demonstrasi di Simpang USU, kekerasan berupa perusakan fasilitas umum seperti pecahnya lampu lalu lintas. Swalayan mini yang
buka 24 jam juga dipaksa menjadi ‘donatur’ logistik bagi yang terlibat dalam bentrok demonstrasi tersebut.
Pada rentang-rentang senggang demonstrasi, kekerasan juga dilakukan secara tertutup tanpa diketahui secara pasti
pelakunya. Beberapa pos polisi di Medan dibakar dan dilempari dengan bom molotov pada malam hari. Banyak asumsi mengenai
siapa pelakunya. Sebagai pelaku aksi, SWP pun tidak bisa tau pasti tentang siapa
pelaku pembakaran pos polisi : “Bisa jadi ada oknum-oknum tertentu yang memanfaatkan
kondisi ini untuk mengkambing-hitamkan demonstran mahasiswa sebagai pelaku. Bisa jadi juga, memang ada
kelompok Anarko-Sindikalis yang melakukannya untuk memberi peringatan kepada aparat dan pemerintahan.
Namun yang jelas, dengan adanya bentrok antara masyarakat, mahasiswa terhadap kepolisian, banyak pihak
yang berkepentingan mengambil keuntungan dari kondisi Kota Medan yang rusuh.”
4.3.4. Latar Belakang Tindak Kekerasan Dalam Demonstrasi
Tindak kekerasan dalam demonstrasi mahasiswa tidak bisa sepenuhnya disalahkan kepada mahasiswa. Ada beberapa faktor
yang menjadi pemicu kekerasan dalam demonstrasi. Faktor-faktor tersebut bisa berasal dari mahasiswa itu sendiri, pihak yang
berwajib, atau bahkan diluar dari itu semua. Faktor-faktor pendorong itu adalah :
Universitas Sumatera Utara
•
Komunikasi yang Tersumbat dan Represifitas Aparat
Banyak pihak yang terlibat dalam suatu demonstrasi selain mahasiswa sebagai pelaku aksi. Pihak-pihak lainnya
yang turut mempengaruhi alur demonstrasi adalah aparat keamanan seperti kepolisian, dan dalam kondisi genting TNI
juga ikut diturunkan seperti pada demonstrasi di Bandara Polonia. Artinya kekerasan tidak hanya bersumber dari
mahasiswa, namun juga dari pihak yang terlibat. Seperti yang
dikatakan oleh HA, Koordinator KontraS SUMUT :
“Kekerasan di dalam demonstrasi tidak hanya mahasiswa tapi banyak di luar mahasiswa. Malah
justru banyak korban kekerasan demonstrasi adalah mahasiswa. Misalnya demonstrasi kenaikan BBM
atau demonstrasi ketika mahasiswa menjadi supporting actor gerakan buruh, tani. Kekerasan
lebih banyak dilakukan polisi, satpol pp, dan preman.”
Hal demikian juga disepakati oleh SWP bahwa penyebab terjadinya kerusuhan dalam demonstrasi salah
satunya adalah tidak arifnya aparat kepolisian dalam menangani demonstrasi. Hal ini diungkapkan SWP :
“Ketika kami berdemonstrasi di Kantor DPRD, misalnya, kami tidak diijinkan oleh aparat untuk
bertemu dengan para wakil rakyat itu. Kalau saja kami diijinkan melakukan audiensi denga para
pejabat pemerintahan itu, tentu tindak anarkis tidak terjadi. Tapi sayangnya aparat kepolisian malah
terkesan berpihak pada pejabat-pejabat. Pejabat DPRD itu kan katanya wakil rakyat, kami juga
berdemonstrasi atas nama rakyat, sedang polisi tugasnya melindungi semua rakyat. Jadi harusnya
polisi juga harus berperan memfasilitasi kami
Universitas Sumatera Utara
supaya bisa bertemu dengan wakil rakyat itu menyampaikan aspirasi rakyat. Bukan malah
menyerang kami.”
Pernyataan senada juga diungkapkan oleh AA : “Pas demonstrasi yang aku ditangkap itu, itu kan
terjadi karena mahasiswa nggak dikasi masuk bertemu dengan pemangku kebijakan di DPRD.
Harusnya kan polisi-polisi bisa berkompromi dengan pendemonstrasi, menenangkan, sambil juga
menghubungi anggota DPRD itu supaya menjumpai pendemo. Kalau memang nggak mau kali pejabat
DPRD itu, biar tau kita mereka yang katanya wakil rakyat itu memang jauh kali ternyata dari rakyat.
