Teori Konflik Kerangka Teori .1. Teori Kebijakan Publik

24 pertumbuhan ekonomi bisa terjadi dalam berbagai macam sistem politik, dengan berbagai macam kebijaksanaan umum yang ditempuh 26 .

1.6.3. Teori Konflik

Teori konflik sebenarnya suatu sikap kritis terhadap Marxisme yang membicarakan tentang konflik antara kelompok-kelompok terkoordinasi dan tentang elit dominan, pengaturan kelas dan manajemen pekerja. Keadaan permasalahan masyarakat tidak selalu dalam kondisi terintegrasi, harmonis dan saling memenuhi, tetapi ada wajah lain yang memperlihatkan konflik dan perubahan yang melibatkan dunia kelompok-kelompok terkoordinasi imperatively coordinated association dan mewakili peran-peran organisasi yang dapat dibedakan 27 . Menurut teoritis konflik bahwasanya masyarakat disatukan oleh” ketidak bebasan yang dipaksakan”. Dengan demikian, posisi tertentu di dalam masyarakat mendelegasikan kekuasaan dan otoritas terhadap posisi yang lain. Otoritas. Dahrendorf memusatkan perhatiaanya pada struktur sosial yang lebih luas. Inti tesisnya adalah gagasan bahwa berbagai posisi dalam suatu masyarakat mempunyai kualitas otoritas yang berbeda. Menurut Dahrendorf, tugas pertama analisis konflik adalah mengidentifikasi berbagai peran otoritas didalam masyarakat, karena memusatkan perhatian kepada struktur bersekala luas seperti 26 Yahya Muhaimin, dan Colin Mc Andrews.1995. Masalah-masalah Pembangunan Politik. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press. Hal 77 27 Bernard Raho. 2007. Teori Sosiologi Modern. Jakarta: Prestasi Pustaka Publisher. Hal 87 Universitas Sumatera Utara 25 peran otoritas. Dahrendorf ditentang oleh para peneliti yang memusarkan perhatiannya tingkat individual. Dahrendorf, menyatakan bahwa masyarakat tersusun dari sejumlah unit yang ia sebut asosiasi yang dikoordinasikan secara inperatif. Masyarakat terlihat sebagai asosiasi individu yang dikontrol oleh hierarki posisi otoritas. Otoritas dalam setiap asosiasi bersifat dikotomi, karena itu hanya ada dua, kelompok konflik yang dapat terbentuk didalam setiap asosiasi. Kelompok yang memegang posisi otoritas dan kelompok subordinat yang memiliki kepentingan tertentu Ada sebuah konsep kunci lain dalam teori konflik Dahrendorf , yakni kepentingan. Kelompok yang berada diatas dan yang berada dibawah, Didifinisikan berdasarkan kepentingan bersama untuk tujuan analisis sosiologis tentang kelompok konflik konflik kelompok, perlu menganut orientasi structural dari tindakan pemegang posisi tertentu. Dengan analogi terhadap orientasi kesadaran Subjektif tampaknya dapat dibenarkan untuk mendiskripsikan ini sebagai kepentingan, asumsi kepentingan objektif yang diasosiasikan dengan posisi social tidak mengandung rimifikasi atau implikasi psikologis ini adalah termasuk dalam level analisis Sosiologis dalam setiap asosiasi, orang yang berbeda pada posisi dominant berupaya mempertahankan Status Qou, sedangkan orang yang berbeda berada dalam posisi subordinat berupaya bagaimana bisa menciptakan perubahan, adapun konflik kepentingan akan selalu ada sepanjang waktu 28 . 28 Ralf Dahrendorf. Class and Class Conflict in Industrial Society. Dalam buku. Ritzer, George Goodman, Douglas J. 1997. Teori Sosiologi Modern. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. Hal.65 Universitas Sumatera Utara 26 Konflik kepentingan ini tidak perlu selalu disadari oleh pihak subordinat dan superordinat, karena individu tidak perlu selalu menginternalisasikan harapan itu atau tidak perlu menyadari dalam rangka bertindak untuk sesuai dengan harapan itu, karena harapan yang disadari ini menurut Dahrendorf, disebut kepentingan tersembunyi. Kepentingan nyata adalah kepentingan tersembunyi yang telah disadari Dahrendorf melihat analisis hubungan antara kepentingan tersembunyi dan kepentingan nyata, ini sebagai tugas utama teori konflik karena walau bagaimanapun aktor tidak perlu menyadari kepentingan mereka untuk bertindak sesuai dengan kepentingan itu 29 . Organisasi ini dikarakteri oleh hubungan kekuasaan power, dengan beberapa kelompok peranan mempunyai kekuasaan memaksakan dari yang lainnya. Saat kekuasaan merupakan tekanan coersive satu sama lain, kekuasaan dalam hubungan kelompok-kelompok terkoordinasi ini memeliharanya menjadi legitimate dan oleh sebab itu dapat dilihat sebagai hubungan authority, dimana beberapa posisi mempunyai hak normatif untuk menentukan atau memperlakukan yang lain. Dasar Teori Konflik adalah penolakan dan penerimaan sebagian serta perumusan kembali teori Karl Marx yang menyatakan bahwa kaum borjuis adalah pemilik dan pengelola sistem kapitalis, sedangkan para pekerja tergantung pada sistem tersebut, pendapat yang demikian mengalami perubahan karena pada abad 29 Ibid. Hal. 97 Universitas Sumatera Utara 27 ke-20 telah terjadi pemisahan antara pemilikan dan pengendalian sarana-sarana produksi. Kecuali itu, pada akhir abad ke-19 telah menunjukkan adanya suatu pertanda bahwa para pekerja tidak lagi sebagai kelompok yang dianggap sama dan bersifat tunggal karena pada masa itu telah lahir para pekerja dengan status yang jelas dan berbeda-beda, dalam arti ada kelompok kerja tingkat atas dan ada pula kelompok kerja tingkat bawah 30 . Ada beberapa asumsi dasar dari teori konflik ini, teori konflik merupakan antitesis dari teori struktural fungsional, dimana teori struktural fungsional sangat mengedepankan keteraturan dalam masyarakat. Teori konflik melihat pertikaian dan konflik dalam sistem sosial. Teori konflik melihat bahwa di dalam masyarakat tidak akan selamanya berada pada keteraturan, buktinya dalam masyarakat manapun pasti pernah mengalami konflik-konflik atau ketegangan-ketegangan, kemudian teori konflik juga melihat adanya dominasi, koersi, dan kekuasaan dalam masyarakat. Teori konflik juga membicarakan mengenai otoritas yang berbeda-beda, otoritas yang berbeda-beda ini menghasilkan superordinasi dan subordinasi, perbedaan antara superordinasi dan subordinasi dapat menimbulkan konflik karena adanya perbedaan kepentingan 31 . Teori konflik juga mengatakan bahwa konflik itu perlu supaya terciptanya perubahan sosial, ketika struktural fungsional mengatakan bahwa perubahan sosial dalam masyarakat itu selalu terjadi pada titik ekulibrium, didalamnya teori konflik 30 Bernard Raho. Op.Cit. Hal. 54 31 Margaret. M. Poloma, 1994. Sosiologi Kontemporer. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Hal. 120 Universitas Sumatera Utara 28 melihat perubahan sosial disebabkan karena adanya konflik-konflik kepentingan, namun pada suatu titik tertentu, masyarakat mampu mencapai sebuah kesepakatan bersama didalam konflik, selalu ada negosiasi-negosiasi yang dilakukan sehingga terciptalah suatu konsensus menurut teori konflik, masyarakat disatukan dengan “paksaan”. Maksudnya, keteraturan yang terjadi di masyarakat sebenarnya karena adanya paksaan koersi. Oleh karena itu, teori konflik lekat hubungannya dengan dominasi, koersi, dan power 32 . Berkenaan dengan hal tersebut maka dalam suatu sistem sosial mengharuskan adanya otoritas, dan relasi-relasi kekuasaan yang menyangkut pihak atasan dan bawahan akan menyebabkan timbulnya kelas. Dengan demikian maka tampaklah bahwa ada pembagian yang jelas antara pihak yang berkuasa dengan pihak yang dikuasai, keduanya itu mempunyai kepentingan yang berbeda dan bahkan mungkin bertentangan. Selanjutnya, kepentingan kelas objektif dibagi atas adanya kepentingan manifest dan kepentingan latent maka dalam setiap sistem sosial yang harus dikoordinasi itu terkandung kepentingan latent yang sama, yang disebut kelompok semu yaitu mencakup kelompok yang menguasai dan kelompok yang dikuasai. Teori Konflik yang dikemukakan juga membahas tentang intensitas bagi individu atau kelompok yang terlibat konflik. Dalam hal ini, intensitas diartikan sebagai suatu pengeluaran energi dan tingkat keterlibatan dari pihak-pihak atau 32 Ralf Dahrendorf. Op. Cit. Hal. 67 Universitas Sumatera Utara 29 kelompok-kelompok yang terlibat dalam konflik. Ada dua faktor yang dapat mempengaruhi intensitas konflik, yaitu 1 tingkat keserupaan konflik, dan 2 tingkat mobilitas. Selain itu juga membicarakan tentang kekerasan dan faktor- faktor yang mempengaruhinya. Konsep tentang kekerasan, yaitu menunjuk pada alat yang digunakan oleh pihak-pihak yang saling bertentangan untuk mengejar kepentingannya, tingkat kekerasan mempunyai berbagai macam perwujudan, dalam arti mulai dari cara-cara yang halus sampai pada bentuk-bentuk kekerasan yang bersifat kejasmanian 33 . Konflik dapat merupakan proses yang bersifat instrumental dalam pembentukan, penyatuan dan pemeliharaan struktur sosial. Konflik dapat menempatkan dan menjaga garis batas antara dua atau lebih kelompok. Konflik dengan kelompok lain dapat memperkuat kembali identitas kelompok dan melindunginya agar tidak lebur ke dalam dunia sosial di sekelilingnya. Seluruh fungsi positif konflik tersebut dapat dilihat dalam ilustrasi suatu kelompok yang sedang mengalami konflik dengan kelompok lain. Di dunia internasional kita dapat melihat bagaimana, apakah dalam bentuk tindakan militer atau di meja perundingan mampu menetapkan batas-batas geografis nasional dalam ruang lingkup yang lebih kecil, oleh karena konflik kelompok-kelompok baru dapat lahir dan mengembangkan identitas strukturalnya dalam pengukuhan sebagai kelompok. 33 George Goodman, Douglas J. Op.Cit. Hal. 94 Universitas Sumatera Utara 30 Akan tetapi apabila konflik berkembang dalam hubungan- hubungan yang intim, maka pemisahan antara konflik realistis dan non-realistis akan lebih sulit untuk dipertahankan. Semakin dekat suatu hubungan semakin besar rasa kasih sayang yang sudah tertanam, sehingga semakin besar juga kecenderungan untuk menekan ketimbang mengungkapkan rasa permusuhan, sedang pada hubungan- hubungan sekunder, seperti misalnya dengan rekan bisnis, rasa permusuhan dapat relatif bebas diungkapkan. Hal ini tidak selalu bisa terjadi dalam hubungan- hubungan primer dimana keterlibatan total para partisipan membuat pengungkapan perasaan yang demikian merupakan bahaya bagi hubungan tersebut. Apabila konflik tersebut benar- benar melampaui batas sehingga menyebabkan ledakan yang membahayakan hubungan tersebut.

1.6.4. Politik Agraria