Tanggung Jawab Lembaga Sertifikasi Produk Terhadap Penerbitan Sertifikat Produk Penggunaan Tanda Standar Nasional Indonesia Dalam Rangka Perlindungan Konsumen

(1)

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku

Hartono, Sunaryati. Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional.Bandung : Alumni, 1991.

Keynes, John Maynard dalam Miriam Budiarjo.Dasar-Dasar Ilmu Politik.Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 2008.

Miru, Ahmadi. Prinsip-Prinsip Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Di Indonesia.Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada, 2013.

Miru, Ahmadi dan Yodo, Sutarman.Hukum Perlindungan Konsumen. Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada, 2008.

Rahardjo, Satjipto, dikutip dari; Achmad Ali.Dari Formal-Legalistik ke Delegalisasi dalam “Wajah Hukum Era Reformasi”—Kumpulan Karya Ilmiah Menyambut 70 Tahun Prof. Dr. Satjipto Rahardjo.Bandung : Citra Aditya Bakti, 2000.

Raharjo, Satjipto. Ilmu Hukum. Bandung : Citra Aditya Bakti, 2000.

Samekto, Adji. Kapitalisme dan Pengaruhnya terhadap Sistem Hukum Modern, dalam “Wajah Hukum di Era Reformasi” Kumpulan Karya Ilmiah Menyambut 70 Tahun Prof. Dr. Satjipto Rahardjo.Bandung : Citra Aditya Bakti, 2000.

Sjahdeni, Sutan Remi. Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan yang Seimbang Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia.Jakarta : Institut Banking Indonesia, 1993.

Soekanto, SoerjoNomor Pengantar Penelitian Hukum, cet. III. Jakarta : Universitas Indonesia-press, 1986.

Soekanto, Soerjono dan Mamudji, Sri.Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat. Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada, 2001.


(2)

Sri Wahyuni, Endang. Aspek Hukum Sertifikasi & Keterkaitannya dengan Perlindungan Konsumen.Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 2003.

Sutedi, Adrian. Tanggung Jawab Produk Dalam Hukum Perlindungan Konsumen. Jakarta : Ghalia Indonesia, 2008.

Syawali, Husni dan Imaniyati, Neni Sri.Hukum Perlindungan Konsumen. Bandung : Penerbit Mandar Maju, 2000.

B. Peraturan Perundang-undangan

Republik Indonesia, Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 1991 tentang Penyusunan, Penerapan, dan Pengawasan Standar Nasional Indonesia. Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang

Perlindungan Konsumen.

Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah Nomor 102 Tahun 2000 tentang Standardisasi Nasional.

Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2001 tentang Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen. Republik Indonesia, Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan RI

Nomor 753/MPP/Kep/11/2002 tentang Standardisasi dan Pengawasan Standar Nasional Indonesia.

Republik Indonesia, Peraturan Kepala Badan Standardisasi Nasional Nomor 135/PER/BSN/12/2010 tentang Sistem Standardisasi Nasional.

Republik Indonesia, Pedoman Komite Akreditasi Nasional (KAN) Nomor 403 Tahun 2011 tentang Ketentuan Umum Penggunaan Tanda Kesesuaian Berbasis SNI dan/atau Regulasi Teknis.

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2014 tentang Standardisasi dan Penilaian Kesesuaian.


(3)

C. Artikel, Jurnal, Makalah

Agung Putra, Pengendalian dan Pengawasan Mutu Produk, Balai Pengujian dan Sertifikasi Mutu Barang-Kanwil Departemen Perindustrian dan Perdagangan Jawa Timur, 1995.

Dina W. Kariodimedjo, “Persentasi : Mata Kuliah Konsentrasi Perlindungan Konsumen”, Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 2005.

Eddy Herjanto, dalam Jurnal “Pemberlakuan SNI Secara Wajib Di Sektor Industri: Efektivitas dan Berbagai Aspek Dalam Penerapannya”, Jurnal Riset Industri Vol. V, Nomor2, 2011.

Elly Hernawati, “Standardisasi Produk, Lindungi Kepentingan Konsumen”,2012

International Trade Centre, Business Gide to the Uruguay Round, Commonwealth Secretariat, 1996.

Ramlan Zoebir, Penerapan Ketentuan Standardisasi Produk Dalam Hubungannya Dengan Sistem Jamiinan Mutu, Makalah, Disampaikan pada Diklat Analisa Perdagangan Internasional, Jakarta, 30 November 1996.

Roni Harni Yance S. Garingging, dalam Jurnal “Aspek Hukum Perlindungan Konsumen dalam Kebijakan Standar Nasional Indonesia (SNI) terhadap Industri Elektronik Rumah Tangga di Sumatera Utara (Studi Pada PT. Neo National Medan)”, 2014.

D. Skripsi

Adi Purna Wijaya. Proses Sertifikasi SNI Untuk Impor Produk Peralatan Makan Dan Minum Melamin Pada PT. Famous Pacific Shipment Indonesia (FPS) Branch Yogyakarta. Skripsi, Bisnis Internasional, Fakultas Ekonomi, Universitas Sebelas Maret, 2012.

Bruno Saragih. Dampak Standardisasi Barang Bagi Usaha Mikro, Kecil, Menengah, dan Koperasi Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 Tentang Perdagangan. Skripsi, Hukum Ekonomi, Fakultas Hukum, Universitas Sumatera Utara, 2015.


(4)

E. Website

http://indaharitonang-fakultaspertanianunpad.blogspot.co.id/2013/10/sni-standar-nasional-indonesia.html (diakses pada tanggal 20 April 2016) http://www.bbk.go.id/index.php/page/index/57/overview-lspro (diakses pada

tanggal 20 April 2016)

http://lansida.blogspot.com/2011/03/penerapan-sni.html (diakses pada tanggal 21 April 2016)

http://www.akari-corp.com/artikel/sejarah-kegiatan-standardisasi-di-indonesia/ (diakses pada tanggal 22 April 2016)

https://ngsuyasa.wordpress.com/2014/01/07/pengenalan-manfaat-dan-penerapan-sni/ (diakses pada tanggal 22 April 2016)

http://www.akari-corp.com/artikel/arti-penting-dan-urgensi-uu-standardisasi-dan-penilaian-kesesuaian/ (diakses pada tanggal 22 April 2016)

http://www.akari-corp.com/artikel/sosialisai-uu-spk/ (diakses pada tanggal 22 April 2016)

http://bisnisukm.com/panduan-mengurus-sni.html (diakses pada tanggal 27 April 2016)

http://www.lingkarmutu-indonesia.com/sni-wajib/prosedur-mendapatkan-sppt-sni/prosedur-mendapat-sppt-sni-sistem-sertifikasi-type-5/ (diakses pada tanggal 28 April 2016)

http://kbbi.web.id/standardisasi (diakses pada tanggal 19 April 2016)

https://id.wikipedia.org/wiki/Badan_Standardisasi_Nasional(diakses pada tanggal 19 April 2016)

https://id.wikipedia.org/wiki/Standar_Nasional_Indonesia (diakses pada tanggal 20 April 2016)


(5)

BAB III

PROSEDUR PENERBITAN SERTIFIKAT PRODUK PENGGUNAAN TANDA STANDAR NASIONAL INDONESIA

A. Syarat Penerbitan Sertifikat Produk Penggunaan Tanda Standar Nasional Indonesia

Indonesia memandang sertifikasi sebagai trade barrier yang diterapkan oleh negara-negara maju untuk membendung produk-produk negara berkembang di pasar dunia.Di samping itu, berkat keberhasilan sistem informasi global semakin memudahkan konsumen untuk mengetahui isu-isu yang sedang berkembang di dunia saat ini.Hal itu, semakin menumbuhkan kesadaran konsumen untuk semakin peduli dengan isu-isu global berkaitan dengan mutu dan lingkungan hidup.

Konsekuensi yang harus ditanggung oleh negara-negara berkembang termasuk Indonesia jika tetap ingin eksis di pasar Internasional, maka harus mampu memenuhi tuntutan konsumen yang berkaitan dengan sertifikat mutu maupun ekolabeling.

Jika dicermati lebih lanjut, tuntutan sertifikasi ini seharusnya menjadi perhatian bagi semua pelaku usaha, baik yang mengonsentrasikan bagi produk impor maupun produk domestik.Alasannya pasar domestik pun akhirnya tetap membutuhkan produk yang berkualitas dan dengan masuknya produk-produk asing yang bersertifikat yang semakin kompetitif. Jika pengusaha Indonesia tidak segera menyikapinya dengan positif, maka akhirnya Indonesia akan menjadi pasar potensial bagi produk-produk asing saja. Jika hal ini terjadi, maka akan menimbulkan suatu kebergantungan yang sangat merugikan kepentingan nasional.


