264
positif terhadap kegiatan atau upaya melakukan sosialisasi tax amnesty ini dengan partisipasi yang luar biasa, walaupun pada awalnya ada pesimisme di
sana. Tetapi ternyata hingga saat ini target Rp165 triliun, kalau tidak salah, paling tidak sudah tercapai Rp100 triliun dan bukan mustahil kemudian target
akan terlampaui.
Dari ketiga pendekatan, kebijakan ini mungkin bisa dianggap bertentangan dengan prinsip-prinsip tertentu dalam konstitusi, tetapi manfaat
yang diperoleh jauh lebih besar sehingga kemudian bisa mengalahkan potensi itu. Dan kemudian kita bisa mengatakannya sebagai sebuah kebijakan yang
sama sekali legal constitutional yang akhirnya saya ingin mengatakan tidak bertentangan dengan konstitusi.
8. Dr. Zaenal Arifin Mochtar, S.H., LL.M.
Ada tiga hal yang akan saya sampaikan dikaitkan dengan kapasitas dan keahlian saya, yakni; Pertama,perihal konsep pajak dan relasi antara negara
dan warga negara. Kedua, memandang kebijakan pengampunan pajak dalam kerangka kebijakan publik. Ketiga, perlindungan alas tindakan pelaksanaan
kebijakan negara dalam hal pengampunan pajak.
Pajak dalam Relasi Negara dan Warga Negara
Teori hukum ketatanegaraan yang paling kuat menganalisis antara relasi negara dengan warga negara dari terbentuknya negara adalah model kontrak
sosial yang dicetuskan oleh J.J Rosseau dengan pandangan yang mirip dengan pandangan Thomas. Hobbes dan John Locke, yang meskipun ada
perbedaan pandangan di antara mereka, namun pada hakikatnya mereka memiliki pandangan yang sama bahwa sumber kewenangan yang dimiliki oleh
negara dalam pemerintahan dan mengatur warga negara adalah kontrak sosial yang ada. Kontrak sosial yang dimiliki akan berimplikasi pada kewenangan
yang dimiliki oleh negara untuk mengatur apa saja yang akan digunakan untuk mengatur kehidupan warga negara sepanjang penggunaan kewenangan
tersebut tidak mencerminkan tindakan sewenang-wenang.Artinya, negara memiliki kewenangan dalam mengambil dan memungut pajak selama
tindakannya tersebut tidaklah merupakan tindakan sewenang-wenang. Tindakan sewenang-wenang, pada dasarnya, dapat dilihat atau
dikonstruksikan dari ada tidaknya produk hukum yang mendasari pungutan pajak tersebut. Dan tidak tanggung-tanggung, karena pajak merupakan hal
Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. 021 23529000, Fax 021 3520177, Email: sekretariatmahkamahkonstitusi.go.id
265
yang sangat penting bagi negara, maka pengaturan dasarnya selalu dicantumkan di dalam konstitusi. UUD China 1982 misalnya dimasukkan
dalam Chapter Two tentang the Fundamental Rights and Duties of Citizen,yang berbunyi it is the duty of citizen of the Peoples Republik of China
to pay taxes in accordance with the law
Article 56. Hal yang sama diatur di dalam UUD Swedia 1974 yang dimasukkan dalam Basic Principle of The
Constitution yang berbunyi, The Parliament Riksdag is the foremost representative of the people, the Parliament enacts law, determine taxes and
decide how public funds shall be used Article 4.
Prinsip yang kurang lebih sama di Indonesia yang dengan jelas dimasukkan di dalam setiap UUD. Misalnya; UUD 45 pra amandemen yang
berbunyi segala pajak untuk keperluan negara berdasarkan undang-undang Pasal
23 Ayat2; UUD RIS yang berbunyi, tidak diperkenankan memungut
padjak untuk kegunaan kas federal, ketjuali dengan kuasa undang-undang federal
Pasal
171; UUDS 1950 yang berbunyi, Tidak diperkenankan
memungut padjak bea dan tjukai untuk kegunaan kas negara, ketjuali dengan undang-undang atau atas kuasa undang-undang Pasal 117
dan UUD 1945 pasca amandemen yang mengatur bahwa pajak dan pungutan bersifat
memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang Pasal 23A.
Karena itu, dari perspektif konstitusi, setidaknya ada beberapa hal yang
dapat dibaca; Pertama, negara memiliki kewenangan untuk menarik pajak dan pungutan yang bersifat memaksa lainnya. Kedua, untuk menghilangkan kesan
sewenang-wenang, maka pengaturannya haruslah diatur di dalam produk wakil rakyat yakni dalam bentuk UU. Ketiga, Iogika pajak adalah untuk
melakukan pembiayaan atas keperluan negara.