Masalahnya, sepertinya polisi juga tidak melakukan upaya persuasi yang demikian”
HA sebagai penggiat anti-kekerasan, melihat bahwa sebenarnya kekerasan oleh aparat dalam demonstrasi terjadi
karena tersumbatnya komunikasi. Menurutnya di negara berdemokrasi seperti di Indonesia ini langkah-langkah yang
diambil terlebih dahulu harusnya adalah langkah yang persuasif. Dibangun komunikasi antara aparat dan demonstran,
seperti pernyataannya : “Kekerasan yang dilakukan aparat adalah bukti
bahwa ada komunkasi yang tersumbat atau memang sengaja disumbat. Seharusnya pada negara yang
berdemokrasi, aarat harusnya mengambil langkah yang persuasif bukan represif. Contohnya, aparat
harusnya memfasilitasi dialog antara demonstran dan instansi terkait. Artinya ada komunikasi yang
dibangun antara demonstran dan aparat. Pilihan- pilihan represif baru bisa diambil apabila ketika
demonstrasi mengancam tatanan sosial yang ada, misalnya mahasiswa melakukan tindakan anarkis.
Masalahnya langkah persuasif tidak dilakukan tapi lebih mendahulukan represif terutama pada saat
demonstrasi dengan isu yang vital. Kalau difasilitasi
Universitas Sumatera Utara
tentu kekerasan tidak terjadi. Harusnya dipertanyakan kenapa mahasiswa berdemonstrasi
dengan isu vital atau bahkan di objek vital.”
•
Agenda Setting sebagai Rekayasa Penaikan Isu
Agenda setting adalah sebuah fase dan proses yang sangat strategis dalam realitas kebijakan publik. Karena dalam
proses inilah ruang untuk memaknai apa yang disebut sebagai masalah publik dan prioritas dalam agenda publik
dipertarungkan. Dalam proses ini, jika sebuah isu berhasil mendapatkan status sebagai masalah publik, dan mendapatkan
prioritas dalam agenda publik, maka isu tersebut berhak
mendapatkan alokasi sumber daya publik yang lebih daripada isu lain
47
Para pengunjuk rasa umumnya melakukan demonstrasi mengkritisi kebijakan-kebijakan publik yang tidak begitu
sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Namun sangat disayangkan, para pembuat dan pemangku kebijakan tidak
begitu mempedulikan unjuk rasa yang terjadi sehingga mereka abai memperbaiki kebijakan-kebijakan yang yang cenderung
tidak memihak rakyat. Tetapi yang lebih memprihatinkan, masyarakat sendiri yang diperjuangkan para pengunjuk rasa
tidak sadar akan tujuan demonstrasi tersebut. Maka dirancanglah suatu strategi agar isu dalam demonstrasi tersebut
.
47
Komunitas E-Learning Universitas Gadjah Mada Kuliah 8
Universitas Sumatera Utara
mendapatkan perhatian publik dan mendapatkan status sebagai masalah publik.
Sebelumnya dijelaskan bahwa demonstrasi harus melalui tahap-tahap kelas agar isu dan wacana yang diangkat
dalam aksi tepat sasaran. Pada dasarnya tahapan-tahapan kelas pada aksi protes tidak dengan sengaja dirancang langung pada
ke tahap dengan potensi kekerasan yang tinggi seperti intervensi. Di awal periode demonstrasi suatu isu, pengunjuk
rasa umumnya melakukan aksi-aksi santun seperti teatrikal, march, mimbar bebas, orasi, dan sebagainya.
AA menjelaskan bahwa demonstrasi dengan kekerasan tidak serta-merta terjadi dengan tiba-tiba, namun melewati
proses-proses tersendiri : “Nggak mungkin dalam suatu demonstrasi tiba-tiba,
ujug-ujug langsung chaos. Pertama-tama pasti kita buat dulu aksi yang baik-baik, aksi damai. Kita lihat
tanggapan masyarakat, bilanglah ini sebagai sosialisasi kita ke masyarakat bahwa ada suatu
permasalahan publik. Dan kita lihat gimana pemerintah merespon aksi ini. Kalau ternyata tidak
ada tanggapan berarti, maka aksi demonstrasi selanjutnya akan disetting chaos untuk menaikkan
isu.”
Katakanlah aksi-aksi ini sebagai bentuk sosialisasi dan upaya penyadaran kepada masyarakat bahwa terdapat isu yang
menjadi masalah publik. Seiring berlangsungnya demonstrasi lanjutan yang intens, dilihat pula kembali bagaimana respon
pihak yang dituntut. Apabila demonstrasi ditanggapi dengan
Universitas Sumatera Utara
respon tidak berarti atau malah tidak difasilitasi dengan baik, maka suatu demonstrasi yang tadinya hanya melakukan aksi-
aksi santun akan direncanakan untuk ‘naik kelas’ dan bertindak pada tahap intervensi yang berpotensi pada kekerasan. Hal
inilah yang diterapkan sebagai strategi agar wacana aksi dapat disadari sebagai masalah publik yang harus segera diselesaikan.