(6)

Dengan pertimbangan tersebut, seharusnya semua pelaku usaha, baik untuk kepentingan ekstern maupun intern harus segera melaksanakan sertifikasi.66

Mengenai sertifikasi, kita perlu terlebih dahulu mengetahui pengertiannya. Menurut Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2014 tentang Standardisasi dan Penilaian Kesesuaian, sertifikasi adalah rangkaian kegiatan Penilaian Kesesuaian yang berkaitan dengan pemberian jaminan tertulis bahwa Barang, Jasa, Sistem, Proses, atau Personal telah memenuhi Standar dan/atau regulasi.67 Sedangkan di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 102 Tahun 2000 tentang Standardisasi Nasional, sertifikasi adalah rangkaian kegiatan penerbitan sertifikat terhadap barang dan atau jasa.68 Lalu, apa pula pengertian sertifikat? Peraturan Pemerintah Nomor 102 Tahun 2000 tentang Standardisasi Nasional juga ada menyebutkan pengertian sertifikat. Sertifikat adalah jaminan tertulis yang diberikan oleh lembaga/laboratorium yang telah diakreditasi untuk menyatakan bahwa barang, jasa, proses, sistem atau personel telah memenuhi standar yang dipersyaratkan.69

66

Endang Sri Wahyuni, Aspek Hukum Sertifikasi & Keterkaitannya dengan Perlindungan Konsumen, (Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 2003), hlm. 61-62.

67Pasal 1 angka 9. 68Pasal 1 angka 11. 69

Pasal 1 angka 12.

Dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa untuk mendapatkan sertifikasi, maka terlebih dahulu mendapatkan sertifikat,dalam hal ini sertifikat yang dimaksud adalah sertifikat produk penggunaan tanda Standar Nasional Indonesia. Untuk memperoleh sertifikat tersebut harus memenuhi beberapa persyaratan yang nantinya akan diberikan kepada Lembaga Sertifikasi Produk Pusat Standardisasi


(7)

(LSPro-Pustan) Departemen Perindustrian (Deperin). Adapun syarat penerbitan sertifikat produk penggunaan tanda Standar Nasional Indonesia yaitu:70

1. Mengisi formulir permohonan SPPT SNI Daftar isian permohonan SPPT SNI dilampiri:

a. Fotokopi Sertifikasi Sistem Manajemen Mutu SNI-19-9001-2001 (ISO 9001:2000) yang dilegalisir. Sertifikasi tersebut diterbitkan Lembaga Sertifikasi Sistem Mutu (LSSM) yang diakreditasi oleh Komite Akreditasi Nasional (KAN).

b. Jika berupa produk impor perlu dilengkapi sertifikat dari LSSM negara asal dan yang telah melakukan Perjanjian Saling Pengakuan (Mutual Recognition Arrangement/MRA) dengan KAN.

Proses pada tahap pertama ini biasanya berlangsung selama dua hari. 2. Verifikasi Permohonan

LSPro-Pustan melakukan verifikasi meliputi: semua persyaratan untuk SPPT SNI, jangkauan lokasi audit, kemampuan memahami bahasa setempat (jika ada kesulitan, perlu penerjemah bahasa setempat untuk audit kesesuaian). Selanjutnya akan terbit biaya (invoice) yang harus dibayar produsen. Proses verifikasi perlu waktu satu hari.

3. Audit Sistem Manajemen Mutu Produsen

a. Audit Kecukupan (tinjauan dokumen): memeriksa kelengkapan dan kecukupan dokumen sistem manajemen mutu produsen terhadap persyaratan SPPT SNI. Bila hasilnya ditemukan ketidaksesuaian kategori mayor maka

70 “Panduan Mengurus SNI”. Lihat http://bisnisukm.com/panduan-mengurus-sni.html (diakses pada tanggal 27 April 2016).


(8)

permohonan harus melakukan koreksi dalam jangka waktu dua bulan. Jika koreksi produsen tidak efektif, permohonan SPPT SNI akan ditolak.

b. Audit Kesesuaian: memeriksa kesesuaian dan keefektifan penerapan Sistem Manajemen Mutu di lokasi produsen. Bila hasilnya ditemukan ketidaksesuaian, pemohon harus melakukan koreksi dalam jangka waktu dua bulan. Jika tindakan koreksinya tidak efektif, maka LSPro-Pustan Deperin akan melakukan audit ulang. Bila hasil audit ulang tidak memenuhi persyaratan SNI, permohonan SPPT SNI produsen ditolak.

Proses audit biasanya perlu waktu minimal lima hari. 4. Pengujian Sampel Produk

Jika diperlukan pengambilan sampel untuk uji laboratorium, pemohon menjamin akses Tim Asesor dan Petugas Pengambil Contoh (PPC) untuk memperoleh catatan dan dokumen yang berkaitan dengan Sistem Manajemen Mutu.Sebaliknya, LSPro-Pustan Deperin menjamin para petugasnya ahli di bidang tersebut.Pengujian dilakukan di laboratorium penguji atau lembaga inspeksi yang sudah diakreditasi.Jika dilakukan di laboratorium milik produsen, diperlukan saksi saat pengujian.Sampel produk diberi Label Contoh Uji (LCU) dan disegel.

Proses ini butuh waktu minimal 20 hari kerja. 5. Penilaian Sampel Produk

Laboratorium penguji menerbitkan Sertifikasi Hasil Uji.Bila hasil pengujian tidak memenuhi persyaratan SNI, pemohon diminta segera melakukan pengujian


(9)

ulang.Jika hasil uji ulang tak sesuai persyaratan SNI, permohonan SPPT SNI ditolak.

6. Keputusan Sertifikasi

Seluruh dokumen audit dan hasil uji menjadi bahan rapat panel Tinjauan SPPT SNI LSPro-Pustan Deperin. Proses penyiapan bahan biasanya perlu waktu tujuh hari kerja. Sementara rapat panel sehari.

7. Pemberian SPPT-SNI

LSPro-Pustan melakukan klarifikasi terhadap perusahaan atau produsen yang bersangkutan. Proses klarifikasi ini perlu waktu empat hari kerja. Keputusan pemberian sertifikat oleh Panel Tinjauan SPPT-SNI didasarkan pada hasil evaluasi produk yang memenuhi: kelengkapan administrasi (aspek legalitas), ketentuan SNI, dan proses produksi serta sistem manajemen mutu yang diterapkan dapat menjamin konsistensi mutu produk. Jika semua syarat terpenuhi, esoknya LSPro-Pustan Deperin menerbitkan SPPT-SNI untuk produk pemohon.

B. Kewenangan Lembaga Sertifikasi Produk Dalam Penerbitan Sertifikat Produk Penggunaan Tanda Standar Nasional Indonesia

Sebelum membahas mengenai Lembaga Sertifikasi Produk dan kewenangannya terkait penerbitan Sertifikat Produk Penggunaan Tanda Standar Nasional Indonesia, terlebih dahulu kita perlu mengetahui apa keterkaitan antara Standardisasi dengan Sertifikasi.

Berdasarkan ketentuan Pasal 1 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 1991 tentang Standar Nasional Indonesia, yang berbunyi:


(10)

Spesifikasi teknis atau sesuatu yang dibakukan, disusun berdasarkan konsensus semua pihak yang terkait dengan memperhatikan syarat-syarat kesehatan, keselamatan, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta pengalaman, perkembangan masa kini dan masa yang akan datang untuk memperoleh manfaat yang sebesar-besarnya.

Sedangkan standardisasi menurut (ayat (3)) adalah:

Proses merumuskan, merevisi, menetapkan, dan menerapkan standar, dilakukan secara tertib dan kerja sama dengan semua pihak.

Standardisasi mempunyai tujuan untuk memberikan perlindungan kesehatan dan keselamatan kepada konsumen, tenaga kerja dan masyarakat, mewujudkan jaminan mutu produk dan/atau jasa serta meningkatkan efisiensi dan produktivitas usaha untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan mantap dan tercapainya persaingan yang sehat dalam perdagangan serta menunjang kelestarian lingkungan hidup.

Dengan demikian, standardisasi harus dapat mendorong para produsen untuk meningkatkan mutu dan daya saing produksinya, baik untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri maupun untuk ekspor dan tercapainya persaingan yang sehat dalam perdagangan serta menunjang kelestarian lingkungan hidup.

Sedangkan sertifikasi ayat (8) adalah proses yang berkaitan dengan pemberian sertifikat. Sertifikat sendiri ayat (9) adalah dokumen yang menyatakan bahwa suatu produk barang dan/atau jasa sesuai dengan persyaratan standar atau spesifikasi teknis tertentu.

