Hubungan Frekuensi Makan Protein dengan Kejadian Obesitas

di Indonesia melebihi kebutuhan energi per hari. Kelebihan asupan karbohidrat dan protein berhubungan dengan kejadian obesitas pada anak usia 5-15 tahun di Indonesia. Anggrainy 2008 juga menyatakan konsumsi nasi pada anak obesitas lebih banyak dibandingkan anak normal sehingga terdapat hubungan yang signifikan antara tingkat kecukupan energi dengan status gizi obesitas anak.

5.3.2. Hubungan Frekuensi Makan Protein dengan Kejadian Obesitas

Protein merupakan zat gizi yang memiliki fungsi khas yang tidak bisa digantikan oleh zat gizi lain, yaitu sebagai zat pembangun dan pemelihara tubuh. Sebagai sumber energi, protein ekivalen dengan karbohidrat namun cukup mahal baik dari segi harga maupun jumlah energi yang dibutuhkan untuk metabolisme energi Almatsier, 2010. Kekurangan protein berkontribusi terhadap terjadinya masalah gizi kurang seperti marasmus, dan kwashiorkor di beberapa negara berkembang, termasuk Indonesia. Namun, konsumsi protein berlebihan juga tidak menguntungkan bagi tubuh. Makanan yang tinggi protein biasanya juga tinggi lemak sehingga dapat menyebabkan obesitas Almatsier, 2010. Dari hasil analisis pada food frequency ditemukan untuk konsumsi makanan protein, yaitu sebagai lauk cukup tinggi dan bervariasi. 51,7 siswa mengonsumsi ayam 1 kalihari, 39,7 mengonsumsi 1-5 kaliminggu, 7,3 mengonsumsi 2 kalibulan, dan hanya 2 responden yang menyatakan tidak pernah mengonsumsi ayam. Sedangkan untuk konsumsi telur, 41,7 siswa mengonsumsi lebih dari satu kali per hari dan 43 mengonsumsi 1-5 kali per minggu. Protein hewani seperti daging sapi, ayam, ikan, telur, dan sebagainya merupakan sumber protein yang berkualitas tinggi Departemen Gizi Kesehatan Masyarakat FKM UI,2010. Dari hasil penjumlahan skor yang kemudian dikategorikan, diketahui sebanyak 64 42,3 anak memiliki frekuensi makan protein yang tinggi. Artinya,hampir separuh anak memiliki frekuensi makan protein yang tinggi. Kelebihan konsumsi protein disimpan dalam bentuk cadangan lemak apabila aktivitas fisik anak rendah Almatsier,2010. Dari hasil olah data juga ditemukan 34,4 anak yang tingkat frekuensi proteinnya tinggi mengalami obesitas. Sebaliknya, proporsi obesitas lebih besar terjadi pada anak dengan frekuensi protein rendah, yaitu 43,7. Hasil uji statistik menunjukkan p= 0,248 yang artinya tidak terdapat hubungan antara frekuensi makan sumber protein dengan kejadian obesitas di SD Harapan 3 Kecamatan Delitua Kabupaten Deliserdang Tahun 2014. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Pramudita 2011 di SD se Kota Bogor pada tahun 2011 yang juga menyatakan tidak terdapat hubungan antara konsumsi protein berlebih dengan kejadian obesitas, yaitu dengan p= 0,761. Pada penelitian tersebut juga ditemukan kecenderungan anak obesitas memiliki konsumsi protein yang berlebih dibandingkan anak dengan status gizi normal.

5.3.3. Hubungan Frekuensi Makan Sayuran dengan Kejadian Obesitas