Keadaan Demografi .1 Jumlah Penduduk Desa

50 Sejak pengesahan tersebut rakyat dibebani kewajiban membayar pajak atau Iuran Pembangunan Daerah IPEDA oleh Pemerintah Kabupaten Labuhan batu. Demikian pula dengan status tanah yang diduduki oleh rakyat disahkan oleh pemerintah telah dikeluarkan dari areal Hak Guna Usaha HGU Desa Padang Halaban saat itu bernama Perusahaan NV. SUMCAMA. Untuk diketahui, bahwa luas areal desa-desa yang diciptakan oleh rakyat sejak tahun 1945 dan dikeluarkan dari HGU Perusahaan Perkebunan Padang Halaban, hingga tahun 19691970 tidak pernah mengalami perluasan areal desa merebaknya penggarap liar. Areal desa itu tetap luasnya sejak dibentuk menjadi desa hingga terjadi peristiwa penggusuran. 2.1.3 Keadaan Demografi 2.1.3.1 Jumlah Penduduk Desa Penduduk Desa Padang Halaban berjumlah ± 1800 jiwa, terdiri dari 890 laki-laki dan 910 perempuan. Jumlah kepala keluarga di Padang Halaban adalah 445 KK 54 . 54 Dokumen Pemerintahan Kabupaten Labuhan Batu Utara, Kecamatan Aek Kuo, Desa Padang Halaban. 2015. Op.Cit. Hal 15. Universitas Sumatera Utara 51

2.1.3.2. Suku

Secara umum masyarakat Desa Padang Halaban mayoritas adalah suku jawa. Sesungguhnya apabila dilihat dari sejarah, seluruh masyarakat desa ini adalah masyarakat pendatang, karena masyarakat yang ada di desa sebelumnya merupakan petani penggarap yang lama kelamaan menetap di desa tersebut. Mayoritas penduduk di kawasan perkebunan Padang Halaban merupakan masyarakat dari suku jawa bekas kuli kontrak tempo dulu perkebunan Belanda dan Jepang. Dari informasi yang penulis dapatkan, ada kecenderungan pada setiap masyarakat desa mengelompokkan dirinya sebagai kelompok pendatang dan penduduk asli. Program transmigrasi yang merupakan bagian dari politik etis kolonial pada saat itu juga mempengaruhi jumlah penduduk suku jawa yang menetap di desa Padang Halaban. Selain suku bangsa jawa terdapat juga suku bangsa Batak Toba, Mandailing dan Melayu. Suku batak toba dan mandailing merupakan masyarakat pendatang, dimana mereka bermigrasi dari wilayah utara dan selatan Labuhan Batu Utara. Kelompok masyarakat ini kemudian menetap di desa dan mencari penghasilan dari berbagai kegiatan yang ada di desa tersebut 55 . Adapun faktor penduduk pendatang di desa ini karena alasan: 1. Faktor Perkawinan Faktor perkawinan menjadi alasan utama seseorang untuk menetap di suatu daerah. Dalam hal ini salah satu pihak melakukan perkawinan dengan pihak 55 STPHL-AGRA. Sejarah Perkebunan Padang Halaban. 2014. Op.Cit. Hal.10 Universitas Sumatera Utara 52 lain. Artinya, seseorang penduduk dari desa ini melakukan perkawinan dengan seseorang dari pihak luar desanya. 2. Faktor Pekerjaan Selain faktor perkawinan, faktor pekerjaan juga menjadi satu alasan seseorang untuk tinggal dan menetap di Desa Padang Halaban. Misalnya masyarakat Pegawai Negeri Sipil PNS yang ditempatkan pemerintah untuk melayani masyarakat setempat, seperti guru, bidan dan sebagainya. Walaupun diantara penduduk Desa Padang Halaban ada perbedaan masyarakat pendatang dengan masyarakat asli, tidak menjadi halangan untuk berinteraksi dalam masyarakat. Masyarakat asli dan pendatang saling berbaur dan sangat dekat satu sama lain. Kedekatan ini lebih didasarkan selain karena hubungan kekerabatan juga karena factor pekerjaan dan adanya saling membutuhkan antara masyarakat asli dan pendatang.