Akan tetapi, pajak juga merupakan Pajak seringkali menjadi problem
besar dan menjadi penyebab gerakan revolusi besar atau perlawanan besar. Dalam Federalist Paper misalnya, James Medison menuliskan bahwa the
apportionment of taxes on variousdescription of property in an act which seems to require the most exact impartiality.
Sepertiyang kita pahami, American Revolution 1775-1783 terjadi
karena salah satu penyebab utamanya adalah tingginya pengenanaan pajak oleh British Parliament.Menariknya, pengampunan pajak adalah logika yang
berlawanan
dari
pengenan
pajak yang
tinggiini.Karenapada
Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. 021 23529000, Fax 021 3520177, Email: sekretariatmahkamahkonstitusi.go.id
266
hakikatnyapengampunan pajakadalah bagiantindakan
,
negara untuk
menghapus
pajak dalam kaitan dengan pembayar pajak yang terutangyang tidak dikenakan sanksi administratif maupun pidana, sepanjang melakukan
pengungkapan harta dan pembayaran atas denda yang ditentukan nilainya.Artinya, ini merupakan tindakan yang bagian dari kebijakan publik
yang dibuat oleh negara melalui pembentuk Undang-Undang dengan tujuan tidak sekedarnya hanya pengampunan atas pembayar pajak, tetapi juga harus
dilihat sebagai sumbangsih pada keuangan dan perekonimian negara secara lebih luas. Jika memahami tax amnesty maupun tax cuts dalam kerangka
seperti yang disampaikan pemohon bahwa merupakan bentuk diskriminasi dengan memosisikan wajib pajak yang taat dengan yang tidak taat berbeda,
maka tentu saja memberikan kesimpulan yang tidak pas.
Pertama,
kerangka kebijakan perpajakan tidak bisa dipandang secara sendiri, tetapi selalu dikaitkan dengan stimulus perekonomian. Misalnya saja kebijakan
perpajakan dalam bentuk tax cuts di Amerika, setidaknya berlaku tiga kali yang sangat massif di tahun 1920 an masa Presiden Warren Hardings dan Calvin
Coolidge, tahun 1960 masa Presiden John F. Kennedy dan 1980an masa Presiden Ronald Reagan dan terbukti, dalam ketiga masa tersebut
kesemuanya berhasil melakukan stimulasi ekonomi Gina Misiroglu, 2003 218-219.
Kedua,
tarif rendah pengampunan pajak hanya untuk saat pertama pengungkapan pajak, akan tetapi selanjutnya akan melakukan pembayaran
dengan deklarasi yang lebih benar dan karenanya akan mempengaruhi jumlah pendapatan negara karena harta yang sudah diungkapkan tersebut akan
masuk pada masa pajak tahun berikutnya. Aturan yang jelas mengatakan berlaku bagi siapa saja berarti siapa. pun diperbolehkan mengakses
pembayaran pengampunan ini, dan implikasinya adalah secara sadar para peserta pengampunan pajak ini akan mengikutkandirinya pada pembayaran
pajak yang lebih benar berdasarkan jumlah harta yang disampaikan pada tahun-tahun berikutnya. Dengan kata lain, diskriminasi yang dituduhkan tidak
terjadi karena kemudian terjadi pembayaran pajak secara benar.
Hal tersebut senada cara berfikir Mahkamah Konstitusi Jerman pada salah satu putusannya di tahun 1990 yang dituliskan oleh Danny Darussalam
2016 yang mengutip Jacques Malherbe yang menuliskan bahwa MK Jerman
Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. 021 23529000, Fax 021 3520177, Email: sekretariatmahkamahkonstitusi.go.id
267
membangun konstitusionalitas kebijakan serupa tax amnesty adalah bukan diskriminasi pembayar pajak taat dan tidak, akan tetapi merupakan jembatan
bagi pembayar pajak yang tidak jujur agar kembali ke kepatuhan hukum untuk melakukan pembayaran pajak secara lebih benar dan memiliki implikasi pada
peningkatan penerimaan negara Penyusunan Kebijakan Pubiik
Pada konsepsi hukum kebijakan publik dalam ranah hukum dapat dianalisis ke dalam beberapa segi. Pertama,pengambil kebijakan haruslah
punya kewenangan untuk mengambil kebijakan tersebut. Hal inilah yang dikenal dengan asas hukum bahwa tanpa wewenang maka tidaklah suatu
tindakan dapat dijalankan. Artinya, pengambil kebijakan haruslah memiliki kewenangan untuk meangambil kebijakan tersebut.
Dalam negara hukum, maka hulu dan hilir dari kebijakan tersebut harusnya memiliki dasar hukum. Maksudnya adalah ketika kebijakan tersebut
diambil harus ada dasar kewenangan dari pengambil kebijakan dan tatkala kebijakan tersebut dikeluarkan juga haruslah dalam bentuk produk hukurn.
