Determinan Obesitas TINJAUAN PUSTAKA

koroner, diabetes tipe II atau NIDDM, gangguan fungsi paru, peningkatan kadar kolesterol, gangguan ortopedik kaki pengkor serta rentan terhadap kelainan kulit Wahyu, 2010. Penyakit kardiovaskuler merupakan salah satu resiko gangguan kesehatan anak obesitas Hidayati, et al., 2006. Faktor risiko ini meliputi peningkatan kadar insulin, trigliserida,Low- density lipoprotein LDL kolesterol dan tekanan darah sistolik serta penurunan kadar High- density lipoproteinHDL kolesterol. Risiko penyakit kardiovaskuler di usia dewasa pada anak obesitas sebesar 1,7 - 2,6. Selain itu, IMT memiliki hubungan yang kuat dengan kadar insulin. Anak dengan IMT persentil ke 99, 40 diantaranya mempunyai kadar insulin tinggi, 15 mempunyai kadar HDL-kolesterol yang rendah dan 33 dengan kadar trigliserida tinggi. Anak obesitas cenderung mengalami peningkatan tekanan darah dan denyut jantung, serta 20-30 menderita hipertensi. Anak obesitas juga memiliki kecenderungan mengalami gangguan ortopedik yang disebabkan kelebihan berat badan, yaitu tergelincirnya epifisis kaput femoris yang menimbulkan gejala nyeri panggul atau lutut dan terbatasnya gerakan panggul. Selain kelainan ortopedik, anak obesitas juga beresiko mengalami pseudotumor serebri, yaitu gejala sakit kepala yang diakibatkan oleh peningkatan ringan tekanan intrakranial yang menyebabkan peningkatan kadar CO 2 . Hidayati et al, 2006.

2.6. Determinan Obesitas

Secara sederhana timbulnya obesitas dapat diterangkan apabila masukan makanan melebihi kebutuhan fungsi tubuh. Tubuh memiliki kemampuan menyesuaikan diri terhadap berbagai macam masukan bahan makanan. Apabila masukannya melebihi kebutuhan tubuh, maka kelebihannya akan disimpan dalam bentuk lemak di jaringan adiposa Misnadiarly, 2007. Obesitas disebabkan oleh ketidakseimbangan antara jumlah energi yang masuk dengan yang dibutuhkan oleh tubuh untuk berbagai fungsi biologis seperti pertumbuhan fisik, perkembangan, aktivitas, pemeliharaan kesehatan Sartika, 2011. Jika keadaan ini berlangsung terus menerus positive energy balance dalam jangka waktu cukup lama, maka dampaknya adalah terjadinya obesitas. Obesitas merupakan penyakit tidak menular dengan penyebab yang multikausal. Beberapa faktor determinan yang diperkirakan memengaruhi kejadian obesitas pada anak adalah sebagai berikut: 1. Jenis Kelamin Jenis kelamin merupakan faktor internal seseorang yang akan berpengaruh terhadap komposisi tubuh dan distribusi lemak. Powers dalam Rakhmawati 2009 menyatakan anak perempuan lebih banyak menyimpan lemak dibandingkan anak laki-laki. Hasil penelitian Malik Bakir 2006 menyatakan proporsi kelebihan berat badan pada anak perempuan 5-17 tahun lebih tinggi dibanding pada anak laki-laki. Menurut WHO 2011, perempuan cenderung mengalami peningkatan penyimpanan lemak. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perempuan cenderung mengonsumsi sumber karbohidrat yang lebih kuat sebelum masa pubertas,sementara laki-laki lebih cenderung mengonsumsi makanan yang kaya protein. Tetapi penelitian yang dilakukan oleh Sartika 2011 menyatakan anak laki-laki memiliki risiko mengalami obesitas sebesar 1,4 kali dibandingkan anak perempuan. Hal ini kemungkinan disebabkan karena perempuan lebih sering membatasi makan untuk alasan penampilan. Rata-rata asupan energi total dan karbohidrat pada laki-laki lebih tinggi dibandingkan perempuan. Kebutuhan zat gizi anak laki-laki usia 10-12 tahun lebih besar dibandingkan anak perempuan karena pengaruh aktivitas fisik dan growth spurt anak laki-laki lebih besar, akibatnya kebutuhan energi menjadi lebih banyak. Pada penelitian Rakhmawati 2009 kejadian obesitas pada siswa sekolah dasar juga berhubungan dengan jenis kelamin. Siswa laki-laki-laki memiliki resiko 5,436 kali lebih besar dari siswa perempuan. Proper et al 2006 menyatakan bahwa laki-laki secara signifikan lebih berkemungkinan untuk menjadi overweight atau obesitas daripada wanita, karena laki-laki cenderung untuk menghabiskan lebih banyak waktu untuk santai pada saat akhir minggu atau waktu senggang. Pada anak laki-laki peningkatan lemak subkutan terjadi pada usia 8 hingga 12 tahun. Sedangkan anak perempuan mengalami peningkatan lemak subkutan pada usia 16 tahun dan menurun ketika berumur 25 tahun Rakhmawati, 2009. 