Berdasarkan pengertian di atas maka untuk dapat melakukan sertifikasi, suatu perusahaan harus terlebih dahulu melaksanakan standardisasi. Tolok ukur yang akan dipakai lembaga sertifikasi untuk menerbitkan sertifikat yang diminta


(11)

oleh suatu organisasi/perusahaan adalah keberhasilan organisasi/perusahaan tersebut dalam menerapkan standar mutu yang telah dipilihnya secara benar. Dengan demikian, dapat dijamin bahwa produk yang dihasilkan adalah produk yang memenuhi persyaratan standar mutu tersebut.Oleh karena itu, antara sertifikasi dan standardisasi memiliki keterkaitan yang sangat erat.71

Jika dilihat dari tujuannya, tujuan standardisasi adalah terwujudnya jaminan mutu, menata struktur ekonomi secara lebih baik dan memberikan perlindungan kepada umum, meningkatkan ekspor, meningkatkan daya saing produk dalam negeri terhadap barang-barang impor, meningkatkan efisiensi Jika dirumuskan dalam bentuk lain, standardisasi berkaitan dengan proses penetapan dan penerapan standar yang dilakukan secara tertib dalam suatu kerja sama yang melibatkan semua pihak. Tujuannya adalah untuk memberikan perlindungan terhadap kesehatan dan keselamatan kepada konsumen, tenaga kerja dan masyarakat, serta mewujudkan jaminan mutu terhadap produk dan/atau jasa yang dihasilkan dengan meningkatkan efisiensi dalam proses mengelola sistem mutu. Sedangkan sertifikasi merupakan proses yang berkaitan dengan pemberian sertifikat, merupakan pengakuan formal terhadap keberhasilan penerapan sistem mutu di suatu organisasi/perusahaan berdasarkan standar sistem mutu yang dipilihnya. Dengan demikian, sertifikasi merupakan kelanjutan dari proses standardisasi, yang sekaligus merupakan bentuk pengakuan formal yang merupakan bukti atau jaminan bahwa suatu produk telah diproses sesuai dengan standar yang telah disyaratkan guna memenuhi kualitas mutu tertentu.

71


(12)

nasional, menunjang program keterkaitan sector ekonomi dengan sector lainnya dengan jalan meningkatkan keterpaduan, keselarasan, keserasian dan keseimbangan subsistem-subsistem dari Sistem Standardisasi Nasional. Sementara tujuan dari sertifikasi adalah untuk menjamin bahwa produk yang telah memperoleh sertifikat tersebut adalah produk yang telah memenuhi kualitas standar di atas.

Dengan demikian, baik standardisasi maupun sertifikasi, keduanya adalah bentuk jaminan mutu. Bedanya, standardisasi berkaitan dengan penerapan suatu sistem standar tertentu dalam proses produksi, sedangkan sertifikasi merupakan dokumen yang merupakan bentuk pengakuan formal dari penerapan standar tertentu tersebut.

Lembaga Sertifikasi Produk (LSPro) adalah lembaga pihak ketiga yang independen yang melakukan penilaian kesesuaian produk berdasarkan SNI, dimana hasil kesesuaian penilaian dinyatakan dengan SPPT-SNI.Lembaga Sertifikasi Produk diakreditasi oleh KAN.72

Sebagian besar LSPro merupakan lembaga pemerintah, namun beberapa diantaranya milik swasta atau BUMN.Lembaga ini tersebar di seluruh nusantara, meskipun sebagian besar berkonsentrasi di Pulau Jawa.LSPro harus memiliki personel terdiri dari asesor, tenaga ahli, petugas pengambil contoh (PPC) yang

Lembaga Sertifikasi Produk mengacu pada sistem yang berlaku secara Internasional dan digunakan sebagai dasar untuk Mutual Recoqnition Arrangement (MRA).

72 Republik Indonesia, Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 753/MPP/Kep/11/2002 tentang Standardisasi dan Pengawasan Standar Nasional Indonesia, Bab I, Pasal 1 angka 19.


(13)

kompeten untuk melaksanakan sertifikasi produk dalam ruang lingkup LSPro dan telah memenuhi persyaratan ISO 19011.

Pada Desember 2009, terdapat 26 lembaga yang telah membuat akreditasi dari KAN sebagai LSPro. LSPro Pusat Standardisasi merupakan lembaga peringkat tertinggi yaitu memiliki ruang lingkup 57 SNI Wajib bidang industri dan berbagai SNI sukarela lain.

Perkembangan SPPT-SNI sangat cepat. Berdasarkan survei yang dilakukan, diketahui terdapat sejumlah 652 buah sertifikat yang telah diterbitkan oleh LSPro Pusat Standardisasi pada pertengahan 2009, dan telah berkembang mencapai lebih dari 1000 sertifikat di pertengahan 2000. Menurut LSPro Pusat Standardisasi, kebutuhan sertifikasi dan surveilan/pengawasan dapat dilakukan dengan baik, sehingga dari sisi LSPro, dukungan pemberlakuan SNI Wajib tidak menjadi masalah.73

Sertifikasi produk mempunyai peran penting dalam menjamin pemenuhan kesesuaian barang dan/atau jasa terhadap SNI, standar lainnya, dan persyaratan regulasi.

Tujuan utama dari sertifikasi ini adalah membantu konsumen dalam dan pengguna akhir dalam membuat keputusan berdasarkan infomasi yang tepat terkait produk yang ada di pasaran dan membantu pemasok produk dalam mencapai keberterimaan pasar.Standar produk mencakup aspek keselamatan, keamanan, kesehatan dan pelestarian fungsi lingkungan hidup, kompatibilitas, interoperabilitas, efisiensi energi, dan lainnya.

73 Eddy Herjanto, dalam Jurnal “Pemberlakuan SNI Secara Wajib Di Sektor Industri: Efektivitas dan Berbagai Aspek Dalam Penerapannya”, Jurnal Riset Industri Vol. V, No.2, 2011, hlm. 128.


(14)

Persyaratan yang dilakukan oleh lembaga sertifikasi produk adalah ISO/IEC Guide 65, Persyaratan umum lembaga sertifikasi produk.Tujuan dasar dari acuan tersebut adalah menetapkan persyaratan yang harus dipenuhi oleh lembaga sertifikasi produk dalam mendemonstrasikan kompetensinya.

Ketersediaan barang dan/atau jasa dengan tanda kesesuaian yang tepat dan jelas menunjukkan kepatuhan terhadap standar yang diadopsi menjadi regulasi teknis yang diberlakukan oleh instansi teknis.Sertifikasi produk membantu instansi teknis dalam melakukan pengawasan pasar.

Lembaga sertifikasi produk dimungkinkan menerbitkan tanda kesesuaian terhadap suatu standar. Tanda kesesuaian yang berlaku adalah tanda SNI dan tanda lain yang berbasis SNI seperti tanda ekolabel, tanda pangan organik, tanda keselamatan, tanda hemat energi, tanda lainnya yang ditetapkan oleh BSN, dan tanda lain sesuai dengan kebutuhan.

Kewenangan lain yang dimiliki lembaga sertifikasi produk adalah:

1. Menunda, membekukan dan mencabut sertifikat, serta mengurangi ruang lingkup, atau menilai kembali jika ada:

a. Perubahan personel inti

b. Pelanggaran persyaratan dan peraturan lembaga sertifikasi produk dan/atau persyaratan standard dan/atau Peraturan Pemerintah

c. Kegagalan dalam membantu personel atau sub kontrak lembaga sertifikasi produk selama menjalankan tugas resminya.


(15)

2. Membekukan sertifikat apabila menurut lembaga sertifikasi produk ketidakmampuan perusahaan hanya bersifat sementara dan tidak mengakibatkan pencabutan sertifikat.

3. Menetapkan periode penundaan, pembekuan dan selama periode tersebut sertifikat yang dimiliki perusahaan dapat dicabut apabila tidak mampu memenuhi persyaratan.

4. Mencabut sertifikat jika:

a. Pemilik dinyatakan bangkrut atau menjadi bagian dari krediturnya b. Badan usaha tersebut dalam tahap likuidasi

c. Tidak memenuhi persyaratan yang ditetapkan.

C. Prosedur Penerbitan Sertifikat Produk Penggunaan Tanda Standar Nasional Indonesia

Setidak-tidaknya ada 2 (dua) hal yang dominan mendorong perusahaan untuk melakukan sertifikasi atas perusahaannya.Pertama, permintaan kontrak yang dilakukan perusahaan dengan pelanggannya.Kedua, karena tuntutan pasar atau dari pihak perusahaan sendiri yang ingin ikut serta dan memperluas jangkauan perdagangan yang hendak dicapai, untuk meningkatkan daya saing dan jumlah volume serta jenis barang yang dapat diterima pasar.74

74

Endang Sri Wahyuni, Op.Cit., hlm. 69.