Sehingga pemerintah membatalkan kebijakan tidak pro-rakyat yang telah dibuat.
“Dengan itu dilakukan di setiap daerah, maka Indonesia bisa dikatakan sedang bergejolak, dengan
semakin tinggi kadar gejolak itu, maka bisa membuat keadaan negara tidak aman. dan semua itu
bertujuan untuk menggagalkan kebijakan. ketika keadaan semakin chaos, maka pemerintah akan
menjadi terjepit, dan ketika pemerintah terjepit, mau tidak mau kebijakan itu harus gagal.”
SWP, aktivis mahasiswa UNIMED
HA berpendapat bahwa kekerasan yang dilakukan mahasiswa dalam demonstrasi sebenarnya merupakan jalan
terakhir yang dilakukan karena tuntutan dalam aksi tidak diakomodir oleh pemerintah ataupun institusi yang terkait.
“Ada memang kekerasan yang dilakukan oleh mahasiswa. Tapi ini terjadi karena ada saluran
komunikasi yang tersumbat. Semestinya ketika demonstrasi, instiusi yang terkait harus mendengar,
memfasilitasi, dan akhirnya menjadi input kebijakan yang dibuat oleh negara. Apalagi demonstrasi ini
tidak mendapat tanggapan, maka pilihan-pilihan agar demonstrasi ni ditanggapi adalah dengan cara
kekerasan, karena dari situlah negara akan membuka diri untuk medengar dan menjadikan isu demonstrasi
sebagai input membuat kebijakan.”
Universitas Sumatera Utara
Koordinator KontraS Sumut ini berpendapat kekerasan dalam demonstrasi dijadikan agenda setting untuk menaikkan
isu dalam aksi ke publik melalui media-media massa sehingga instansi terkait mempertimbangkan matang-matang kebijakan
yang diputuskan.
•
Provokasi Massa Misterius
Ada paradigma dalam demonstrasi yang menyatakan bahwa ‘semakin cepat chaos, semakin cepat demonstrasi ini
rusuh, semakin cepat pula massa aksi ini bubar’. Ini merupakan sebuah paradoks. Pernyataan ini tidak bisa dibilang salah,
namun juga tak sepenuhnya benar. Melihat alur beberapa demonstrasi yang mengalami kerusuhan, bentrok adalah
puncak atau klimaks dari aksi tersebut sehingga dengan berangsur-angsur tentu demonstrasi itu akan bubar.
Beberapa pihak yang memiliki kepentingan tidak menginginkan adanya demonstrasi yang melibatkan isu-isu
sentral. Sehingga sebisa mungkin aksi ini dicegah, dibungkam atau bahkan dihancurkan sekalian. Caranya, dengan
mengirimkan massa-massa aksi misterius yang sengaja membuat onar sehingga terkesanlah mahasiswa bertindak
anarkis dalam demonstrasi dan memancing aparat untuk mengamankan demonstrasi yang tak jarang dengan cara yang
represif. Massa misterius ini berperilaku selayaknya massa aksi
Universitas Sumatera Utara
sungguhan dan menyebar ke seluruh rombongan aksi. Massa aksi sungguhan terkadang tidak sadar dengan kehadiran massa
misterius ini dan menganggap massa misterius ini adalah bagian dari rombongannya sehingga mudah terpengaruh
dengan provokasi massa misterius ini. Dalam beberapa demonstrasi, massa misterius yang
disusupkan adalah bagian dari intelijen aparat. Ini dilakukan agar aparat mengetahui alur demonstrasi sehingga dapat
menganulir gerakan mahasiswa yang justru malah tak jarang massa misterius ini jugalah yang memancing terjadinya
bentrokan. Sehingga mahasiswa dapat segera dipukul mundur dan intel-intel yang berkedok massa misterius ini dapat
menahan demonstran yang kebetulan berada didekatnya untuk kemudian diintograsi mencari informasi terkait demonsrasi
gerakan mahasiswa. AA menceritakan pengalamannya ketika ditahan saat
berdemonstrasi di Kantor DPRD : “Awalnya mahasiswa melakukan aksi dorong pagar
dprd-su dengan polisi, sampai akhirnya pagarnya jatuh mengarah ke polisi, setelah kejadian itu
mulailah rusuh, ada beberapa lemparan ke arah polisi yang tidak diketahui siapa yang melempar dan
lemparan itu mengenai kepala polisi. Itulah yang membuat polisi semakin represif terhadap
mahasiswa. Water Canon, baracuda dan lain-lain akhirnya dikerahkan untuk menangkap mahasiswa
yang dianggap telah melakukan anarkis yang pada akhirnya mahasiswa menyelamatkan diri masing-
masing, ada beberapa yang ditangkap, ada yang melarikan diri ke mall paladium, ada yang berlari
dengan menggunakan angkutan umum, ada yang
Universitas Sumatera Utara
bersembunyi di ATM. Kalau aku lari ke paladium, karena dianggap mengganggu kenyamanan para
pengunjung mall, para satpam pun menangkap mahasiswa yang masuk ke dalam mall palladium,
tertangkap lah aku hingga akhirnya diserahkan kepada pihak yang berwajib.”