Seperti yang dipahami secara hukum; produk hukum ada tiga; beschikking ketetapan; regaling peraturan dan vonis putusan konkrit. Artinya, suatu
kebijakan hanya dapat diambil jika ada dasar secara bentuk hukum tersebut, dan juga ketika diambil haruslan menggunakan bentuk produk hukum tersebut.
Kedua
, sumber kewenangan pengambil kebijakan. Sumber lahirnya kewenangan secara teoritik maupun peraturan perundang-undangan
menyebutkan ada tiga; atribusi, delegasi dan mandat. Pada dasarnya atribusi adalah melekat pada jabatan kewenangannya, selain diatur secara langsung
oleh konstitusi danatau Undang-Undang. Sedangkan delegasi dan mandat diperoleh melalui pelimpahan administratif yang kemudian dibedakan dari jenis
pertanggungjawabannya.
Dalam delegasi
merupakah pelimpahan
kewenangan pemerintah dari suatu organ pemerintah ke organ pemerintah lainnya. Sedangkan pada mandat, pemerintahan mengizinkan kewenangannya
dijalankan oleh organ lain atas namanya, akan tetapi tidak mengalihkan tanggungjawab. Hal ini bukan hanya ciri teoritik tetapi juga dapat dilihat pada
Pasal 11-14 UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. Ketiga
, konformitas hukum pengambilan kebijakan. Pada dasarnya, kebijakan hukum dapat dianggap benar secara hukum tatkala diambil dengan proses
Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. 021 23529000, Fax 021 3520177, Email: sekretariatmahkamahkonstitusi.go.id
268
hukum yang benar berdasarkan kewenangan yang dimiliki. jika hal tersebut diambil dalam bentuk regaling aturan maka harus diambil dalam sebuah
proses penyusunan peraturan yang sudah benar dan tepat sebagaimana diatur di dalam UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Tata Cara Penyusunan
Peraturan Perundang-undangan, serta asas umum pemerintahan yang baik
Dalam tiga kerangka tersebut, maka UU Pengampunan Pajak dapat dilihat dalam kerangka kebijakan publik secara lebih luas. Bahwa UU
Pengampunan Pajak merupakan salah satumodel dariopen legal
-
policy yang dimiliki oleh pemilik kewenangan pengambilan kebijakan perpajakan dalam
rangka mengisi kebijakan perpajakan.Sepanjang, kebijakan tersebut sesuai dengan kewenangan yang dimiliki dan pengambilan kebijakan dilakukan
secara besar berdasarkan kewenangan yang dimiliki.
Open legal policy adalah kebijakan hukum yang diambil oleh pembentuk
peraturan perundang-undangan untuk menerjemahkan makna visi negara yang tercantum di dalam UUD 1945. Dalam beberapa Putusan MK, telah
diperkenalkan model open legal policy ini setidaknya dalam dua hal; Pertama, tatkala UUD hanya mengatur hal pemberian mandat kepada pembentuk UU
untuk mengatur ke hal yang lebih khusus. Kedua, tatkala UUD tidak mengatur pendelegasian pengaturannya.
Dalam konsepsi open legal policy yang menjadi ukuran adalah tujuan utama yang lebih besar ingin dicapai dalam pengaturan tersebut. Sehingga,
jika pun dikenakan pembatasan, maka pembatasan konsepsi open legal policy akan menempatkan negara dalam mengambil tindakan dapat mengambil
langkah yang diperlukan sepanjang tetap menjaminkan penghormatan hak dan kebebasan orang lain, dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan
pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban dalam suatu masyarakat demokratis. Putusan MKNomor 86PUU-X2012
Dengan sudut pandang open legal policy, maka tujuan lebih besar yang ingin dicapai mempertimbangkan cara berfikir lesser evil, atau dengan memilih
mudharat yang terkecil yang mungkin didapatkan dengan kebijakan yang dikeluarkan.Karenanya, dengan konteks tujuan yang lebih besar yang ingin
dicapai dalam melaksanakan UU Pengampunan Pajak, maka dapat dipandang sebagai cara pandang open legal policy negara dalam pengurusan dan
Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. 021 23529000, Fax 021 3520177, Email: sekretariatmahkamahkonstitusi.go.id
269
pengelolaan pajak demi keperluan negara dapat dilakukan sepanjang tidak melanggar batasan-batasan tertentu.