Perusahaan manufaktur atau perusahaan yang bergerak di bidang jasa, jika ingin mendapatkan sertifikat SNI 19-9000 harus telah menerapkan manajemen mutu sesuai dengan kegiatan yang dilakukan dan standar yang digunakan.


(16)

Kesiapan dan kesungguhan dalam menerapkan butir-butir SNI 19-9000 tersebut harus benar-benar dihayati sebab 1 (satu) kali menemui kegagalan berarti investasi dan waktu akan hilang secara sia-sia.

Pedoman dan panduan sebagaimana berlaku, baik secara nasional maupun Internasional, menjelaskan dan mensyaratkan perlakuan sertifikasi SNI 19-9000, seperti diuraikan di bawah ini:

1. Tahap Permohonan75

Dalam mengajukan permohonan perusahaan harus memperhatikan ketentuan-ketentuan yang ada, sebab di samping apa yang tertulis dalam pedoman yang berlaku, setiap badan/Lembaga Sertifikasi Sistem Mutu memiliki peraturan masing-masing, tetapi secara umum hendaknya dibuat pada formulir permohonan yang telah disiapkan oleh badan/Lembaga Sertifikasi Sistem Mutu. Formulir ini memuat:

a. Identitas perusahaan (nama, alamat, nomor telepon dan nomor fax perusahaan)

b. Identitas penghubung (nama dan jabatan yang bisa dihubungi) c. Alamat pabrik (jika berbeda dengan kantor pusatnya)

d. Jenis produk atau jasa yang diminta untuk sertifikasi e. Model sistem mutu yang dipilih

f. Rincian penilaian, sertifikat yang dimiliki

g. Pernyataan bagi perusahaan pemohon mengenai biaya dan ongkos yang tidak bergantung pada persetujuan sertifikasi ini, ditulis dalam bahasa

75


(17)

yang dapat diterima oleh badan/Lembaga Sertifikasi Sistem Mutu yang telah dipilih, meliputi sistem mutu yang tercakup dalam lokasi yang ditentukan. Artinya berapa jumlah dan di mana lokasinya, serta ruang lingkup pengajuan permohonan, hendaknya tercermin di dalam sistem mutu yang diajukan. Berkaitan dengan sistem mutu produk, proses atau jasa yang dilaksanakan oleh perusahaan pemohon.

Langkah selanjutnya adalah membayar biaya proses sertifikasi. Sebaiknya perusahaan pemohon menanyakan terlebih dahulu kepada badan/Lembaga Sertifikasi Sistem Mutu secara jelas dan lengkap, komponen apa saja yang harus dibayar biayanya, sebab setiap badan/Lembaga Sertifikasi Sistem Mutu tidak sama dalam menetapkan biaya untuk setiap proses sertifikasi. Besarnya biaya tentunya disesuaikan dengan maksud dan ruang lingkup pengajuan sertifikasi tersebut.Pembayaran biaya ini biasanya disampaikan ke badan/Lembaga Sertifikasi Sistem Mutu bersamaan dengan penyampaian permohonan.

Langkah berikutnya adalah mempersiapkan diri untuk dikunjungi. Dalam rangka menghadapi Tim Penilai pada saat melakukan kunjungan penilaian ke perusahaan pemohon, hendaknya pihak perusahaan telah menyiapkan tim pendamping yang dibentuk/ditunjuk dari personel mereka sendiri, dengan maksud untuk memperlancar penilaian. Penilaian yang dimaksud di sini adalah proses pengumpulan fakta ketidaksesuaian antara ketentuan yang ada dalam dokumen mutu dengan pelaksanaannya.


(18)

Dalam menentukan tim pendamping hendaknya ditunjuk personel yang memiliki pengetahuan tentang ISO 9000/SNI 19-9000 dan mempunyai pengetahuan tentang sistem mutu perusahaan.

Tim pendamping tersebut tugasnya adalah membantu tim penilai, membantu personel yang sedang dinilai (auditee), mencatat semua hasil temuan yang disampaikan/yang ditemukan oleh asesor sewaktu penilaian, baik berupa observasi maupun dalam hal ketidaksesuaian-Non Conformance Report (NRC).

Permohonan yang diajukan oleh perusahaan berlaku maksimum untuk masa 2 (dua) tahun, terhitung sejak tanggal diajukan.Jika dalam masa 2 (dua) tahun tersebut perusahaan belum mendapatkan sertifikat, maka permohonan dianggap gugur.

2. Proses Penilaian76

Proses ini mencakup beberapa hal yang tahap-tahapnya dapat diuraikan sebagai berikut:

a. Informasi tentang permohonan

Setelah permohonan diterima oleh badan/Lembaga Sertifikasi Sistem Mutu, lembaga tersebut kemudian mengadakan penelaahan terhadap kelengkapan permohonan tersebut, kemudian memberitahukan kepada perusahaan tentang diterima atau ditolaknya permohonan tersebut beserta alasannya.

Badan/Lembaga Sertifikasi Sistem Mutu juga akan memberikan informasi yang diperlukan, serta mengidentifikasi lebih lanjut hal-hal yang

76


(19)

diperlukan untuk mendukung permohonan jika permoohonan tersebut badan/lembaga sertifikasi yang bersangkutan dirasa belum cukup.

b. Penentuan Tim Asesor dan Rencana Penilaian

Sebelum kunjungan penilaian dilakukan, badan/Lembaga Sertifikasi Sistem Mutu akan menyampaikan surat konfirmasi kepada perusahaan pemohon untuk menanyakan kesiapan perusahaan. Setelah kesepakatan tanggal kunjungan, badan/Lembaga Sertifikasi Sistem Mutu mengirimkan jadwal dan tim penilai yang terdiri dari 2-3 orang lead asesor/asesor.

Jika semua telah disepakati, maka dilakukan kunjungan langsung ke perusahaan pemohon. Kesepakatan ini penting karena perusahaan dapat menolak anggota tim penilai jika ditemukan bukti ketidakjujuran atau yang bersangkutan berasal dari perusahaan competitor yang mungkin akan merugikan kepentingan perusahaan.

c. Kunjungan Penilaian77

Kunjungan pendahuluan yang tidak resmi sering kali justru membawa manfaat, guna mendapatkan gambaran tentang kemampuan perusahaan pemohon, sifat dasar kegiatan, kesiapannya untuk penilaian dan juga dalam menentukan keahlian yang diperlukan dalam tim penilai.

Tim penilai tersebut biasanya dibagi 2 (dua). Tim pertama, berkaitan dengan masalah teknis atau proses produksi, seperti pengujian, pengendalian proses, kalibrasi, dan lain-lain. Sedangkan tim kedua, berkaitan dengan masalah pendukung teknis, manajemen, dan masalah yang

77


(20)

berkaitan dengan administrasi, seperti tanggung jawab manajemen, personel, pelatihan, pembelian dan lain-lain.

1) Langkah pertama

Yang dilakukan oleh tim penilai sebelum melakukan penilaian adalah mengadakan pertemuan pembukaan antara tim penilai dengan pihak manajemen perusahaan yang akan dinilai. Pertemuan tersebut dipimpin oleh ketua tim penilai, tujuannya memperkenalkan ketua dan anggota tim penilai, menguraikan secara rinci program/jadwal selama penilaian, menjelaskan prosedur/metode yang dipakai dalam penilaian, menentukan saluran komunikasi resmi antara tim penilai dengan pihak manajemen perusahaan di mana pihak perusahaan harus menunjuk seorang dari pihaknya untuk menjadi penghubung, menjelaskan hal-hal yang belum dipahami oleh pihak perusahaan, memastikan sumber daya dan fasilitas yang diperlukan, menjelaskan masalah ketidaksesuaian-Non Conformance Report (NCR) dan masalah temuan-temuan ketidaksesuaian mayor dan minor, menegaskan hal-hal khusus atau hal sensitif yang harus dijaga kerahasiaannya, menjelaskan tujuan, waktu dan rincian pertemuan penutup dan mendapatkan denah/peta tata letak dari perusahaan yang akan dinilai untuk memudahkan tim penilai menelusuri lokasi perusahaan pada saat penilaian, dan memberi kesempatan untuk bertanya tentang hal-hal yang belum dimengerti oleh pihak manajemen. 2) Pada saat pelaksanaan penilaian78

78


(21)

Metode yang digunakan meliputi wawancara langsung, pengumpulan data, observasi terhadap pelaksanaan kegiatan, dan verifikasi. Tim penilai juga dapat meminta bukti-bukti yang diperlukan dalam proses penilaian. Oleh karena itu, untuk mendukung kelancaran pelaksanaan penilaian pihak perusahaan harus terbuka. Pada akhir penilaian tim penilai bersidang untuk mendiskusikan hasil temuan mereka dan menyimpulkan dalam bentuk laporan penilaian.

