279
Pengampunan Pajak. Salah satunya adalah UU Pengampunan pajak ini tidak akan berhasil kalau tidak ada kepercayaan trustworthness antar muti
stakeholders.
11. Dr. W. Riawan Tjandra, S.H., M.Hum.
Hadirnya UU Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak didasarkan atas tujuan umum: a. Meningkatkan penerimaan pajak dalam
jangka pendek; b. Meningkatkan kepatuhan pajak di masa yang akan datang; c. Meningkatkan basis pemajakan subjek dan objek; d. Transisi ke sistem
perpajakan yang baru yang lebih kuat dan adil; e. Mewujudkan Rekonsiliasi perpajakan nasional.
Ditinjau secara teoretis, lahirnya UU Nomor 11 Tahun 2016 sebagai legal basis kebijakan Tax Amnesty merupakan derivat dari fungsi pajak yang
bersifat mengatur dengan menggunakan cara khusus yang berkarakter positif dalam bentuk kelonggaran yang berupa tax holiday pembebasan pajak dan
mengadakan afschrifving penghapusan. Fungsi pajak yang bersifat mengatur menempatkan pajak sebagai instrumen untuk mengatur dan mengarahkan
masyarakat ke arah tujuan dan kondisi tertentu yang dikehendaki pemerintah. Jika dikaitkan dengan tujuan dari kebijakan Tax Amnesty, fungsi mengatur
pajak sebagai landasan teoretis dari lahirnya UU Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak bisa diletakkan dalam kategori Tax Reform. Yarif
Branuer dan Miranda Stewart, 2013: 12 dalam buku “Tax, Law and Development
” mengatakan bahwa: “tax reform may be considered a ‘speciality’ of public finance or economic policy. Tax reform is also law reform that almost
always involves ‘transplanting’ legal notions or models across borders and hence may be theorized as a comparative law project. Finally, taxreform can
be thought of as an element of ‘governance’ reform with its focus on institutions, administration and reconstruction of modes of interaction of
citizens and the state. ”
Dasar pembenaran teoretis pemungutan pajak semata-mata untuk kepentingan si pemungut pajak yaitu fiscus sudah lama ditinggalkan. Teori
pembenaran pemungutan pajak untuk semata-mata kepentingan si pemungut antara lain “orgaantheori” dari Von Gierke yang menyatakan bahwa negara itu
merupakan suatu kesatuan yang didalamnya setiap warga negara terikat, tanpa ada organ atau lembaga negara tersebut maka individu tidak mungkin
Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. 021 23529000, Fax 021 3520177, Email: sekretariatmahkamahkonstitusi.go.id
280
dapat hidup Rochmat Soemitro dan Dewi Kania Sugiharti, 2004: 29-30. Dasar pembenar dan dasar keadilan pemungutn pajak terletak pada hubungan
antara rakyat dengan negara. Negara dibentuk karena adanya persekutuan individu sehingga individu harus membaktikan dirinya pada negara melalui
pembayaran pajak. Kini, telah banyak terjadi pergeseran teori yang lebih banyak menggunakan dasar pembenar pemungutan pajak untuk kepentingan
pihak yang dipungut wajib pajak. Apabila kita melihat Pancasila yang merupakan dasar negara Indonesia dan menjadi landasan filosofis semua
kegiatan penyelenggaraan negara, maka pemungutan pajak oleh negara kepada rakyatnya tersebut dapat dibenarkan jika kita mengacu pada sila
kelima yaitu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Sila kelima Pancasila tersebut mengandung makna bahwa kita perlu mengembangkan
perbuatan-perbuatan yang luhur yang mencerminkan sikap dan suasana kekeluargaan dan kegotong royongan. Pajak adalah salah satu bentuk
perbuatan gotong royong yang tidak perlu disyaratkan, melainkan sudah hidup dan berkembang dalam masyarakat Indonesia yang hanya perlu
dikembangkan dan dilestarikan saja. Gotong royong, termasuk di dalamnya membayar pajak merupakan salah satu pengorbanan setiap anggota
masyarakat untuk kepentingan bersama tanpa mendapatkan imbalan. Jadi, pemungutan pajak menurut Pancasila dapat dibenarkan, karena pembayaran
pajak akhirnya adalah untuk kita bersama Suparnyo, Hukum Pajak – Suatu Sketa Asas, Pustaka Magister, Semarang, 2012: 15-16. Teori itu disebut teori
“Pembenaran Pajak Menurut Pancasila”. Berdasarkan teori tersebut, tekanan dari fungsi pajak tidak hanya pada fungsi budgeter semata-mata, namun, perlu
dipadukan dengan fungsi mengatur untuk mencapai tujuan-tujuan pembangunan maupun tujuan sosial yang diamanahkan dalam Pembukaan
UUD Negara RI 1945.