2.1.3.3. Agama

Sebagian besar penduduk Desa Padang Halaban Kecamatan Aek Kuo beragama Islam yaitu sebanyak 73,25 , sedangkan yang beragama Kristen Protestan sebanyak 14,86 ,Kristen Katolik sebanyak 9,6 , Budha sebanyak 1,4 , dan Hindu 0,9 56 . Adapaun tabulasi penduduk desa Padang Halaban berdasarkan Agama sebagai berikut: 56 Ibid. Hal 16. Universitas Sumatera Utara 53 Tabel 2.1 Jumlah Penduduk Berdasarkan Agama No Agama Jumlah Presentase 1 Islam 1314 73 2 Kristen Protestan 252 14 3 Katholik 144 8 4 Budha 36 2 5 Hindu 54 3 Jumlah 1800 100 Sumber : Dokumen Pemerintahan Desa Padang Halaban 2015

2.1.3.4. Pendidikan

Desa Padang Halaban mempunyai tingkat pendidikan yang tergolong rendah. Lebih dari 40 penduduknya hanyalah tamat SD, dimana sebagian tidak tamat SD dan ada juga yang masih buta huruf. Kondisi ini dikarenakan karena fasilitas pendukung pendidikan di desa ini sangat minim. Disamping itu, profesi sebagai petani tradisional dan sebagian buruh perkebunan tidak cukup mampu untuk memenuhi kebutuhan di bidang pendidikan mereka 57 . 57 Diakases dari https:labuhanbatu utara kab. bps. go.id frontend Subjek view id 28 subjek View Tab3 | accordion – daftar – subjek 1 Universitas Sumatera Utara 54 Tabel 2.2. Jumlah Penduduk Berdasarkan Tingkat Pendidikan No Tingkat Pendidikan Jumlah Presentase 1 Tidak Tamat SD 133 7,3 2 SD 737 42,6 3 SMP 593 32 4 SMA 317 17 5 DiplomaSarjana 20 1,1 Jumlah 1800 100 Sumber : Data Olahan BPS Labuhan Batu Utara 2.1.3.5. Keadaan Ekonomi Desa Desa Padang Halaban mempunyai mata pencaharian utama yaitu dari sektor pertanian. Hal ini ditandai dengan mayoritas penduduknya berprofesi sebagai petani dan sebagiannya lagi buruh perkebunan. Beberapa masyarakat yang masih dalam usia produktif, selain berprofesi sebagai petani terkadang mereka juga bekerja sebagai buruh perkebunan kelapa sawit sembari menunggu hasil panen tanaman pangan yang mereka olah di lahan yang tidak begitu luas. Kondisi tidak terlepas dari semakin menyempitnya lahan yang bisa dimanfaatkan sebagai lahan pertanian untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Sebagian besar petani di desa ini menanami lahannya dengan tanaman pangan seperti ubi kayu, ubi jalar, pisang, dan kakao. Bekerja sebagai buruh perkebunan Universitas Sumatera Utara 55 menjadi alternative yang memungkinkan ketika kebutuhan untuk bertahan hidup mulai menipis. Mereka bekerja pada umumnya sebagai buruh perkebunan yang bekerja di lahannya para petani yang memiliki luas lahan lebih besar dan di perkebunan PT SMART anak perusuhaan Sinar Mas Group sebagai buruh harian lepas BHL. Di samping itu, penduduk desa Padang Halaban ada juga yang berprofesi sebagai pedagang, PNS, ABRIPOLRI, medis, buruh, pengerajin, dan supir 58 . Untuk lebih jelasnya dapat dilihat dalam tabel di bawah ini : Tabel 2.3. Jumlah Penduduk Berdasarkan Pekerjaan No Keterangan Jumlah Presentase 1 Petani 1070 59,47 2 Buruh 146 8,14 3 PNS, TNI, POLRI 50 2,80 4 Lainnya 534 29,59 Jumlah 1800 100 Sumber : Data Olahan Potensi DesaKelurahan Labuhan Batu Utara Di tengah kondisi lahan petani Padang Halaban yang semakin sempit akibat dari perluasan lahan kelapa sawit oleh PT. SMART, secara langsung 58 Dokumen Pemerintahan Kabupaten Labuhan Batu Utara, Kecamatan Aek Kuo, Desa Padang Halaban. 2015 Op.Cit. Hal 18. Universitas Sumatera Utara 56 mempengaruhi jumlah hasil produksi dari lahan mereka semakin menurun. Dari kondisi ini memaksa para petani untuk menyewa lahan dari penduduk setempat yang memiliki luas lahan yang lebih besar. Selain itu, petani padang halaban juga bekerja sebagai buruh harian lepas, dan bekerja di lahan petani yang memiliki lahan lebih luas untuk sekedar menambah pendapatan. Proses pendistribusian hasil pertanian petani padang halaban dijual langsung ke pasar yang terdapat di Aek Korsik. Sebagian petani bahkan ada yang menjual seluruh hasil panen pertaniannya kepada agen atau tengkulak.