3) Pada akhir penilaian

Diadakan pertemuan penutup yang dipimpin oleh ketua tim penilai dan dihadiri oleh pihak penilai dan pihak manajemen perusahaan. Dalam pertemuan ini tim penilai menyampaikan terima kasih atas penerimaan pihak perusahaan, perkenalan ulang tim penilai, keadaan penilaian, permintaan agar pertanyaan ditangguhkan dulu sampai semua temuan telah disajikan, menyampaikan lingkup penilaian dan rekomendasi, memberi kesempatan bertanya kepada pihak perusahaan atas laporan dan rekomendasi yang disampaikan, penentuan tanggal pelaksanaan tindakan perbaikan yang diperlukan jika ada, permintaan tanda tangan dari pihak manajemen pada formulir laporan, dan dengan penandatanganan ini pihak perusahaan terikat dengan isi laporan. Laporan inilah yang kemudian disampaikan kepada badan/Lembaga Sertifikasi Sistem Mutu untuk ditindaklanjuti sesuai dengan rekomendasi. Hasil dari tim asesor ini akan dibahas di badan/Lembaga Sertifikasi Sistem Mutu. Jika tidak


(22)

ada masalah dan tidak ada temuan ketidaksesuaian, maka kepada perusahaan pemohon akan diterbitkan sertifikat.79

Organisasi yang terdiri dari industri manufacturing yang produknya ditetapkan SNI wajib, maka ada kewajiban untuk mengurus sertifikasi SPPT SNI, baik industri local maupun industri mancanegara. Berikut ini adalah prosedur mendapatkan SPPT SNI/Sistem Sertifikasi Type 5:80

1. Pendaftaran

a. Mengambil formulir registrasi SPPT SNI yang telah disediakan oleh LSPro

b. Mengisi formulir registrasi SPPT SNI

c. Melampirkan copy Permission Requirement/Surat Perjanjian, khusus untuk pabrik diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh penerjemah tersumpah

d. Melampirkan Quality Management System Requiremnet (Quality Manual dan Quality Procedure dan dokumen lainnya dalam Bahasa Inggris) e. Menyerahkan form registrasi dan lampiran persyaratan kepada LSPro f. Menerima bukti Pendaftaran setelah dinyatakan lengkap oleh LSPro g. Menerima jadwal sementara untuk pelaksanaan audit lapangan di Pabrik

setelah LSPro melaksanakan Audit Kecukupan

h. Memastikan jadwal kunjungan ke pihak pabrik dalam rangka Audit Lapangan.

79Ibid, hlm. 75.

80“Prosedur Mendapat SPPT SNI – Sistem Sertifikasi Type 5”.Lihat


(23)

2. Persiapan Pelaksanaan Audit

a. Menerima kepastian jadwal dan anggota tim audit yang akan bertugas b. Menerima Audit Plan dari Ketua tim audit

c. Menerima Sample plan dari Petugas Pengambil Contoh (PPC)

d. Audit Plan dan Sample Plan dikirimkan ke pabrik 2 (Dua) hari sebelum Pelaksanaan audit lapangan

e. Pengurusan Visa setelah menerima tim audit

f. Pengurusan tiket dan akomodasi luar negeri (Lokasi Pabrik). 3. Pelaksanaan Audit dan Pengambilan Contoh

a. Waktu berangkat ke lokasi/negara tujuan mempertimbangkan waktu pelaksanaan audit seperti tertera dalam Audit Plan

b. Keberangkatan Tim Auditor dan Petugas Pengambil Contoh menuju ke lokasi pabrik, menjadi tanggung jawab pemohon SPPT SNI

c. Pelaksanaan Audit adalah Rapat Pembukaan, Pelaksanaan Audit dan Pengambilan Contoh, Rapat Penutupan

d. Tempat rapat adalah lokasi pabrik

e. Peserta rapat pembukaan dan rapat penutup tertuang dalam Audit Plan, biasanya meliputi Pimpinan Puncak dan para manager yang terlibat dalam sistem manajemen mutu, antara lain Wakil Manajemen, Manager Produksi, Manager QC, Manager Pemeliharaan Mesin, Manager Pembelian, Manager Sumber Daya Manusia, Manager Gudang, dan lain-lain, yang sebagai Audite sebagaimana disebutkan dalam Audit Plan f. Pelaksanaan Audit:


(24)

1) Para Auditor bertemu dengan para Audite sesuai dengan Audit Plan 2) Para Auditor mencatat dan mengumpulkan rekaman/dokumen Petugas Pengambil Contoh (PPC) melaksanakan pengambilan contoh sesuai Sampling Plan di Pabrik dan atau di Gudang

Rapat Penutupan:

1) Manyampaikan hasil Audit oleh Auditor

2) Menyampaikan permasalahan pengambilan contoh

3) Menyepakati hasil audit dan pengambilan contoh, kesepakatan ini dalam bentuk jumlah kesesuaian, ketidaksesuaian dan observasi (Conformity, Unconformity, and Observation) serta kesepakatan untuk waktu penyelesaiannya.

4. Pengujian

a. Pengujian dilaksanakan di Laboratorium Pengujian yang ditunjuk Menteri Perindustrian dan terakreditasi KAN

b. Laboratorium Pengujian telah menjadi mitra LSPro, pengantar pengujian dari LSPro

c. Hasil pengujian contoh yang tidak sesuai dengan SNI dilakukan pengujian ulang, dimana pengujian ulang dilakukan pada contoh uji arsip yang disimpan pabrik pada saat pengambilan contoh

d. Pengiriman contoh arsip harus dilakukan segera setelah ada berita pengujian contoh dinyatakan tidak memenuhi syarat SNI


(25)

e. Bila telah dilakukan pengujian contoh untuk arsip masih dinyatakan tidak sesuai/tidak lolos dengan standar SNI, maka harus dilakukan pengambilan contoh ulang oleh Petugas Pengambil Contoh.

5. Penutupan Ketidaksesuaian

a. Pabrik harus menyelesaikan ketidaksesuaian sebagaimana disampaikan pada rapat penutupan

b. Pabrik harus membuat rekaman/bukti-bukti penyelesaian ketidaksesuaian dan dikirimkan ke LSPro dan atau Auditor

c. Penutupan ketidaksesuaian adalah Lembar Ketidaksesuaian yang telah ditandatangani oleh Auditee dan Auditor setelah penyelesaian ketidaksesuaian diterima oleh Auditor.

6. Rapat Teknis dan Penerbitan SPPT (LSPro)

a. Rapat Teknis dilaksanakan berdasarkan materi Audit Kecukupan, Laporan Audit Auditor, Hasil Uji Contoh

b. Pemohon masih harus menyelesaikan hasil rapat teknis c. Penerbitan SPPT SNI.

7. Penandatanganan Penggunaan Tanda SNI

a. Setelah Penerbitan SPPT SNI, LSPro akan mengirimkan Perjanjian/Kesepakatan Penggunaan Tanda SNI, antara LSPro dengan Pabrik/Pemohon


(26)

BAB IV

TANGGUNG JAWAB LEMBAGA SERTIFIKASI PRODUK TERHADAP PENERBITAN SERTIFIKAT PRODUK PENGGUNAAN TANDA

STANDAR NASIONAL INDONESIA DALAM RANGKA PERLINDUNGAN KONSUMEN

A. Kewajiban Lembaga Sertifikasi Produk Terhadap Penerbitan Sertifikat Produk Penggunaan Tanda Standar Nasional Indonesia

Produk/barang yang telah sesuai dengan Standar Nasional Indonesia dapat didaftarkan oleh Produsen ke Lembaga Sertifikasi Produk (LSPro). Sesuai persyaratan LSPro, apabila produsen telah memenuhi persyaratan Standar Nasional Indonesia, kelengkapan administrasi dan memiliki sistem manajemen mutu, maka Produsen berhak untuk memperoleh Sertifikat Produk Penggunaan Tanda Standar Nasional Indonesia (SPPT-SNI) atas produk tersebut yang diterbitkan oleh LSPro.

Sebelum masuk kepada pembahasan pada sub bab ini, kita perlu mengetahui kewajiban-kewajiban lembaga sertifikasi pada umumnya. Adapun kewajiban-kewajiban tersebut adalah sebagai berikut:

1. Menerbitkan sertifikat81

Jika rekomendasi dari tim penilai atas perusahaan dapat disetujui oleh lembaga sertifikasi yang bersangkutan, maka Lembaga Sertifikasi akan menerbitkan sertifikat kepada perusahaan yang bersangkutan. Akan tetapi, jika laporan dari tim penilai menyatakan ada temuan ketidaksesuaian atau ada hal-hal yang harus diperbaiki/disempurnakan, maka pihak perusahaan harus bisa menunjukkan

81


(27)

bahwa kegiatan perbaikan telah dilakukan, dan jika Lembaga Sertifikasi sudah dapat menerima dan menyetujuinya, maka akan diterbitkan sertifikat.