Kehadiran UU Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak pada Pasal 2 ayat 1 didasarkan asas: a. kepastian hukum; b. keadilan; c.
kemanfaatan; dan d. kepentingan nasional. Sehubungan dengan tujuan tersebut, Pengampunan Pajak sebagaimana diatur pada Pasal 2 ayat 2
bertujuan untuk: a. Mempercepat pertumbuhan dan restrukturisasi ekonomi melalui pengalihan Harta, yang antara lain akan berdampak terhadap
peningkatan likuiditas domestik, perbaikan nilai tukar Rupiah, penurunan suku
Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. 021 23529000, Fax 021 3520177, Email: sekretariatmahkamahkonstitusi.go.id
281
bunga, dan peningkatan investasi; b. Mendorong reformasi perpajakan menuju sistem perpajakan yang lebih berkeadilan serta perluasan basis data
perpajakan yang lebih valid, komprehensif, dan terintegrasi; dan c. meningkatkan penerimaan pajak, yang antara lain akan digunakan untuk
pembiayaan pembangunan. Hal itu sejalan dengan konsiderasi pembentukan UU Nomor 11 Tahun 2016 yaitu meliputi: a. bahwa pembangunan nasional
Negara Kesatuan Republik Indonesia yang bertujuan untuk memakmurkan seluruh rakyat Indonesia yang merata dan berkeadilan, memerlukan
pendanaan besar yang bersumber utama dari penerimaan pajak; b. bahwa untuk memenuhi kebutuhan penerimaan pajak yang terus meningkat,
diperlukan kesadaran dan kepatuhan masyarakat dengan mengoptimalkan semua potensi dan sumber daya yang ada; c. bahwa kesadaran dan
kepatuhan masyarakat dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya masih perlu ditingkatkan karena terdapat Harta, baik di dalam maupun di luar negeri
yang belum atau belum seluruhnya dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan; d. bahwa untuk meningkatkan penerimaan
negara dan pertumbuhan perekonomian serta kesadaran dan kepatuhan masyarakat dalam pelaksanaan kewajiban perpajakan, perlu menerbitkan
kebijakan Pengampunan Pajak. Hakikat dari keempat tujuan tersebut meliputi 3 tiga aspek penting, yaitu: 1. Tujuan mewujudkan masyarakat adil dan
makmur sebagaimana diamanahkan oleh alinea ke-2 dan ke-4 Pembukaan UUD Negara RI 1945; 2. Memenuhi kebutuhan penerimaan pajak fungsi
budgeter
yang dijamin oleh Pasal 23A UUD 1945; 3. Meningkatkan kesadaran dan kepatuhan wajib pajak asas kepastian hukum. Ditinjau dari ketiga hakikat
tujuan Pengampunan Pajak yang menjadi esensi dari konsiderans UU Nomor 11 Tahun 2016 tersebut, justru UU Nomor 11 Tahun 2016 ingin memastikan
bahwa seluruh norma dalam UUD 1945 terkait mampu mewujudkan Pembukaan UUD 1945 sepenuhnya. Pasal-pasal dalam UU Nomor 11 Tahun
2016 tentang Pengampunan Pajak jangan dilihat sepotong-potong, namun harus dikaji secara holistik dan sistematik karena tujuan dari UU
Pengampunan Pajak tersebut justru ingin memastikan terwujudnya nilai-niliai konstitusionalitas melalui intermediary instrument UU Pengampunan Pajak
tersebut. UU Pengampunan Pajak menjembatani kondisi masih banyaknya ketidakpatuhan Wajib Pajak yang memiliki aset yang belum dilaporkan kepada
Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. 021 23529000, Fax 021 3520177, Email: sekretariatmahkamahkonstitusi.go.id
282
fiscus untuk dikenakan kewajiban perpajakan menuju kondisi yang membawa
kepastian mengenai Wajib Pajak dan Tatbestand sasaran yang dikenai pajak setelah berlangsungnya masa pengampunan pajak. Deklarasi aset-aset pajak
yang dimiliki oleh Wajib Pajak melalui Surat Pernyataan dengan membayar uang tebusan secara filosofis justru merupakan pernyataan untuk mengikatkan
diri para Wajib Pajak terhadap asas kepastian hukum dalam hukum perpajakan.
