29
dimaksud bersifat spesifik khusus dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat
dipastikan akan terjadi
Bahwa terdapat kerugian konstitusional yang jelas-jelas spesifik dirasakan telah merugikan Pemohon. Keberlakukan UU Pengampunan Pajak ini
nyata-nyata telah memberikan perlakuan khusus bagi pihak-pihak yang justru tidak taat membayar pajak sepertihalnya Pemohon. Pihak-pihak
tersebut justru tidak dikenakan sanksi pajak dalam UU Pengampunan Pajak yakni sejak peserta pengampunan pajak mendapat Tanda Terima
Pernyataan dan Surat Keterangan Pengampunan Pajak yang diterbitkan oleh Menteri. Ketentuan Pasal 11 UU Pengampunan Pajak menurut
Pemohon bertentangan dengan prinsip persamaan warga negara di hadapan hukum dan pemerintahan. Bahwa menurut Para Pemohon,
pemberian hak khusus yang bersifat eksklusif melalui frase tidak
dilakukan dalam Pasal 11 ayat 2, frase ditangguhkan dalam Pasal 11
ayat 3 dan frase pengampunan pajak dalam Pasal 11 ayat 5 telah bertentangan dengan prinsip persamaan warga negara dihadapan hukum
dan pemerintahan, sehingga bertentangan dengan Pasal 27 ayat 1 UUD 1945 yang menyatakan bahwa Segala warga negara bersamaan
kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung
hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. Perlakuan
khusus yang justru malah terlihat seakan-akan berupa reward kepada pihak-pihak yang justru tidak taat membayar pajak itu pula diakui dalam
konsiderans UU Pengampunan Pajak ini, dimana dalam konsideran huruf c yang juga merupakan landasan sosiologis Undang-Undang a quo
dinyatakan bahwa kesadaran dan kepatuhan masyarakat dalam
melaksanakan kewajiban perpajakannya masih perlu ditingkatkan karena
terdapat Harta, balk di dalam maupun di luar negeri yang belum atau belum seluruhnya dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan
Pajak Penghasilan.
Seharusnya ada sanksi yang justru diberlakukan bagi pihak-pihak yang nyata-nyata melakukan tindakan koruptif seperti ini
namun di luar dugaan, justru negara dalam hal ini melegalkannya dan memberikan reward yakni pengampunan kepadanya.
4. Adanya hubungan sebab akibat causal verband antara kerugian dan
Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. 021 23529000, Fax 021 3520177, Email: sekretariatmahkamahkonstitusi.go.id
30
berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian
Pemohon mendalillan bahwa Pemohon yang mewakili serikat buruh adalah wajib pajak yang patuh dan merasa dirugikan dengan
keberlakuan UU Pengampunan Pajak karena amnesty pajak tersebut lebih rendah dari tarif normal, sehingga dalam hal ini yang diuntungkan
adalah pihak-pihak yang memiliki keuangan yang banyak. Dalam hal ini pemerintah justru mempelakukan Pemohon secara berbeda dalam hal
membayar pajak dan hal ini merupakan pelanggaran HAM. Hal ini sesuai dengan Pasal 28I ayat 4 UUD 1945 yang menyatakan bahwa
Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi
manusia adalah tanggung jawab Negara terutama pemerintah. Adapun
lebih lanjut lagi, keinginan Pemohon untuk menguji UU Pengampunan Pajak ini juga sejalan dengan perintah konstitusi yakni dalam Pasal 23A
UUD 1945 yang secara tegas menyatakan sebagai berikut Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur
dengan undang-undang. Sehingga dalam hal ini Pemohon memiliki
kedudukan hukum legal standing dan sepatutnya Mahkamah Konstitusi menyatakan permohonan Pemohon dapat diterima. Hal ini pula serupa
secara filosofi sebagaimana terakhir terjadi dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 22PUU-XIV2016 yang diucapkan dalam Sidang
Pleno Mahkamah Konstitusi terbuka untuk umum pada hart tanggal 15 Juni 2016.
Dalam pertimbangan hukum tersebut Mahkamah menekankan mengenai relevansi suatu permohonan dengan kerugian
konstitusional yang dimiliki dan dialami oleh Pemohon. Mahkamah Konstitusi dalam putusan tersebut mendasarkan pada asas hukum
bahwa `tiada kepentingan maka tiada gugatan atau yang dalam bahasa Perancis dikenal dengan point dinterest, point daction dan dalam bahasa
Belanda dikenal dengan zonder belang geen rechtsingang. Hal tersebut sama dengan prinsip yang terdapat dalam Reglement op de
Rechtsvordering Rv
khususnya Pasal 102 yang menganut ketentuan
bahwa tiada gugatan tanpa hubungan hukum no action without legal connection.