2. Melakukan pengawasan terhadap jalannya sertifikasi

Pengawasan yang dilakukan oleh Lembaga Sertifikasi dilaksanakan berdasarkan ketentuan yang berlaku di dalam pedoman yang ditetapkan oleh Dewan Standardisasi Nasional.Pengawasan tersebut dimaksudkan untuk menjaga dan membuktikan bahwa kesesuaian secara terus-menerus dengan standar manajemen yang terkait dapat dilakukan oleh perusahaan.Pengawasan sebagaimana dimaksud dilaksanakan melalui kunjungan secara berkala maupun secara mendadak.

3. Membuat sistem publikasi

Setelah menerbitkan sertifikasi kepada perusahaan yang telah dianggap layak menerima sertifikat, Lembaga Sertifikasi mempublikasikan perusahaan-perusahaan yang telah menerima sertifikat, agar dapat diketahui oleh masyarakat, khususnya yang berkepentingan terhadap informasi tersebut.

4. Membuat keputusan terhadap perubahan-perubahan82

Dalam rangka perusahaan memandang perlu untuk diadakan perubahan-perubahan, maka perubahan tersebut diberitahukan kepada Lembaga Sertifikasi.Kemudian, Lembaga Sertifikasi harus membuat keputusan, apakah dengan adanya perubahan tersebut perlu diadakan penilaian ulang atau tidak. 5. Menampung dan menyelesaikan pengaduan dan perselisihan

82


(28)

Jika perusahaan yang telah menerima sertifikat kemudian melakukan suatu tindakan yang menyebabkan adanya tuntutan dan/atau gugatan yang berhubungan dengan sertifikasi, maka Lembaga Sertifikasi harus mengambil tindakan tertentu terhadap sertifikat yang telah diterbitkannya.

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 102 Tahun 2000 tentang Standardisasi Nasional, menyatakan bahwa Lembaga Sertifikasi Produk yang memberikan sertifikasi produk penggunaan tanda SNI harus diakreditasi oleh Komite Akreditasi Nasional (KAN), dan untuk pengoperasian penggunaan tanda SNI tersebut juga didasarkan pada nota kesepakatan antara Badan Standardisasi Nasional (BSN) dengan KAN.

Untuk memenuhi kriteria transparansi dan impartialitas maka KAN membuat persyaratan-persyaratan dan aturan/prosedur yang harus dipenuhi baik oleh KAN mapun Lembaga Sertifikasi Produk.

Dalam melaksanakan fungsinya sebagai lembaga sertifikasi produk, LSPro harus:83

1. Memenuhi Pedoman BSN 401-2000: Persyaratan Umum Lembaga Sertifikasi Produk yang merupakan adopsi dari ISO/IEC Guide 65-1996

2. Memenuhi Pedoman KAN 402-2007: Panduan interpretasi untuk penerapan butir-butir Pedoman BSN 401-2000 yang merupakan adopsi dari IAF Guidance on the Application of ISO/IEC Guide 65 issue 2

3. Memenuhi PSN 306-2006: Penilaian Kesesuaian – Ketentuan umum penggunaan tanda kesesuaian produk terhadap SNI (diacu dari ISO/IEC

83


(29)

17030:2003), dalam penggunaan tanda SNI untuk LSPro dan organisasi yang disertifikasinya

4. Mengikuti ketentuan yang ada di dalam PSN 307-2006: Pedoman untuk tindakan koreksi yang dilakukan oleh lembaga sertifikasi bila terjadi penyalahgunaan tanda kesesuaian yang diterbitkan, atau bila produk yang telah dibubuhi tanda kesesuaian yang diterbitkannya ternyata berbahaya (diadopsi dari ISO/IEC Guide 27:1983). Ketentuan ini bila tanda kesesuaian yang diterbitkan oleh LSPro disalah gunakan atau bila produk yang telah secara benar menggunakan tanda kesesuaian ternyata kemudian berbahaya. 5. Mengikuti Pedoman KAN 12-2004: Penggunaan logo Komite Akreditasi

Nasional (KAN) untuk digunakan oleh Lembaga Sertifikasi, Lembaga Inspeksi dan Laboratorium yang telah diakreditasi oleh KAN.

6. Memahami dan mematuhi regulasi teknis yang terkait dengan ruang lingkup akreditasinya.

Selain itu, Lembaga Sertifikasi Produk juga memiliki kewajiban yaitu:

1. Menyampaikan penerbitan SPPT-SNI, pengawasan berkala SPPT-SNI dan pencabutan SPPT-SNI

2. Rekapitulasi penerbitan SPPT-SNI, pengawasan berkala SPPT-SNI dan pencabutan SPPT-SNI

3. Mengetahui perkembangan kompetensi, organisasi, serta akreditasi LSPro 4. Memberikan pelayanan sertifikasi produk sesuai dengan ruang lingkup yang

dimiliki serta tidak membeda-bedakan perusahaan baik yang berasal dari lembaga pemerintah maupun non pemerintah


(30)

5. Menginformasikan setiap perubahan persyaratan sertifikasi. Atas perubahan persyaratan tersebut perusahaan akan diminta pertimbangan terlebih dahulu serta apabila telah ditetapkan efektif, diberikan waktu yang cukup untuk penyesuaian atas perubahan tersebut. Perusahaan yang telah menyesuaikan atas perubahan persyaratan sertifikasi harus memberitahukan kepada Lembaga Sertifikasi Produk. Seluruh perusahaan akan diverifikasi oleh Lembaga Sertifikasi Produk atas penyesuaian yang dilakukan.

6. Semua informasi dari perusahaan yang diterima dan dinilai rahasia oleh Lembaga Sertifikasi Produk dan/atau dinyatakan rahasia oleh perusahaan diberlakukan rahasia. Semua personel Lembaga Sertifikasi Produk dan sub kontraknya harus patuh terhadap persyaratan kerahasiaan tersebut. Informasi tertentu tidak boleh dipaparkan kepada pihak ketiga. Apabila pemaparan kepada pihak ketiga diizinkan oleh undang-undang atau peraturan yang berlaku, maka perusahaan diberitahu terlebih dahulu materi informasi yang diberikan.

B. Pengawasan Lembaga Sertifikasi Produk Terhadap Penerbitan Standar Nasional Indonesia

Pada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, terdapat pasal yang mengatur tentang pengawasan beserta penjelasannya yang berbunyi:84

84 Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Bab VII, Bagian Kedua, Pasal 30.


(31)

(1) Pengawasan terhadap penyelenggaraan perlindungan konsumen serta penerapan ketentuan peraturan perundang-undangannya diselenggarakan oleh pemerintah, masyarakat, dan lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat.

(2) Pengawasan oleh pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh menteri teknis yang terkait.

(3) Pengawasan oleh masyarakat dan lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat dilakukan terhadap barang dan/atau jasa yang beredar di pasar.

(4) Apabila pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ternyata menyimpang dari peraturan perundang-undangan yang berlaku dan membahayakan konsumen, menteri dan/atau menteri teknis mengambil tindakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

(5) Hasil pengawasan yang diselenggarakan masyarakat dan lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat dapat disebarluaskan kepada masyarakat dan dapat disampaikan kepada menteri dan menteri teknis.

(6) Ketentuan pelaksanaan tugas pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

Penjelasan Ayat (2)

Yang dimaksud dengan menteri teknis adalah menteri yang bertanggung jawab secara teknis menurut bidang tugasnya.

Ayat (3)

Pengawasan yang dilakukan oleh masyarakat dan lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat dilakukan atas barang dan/atau jasa yang beredar di pasar dengan cara penelitian, pengujian, dan/atau survei.

Aspek pengawasan meliputi pemuatan informasi tentang risiko penggunaan barang jika diharuskan, pemasangan label, pengiklanan, dan lain-lain yang disyaratkan berdasarkan peraturan perundang-undangan dan kebiasaan dalam praktek dunia usaha.

Ketentuan Pasal 30 di atas ini, cukup menjanjikan upaya perlindungan konsumen melalui pemberdayaan setiap unsur yang ada yaitu masyarakat dan Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat disamping pemerintah sendiri melalui menteri dan/atau menteri teknis yang terkait.


