270
dilakukan penyelidikan, dilakukan penyidikan, atau dituntut balk secara perdata maupun pidana jika dalam melaksanakan tugas didasarkan pada iktikad baik
dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Konsep ini
pada dasarnya diberikan kepada pelaksana kebijakan yang diperintahkan di dalam UU sebagai pelaksana dari suatu ketentuan perundangundangan.
Hal ini dapat dilihat secara dua hal. Pertama, Pasal 22 itu lama sekall
tidak melakukan perlindungan menyeluruh, akan tetapi memberikan perlindungan terbatas terhadap pengambilan pelaksanaan kebijakan hukum
yang
kompleks tersebut sepanjang ketika diambil tidak berdasar pada itikad buruk dan secara melawan perundang-undangan. Artinya tidak ada imunitas
absolut. Kedua, dapat dipahami bahwa perlindungan ini dalam kaitan dengan melaksanakan UU. Maka jika dalam kaitan melaksanakan UU, sudah
selayaknya pelaksana yang bersifat hanya sebagai pengeksekusi dari kebijakan yang diperintahkan oleh negara dilindungi dari kemungkinan
dipersalahkan dari kesalahan yang diperintahkan negara. Kesimpulan
Pada hakikatnya, dalam hal yang telah diterangkan di atas, dapat
dikatakan bahwa; Pertama, UU Pengampunan Pajak adalah bagian dari cita- cita besar negara dalam melakukan perbaikan sistem perpajakan dan
menguatkan pendanaan bagi keperluan negara sebagai cita-cita yang besar untuk membuat para pembayar pajak menjadi lebih taat. Kedua, UU
Pengampunan Pajak adalah merupakan bagian dari open legal policy pembentuk UU dalam hal membuat kebijakan publik yang berkaitan dengan
perpajakan. Ketiga, perlindungan hukum yang diberikan terhadap pelaksana UU Pengampunan Pajak adalah hal yang bersifat tidak absolut, karena hanya
dilindungi jika sudah melaksanakan dengan itikad yang baik dan benar secara peraturan perundang-undangan. Pada saat yang sama perlindungan yang
diperlukan sebagai pelaksana kebijakan agak dapat melaksanakan kebijakan negara yang telah dituangkan dalam UU Pengampunan Pajak.
9. Prof. Dr. Eddy O.S. Hiariej, S.H., M.Hum.
Pada saat ini Mahkamah Konstitusi sedang menyidangkan Permohonan Uji Materiil terhadap Undang-Undang Pengampunan Pajak. Undang-Undang a
quo dianggap bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945, khususnya
yang berkaitan dengan prinsip negara hukum, kesederajatan di depan hukum,
7
Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. 021 23529000, Fax 021 3520177, Email: sekretariatmahkamahkonstitusi.go.id
271
kepastian hukum, dan kebebasan memperoleh informasi. Berdasarkan interpretasi doktriner yaitu penafsiran yang dilandaskan pada teori atau doktrin
hukum, perlu disampaikan hal-hal sebagai berikut: PERTAMA,
dalam doktrin hukum pidana, hukum pidana pajak disebut sebagai ius singulare
karena memiliki sistem norma dan sanksi sendiri. Bersama-sama dengan hukum pidana militer yang disebut sebagai ius specialae, hukum
pidana pajak merupakan hukum pidana khusus tertua di dunia. Hukum pidana pajak memiliki norma dan sanksi hukum yang mengandung sifat administratif
dan pidana, yang didasarkan pada asas-asas yang bersifat ekonomis dan finansial. Artinya sanksi pidana badan berupa perampasan kemerdekaan.
KEDUA
, telah terjadi perubahan paradigma dalam hukum pidana moderen. Pada awalnya hukum pidana berorientasi pada keadilan retributif, yang mana
hukum pidana lebih berorientasi pada pembalasan dengan mengedepankan hukum pidana sebagai lex talionis atau sarana balas dendam. Akan tetapi
pada saat sekarang ini, paradigma hukum pidana moderen berorientasi pada keadilan korektif, rehabilitatif dan restoratif. Keadilan korektif berhubungan
dengan sanksi atas kesalahan pelaku, sedangkan keadilan rehabilitatif berkaitan dengan perbaikan terhadap pelaku agar tidak mengulangi perbuatan
pidana, sementara keadilan restoratif bertalian dengan pemulihan atas kerugian yang ditimbulkan. In casu a quo, Undang-Undang Pengampunan
Pajak telah berorientasi pada paradigma hukum pidana moderen yang tidak lagi berorientasi pada penghukuman terhadap pelaku melainkan lebih pada
pemulihan terhadap pendapatan negara dan dalam rangka memperbaiki pelaku untuk tidak lagi mengulangi perbuatan yang sama di masa mendatang.
