pendapat di muka umum, bahkan melindungi. Namun di sisi lain menunjukkan bahwa unjuk rasa dalam bentuk apa pun
tidak akan bisa diterima oleh negara. Dari ambiguitas tersebut, maka timbul celah terjadinya
kekerasan dalam demonstrasi. Masing-masing dari elemen yang terkait memiliki pegangan sendiri untuk memperbolehkan
dilakukannya tindak kekerasan. SWP menambahkan pendapatnya mengenai ketidakseriusan
pemerintah dalam menangai demonstrasi mahasiswa. “Ambigu. Kami rasa kami sudah tepat dengan
logika berpikir kami. Tapi aparat lebih merasa benar lagi. Sehingga pas lah sudah kalau terjadi
bentrokan. Menurutku, pemerintah setengah hati dalam menyikapi persoalan demonstrasi ini.”
4.3.5 Sikap Mahasiswa
Menyikapi demonstrasi yang dilakukan mahasiswa, Anita Syafitri, mahasiswi Sosiologi FISIP USU yang tidak pernah ikut
aksi, cukup menghargai usaha mahasiswa yang melakukan demonstrasi dengan aksi turun ke jalan. Walaupun ia menganggap
bahwa demonstrasi bukanlah jalan yang efektif untuk menyampaikan pendapat, namun ia tidak ingin men-judge pelaku
demonstrasi mahasiswa sebagai penyebab kerusuhan. “Demonstrasi menurut saya kurang efektif apabila
hanya dilakukan sebagian kelompok. Saya sendiri lebih memilih menyampaikan aspirasi melalui
penulisan karya ilmiah yang disertai riset, yang kemudian dapat diserahkan kepada pemerintah
untuk ditindaklanjuti. Walaupun saya menganggap
Universitas Sumatera Utara
bahwa demonstrasi bukanlah tindakan yang efektif namun sebagai seorang mahasiswa saya sangat
menghargai mahasiswa lain yang melakukan demonstrasi karena itulah yang mereka anggap
sebagai tindakan yang tepat untuk dilakukan. Setiap orang berhak menentukan pilihan yang dianggapnya
benar sehingga saya menghargai tindakan mahasiswa yang melakukan tindakan demonstrasi.
Lagipula saya dengar dari beberapa kawan yang berdemonstrasi, sebenarnya mereka tidak mau ada
kekerasan saat aksi.”
Mahasiswa sebagai pelaku gerakan sadar betul bahwa demonstrasi dewasa ini sangat rentan dengan tindak kekerasan.
Namun harus diakui, tindak kekerasan yang terjadi pada saat demonstrasi tidak melulu disebabkan ulah mahasiswa, tetapi juga
andil aparat dengan represifitasnya. Ini pengakuan AA yang ikut tertangkap aparat saat berdemonstrasi menolak kebijakan kenaikan
BBM di Kantor DPRD Sumut tahun 2012 : “Aku sendiri sebagai mahasiswa sadar betul bahwa
kekerasan sebenarnya tidak pantas digunakan dalam demonstrasi. Namun masyarakat juga perlu tau
bahwa kekerasaan saat demonstrasi semata-mata bukan dari mahasiswa, namun aparat yang ‘katanya’
mengamankan justru malah memicu terjadinya bentrok.
“Kami ini mahasiswa berdemonstrasi cuman bawa spanduk, poster-poster tuntutan aksi, toa, dan
paling bendera kampus atau ormawa kami. Kendaraan kami pun cuman jalan kaki sama naik
kereta, paling hebat naik truk. Nggak kayak polisi yang bawa senjata dan perlindungan diri yang
lengkap. Water canon, peluru karet, rompi anti peluru. Kalau sudah gelagat rusuh, tinggal mereka
tembakkan. Kalau kami, yah paling cuman bisa lari, kalau kepepet yah balas lempar dengan apa yang
ada, sialnya ya kalo udah kena tangkap, diseret-seret polisi kayak binatang.”
Universitas Sumatera Utara
Koordinator KontraS Sumut, HA, yang juga mengamati perjalanan gerakan mahasiswa mengatakan :
“Kekerasan di dalam demonstrasi tidak hanya mahasiswa tapi banyak di luar mahasiswa. Malah
justru banyak korban kekerasan demonstrasi adalah mahasiswa. Misalnya demonstrasi kenaikan BBM
atau demonstrasi ketika mahasiswa menjadi supporting actor gerakan buruh, tani. Kekerasan
lebih banyak dilakukan polisi, satpol pp, dan preman.”