2.1.3.6. Kondisi Kepemilikan Tanah

Berdasarkan seruan dari Presiden Republik Indonesia pertama Ir. Soekarno pasca kemerdekaan 17 Agustus 1945 tentang kepemilikan lahan di area perkebunan Padang Halaban, bahwa tanah seluas 3000 Ha yang terletak di area perkebunan Padang Halaban yang dulunya dikuasai oleh perusahaan perkebunan kolonial dibagikan kepada para eks kuli Jepang serta laskar-laskar rakyat agar digunakan untuk bercocok tanam segala jenis tanaman pangan guna memberikan penghidupan kepada segenap rakyat. Selain itu, seruan tersebut juga sekaligus menandakan bahwa rakyat Indonesia telah merdeka dari segala bentuk penjajahan. Tanah-tanah tersebut dibagikan berdasarkan bekas divisi perkebunan padang halaban di masing-masing tempat. Untuk selanjutnya dikembangkan menjadi perkampungan rakyatdesa, dengan luas tanah yang berhak diusahai rakyat masing-masing seluas 2 dua HaKK. Pembagian tanahnya : Tanah di bekas Divisi I yang diduduki rakyat dinamakan Desa Sidomulyo, Tanah di bekas Divisi Universitas Sumatera Utara 57 Pabrik yang diduduki rakyat dinamakan Desa Karang Anyar, Tanah di bekas Divisi II yang diduduki rakyat dinamakan Desa Padang HalabanAek Kuo, Tanah di bekas Divisi III yang diduduki rakyat dinamakan Desa PurworejoAek Ledong, Tanah di bekas Divisi IV-V yang diduduki rakyat dinamakan Desa KartosentonoBrussel, dan Tanah di bekas Divisi VI yang diduduki rakyat dinamakan Desa SukadamePanigoran. Tahun 1954 setelah dikeluarkannya UU Darurat Nomor 8 Tahun 1954 oleh Pemerintah Republik Indonesia, masyarakat desa yang telah menduduki dan mengusahai tanah rampasan perang, diberikan KTPPT Kartu Tanda Pendaftaran Pendudukan Tanah yang dikeluarkan oleh KRPT Kantor Reorganisasi Pemakaian Tanah wilayah Sumatera Timur sebagai dasar untuk mendapatkan atau memperoleh alas hak yang diakui hukum seperti diatur dalam UUPA No 5 Tahun 1960. Sejak pengesahan tersebut rakyat dibebani kewajiban membayar pajak atau Iuran Pembangunan Daerah IPEDA oleh Pemerintah Kabupaten Labuhan batu. Kemudian tanah dengan luas 3000 Ha yang terbagi ke beberapa desa ini lah yang hingga saat ini berstatus sengketa dengan perusahaan perkebunan yang berdiri diatasnya yakni PT. SMART. Sementara hingga ini, masyarakat yang terdiri dari beberapa desa tersebut terutama dari Desa Padang Halaban sejak tahun 2008, melakukan pendudukan lahan diatas lahan seluas 83 Ha dari 3000 Ha yang bersengketa dengan perusahaan. Universitas Sumatera Utara 58 2.1.4 Tinjauan Konflik Tanah Di Desa Padang Halaban 2.1.4.1. Sebelum Adanya Usaha Penggusuran Tahun 1969 - 1970 Sejak diusirnya kolonial Belanda dan pendudukan Fasis Jepang di tahun 1945, para laskar-laskar rakyat dan masyarakat disekitar perkebunan Padang Halaban mengambil alih tanah. Usaha rakyat ini diperkuat oleh seruan dari Ir. Soekarno sebagai Presiden Republik Indonesia pertama. Dalam seruannya menyampaikan “perintah langsung kepada seluruh rakyat Indonesia dan para laskar rakyat agar areal-areal atau tanah bekas perkebunan asing