Perlindungan Hukum Pengambilan Pelaksanaan Kebijakan
Hal lainnya adalah perlindungan hukum bagi pelaksana kebijakan pengampunan pajak. Dalam kaitan dengan pihak-pihak dari suatu kebijakan,
setidaknya ada lima fungsi hukum menurut Sjahran Basah; Pertama, direktif sebagai pengarah dalam membangun untuk membentuk hal yang hendak
dicapai dalam kehidupan bernegara; Kedua, integratif sebagai sarana pemersatu bangsa; Ketiga, stabilitatif yakni sebagai pemelihara dan penjaga
keselarasan, keserasian dan keseimbangan dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Keempat, perfektif, sebagai sarana untuk menyempurnakan
tindakan administrasi negara maupun sikap warga negara dan kehidupan bermasyarakat,
Kelima, korektif
terhadap administrasi
negaradalam
mendapatkan keadilan. Dalam fungsi yang kompleks inilah, maka peraturan tersebut tidak bisa
dan mustahil ditentukan hanya dalam satu Undang-Undang secara mendetail. Akan tetapi, ketentuan dan penegakan hal tersebut akan berada pada
berbagai Undang-Undang, bahkan juga dilengkapi dengan berbagai peraturan pelaksana lainnya, termasuk hingga keputusan-keputusan yang bersifat teknis
dalam rangka menjaga tujuan fungsi hukum secara administratif tersebut.
Hal yang harus diingat, dalam pelaksanaan kebijakan ini maka tidak hanya sekedar mengikat pada pihak-pihak yang terkena dampak dari suatu
aturan, akan tetapi juga mengikat pihak yang mengeluarkan aturan. Makanya, kontrol secara administratif itu bisa terhadap pihak yang diberi darnpak dalam
bentuk sanksi, akan tetapi juga pada pihak yang membuat kebijakanbeserta produknya dalam bentuk uji materi.Karenanya, tindakan hukum yang pas
harus dilihat berdasarkan pada beban kesalahan yang seharusnya dikoreksi pada wilayah mana. Tinggal dapat dilihat dan dibedakan secara mendetail,
sanksi apa yang akan dijatuhkan pada saat adanya pelanggaran dalam melaksanakan suatu kebijakan tersebut. Tanggung jawab yang diukur
berdasar pada derajat kesalahan.
Pasal 22 UU Pengampunan Pajak mengatur bahwa Menteri, Wakil Menteri, pegawai Kementerian Keuangan, dan pihak lain yang berkaitan
dengan pelaksanaan Pengampunan Pajak, tidak dapat dilaporkan, digugat,
Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. 021 23529000, Fax 021 3520177, Email: sekretariatmahkamahkonstitusi.go.id
270
dilakukan penyelidikan, dilakukan penyidikan, atau dituntut balk secara perdata maupun pidana jika dalam melaksanakan tugas didasarkan pada iktikad baik
dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Konsep ini
pada dasarnya diberikan kepada pelaksana kebijakan yang diperintahkan di dalam UU sebagai pelaksana dari suatu ketentuan perundangundangan.
Hal ini dapat dilihat secara dua hal. Pertama, Pasal 22 itu lama sekall
tidak melakukan perlindungan menyeluruh, akan tetapi memberikan perlindungan terbatas terhadap pengambilan pelaksanaan kebijakan hukum
yang
kompleks tersebut sepanjang ketika diambil tidak berdasar pada itikad buruk dan secara melawan perundang-undangan. Artinya tidak ada imunitas
absolut. Kedua, dapat dipahami bahwa perlindungan ini dalam kaitan dengan melaksanakan UU. Maka jika dalam kaitan melaksanakan UU, sudah
selayaknya pelaksana yang bersifat hanya sebagai pengeksekusi dari kebijakan yang diperintahkan oleh negara dilindungi dari kemungkinan
dipersalahkan dari kesalahan yang diperintahkan negara. Kesimpulan
Pada hakikatnya, dalam hal yang telah diterangkan di atas, dapat
dikatakan bahwa; Pertama, UU Pengampunan Pajak adalah bagian dari cita- cita besar negara dalam melakukan perbaikan sistem perpajakan dan
menguatkan pendanaan bagi keperluan negara sebagai cita-cita yang besar untuk membuat para pembayar pajak menjadi lebih taat. Kedua, UU
Pengampunan Pajak adalah merupakan bagian dari open legal policy pembentuk UU dalam hal membuat kebijakan publik yang berkaitan dengan
perpajakan. Ketiga, perlindungan hukum yang diberikan terhadap pelaksana UU Pengampunan Pajak adalah hal yang bersifat tidak absolut, karena hanya
dilindungi jika sudah melaksanakan dengan itikad yang baik dan benar secara peraturan perundang-undangan. Pada saat yang sama perlindungan yang
diperlukan sebagai pelaksana kebijakan agak dapat melaksanakan kebijakan negara yang telah dituangkan dalam UU Pengampunan Pajak.
9. Prof. Dr. Eddy O.S. Hiariej, S.H., M.Hum.