KETIGA
, ketika wajib pajak telah menyatakan semua harta kekayaan yang selama ini belum dilaporkan, kemudian atas pernyataan tersebut dikenakan
pembayaran dengan prosentase tertentu maka secara mutatis mutandis hal- hal yang berkaitan dengan pidana pajak dianggap selesai. Hal ini berkaitan
dengan sifat dan karakter hukum pidana pajak sebagai ius singulare sebagaimana yang telah dijelaskan di atas. Dalam konteks teori, hal yang
demikian dikenal dengan istilah pointless of punishman. Menghukum yang tidak perlu haruslah dihindari jika tujuan dari undang-undang sudah terpenuhi.
KEEMPAT
, kerahasiaan informasi. Dalam Undang-Undang Pengampunan Pajak diatur bahwa informasi terkait data wajib pajak yang mengikuti
Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. 021 23529000, Fax 021 3520177, Email: sekretariatmahkamahkonstitusi.go.id
272
pengampunan pajak dan dilarangnya pihak lain untuk mengakses atau memperoleh informasi tersebut pada hakikatnya tidaklah melanggar konstitusi
yang bertalian dengan kebebasan memperoleh informasi. Di satu sisi, setiap warga negara memiliki hak kebebasan memperoleh informasi bukanlah
kebebasan mutlak yang tidak dapat dibatasi, melainkan kebebasan tersebut haruslah dibatasi jika berkaitan dengan privasi seseorang.
KELIMA
, perlu dipahami bahwa Undang-Undang Pengampunan Pajak sama sekali tidak dimaksudkan untuk melegalkan praktik korupsi ataupun pencucian
uang. Selain memiliki sifat dan karakter yang berbeda antara hukum pidana pajak dan hukum pidana korupsi serta hukum pidana pencucian uang,
Undang-Undang Pengampunan Pajak hanya berkaitan dengan tindak pidana pajak. Hukum pidana pajak sebagai ius singulare mengedepankan hukum
pidana sebagai ultimum rimedium. Artinya, hukum pidana adalah sarana terakhir penegakkan hukum setelah instrumen penegakkan hukum lainnya
tidak lagi berfungsi dengan baik. Hal ini berbeda dengan hukum pidana dalam konteks korupsi dan pencucian uang yang mengedepankan hukum pidana
sebagai primum rimedium. Artinya, hukum pidana sebagai sarana utama dalam memberantas kedua kejahatan tersebut.
KEENAM
, bertalian dengan pembuktian terbalik terhadap harta kekayaan wajib pajak. Berdasarkan Undang-Undang a quo, besarnya harta kekayaan
yang belum dilaporkan diserahkan sepenuhnya kepada pernyataan wajib pajak. Hal ini tidak dapat serta merta ditafsirkan bahwa harta kekayaan yang
belum dilaporkan merupakan hasil tindak pidana pencucian uang. Dalam tindak pidana pencucian uang kejahatan asal adalah causa proxima dari
kejahatan pencucian uang. Tidak dilaporkan harta kekayaan yang sesungguhnya kepada fiscus atau pegawai pajak, tidaklah berarti harta
kekayaan yang belum dilaporkan merupakan hasil yang ilegal. Selain itu, pembuktian terbalik dalam kontek Pasal 77 Undang-Undang Pencegahan dan
Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Udang berkaitan dengan pembuktian harta kekayaan yang akan dirampas oleh negara manakala tidak
dapat dibuktikan bahwa harta kekayaan yang akan dirampas oleh negara manakala tidak dapat dibuktikan bahwa harta kekayaan tersebut tidak berasal
dari suatu kejahatan.
Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. 021 23529000, Fax 021 3520177, Email: sekretariatmahkamahkonstitusi.go.id
273
KETUJUH , bertalian dengan Pasal 20 Undang-Undang Pengampunan Pajak.
Perlu ditegaskan bahwa Pasal a quo tidak akan menghapuskan atau menghilangkan proses penegakan hukum pidana di luar tindak pidana pajak.
Artinya, pasal a quo tidak menghapuskan penegakan hukum pidana dan tidak pula mengurangi kewenangan kekuasaan kehakiman untuk menegakan
hukum dan keadilan. Proses penegakan hukum pidana kepada pelaku pengampunan pajak tetap berlangsung sepanjang data dan informasi tidak
berasal dari pelaksanaan pengampunan pajak. Artinya, tindak pidana lain di luar tindak pidana pajak tetap dapat diproses oleh penegakan hukum, jika dan
hanya jika data yang diperoleh penegak hukum, apakah Kepolisian, Kejaksaan atau Komisi Pemberantasan Korupsi mempeorleh data tersebut bukan dari
pelaksanaan pengampunan pajak. Dengan demikian ketentuan pasal a quo tidaklah bertentangan dengan prinsip kesederajatan di depan hukum.
Berdasarkan berbagai argumentasi teoritik di atas, Undang-Undang Pengampunan Pajak tidaklah bertentangan dengan Undang-Undang Dasar
1945 baik terkait prinsip negara hukum dan kesederajatan di depan hukum, maupun kepastian hukum dan kebebasan memperoleh informasi.
10. Prof. Wihana Kirana Jaya, M. Soc. Sc., Ph.D