pasal 1 ayat
1 dan Pasal 3 ayat 1 UU Pengampunan Pajak, yang dianggap bertentangan dengan Pasal 23 ayat 1 UUD 1945 bahwa “pajak dan
pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur
dengan undang-undang”. Adalah keliru untuk memahami arti “hukum
memaksa” dalam Pasal 23 ayat 1 UUD 1945, karena frasa “hukum
memaksa” dalam Pasal tersebut adalah suatu pembedaan yang dikenal dalam ilmu hukum tentang pembagian bidang hukum dalam “dwingend
recht” yang diterjemahkan sebagai hukum memaksa yang umumnya
berada dalam hukum publik, dan “aanvullend recht” yang disebut sebagai hukum mengatur, yang hanya operasional jika para pihak belum
mengaturnya sendiri dalam transaksi mereka. Karena sifatnya demikian
Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. 021 23529000, Fax 021 3520177, Email: sekretariatmahkamahkonstitusi.go.id
292
jenis hukum mengatur aanvullend recht yang sifatnya privaatrehtelijk, dapat dikesampingkan oleh pihak-pihak, sedang “dwingend recht” yang
umumnya bersifat publik, tidak. Tentang frasa “memaksa” dalam pasal tersebut adalah menunjuk karakter hukum yang mengaturnya sebagai
bersifat memaksa yang berasal dari apa yang disebut 2 karakter norma hukum, yang disebut hukum memaksa dwingend recht, sebagai norma
hukum yang mengikat secara wajib dan tidak dapat dikesampingkan pihak-pihak. Hukum mengatur anvullend recht yang hanya berlaku
ketika pihak-pihak memiliki kebebasan mengatur sendiri dan mengesampingkan aturan yang sifatnya aanvullend recht. Sifat memaksa
yang dimaksud menyatakan bahwa dasar hukum pajak dan pungutan lain, harus didasarkan kepada undang-undang dan tidak ada pilihan
dengan hukum yang bersifat aanvullend. Dengan demikian tampak tidak ada pertentangan karena jikalau pengenaan pajak dengan undang-
undang dengan sifat memaksa, maka juga pengampunan harus didasarkan dengan Undang-Undang yang sifatnya memaksa, dan tidak
terdapat aanvullend recht yang digunakan.
3. Keseimbangan dan Proporsionalitas Hak dan Kewenangan