yang ditinggalkan pengelolanya supaya diberikan atau dibagikan kepada rakyat Indonesia termasuk bekas kuli bangsa Jepang untuk ditanami dengan tanaman pangan guna membantu keperluan logistik laskar rakyat, disamping juga sebagai tanda bangsa yang sudah merdeka”. Berdasarkan seruan tersebut, pada tahun 1945 hampir seluruh areal lahan di Perkebunan Padang Halaban seluas 3000 Ha, dibagikan kepada rakyat bekas kuli bangsa jepang secara bekerjasama dengan para laskar rakyat. Tanah-tanah tersebut dibagikan berdasarkan bekas divisi perkebunan padang halaban di masing-masing tempat. Untuk selanjutnya dikembangkan menjadi perkampungan rakyatdesa, dengan luas tanah yang berhak diusahai rakyat masing-masing seluas 2 dua HaKK. Pembagian tanahnya : Tanah di bekas Divisi I yang diduduki rakyat dinamakan Desa Sidomulyo, Tanah di bekas Divisi Pabrik yang diduduki rakyat dinamakan Desa Karang Anyar, Tanah di bekas Divisi II yang diduduki rakyat dinamakan Desa SidodadiAek Korsik, Tanah di bekas Divisi III yang Universitas Sumatera Utara 59 diduduki rakyat dinamakan Desa PurworejoAek Ledong, Tanah di bekas Divisi IV-V yang diduduki rakyat dinamakan Desa KartosentonoBrussel, dan Tanah di bekas Divisi VI yang diduduki rakyat dinamakan Desa SukadamePanigoran 59 . Tahun 1954 setelah dikeluarkannya UU Darurat Nomor 8 Tahun 1954 oleh Pemerintah Republik Indonesia, masyarakat desa yang telah menduduki dan mengusahai tanah rampasan perang, diberikan KTPPT Kartu Tanda Pendaftaran Pendudukan Tanah yang dikeluarkan oleh KRPT Kantor Reorganisasi Pemakaian Tanah wilayah Sumatera Timur sebagai dasar untuk mendapatkan atau memperoleh alas hak yang diakui hukum seperti diatur dalam UUPA No 5 Tahun 1960. Sejak pengesahan tersebut rakyat dibebani kewajiban membayar pajak atau Iuran Pembangunan Daerah IPEDA oleh Pemerintah Kabupaten Labuhan batu 60 . Demikian pula dengan status tanah yang diduduki oleh rakyat disahkan oleh pemerintah telah dikeluarkan dari areal Hak Guna Usaha HGU Perkebunan Padang Halaban saat itu bernama Perusahaan NV. SUMCAMA. Untuk diketahui, bahwa luas areal desa-desa yang diciptakan oleh rakyat sejak tahun 1945 dan dikeluarkan dari HGU Perusahaan Perkebunan Padang Halaban, hingga tahun 19691970 tidak pernah mengalami perluasan areal desa merebaknya penggarap liar. Areal desa itu tetap luasnya sejak dibentuk menjadi desa hingga terjadi peristiwa penggusuran. 59 STPHL-AGRA. 2012. Kronologis Konflik Agraria Padang Halaban. Dalam bentuk ebook. Hal 2. 60 Ibid. Universitas Sumatera Utara 60 Bahkan pada tahun 1962, setelah sekitar 17 tujuh belas tahun mengembangkan dirinya, Desa Sidomulyo berhasil mendapatkan Penghargaan dari Gubernur Sumatera Utara saat itu Ulung Sitepu, atas prestasi Desa Sidomulyo yang berhasil meraih Juara II Desa Terbaik se-Sumatera Utara. Saat itu, Ulung Sitepu yang langsung turun atau datang ke Desa Sidomulyo untuk menyerahkan Piagam Penghargaan yang juga langsung diterima oleh Kepala Desa Sidomulyo saat itu, yaitu bapak alm Langkir.