Mahasiswa dengan hanya berbekal pengetahuan, daya intelektual-nya serta nurani merasa perlu melakukan demonstrasi
guna menyampaikan aspirasi sesuai kebutuhan rakyat. Pada dasarnya mahasiswa dalam melakukan aksi demonstrasi tidak
pernah serta-merta dengan tujuan melakukan kekerasan. Ada memang, demonstrasi yang dilakukan mahasiswa sengaja diatur
sedemikian rupa agar terjadi bentrokan atau kerusuhan. Namun semata-mata hal ini dilakukan untuk mengangkat isu ke permukaan
publik dan demonstrasi mendapat perhatian targetan, karena selama mereka melakukan demonstrasi dengan damai malah tidak
mendapat atensi dari publik apalagi pemerintah. Mengiyakan hal ini, HA, berpendapat :
“Ada memang kekerasan yang dilakukan oleh mahasiswa. Tapi ini terjadi karena ada saluran
komunikasi yang tersumbat. Semestinya ketika demonstrasi, instiusi yang terkait harus mendengar,
memfasilitasi, dan akhirnya menjadi input kebijakan yang dibuat oleh negara. Apalagi demonstrasi ini
tidak mendapat tanggapan, maka pilihan-pilihan agar demonstrasi ini ditanggapi adalah dengan cara
kekerasan, karena dari situlah negara akan
Universitas Sumatera Utara
membuka diri untuk mendengar dan menjadikan isu demonstrasi sebagai input membuat kebijakan.”
Walau demikian, mahasiswa juga menyadari bahwa tindak kekerasan yang dilakukan saat demonstrasi adalah tindakan yang
tidak patut dilakukan oleh kaum-kaum cendekiawan muda seperti mahasiswa. Apalagi tindak kekerasan yang dilakukan berupa
perusakan fasilitas umum. Mahasiswa menyadari bahwa demonstrasi saat ini masih jauh untuk dikatakan ideal.
AA Hasibuan 21, pelaku demonstrasi mahasiswa dari USU mengatakan :
“Belum red : bisa dikatakan ideal. Karena melihat perusakan
fasilitas umum yang dilakukan mahasiswa sering terjadi, padahal aksi yang
dilakukan adalah untuk membela rakyat, tapi kalau dilihat dari fasilitas umum yang dirusak oleh
mahasiswa itukan milik rakyat dan berasal dari uang rakyat. Itulah bagi aku yang belum cocok itu. Terus,
aksi sering lari dari manajemen aksi yang sudah disepakati semua elemen massa aksi. Contohnya, di
manajemen aksi, aksinya damai. Tapi udah di lapangan ada aja massa aksi yang coba-coba untuk
merusak massa aksi damai itu, walaupun kadang yang merusak itu berasal dari pihak luar massa aksi
juga.”
Senada dengan yang di atas, SWP Purba 24, presidium senat mahasiswa UNIMED berpendapat :
“Masalah ideal sih menurutku masih kurang. Karena pergerakan saat ini kurang progresif, dimana
aksi masih terkotak-kotak atas lembaga masing- masing. Jadi yang ideal menurutku itu dimana
semua lembaga mahasiswa ataupun kelompok masyarakat bersama-sama mengeluarkan aspirasi
dengan agenda perjuangan bersama. Bukan agenda
Universitas Sumatera Utara
pribadi ataupun golongan masing-masing. Sehingga tanpa kekerasan pun, isu demonstrasi tetap disorot
publik karena gerakan yang masiv dari semua kelompok yang bersatu.”
Menghindari tindak kekerasan dalam demonstrasi yang lebih disebabkan emosi massa aksi yang cenderung mudah
terpancing, AA dan SWP sepakat bahwa sebelum melakukan demonstrasi, diskusi dan manajemen aksi yang dilaksanakan harus
benar-benar mampu memfasilitasi massa aksi untuk memahami tujuan aksi sebenarnya.
“Ikuti semua proses dari pra sampai pasca aksi. Pahami lebih mendalam untuk apa aksi itu
dilakukan. Buat tujuan dari aksi. Sesuaikan dengan hasil kesepakatan elemen massa aksi, kalau aksi
damai ya damai.”, AA, 22.
Universitas Sumatera Utara
BAB V PENUTUP
5.1. Kesimpulan
Kekerasan dalam demonstrasi terkadang memang dirancang sedemikian rupa agar terjadi. Ini dilakukan untuk menaikkan isu daalam
demonstrasi agar apa yang menjadi tuntutan demonstrasi dijadikan input membuat kebijakan oleh pemerintah.
Kekerasan dalam demonstrasi tidak hanya dilakukan oleh mahasiswa, namun bisa disebabkan oleh represifitas aparat dalam
menyikapi demonstrasi. Selain itu oknum-oknum misterius yang menyusup ke dalam barisan massa aksi dan memprovokasi kerusuhan juga
berperan dalam kekerasan deemonstrasi. Kekerasan yang dilakukan aparat keamanan, sebenarnya
merupakan indikasi bahwa Indonesia tidak berada dalam kondisi yang benar-benar demokratis. Terdapat komunikasi yang tersumbat antara
pendemo sebagai rakyat dan pemerintah yang dibentengi aparat. Selain itu, kurangnya pemahaman mahasiswa mengenai makna,
maksud dan tujuan demonstrasi juga turut mempengaruhi alur demonstrasi. Sehingga emosi mahasiswa gampang tersulut dan melakukan
tindak kekerasan.
Universitas Sumatera Utara