•
Ambiguitas Undang-Undang
Sebagai kaum intelektual, SWP berpendapat bahwa demonstrasi yang dilakukan mahasiswa di tempat-tempat
publik seperti bandara, stasiun, dan tempat-tempat lainnya tidak melanggar undang-undang.
“Undang-Undang mengatakan bahwa penyampaian pendapat di muka umum boleh dilakukan di muka
umum. Di muka umum maksudnya adalah dihadapan orang banyak, atau orang lain termasuk
juga di tempat yang dapat didatangi dan atau dilihat setiap orang. Itu jelas di UU nomor 9 tahun ’98
pasal 9 ayat 1. Bandara, stasiun, itu kan tempat- tempat yang sesuai dengan UU tersebut. Kalau di
pasal selanjutnya ternyata di tempat-tempat tersebut merupakan pengecualian, lantas dimana lagi
diperbolehkan berdemo? Maksudku, dimana lagi lokasi stategis yang benar-benar boleh dijadikan
sebagai lokasi demonstrasi? Sedangkan tempat- tempat yang strategis sudah dipagari dengan UU di
ayat 2. Kalau tempat ibadah itu lain soal ya, karena itu hubungannya langsung dengan Pencipta.”
Dalam regulasi yang mengatur tentang demonstrasi yaitu Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 mengenai
Kemerdekaan Menyatakan Pendapat, sama sekali tidak diperbolehkan melakukan demonstrasi di objek-objek vital
nasional. Seperti yang tertuang dalam UU No 9 Tahun 1998 Pasal 9 Ayat 2, yang berbunyi : “Penyampaian pendapat di
Universitas Sumatera Utara
muka umum sebagaimana dimaksud dalam ayat 1, dilaksanakan di tempat-tempat terbuka untuk umum, kecuali :
a. di lingkungan istana kepresidenan, tempat ibadah, instalasi militer, rumah sakit, pelabuhan udara atau laut, stasiun kereta
api, terminal angkutan darat, dan obyek-obyek vital nasional; b. pada hari besar nasional”. Apalagi tindak kekerasan dalam
berdemonstrasi, jelas tidak diperkenankan dalam Undang Undang.
Menyelenggarakan unjuk rasa di Bandara Polonia ataupun sarana-sarana transportasi seperti stasiun kereta dan
terminal, sesuai Undang-Undang adalah salah. Namun coba tinjau kembali dari UU No 9 Tahun 1998 Pasal 1 Ayat 2 yang
berbunyi : “Di muka umum adalah dihadapan orang banyak, atau orang lain termasuk juga di tempat yang dapat didatangi
dan atau dilihat setiap orang”. Bandara Polonia ataupun sarana transportasi lainnya
seperti stasiun kereta, terminal, serta pelabuhan merupakan tempat yang sesuai dan selaras yang dinyatakan dalam Pasal 1
Ayat 2 UU Nomor 9 Tahun 1998. Maka segala bentuk penyampaian pendapat yang dilakukan di lokasi-lokasi tersebut
apabila ditinjau dari Pasal 1 Ayat 2, jelas tidak bisa dikatakan sebagai pelanggaran. Inilah ambiguitas Undang-Undang
negara ini. Di satu sisi terlihat bahwa Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 menganjurkan rakyat untuk menyampaikan
Universitas Sumatera Utara
pendapat di muka umum, bahkan melindungi. Namun di sisi lain menunjukkan bahwa unjuk rasa dalam bentuk apa pun
tidak akan bisa diterima oleh negara. Dari ambiguitas tersebut, maka timbul celah terjadinya
kekerasan dalam demonstrasi. Masing-masing dari elemen yang terkait memiliki pegangan sendiri untuk memperbolehkan
dilakukannya tindak kekerasan. SWP menambahkan pendapatnya mengenai ketidakseriusan
pemerintah dalam menangai demonstrasi mahasiswa. “Ambigu. Kami rasa kami sudah tepat dengan
logika berpikir kami. Tapi aparat lebih merasa benar lagi. Sehingga pas lah sudah kalau terjadi
bentrokan. Menurutku, pemerintah setengah hati dalam menyikapi persoalan demonstrasi ini.”
4.3.5 Sikap Mahasiswa