2.1.4.2. Pembantaian Warga di Tahun 1965

Imbas dari pertentangan politik di tingkat nasional sampai juga pada masyarakat di desa-desa sekitar perkebunan Padang Halaban. Melalui koordinasi oknum angkatan darat dan Komando Aksi melakukan penyisiran untuk menangkap orang-orang yang dituduh terlibat dalam Partai Komunis Indonesia PKI. Penangkapan dilakukan hampir setiap malam dari berbagai penjuru tempat, tidak jarang juga penangkapan disertai dengan tindakan penganiayaan, pemerkosaan dan pembunuhan terhadap orang-orang yang tertuduh. Penangkapan disertai dengan penghilangan orang terjadi di desa Sidomulyo, Panigoran, Aek Korsik, Sidomukti, dan beberapa daerah di kawasan perkebunan Padang Halaban. Di Sidomulyo kepala desa beserta pimpinan organisasi buruh dan organisasi petani menjadi korban, bahkan sampai detik ini keberadaan jasad korban tidak diketahui oleh sanak keluarga. Mereka di bantai secara kejam seperti menombak anggota badan, mengikat di kedua ibu jari, memukul, menendang, menyayat anggota organ tubuh, memenggal kepala korban, Universitas Sumatera Utara 61 memperkosa korban dan mencampakkan mayat ke sungai. Peristiwa yang hampir- hampir tidak bisa terlupakan meskipun para pelaku sejarah sampai dimakan usia. Seperti yang terjadi di Titi Panjang desa Panigoran menjadi tempat pembantaian terhadap anggota Pemuda Rakyat, yaitu : Mahmud, Karsan, Saru dan Suroso; di desa Sidomulyo ada proses penangkapan dan penghilangan kepada Bapak Langkir, Bapak Mico, Bapak Suyoto, Bapak Saud; di desa Patok Besi ada Bapak Suzari, dan beberapa korban lainnya yang tempat penguburannya tersebar di areal perkebunan dan pemakaman umum. Berdasarkan kesaksian kerabat korban di desa brussel terdapat 7 tujuh orang korban pembantaian dalam satu lubang di dekat simpang, yang kemudian simpang tersebut dikenal warga dengan Simpang Maut. Di Pamingke Blok Sepuluh terdapat dua lubang penguburan yang berisikan 6 enam orang korban pembantaian dari warga yang diambil di desa sekitar perkebunan Padang Halaban. Dimana dimungkinkan salah satu korban yang dikubur adalah bapak Suyoto dari Sidomulyo 61 . Situasi mencekam pada tahun 1965 – 1968 dimanfaatkan oleh pihak perkebunan Plantagen AG untuk mengintimidasi dan menebarkan teror kepada rakyat. Mengkonsolidasikan seluruh perangkat keamanan di sekitar perkebunan Padang Halaban, tidak terkecuali militer dan bekas komando aksi serta para pekerja kebun yang didatangkan dari luar daerah untuk membantu proses-proses penggusuran. 61 Ibid. Hal 4. Universitas Sumatera Utara 62

2.1.4.3. Penggusuran Tahun 1969-1970

Tahun 1968, akibat dari peristiwan pembantaian warga di tahun 1965, masyarakat di desa-desa sekitar Perkebunan Padang Halaban yang mayoritas bermata pencaharian sebagai petani, mulai diintimidasi oleh Pengusaha Perkebunan Padang Halaban bernama PT. Plantagen AG. Terjadi pengumpulan Kartu Tanda Pendaftaran Pendudukan Tanah KTPPT untuk diperiksa dengan alasan ada pembaharuan. Pengutipan KTTPT dilakukan oleh kepala desa dari perusahaan, yaitu bpk Yahman yang dibantu pengawas kebun bapak Aritonang, dibantu juga oleh aparat kepolisian yang bernama Suwaji. Komandan kepolisian waktu itu bernama Aiptu Napitupulu 62 . Setelah pengumpulan KTTPT, pada tahun 1969 terjadi penggusuran. Pengusaha perkebunan dengan dibantu aparat TNIPolri dan didukung oleh Pemerintah Kabupaten Labuhan batu saat itu, mulai melakukan intimidasi dan menuduh masyarakat desa sebagai anggota BTI Barisan Tani Indonesia yang merupakan underbown-nya PKI. Selanjutnya, dengan todongan senjata laras panjang milik para aparat, masyarakat desa dipaksa untuk meninggalkan tanahnya, dengan terlebih dahulu melucutimengambil bukti-bukti kependudukankepemilikan tanah dari tangan masyarakat desa. Pada tahun 1969 sampai tahun 1970 proses penggusuran berlangsung. Penggusuran dilakukan di beberapa kampung, kampung pertama yang digusur Sukodamai Panigoran dengan menggunakan alat berat D8 dikawal oleh polisi 62 Ibid. Hal 5. Universitas Sumatera Utara 63 militer berbaju hijau dan kuning dengan membawa senjata api laras panjang. Kampung kedua digusur adalah Sidomulyo dengan memakai tenaga TPU Tahanan Umum dibantu karyawan perusahaan dan dikawal oleh aparat. Padahal masyarakat di masing-masing desa di sekitar Perkebunan Padang Halaban tidak pernah mengenal yang namanya BTI ataupun bergabung ke dalam partai terlarang tersebut. Akan tetapi, tuduhan terhadap masyarakat desa ini dengan menyebutnya sebagai Anggota BTI, hanya merupakan alat di masa Orde Baru sebagai dalih untuk mempermudah aksinya melakukan perampasan hak tanah rakyat yang tidak berdaya karena berhadapan dengan intimidasi dan todongan senjata laras panjang milik aparat TNIPolri. Bagi masyarakat desa yang dituduh sebagai Anggota BTI dan tidak dapat melakukan perlawanan, akhirnya harus rela untuk ditahan di penjara Korem 021 Pematang Siantar atau disiksa dihadapan orang banyak 63 .