(32)

Apabila diperhatikan substansi Pasal 30 tersebut, juga tampak bahwa pengawasan lebih banyak menitikberatkan pada peran masyarakat dan Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat, dibanding dengan peran pemerintah yang pelaksanaannya dilakukan oleh menteri dan/atau menteri teknis yang terkait. Seperti terlihat dalam pasal tersebut, pemerintah diserahi tugas melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan perlindungan konsumen serta penerapan ketentuan peraturan perundang-undangannya. Sementara pengawasan oleh masyarakat dan Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat, selain tugas yang sama dengan apa yang menjadi tugas pemerintah di atas, juga diserahi tugas pengawasan terhadap barang dan/atau jasa yang beredar di pasar.85

Dihubungkan dengan Penjelasan ayat 3 yang menentukan bahwa pengawasan dilakukan dengan cara penelitian, pengujian, dan/atau survei, Ayat 4 dari pasal tersebut juga menentukan bahwa, apabila pengawasan oleh masyarakat dan Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat ternyata mendapatkan hal-hal yang menyimpang dari peraturan perundang-undangan yang berlaku dan membahayakan konsumen, menteri dan/atau menteri teknis mengambil tindakan sesuai dengan perturan perundang-undangan yang berlaku. Ini berarti, untuk megetahui ada atau tidaknya suatu barang dan/atau jasa yang tidak memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan yang beredar di pasar, pemerintah sepenuhnya menyerahkan dan menanti laporan masyarakat dan/atau Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat, untuk kemudian diambil tindakan.

85


(33)

terhadap aspek yang meliputi pemuatan informasi tentang risiko penggunaan barang, pemasangan label, pengiklanan, dan lain-lain yang disyaratkan oleh ketentuan peraturan perundang-undangan dan kebiasaan dalam praktek dunia usaha, menuntut upaya pemberian pemahaman dan peningkatan kesadaran terhadap apa yang menjadi hak-haknya menjadi sangat penting.86

Setelah lahirnya Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2001 tentang Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen, bahwa ketidakjelasan peran pemerintah yang seolah hanya menyerahkan tugas

Upaya yang dimaksudkan ini, bukanlah suatu hal yang mudah dilakukan jika dihubungkan dengan kondisi masyarakat (konsumen) pada umumnya sekarang ini, khususnya tingkat pendidikan yang masih rendah yang sekaligus mempengaruhi tingkat kesadaran hukumnya. Demikian pula dengan kesibukan masaing-masing anggota masyarakat yang kadang menimbulkan sikap acuh tak acuh atas persoalan yang ada, dan baru akan bertindak misalnya mengadukan kepada pihak yang berwenang (pemerintah) setelah persoalan yang tidak dikehendaki, seperti keracunan akibat suatu produk tidak layak konsumsi, menimpa diri dan/atau anggota keluarganya. Satu-satunya pihak yang diharapkan dapat melaksanakan tugas pengawasan sesuai harapan Pasal 30 ini, adalah Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat, hanya saja untuk maksud pengawasan dengan cara penelitian, pengujian, dan/atau survei, terhadap aspek pemuatan informasi tentang risiko penggunaan barang, pemasangan label, pengiklanan, dan lain-lain tentulah menuntut biaya yang diperlukan untuk maksud ini.

86


(34)

pengawasan kepada masyarakat dan Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM) sebagaimana diuraikan, kini menjadi jelas.87

Lebih jelasnya bentuk pengawasan tersebut diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2001, yang berbunyi:

Oleh karena dalam peraturan ini pemerintah telah ikut aktif melakukan pengawasan sebagaimana masyarakat dan LPKSM, walaupun dengan obyek pengawasan yang sedikit berbeda.

88

(1) Pengawasan oleh pemerintah dilakukan terhadap pelaku usaha dalam memenuhi standar mutu produksi barang dan/atau jasa, pencantuman label dan klausula baku, serta pelayanan purna jual barang dan/atau jasa. Pelayanan purna jual yang dimaksud, pelayanan yang dilakukan oleh pelaku usaha terhadap konsumen, misalnya tersedianya suku cadang dan jaminan atau garansi.

Pasal 8

(2) Pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam proses produksi, penawaran, promosi, pengiklanan, dan penjualan barang dan/atau jasa.

(3) Hasil pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dapat disebarluaskan kepada masyarakat.

(4) Ketentuan mengenai tata cara pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan oleh Menteri dan atau menteri teknis terkait bersama-sama atau sendiri-sendiri sesuai dengan bidang tugasnya masing-masing.

Menyangkut bentuk pengawasan yang dilakukan oleh masyarakat diatur pula dalam Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2001, yang berbunyi:89

(1) Pengawasan oleh masyarakat dilakukan terhadap barang dan/atau jasa yang beredar di pasar.

Pasal 9

87

Ibid, hlm. 187.

88 Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2001 tentang Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen, Bab III, Pasal 8.

89 Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2001 tentang Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen, Bab III, Pasal 9.


(35)

(2) Pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dengan cara penelitian, pengujian, dan atau survei.

(3) Aspek pengawasan meliputi pemuatan informasi tentang risiko penggunaan barang jika diharuskan, pemasangan label, pengiklanan, dan lain-lain yang disyaratkan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan dan kebiasaan dalam praktik dunia usaha.

(4) Hasil pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), dapat disebarluaskan kepada masyarakat dan dapat disampaikan kepada Menteri dan menteri teknis.

Menyangkut pengujian terhadap barang dan/atau jasa yang beredar sebagaimana diatur dalam Pasal 10 tersebut, dilaksanakan melalui laboratorium penguji yang telah diakreditasi sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.Penunjukan pengujian hanya kepada laboratorium yang telah diakreditasi tersebut, dimaksudkan untuk mendapatkan hasil uji yang obyektif dan transparan serta dapat dipertanggungjawabkan.Akreditasi yang dimaksudkan ini dapat dilakukan baik melalui lembaga akreditasi nasional maupun Internasional.90

Penjelasan umum peraturan pemerintah tersebut menentukan bahwa pengawasan perlindungan konsumen dilakukan secara bersama oleh Pemerintah, masyarakat dan LPKSM, mengingat banyak ragam dan jenis barang dan/atau jasa yang beredar di pasar serta luasnya wilayah Indonesia.Demikian pula, pembinaan pelaku usaha dan pengawasan terhadap barang dan/atau jasa yang beredar di pasar tidak semata-mata ditujukan untuk melindungi kepentingan konsumen tetapi sekaligus bermanfaat bagi pelaku usaha dalam upaya meningkatkan daya saing barang dan/atau jasa di pasar global.Disamping itu, diharapkan pula tumbuhnya

90 Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2001 tentang Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen, Bab III, Pasal 11.


(36)

hubungan usaha yang sehat antara pelaku usaha dengan konsumen, yang pada gilirannya dapat menciptakan iklim usaha yang kondusif.91

Asas keseimbangan kepentingan dan terutama asas campur tangan negara terhadap kegiatan ekonomi, dalam sejarah hukum ekonomi, telah diperlihatkan wujudnya oleh Pemerintah Perancis dan pemerintah di negara-negara Eropa lainnya, berkenaan dengan masuknya konsep negara kesejahteraan (walfare state), yang mewajibkan negara secara aktif menyelenggarakan kepentingan umum sehingga paradigma liberal yang menyerahkan kepada individu-individu sendiri untuk mengurus kebutuhan-kebutuhan dan kepentingannya, diubah melalui berbagai peraturan di bidang Hukum Administrasi Negara. Tidak terkecuali Indonesia, sebagaimana dapat dilihat dalam Pembukaan UUD 1945 dan ketentuan Pasal 33 UUD 1945.

Pasal-pasal yang mengatur tentang tugas pembinaan dan pengawasan dari pemerintah memperjelas kedudukan bidang Hukum Perlindungan Konsumen sebagai salah satu bidang hukum yang berada dalam kajian Hukum Ekonomi. Sebagai bidang hukum ekonomi selain melibatkan berbagai disiplin ilmu, ciri utama lainnya berupa keterlibatan pemerintah dalam pengaturan ekonomi rakyat seperti hubungan antara pelaku usaha dengan konsumen, berdasarkan asas keseimbangan kepentingan, asas pengawasan publik, dan asas campur tangan negara terhadap kegiatan ekonomi, yang ketiganya bersumber dari aspek hukum publik.