2. Umur Obesitas sering dianggap kelainan pada umur pertengahan. Obesitas yang muncul pada tahun pertama kehidupan biasanya disertai dengan perkembangan rangka yang cepat Salam dalam Simatupang, 2008. 3. Riwayat Keturunan Riwayat obesitas orangtua juga berpengaruh terhadap kejadian obesitas. Anak yang memiliki ayah obesitas memiliki peluang obesitas sebesar 1,2 kali dibandingkan dengan anak yang memiliki ayah tidak obesitas. Riwayat obesitas pada orangtua berhubungan dengan genetikhereditas anak dalam mengalami obesitas Sartika, 2011. Kelebihan berat badan pada orangtua memiliki hubungan positif dengan kelebihan berat badan anak. Jika ayah danatau ibu menderita overweight kelebihan berat badan maka kemungkinan anaknya memiliki kelebihan berat badan sebesar 40-50. Apabila kedua orang tua menderita obesitas kemungkinan anaknya menjadi obesitas sebesar 70-80. Haines et al., 2007. Riwayat orang tua juga merupakan faktor risiko terjadinya obesitas pada anak SD di Kota Manado Hamel et al, 2013 Barker dalam Hidayati 2011 menyatakan bahwa perubahan lingkungan nutrisi intrauterin menyebabkan gangguan perkembangan organ-organ tubuh terutama kerentanan terhadap pemrograman janin yang dikemudian hari bersama-sama dengan pengaruh diet dan stress lingkungan merupakan predisposisi timbulnya berbagai penyakit dikemudian hari. Mekanisme kerentanan genetik terhadap obesitas melalui efek pada resting metabolic ratethermogenesis non exercise, kecepatan oksidasi lipid dan kontrol nafsu makan yang jelek. Dengan demikian kerentanan terhadap obesitas ditentukan secara genetik sedang lingkungan menentukan ekspresi fenotipe. Penelitian yang dilakukan Anggrainy 2008, pada studi obesitas di anak TK Kota Bogor menununjukkan kecenderungan obesitas terjadi pada anak yang memiliki ayah obes. Terdapat 21 dari 29 72.4 ayah yang obesitas memiliki anak obes. Hasil uji statistik menunjukkan terdapat hubungan yang signifikan antara IMT ayah dengan status gizi obesitas anak. Kecenderungan obesitas pada anak juga terjadi pada anak yang memiliki ibu obesitas. Sebanyak 65 ibu obesitas memiliki anak yang obesitas pula, namun secara statistik hubungan tersebut tidak signifikan. 4. Besar uang saku Uang saku anak memiliki peran dalam pola konsumsi anak yang kemudian juga berpengaruh terhadap status gizi anak. Besar uang saku siswi di Sekolah Dasar Kelas 3-5 di Teheran, Iran merupakan faktor yang berkorelasi positif dengan kejadian obesitas Alborzimanesh et al, 2011. Sedangkan di Amerika Serikat, besar uang saku per hari juga memiliki hubungan terhadap kejadian obesitas Wang et al, 2007. Anak dengan uang saku lebih besar dari US 2 per hari memiliki resiko obesitas lebih besar daripada anak dengan uang saku kurang dari US 2 per hari. Beberapa literatur di Indonesia juga menunjukkan uang saku memiliki hubungan terhadap kejadian obesitas. Pada penelitian Imtihan dan Noer 2013, besarnya uang saku berpengaruh frekuensi makanan cepat saji. Makin besar uang saku anak maka makin besar pula kecenderungan konsumsi anak dari jajanan yang ada di sekolah Arimurti, 2010. Berdasarkan observasi, jenis makanan yang dijual di kantin SD Harapan 3 Kecamatan Delitua Kabupaten Deli Serdang didominasi oleh makanan tinggi kalori, misalnya hamburger, bakso, mie goreng, pizza, dan nasi soto. 5. Frekuensi Makan Frekuensi makan adalah faktor penting yang mempengaruhi status gizi dan kesehatan. Frekuensi makan, terkait dengan variasi makanan diperkirakan dapat mengurangi resiko terhadap penyakit dan pada beberapa kasus dapat mencegah penyakit. Frekuensi makan mencerminkan terjadinya kelebihan asupan dan penyakit akibat gizi. Sumber utama makanan masyarakat Indonesia adalah serealia lalu diikuti oleh yang lainnya