Ditinjau dari teori hukum administrasi negara, UU Pengampunan Pajak memerlihatkan penerapan green light theory dan red light theory. Hal itu dapat
dilihat dari implementasi dari green light theory melalui pengaturan mengenai konstruksi berbagai ketentuan mengenai pengampunan pajak sebagai “hak”
dari setiap Wajib Pajak vide Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, Pasal
16 dan Pasal 17. Pasal-pasal itu memang memberikan kelonggaran tax holiday dan penghapusan afschrifving terhadap Wajib Pajak. Namun, tak
berarti hal itu mengubah karakter dari Pasal 23A UUD Negara RI 1945. Hal itu disebabkan substansi Pasal 18 UU Nomor 11 Tahun 2016 tentang
Pengampunan Pajak yang diantaranya akan memberikan sanksi administratif perpajakan berupa kenaikan sebesar 200 dua ratus persen dari pajak yang
tidak atau kurang dibayar jika terdapat temuan adanya data danatau informasi mengenai harta yang belum atau kurang diungkapkan dalam Surat Pernyataan
[vide Pasal 18 ayat 1 dan ayat 2] termasuk akan diterapkan pajak dan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang
perpajakan [vide Pasal 18 ayat 4], memperlihatkan diterapkannya red light
theory dalam hukum administrasi negara yang tetap bermaksud memastikan
dilaksanakannya prinsip yang terkandung baik dalam Pasal 23A karakter pajak yang bersifat memaksa maupun Pasal 27 ayat 1 asas
persamaanequality principle dalam UUD 1945. Hukum Pajak merupakan pengkhususan lex specialis dari hukum administrasi negara, maka prinsip-
prinsip dalam hukum administrasi negara juga tetap berlaku dalam pengaturan maupun pelaksanaan hukum pajak.
Dalam hukum administrasi negara, pengaturan UU Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak dapat diletakkan sebagai sarana yuridis
untuk mencapai tujuan-tujuan pemerintahan bestuursdoeleinden tertentu. De
Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. 021 23529000, Fax 021 3520177, Email: sekretariatmahkamahkonstitusi.go.id
283
Haan, dkk. 1986: 7 dalam buku “Bestuursrecht in de Sociale Rechtsstaat deel 1” mengatakan bahwa: “Meer beleidsmatig geinspireerd is de opvatting dat het
bestuursrecht een tweeledige rol vervult. Enerzijds biedt het bestuursrecht de
overheid een juridisch instrumentarium voor het realiseren van overheidsdoeleinden,
anderzijds biedt het de burger en andere overheidsorganen waarborgen tegen een onjuist en rechtvaardig
bestuursoptreden. Deze tweeledige rol kwam tot uiting in de oorspronkelijke ondertitel van dit boek: instrument en waarborg
.” Banyak kebijakan diinspirasi pandangan bahwa hukum administrasi negara memainkan 2 dua peranan. Di
satu sisi hukum administrasi negara menyediakan bagi penguasa sarana yuridis untuk merealisasikan tujuan-tujuan pemerintahan, di sisi lain
menyediakan bagi rakyat dan badan-badan pemerintahan lain jaminan terhadap tindakan-tindakan pemerintah yang tidak tepat dan tidak adil. Kedua
peranan tersebut bertitiktolak dari sub judul dalam buku ini: sarana dan jaminan.
UU Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak yang membatasi masa berlaku kebijakan pengampunan pajak sampai pada tanggal
31 Maret 2017 harus diletakkan sebagai bentuk norma hukum UU yang bersifat sui generis yang dimaksudkan untuk mencapai tujuan pemerintahan
sebagaimana ditentukan pada Pasal 2 ayat 2 UU Nomor 11 Tahun 2016. Dengan demikian, karakter norma hukum yang terdapat dalam UU Nomor11
Tahun 2016 lebih menampakkan sifat diskresionary norm yang diberikan wadah suatu undang-undang agar lebih memberikan kepastian hukum.