2.1.4.4. Masa Orde Baru Hingga Sekarang

Tindakan sewenang-wenang perampasan tanah oleh pemerintah dan perkebunan menjadi pemantik bagi bangkitnya perjuangan rakyat. Usaha perjuangan dimulai sejak tahun 1970 dengan mengajukan desakan kepada pihak perkebunan untuk mengembalikan tanah rakyat. namun desakan tersebut tidak mendapatkan tanggapan dan justru mendapatkan ancaman dari pihak perkebunan. Kembali perjuangan dilakukan pada tahun 1975 dipimpin oleh tiga orang, diantara bapak Simajuntak, bapak Sasi dan Bapak Jono dengan mengajukan dialog, tapi 63 Ibid. Universitas Sumatera Utara 64 usaha tersebut sia-sia karena pihak perusahaan tidak menanggapi. Ketidak pastian atas hidup rakyat pasca terjadi penggusuran dan perampasan tanah terus berlangsung menyebabkan rakyat kehilangan semangatnya lagi untuk berjuang. Disamping itu seiring derasnya tekanan dari pemerintah reaksioner Soeharto dan juga semakin senjanya usia para pejuang-pejuang yang hebat ini. Pada tahun 1998 ketika pecah gerakan reformasi yang dipelopori gerakan mahasiswa beserta gerakan buruh diberbagai kota memicu bangkitnya perlawanan di pedesaan. Tumbangnya Soeharto menjadi momentum mengambil kembali hak rakyat yang telah dirampas selama 32 tahun tanpa prikemanusiaan. Kala itu jutaan massa tumpah ruah di jalan-jalan ibu kota dan kota-kota provinsi sampai kabupaten diikuti aktivitas reclaiming tanah di desa-desa. Disinilah kekuatan massa menjadi guru utama dalam menyelesaikan persoalan rakyat dan telah menunjukkan bukti kedahsyatannya. Ketika reformasi 1998 terjadi, di perkebunan Padang Halaban perjuangan dimulai kembali, kali ini perjuangan dipimpin oleh bapak Samiran, dan bapak Sumardi Syam. Usaha perjuangan dilakukan dengan menyelenggarakan aksi-aksi politik dibantu oleh AGRESU dan GERAG serta pelindung hukum oleh Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Azasi Manusia Indonesia PBHI Sumut. Setelah beberapa kali melakukan aksi ke kantor-kantor pemerintahan baik tingkat kabupaten maupun tingkat provinsi, pada tahun 1999 Gubernur terpilih Sumatera Universitas Sumatera Utara 65 Utara , bapak Tengku Rizal Nurdin mengeluarkan surat keputusan untuk bagi hasil antara petani dan perkebunan 64 . Harapan di pelupuk mata sirna dengan janji yang tak kunjung ditepati. Putusan tersebut tidak memiliki sama sekali kekuatan untuk memberikan hak kaum tani Padang Halaban sekitarnya, justru malah tidak pernah diungkap kembali oleh Pemprovsu, Bupati Labuhan Batu Utara, BPN Sumatera Utara, dan pihak perkebunan. Harapan yang sempat mengemuka di tengah-tengah rakyat telah di ingkari oleh arogansi Pemprovsu, Bupati Labuhan Batu Utara, BPN Sumatera Utara, dan pihak perkebunan. Seiring akan hal itu kepercayaan rakyat semakin sirna kepada pemerintah. Sampai pada akhirnya dengan teguh dan kembali merapatkan barisan rakyat KTPHS kembali berjuang. Tanah 3000 Ha adalah tanah rakyat, karena sejak awal tanah ini dibuka, dibabat dan dibangun oleh rakyat. Keberadaan perusahaan-perusahaan yang silih berganti sejak masa penjajahan Belanda – Jepang sampai perkebunaan swasta berdiri diatas perampasan dan penghisapan terhadap buruh dan kaum tani. Melalui berbagai kebijakan, dari