Hubungan Uang Saku dengan Obesitas

orang tua memiliki perkiraan resiko 2,914 kali lebih besar mengalami obesitas dibandingkan anak yang kedua orang tua tidak memiliki riwayat obesitas. Penelitian Sartika 2011 menemukan anak yang memiliki ayah dengan riwayat obesitas berpeluang 1,2 kali lebih besar menderita obesitas dibandingkan dengan anak yang memiliki ayah tidak obesitas. Sedangkan Haines et al menyatakan kelebihan berat badan pada orangtua memiliki hubungan positif dengan kelebihan berat badan anak. Jika ayah danatau ibu menderita overweight kelebihan berat badan maka kemungkinan anaknya memiliki kelebihan berat badan sebesar 40-50 Maffeis, 2007. Obesitas merupakan penyakit yang kompleks karena diantaranya terkait faktor hereditas, pilihan makanan, aktivitas fisik, dan pengaruh media Haines et al, 2007. Faktor genetik meskipun diduga juga berperan tetapi tidak dapat menjelaskan terjadinya peningkatan prevalensi kegemukan dan obesitas Kemenkes, 2012.

5.2.4. Hubungan Uang Saku dengan Obesitas

Uang saku menggambarkan tingkat ekonomi anak. Semakin tinggi tingkat ekonomi, maka semakin mudah dan bebas bagi anak mengonsumsi beraneka macam makanan yang berpotensi menimbulkan obesitas. Dari hasil penelitian, diketahui proporsi tertinggi kejadian obesitas terjadi pada anak dengan uang saku lebih dari Rp. 8500,00 yaitu sebesar 47,8 dan terendah yaitu 32,9 pada anak dengan uang saku kurang dari Rp. 8500,00. Hasil uji statistik dengan menggunakan chi square diperoleh nilai p= 0,06. Artinya tidak terdapat hubungan yang bermakna antara uang saku dengan kejadian obesitas di SD Harapan 3 Kecamatan Delitua Kabupaten Deliserdang Tahun 2014. Hal tersebut disebabkan karena baik anak dengan uang saku lebih dan kurang dari Rp. 8500,00 sama-sama sebagian besar tidak mengalami obesitas. Sebanyak 67,1 anak dengan uang saku kurang dari Rp. 8500,00 tidak mengalami obesitas, dan 52,2 anak dengan uang saku lebih dari Rp. 8500,00 juga tidak mengalami obesitas. Dari hasil wawancara yang dilakukan dengan guru wali kelas didapati bahwa siswa SD Harapan 3 Kecamatan Delitua memiliki tabungan kelas. Sehingga uang saku mereka tidak hanya dihabiskan untuk membeli makanan. Besar uang yang ditabung tergantung kepada siswa. Namun penelitian ini tidak bisa menjelaskan berapa banyak uang saku tersebut dihabiskan untuk membeli makanan dan berapa untuk ditabung. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Winandaru 2006 di Semarang yang menyatakan tidak terdapat hubungan antara besar uang saku dengan kejadian obesitas, dengan rata-rata uang saku anak Rp. 6494,00. Selain itu, juga tidak terdapat perbedaan antara konsumsi jajan anak obesitas dengan anak tidak obesitas. 5.3. Hubungan Frekuensi Makan dengan Kejadian Obesitas 5.3.1. Hubungan Frekuensi Makan Karbohidrat dengan Kejadian Obesitas Dari hasil penjumlahan skor yang kemudian dikategorikan, sebanyak 20 responden yang mengalami obesitas memiliki frekuensi makan karbohidrat yang tinggi. Frekuensi makan karbohidrat tinggi, yaitu frekuensi nasi, mie, roti, ubi,kentang, dan sereal. Proporsi obesitas lebih besar terjadi pada kelompok anak dengan konsumsi karbohidrat rendah yaitu 44,6. Meski begitu hasil uji statistik menunjukkan nilai p=0,014 yang artinya terdapat hubungan antara frekuensi makan sumber karbohidrat terhadap kejadian obesitas. Nilai RP adalah 0,310 yang menunjukkan bahwa anak dengan frekuensi makan sumber karbohidrat tinggi 0,310 kali perkiraan resikonya menderita obesitas jika dibandingkan dengan anak yang frekuensi makan sumber karbohidrat rendah. Karbohidrat merupakan sumber utama energi. Makanan pokok seperti nasi dianggap paling penting dalam susunan hidangan pada masyarakat Indonesia dan jumlahnya biasanya paling banyak. Sediaoetama dalam Damanik 2013 mengatakan bahan makanan pokok dianggap penting, karena jika suatu susuanan makanan tidak mengandung bahan makanan pokok, tidak dianggap lengkap, dan orang sering mengatakan belum makan, meskipun ia sudah kenyang. Konsumsi energi dari karbohidrat yang tidak seimbang akan menyebabkan keseimbangan positif atau negatif. Obesitas terjadi akibat adanya keseimbangan positif, dimana intake energi lebih besar dari kebutuhan Departemen Gizi Kesehatan Masyarakat FKM UI,2010. Karbohidrat memiliki kontribusi 45-50 menyediakan energi dalam makanan yang dikonsumsi Almatsier, 2010. Kebutuhan karbohidrat sendiri adalah 55-75 persen dari total konsumsi energi yang diutamakan berasal dari karbohidrat kompleks dan 10 persen dari gula sederhana Departemen Gizi Kesehatan Masyarakat FKM UI,2010. Dari hasil analisis pada food frequency, seluruh responden mengonsumsi nasi sebagai sumber makanan pokok dengan frekuensi lebih dari satu kali dalam sehari, yaitu sebanyak 151 orang 100. Mie, roti, kentang, merupakan jenis karbohidrat yang juga paling sering dikonsumsi siswa setelah nasi, dengan frekuensi kurang dari lima kali seminggu, yaitu sebanyak 53,6, 45,7, dan 43,1. Sebagian besar siswa mengonsumsi bahan makanan karbohidrat seperti ubi, dan jagung dengan frekuensi rata-rata kurang dari dua kali per bulan. Untuk bahan makanan sereal, sebanyak 31,8 mengonsumsi kurang dari lima kali seminggu, dan 16,6 siswa tidak pernah mengonsumsi sumber karbohidrat tersebut. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitan yang dilakukan Sartika pada tahun 2011 yang menemukan bahwa rerata asupan energi total per kapita per hari pada anak usia 5-15 tahun di Indonesia melebihi kebutuhan energi per hari. Kelebihan asupan karbohidrat dan protein berhubungan dengan kejadian obesitas pada anak usia 5-15 tahun di Indonesia. Anggrainy 2008 juga menyatakan konsumsi nasi pada anak obesitas lebih banyak dibandingkan anak normal sehingga terdapat hubungan yang signifikan antara tingkat kecukupan energi dengan status gizi obesitas anak.

5.3.2. Hubungan Frekuensi Makan Protein dengan Kejadian Obesitas