Dengan demikian, rangkaian norma-norma yang terdapat dalam UU Pengampunan Pajak di satu sisi memang tidak pernah dimaksudkan untuk
mereduksi kualitas norma Pasal 23A UUD 1945 maupun Pasal 27 ayat 1 UUD 1945. Di sisi lain, meletakkan suatu discretionary norm dalam bingkai
suatu Undang-Undang dimaksudkan untuk mewujudkan jaminan kepastian hukum sebagai wujud bestuurlijke waarborgen jaminan pemerintahan
terhadap wajib pajak. Lebih lanjut, pengaturan dalam UU Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak itu telah dilaksanakan melalui serangkaian
peraturan
pelaksanaan dalam:
Peraturan Menteri
Keuangan Nomor
118PMK.032016 tentang
Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak,
Peraturan Menteri Keuangan
Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. 021 23529000, Fax 021 3520177, Email: sekretariatmahkamahkonstitusi.go.id
284
Nomor 119PMK.082016 tentang Tata Cara Pengalihan Harta Wajib Pajak Ke Dalam Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia Dan Penempatan Pada
Instrumen Investasi Di Pasar Keuangan Dalam Rangka Pengampuan Pajak,
Peraturan Menteri Keuangan Nomor
127PMK.0102016 tentang
Pengampunan Pajak Berdasarkan UU
Nomor 11 Tahun 2016tentang Pengampunan Pajak
Bagi Wajib Pajak Yang Memiliki Harta Tidak Langsung MelaluiSpecial Purpose Vehicle
dan yang terbaru melalui Peraturan Dirjen Pajak Nomor
PER- 11PJ2016tentang Pengaturan Lebih Lanjut Mengenai Pelaksanaan UU
Nomor 11 Tahun 2016 tentangPengampunan Pajak. Tak lama kemudian,
Pemerintah juga memberikan keringanan bagi wajibpajak dalam konteks BPHTB melalui diterbtikannya PP
Nomor 34 Tahun 2016 tentang
PajakPenghasilan atas Penghasilan dari Pengalihan Hak atas Tanah DanAtau Bangunan, DanPerjanjian Pengikatan Jual Beli atas Tanah DanAtau
Bangunan Beserta Perubahannya.Singkatnya, seluruh norma hukum dalam peraturan pelaksanaan dari atau yang berkaitan denganUU
Nomor 11 Tahun
2016 tentang Pengampunan Pajak tersebut berupaya untuk lebih meningkatkanjaminan dan perlindungan hukum bagi wajib pajak sehubungan
dengan implementasi UUPengampunan Pajak. Dengan demikian, ditinjau secara secara vertikal ke atas, norma-normahukum yang terkandung dalam
UU
Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak takbertentangan
dengan Pembukaan dan pasal-pasal dalam UUD 1945 manakalapenafsiran konstitusi digunakan untuk menemukan apa yang disebut Ronakd Dworkin
2006:118 sebagai “keutuhan konstitusional” constitutional integrity. Ditinjau secara vertikal kebawah, peraturan pelaksanaan dari maupn yang berkaitan
dengan UU
Nomor 11 Tahun 2016tentang Pengampunan Pajak telah
memastikan terwujudnya
fungsi jaminan
pemerintahanbestuurlijke waarborgen maupun perlindungan hukum rechtsbescherming dalam
pelaksanaanfungsi pemerintahan sturende functie oleh Pemerintah sebagai fiscus. Ditinjau secara horizontal, UU
Nomor 11 Tahun 2016 tentang
Pengampunan Pajak telah sesuai dengan tujuan untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia melalui pemanfaatan dana yang
terkumpul dari pelaksanaan Pengampunan Pajak tersebut untuk membiayai seluruh programkegiatan yang ditujukan guna mewujudkan kesejahteraan
rakyat. Hal itu artinya UU
Nomor 11 Tahun 2016 memiliki koherensi tujuan dan
Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. 021 23529000, Fax 021 3520177, Email: sekretariatmahkamahkonstitusi.go.id
285
prinsip-prinsip dengan berbagai Undang-Undang lain yang bertujuan memberikan pelayanan publik dan meningkatkan kesejahteraan bagi rakyat
seluas-luasnya di bidang perpajakan, kesejahteraan, pendidikan, kesehatan, pelayanan publik, infrastruktur publik dan lain-lain. Pada akhirnya, sebagai
penutup inspirasi dari Oliver Wendell Holmes sangat menarik untuk direnungkan, yaitu bahwa “Taxes are the price we pay for civilization” pajak
adalah harga yang kita bayar untuk suatu peradaban.
12. Dr. Maruarar Siahaan, S.H., Pendahuluan.