Hal lain yang juga dapat menjadi analogi lainnya kaitannya dengan adanya hubungan sebab akibat causal verband
dalam hal ini seperti misalnya buruh dapat berperkara di Pengadilan Hubungan Industrial PHI kaitannya dengan pengaturan yang dibawah
level
undang-undang, maka sudah sepatutnyalah buruh dalam hal ini dapat berperkara di Mahkamah Konstitusi dalam hal kaitannya dengan
pengujian terhadap UUD 1945.
5. Adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka kerugian danatau kewenangan konstitusional yang didalilkan
Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. 021 23529000, Fax 021 3520177, Email: sekretariatmahkamahkonstitusi.go.id
31
tidak akan atau tidak lagi terjadi
Pemohon juga mendalilkan misalnya terkait degan pembatasan penyelesaian sengketa pengampunan pajak yang hanya pada gugatan
peradilan pajak yang diatur dalam Pasal 19A ayat 1 dan ayat 2 UU Pengampunan Pajak merupakan bentuk diskriminasi hukum, dan
pengingkaran terhadap berlakunya aspek hukum lain dalam ranah perpajakan yaitu hukum pidana dan hukum administrasi, sehingga
ketentuan a quo menutup akses pencarian keadilan secara materiel untuk mendapatkan keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan di dunia
perpajakan. Hal ini jelas dan nyata-nyata bertentangan dengan Pasal 23A UUD 1945 yang secara tegas menyatakan sebagai berikut Pajak dan
pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur
dengan undang-undang. Sebagaimana diketahui bahwa frase diatur
dengan undang-undang, adalah jelas merupakan open legal policy atau
kebijakan hukum terbuka bagi pembentuk undang-undang, namun terdapat pula batasan yang tidak boleh tidak pembentuk undang-undang
pahami. Hal ini sesuai dengan yurisprudensi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 51-52-59PUU-VI2008 yaitu pertimbangan putusan
angka [3.17] yang menyatakan bahwa Menimbang bahwa Mahkamah dalam fungsinya sebagai pengawal konstitusi tidak mungkin untuk
membatalkan Undang-Undang atau sebagian isinya, jikalau norma tersebut merupakan delegasi kewenangan terbuka yang dapat ditentukan
sebagai legal policy oleh pembentuk Undang-Undang. Meskipun seandainya isi suatu Undang-Undang dinilai buruk, seperti halnya
ketentuan presidential threshold dan pemisahan jadwal Pemilu dalam perkara a quo, Mahkamah tetap tidak dapat membatalkannya, sebab
yang dinilai buruk tidak selalu berarti inkonstitusional, kecuali kalau produk legal policy tersebut jelas-jelas melanggar moralitas,
rasionalitas dan ketidakadilan yang intolerable.
Oleh karena itu, walaupun dalam Pasal 23A UUD 1945 dinyatakan bahwa pengaturan
mengenai pajak lebih lanjut lagi diatur dengan Undang-Undang, namun jangan pernah melupakan frasa Pajak dan pungutan lain yang bersifat
memaksa... ,
karena dengan keberlakuanUU Pengampunan Pajak ini sifat memaksa ini hanya berlaku bagi Pemohon selaku perwakilan buruh
yang tidak lebih dari sekedar rakyat kecil bila dibandingkan dengan pihak- pihak yang mempunyai keuangan yang besar yang justru diistimewakan.
Sehingga walaupun pengaturan ini merupakankebijakan hukum terbuka bagi pembentuk undang-undang open legal policy namun tetap hal ini
sebagaimana yurisprudensi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 51-52- 59PUU-VI2008 telah jelas-jelas melanggar moralitas, rasionalitas
Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. 021 23529000, Fax 021 3520177, Email: sekretariatmahkamahkonstitusi.go.id
32
dan ketidakadilan yang intolerable.
Hal ini jelasjelas melanggar karena tidak sesuai dengan prinsip hukum dan keadilan yang dianut secara
universal yang menyatakan bahwa tidak seorang pun boleh diuntungkan oleh penyimpangan dan pelanggaran yang dilakukannya sendiri dan tidak
boleh seorang pun boleh dirugikan oleh penyimpangan dan pelanggaran yang dilakukan oleh orang lain. nemo commodum capere potest de
injuria sua propria.
3. Akhmad Akbar Susamto, S.E., M.Phil., Ph.D.