Agrarische Wet sampai ke UU Penanaman Modal rakyat dibuat seolah-olah tidak punya hak atas tanah yang telah lama ditinggali dan di usahai. Sampai-sampai perusahaan menjadi penentu atas nasib buruh dan kaum tani. Upaya perjuangan dilakukan kembali dengan menyatukan warga yang sempat tercerai berai. Satu demi satu warga mengikatkan diri dalam persatuan 64 Ibid. Hal 12. Universitas Sumatera Utara 66 perjuangan, dan secara bertahap membangun kelompok-kelompok kerja tiap desa disekitar perkebunan Padang Halaban. Terbangun kemudian kelompok kerja atau disingkat dengan Pokja di 10 desa, diantaranya Pokja Panigoran, Pokja Sidomulyo, Pokja Karanganyar, Pokja Pulojanten, Pokja Grojokan, Pokja Kampung Selamet, Pokja Purworejo, Pokja Aek Korsik, Pokja Kartosentono, dan Pokja Kampung Lalang. Setelah terkumpul barulah diperoleh jumlah anggota sebanyak 2040 KK atau sekitar 8160 jiwa dengan asumsi tiap KK sebanyak 4 orang anggota keluarga. Selain itu membentuk persatuan Pokja-Pokja menjadi Kelompok Tani Padang Halaban dan Sekitarnya KTPHS yang kemudian berubah nama menjadi STPHL-AGRA dengan membentuk struktur yang terdiri dari Ketua, Sekerteris Umum, sampai Pokja-Pokja 65 . Tindakan demikian memberi bentuk baru perjuangan dengan ikatan keanggotaan yang tersusun dengan rapi. Mulailah perjuangan dilakukan kembali, dengan tahapan pertama melakukan pendudukan lahan HGU PT.Smart di areal seluas 82 Ha. Pada tahun 2008 kurang lebih sebanyak 700 orang terlibat dalam aksi pendudukan. Awal-awal pendudukan sempat terjadi pengusiran oleh aparat keamanan kebun dan pihak kepolisian, namun masyarakat tidak bergeming dan tetap menduduki lahan. Dengan membentuk gubuk-gubuk darurat tempat berteduh sekaligus menjadi pos perjuangan. Kegiatan pendudukan lahan terjadi kurang lebih selama satu bulan dengan pengawalan ketat pihak keamanan. Dampaknya pihak perkebunan bekerjasama dengan pihak keamanan melakukan proses pidana 65 Ibid. Hal 16. Universitas Sumatera Utara 67 kepada ketua dan Sekretaris umum dengan alasan menyerobot lahan perkebunan tanpa izin sesuai dengan putusan UU Perkebunan No 18 Tahun 2004 pasal 21 dan 47. Berdasarkan bukti-bukti yang ada kaum tani melakukan menempuh jalur hukum melalui gugatan perdata kepada pihak perkebunan PT.Smart sebagai upaya untuk mempertahankan diri karena ancaman hukuman dari pihak perkebunan dan juga intimidasi yang dilakukan oleh aparat keamanan kebun yang di dukung oleh pihak kepolisian. Akhirnya tuntutan pidana kepada ketua umum dan sekretaris ditangguhkan oleh pihak kepolisian. Apalagi setelah mengikuti beberapa sidang perdata di tingkatan Pengadilan Negeri Rantau Prapat dan Pengadilan Tinggi Medan dikalahkan oleh pihak perusahaan, dan memutuskan pihak perkebunan adalah pemilik sah lahan. Walaupun demikian tetap saja rakyat memasukkan banding ke Mahkamah Agung karena tidak ada pilihan lain. Ibarat sebuah Kapal terbawa arus dan sedikit penumpang yang masih bertahan untuk mengayuh perjuangan agar tidak tenggelam. Seiring proses hukum yang ada rakyat masih saja melakukan pendudukan lahan dan bertahan sampai detik ini.

2.1.5. Profil Serikat Tani Padang Halaban STPHL – Aliansi Gerakan Reforma Agraria AGRA