Anggrainy, 2008. Frekuensi makanan yang dikonsumsi berpengaruh terhadap kejadian obesitas. Menurut penelitian yang dilakukan Simatupang 2008, 90 anak yang obesitas memiliki frekuensi makan lebih dari 13 kali sehari, sehingga frekuensi makan memiliki hubungan yang bermakna terhadap kejadian obesitas. Sedangkan berdasarkan penelitian yang dilakukan Sartika 2011, rerata asupan energi total per kapita per hari melebihi kebutuhan energi per hari sehingga kelebihan asupan karbohidrat dan protein, juga berhubungan dengan kejadian obesitas pada anak usia 5-15 tahun di Indonesia. Tingginya asupan energi kemungkinan disebabkan oleh konsumsi makanan cepat saji yang menjadi kebiasaan umum baik di kota besar maupun kecil di wilayah Indonesia. Secara umum, komposisi makanan jenis makanan cepat sajiadalah tinggi energi, lemak, garam dan rendah serat. Frekuensi konsumsi makanan cepat saji serta makanan tinggi lemak juga merupakan faktor resiko obesitas pada anak sekolah dasar, dimana anak dengan frekuensi mengonsumsi makanan tinggi lemak dan cepat saji sering beresiko 4 kali lebih besar dibandingkan dengan yang frekuensi mengonsumsinya jarang Pramudita, 2011. Konsumsi fastfood juga memiliki hubungan dengan kejadian obesitas pada anak usia 10-12 tahun Indayati, 2007. Selain konsumsi fastfood, kebiasaan makan yang mempengaruhi lainnya adalah tingkat kecukupan protein, dan kecukupan energi. Anggrainy 2008 menyatakan konsumsi nasi pada anak obesitas lebih banyak dibandingkan anak normal. Terdapat hubungan yang signifikan antara tingkat kecukupan energi dengan status gizi obesitas anak 0.033. Persen kontribusi lemak pada anak obesitas mencapai 30.4 Terdapat hubungan yang signifikan antara konsumsi lemak dengan obesitas pada anak P=0.004, demikian pula konsumsi camilan gorengan dan biskuit P = 0.000. 6. Aktivitas Fisik Rendahnya aktivitas fisik merupakan faktor utama yang memengaruhi obesitas Sartika, 2011. Penelitian yang dilakukan oleh Mustelin 2009 menunjukkan bahwa terdapat hubungan bermakna antara aktivitas fisik dengan obesitas pada anak. Anak yang tidak rutin berolahraga memiliki risiko obesitas sebesar 1,35 kali dibandingkan dengan anak yang rutin berolahraga. Selain itu anak yang tidak rutin berolah raga justru cenderung memiliki asupan energi yang lebih tinggi dibandingkan anak yang rutin berolah raga. Penelitian yang dilakukan Pramudita 2011 di Kota Bogor menunjukkan, sebanyak 77,5 anak obesitas menghabiskan waktu lebih dari 8 jam untuk tidur dalam satu hari, 85 anak obesitas menghabiskan waktu lebih dari 2 jam untuk waktu menonton TV, bermain game, dan internet dalam satu hari, dan 70 anak obesitas yang menghabiskan waktunya bermain di luar rumah kurang dari 2 jam per hari. Aktivitas fisik physical activity adalah istilah umum untuk tiap pergerakan yang diproduksi oleh otot skeletal yang menghasilkan peningkatan penggunaan energi-istirahat resting energy secara substansial. Aktivitas fisik terdiri dari tiga komponen utama. Pertama, aktivitas kerja occupational work, yaitu aktivitas yang dilakukan dalam rangka bekerja. Kedua adalah aktivitas domestik rumahtangga household and other chores, yaitu aktivitas yang dilakukan sebagai bagian aktivitas harian dalam rumah day-today living activities. Ketiga adalah aktivitas fisik dalam waktu bebas leisure-time physical activity, yaitu aktivitas yang dilakukan seseorang dalam waktu senggangbebas yang dimilikinya. Aktivitas fisik dalam waktu bebas ini terbatas hanya pada kebutuhan dan ketertarikan seseorang, termasuk didalamnya exercise dan olahraga sport. Terdapat perbedaan antara exercise dan olahraga. Exercise ialah aktivitas fisik yang terstruktur dan terencana dilakukan dalam waktu bebas leisure-time yang bertujuan untuk meningkatkan memelihara kebugaran fisik physical fitness. Sedangkan olahraga sendiri adalah sebuah bentuk aktivitas fisik yang biasanya dikompetisikan. Didalamnya termasuk exercise yang umum dan pekerjaan yang spesifik WHO, 2009. 2.7. Pencegahan Obesitas 2.7.1. Pencegahan Primer