92

91 Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Op.Cit., hlm. 189. 92


(37)

Sebelum masuknya konsep walfare state, asas kebebasan berkontrak muncul berkenaan dengan lahirnya paham ekonomi klasik yang dipelopori Adam Smith, mengagungkan laissez faire (persaingan bebas).Antara paham ekonomi klasik dan persaingan bebas saling mendukung dan berakar pada paham hukum alam. Kedua paham tersebut melihat individu mengetahui kepentingan mereka yang paling baik dan cara mencapainya, disebabkan karena manusia sebagai individu mempergunakan akalnya. Menurut hukum alam individu-individu diberi kebebasan untuk menetapkan langkahnya, dengan sekuat akal dan tenaganya, untuk mencapai kesejahteraan yang optimal. Berhasilnya individu mencapai kesejahteraan maka masyarakat yang merupakan kumpulan dari individu-individu tersebut akan menjadi sejahtera pula. Oleh karena itu untuk mencapai kesejahteraan individu harus mempunyai kebebasan bersaing dan negara tidak boleh ikut campur tangan.Seiring dengan laissez faire tersebut, freedom of contract merupakan pula prinsip umum dalam mendukung berlangsungnya persaingan bebas tersebut.93

Berkenaan dengan paham ekonomi klasik yang mengagungkan laissez faire tersebut, para pengusaha bebas mencantumkan berbagai kalusula yang memperkecil risiko dan tanggungjawabnya dari segala kerugian/kerusakan yang mungkin ditimbulkannya, dan membebankannya pada pihak yang lebih lemah.Pemaknaan asas kebebasan berkontrak yang mendukung laissez faire tersebut, justru mendapat dukungan atau pembenaran dari pihak pengadilan yang menganggap tetap sah, walaupun kontrak-kontrak semacam itu jelas-jelas

93 Sutan Remi Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan yang Seimbang Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia (Jakarta : Institut Banking Indonesia, 1993), hlm. 8.


(38)

dirasakan tidak adil bagi mereka yang secara ekonomis dalam posisi yang lebih lemah.Ketidakadilan seperti ini dalam sejarah awalnya, terutama dalam kontrak-kontrak perburuhan.94

Satjipto Rahardjo mengatakan, sistem hukum yang nota bene liberal tidak dirancang untuk memikirkan, dan memberikan keadilan yang luas kepada masyarakat.Di sini ingin dikatakan, bahwa “sistem hukum tidak diadakan untuk memberikan keadilan kepada masyarakat, melainkan untuk melindungi kemerdekaan individual”.95

Paradigma liberal yang sepenuhnya menyerahkan urusan ekonomi pada individu-individu untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan dan kepentingannya, nyata hanya membawa malapetaka bagi kehidupan masyarakat. Kondisi tersebut harus mengalami perubahan besar saat terjadinya malaise,96

Sekitar tahun 1930 asas kebebasan berkontrak menyeret masyarakat Eropa dan seluruh dunia ke dalam jurang pengangguran dan kelaparan, menjadikan Pemerintah Perancis dan lain-lain negara Eropa merasa perlu untuk ikut campur tangan dalam kegiatan kontrak yang dilakukan individu dalam masyarakat.

atau depresi yang melanda seluruh dunia, yang ditandai oleh munculnya ajaran hukum fungsional yang melahirkan “negara kesejahteraan” atau yang lebih dikenal dengan istilah “welfare state”.

94 Sunaryati Hartono, C.F.G. Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional (Bandung : Alumni, 1991), hlm. 119-120.

95 Satjipto Rahardjo, dikutip dari; Achmad Ali, Dari Formal-Legalistik ke Delegalisasi dalam “Wajah Hukum Era Reformasi”—Kumpulan Karya Ilmiah Menyambut 70 Tahun Prof. Dr. Satjipto Rahardjo, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 2000).

96 Kamus Besar Bahasa Indonesia, menjelaskan “malaise” adalah keadaaan lesu dan serba sulit (terutama di bidang perekonomian); waktu—melanda dunia (1930), daerah jajahan Belanda pun tidak luput dari kesulitan ekonomi.


(39)

Berdasarkan hal ini, pranata hukum kontrak yang sebelumnya selalu dianggap sebagai pranata hukum perdata yang bersumber pada asas kebebasan para pihak, setelah Perang Dunia II dan terutama menjelang akhir abad ke-20 sudah banyak diubah oleh peraturan-peraturan Hukum Administrasi Negara sehingga Hukum Kontrak di bidang bisnis kini tidak lagi dapat dikatakan tunduk sepenuhnya pada asas kebebasan berkontrak dalam Hukum Perdata, tetapi sudah banyak dimasuki dan diterobos oleh unsur-unsur kepentingan umum dan Hukum Administrasi Negara. Itulah sebabnya Hukum Kontrak di bidang Bisnis kini lebih tepat dikatakan merupakan bagian dari Hukum Ekonomi (Droit de I’Ekonomie) daripada Hukum Perdata “murni”.97

Dalam sejarah mengatasi kesenjangan sosial tersebut Pemerintah Perancis mulai membatasi asas kebebasan berkontrak demi kepentingan umum atau demi pemerataan.98 Usaha tersebut dapat kita lihat melalui peraturan pengendalian harga, pemerataan upah buruh minimum, distribusi bahan pangan dan sandang, pembebasan atau keringanan pajak bagi golongan masyarakat yang sangat miskin atau yang pendapatannya dianggap tidak mencukupi keperluan dasar sehari-hari, dan keharusan memperoleh izin pemerintah untuk membuka suatu perusahaan baru atau mengimpor/mengekspor barang, dan masih banyak lagi.99

Perjalanan sejarah sebagaimana diuraikan, menurut Adji Samekto bahwa setidaknya ada 2 (dua) momen penting dalam peradaban manusia berkaitan dengan hukum yaitu; munculnya negara modern (the emerge of state) pada abad

97 Sunaryati Hartono, C.F.G., loc. cit.

98 Dalam UUPK, kepentingan umum (pemerataan) yang dimaksud diwujudkan dalam bentuk melahirkan asas keseimbangan.

99


(40)

ke-18, dan kecenderungan mewujudkan civil society di berbagai negara yang muncul di penghujung abad ke-20. Kedua faktor tersebut sangat mempengaruhi restrukturisasi hukum.Hal yang menarik dicatat, bahwa dari kedua momen itu, sistem produksi ekonomi yang telah memasuki individu, pelan-pelan telah mengubah cara-cara masyarakat menjalankan kehidupan baik dalam lingkup global maupun lingkup nasional.Demikian pula industrialisasi dan kapitalisme telah mengubah sistem sosial politik berbagai negara.Dalam pada itu, munculnya negara modern dan hukum modern merupakan respon terhadap sistem produksi ekonomi, karena sistem yang lama—sebagaimana terjadi dengan paham ekonomi klasik yang mengagungkan laissez faire sudah tidak bisa lagi melayani perkembangan-perkembangan yang sangat aspiratif.Hal yang tidak dapat disangkal, konsep negara modern yang kemudian melahirkan hukum modern, merupakan konstruksi yang sangat dipengaruhi oleh perkembangan masyarakat dan pemikiran dari masyarakat di Eropa.100

Terdapat beberapa peraturan yang mengatur mengenai pengawasan terhadap produk Standar Nasional Indonesia.Pengawasan ini termasuk ke dalam kategori pengawasan di bidang standardisasi.101

100

Adji Samekto, F.X..Kapitalisme dan Pengaruhnya terhadap Sistem Hukum Modern, dalam “Wajah Hukum di Era Reformasi” Kumpulan Karya Ilmiah Menyambut 70 Tahun Prof. Dr. Satjipto Rahardjo, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 2000), hlm. 235.

101Republik Indonesia, Peraturan Kepala Badan Standardisasi Nasional Nomor 135/PER/BSN/12/2010 tentang Sistem Standardisasi Nasional, dalam Lampiran I, hlm. 46.

Pengawasan terhadap standardisasi meliputi ketaat-asasan dalam pengembangan dan penerapan SNI yang dilakukan oleh Badan Standardisasi Nasional (BSN) berkoordinasi dengan instansi teknis terkait.


(41)

Pengawasan terhadap pelaksanaan pengembangan SNI yang dilakukan oleh panitia teknis terkait dilakukan oleh Badan Standardisasi Nasional (BSN) berkoordinasi dengan instansi teknis terkait.

Pengawasan penerapan SNI mencakup pengawasan terhadap penerapan SNI secara wajib, sukarela dan pengawasan terhadap pelaku usaha.

Pengawasan penerapan SNI secara wajib dilakukan secara berkala dan/atau sewaktu-waktu berupa pengawasan pra-pasar (pre-market) dan pasar (post-market).

Pengawasan pra-pasar dilakukan oleh Lembaga Penilaian Kesesuaian yang menerbitkan sertifikasi produk untuk memastikan bahwa barang dan/atau jasa serta proses, sesuai dengan persyaratan SNI sebelum didistribusikan ke pasar.

Pengawasan pasar terhadap barang dan jasa yang bertanda SNI di seluruh wilayah Republik Indonesia harus dilaksanakan secara konsisten dan berkesinambungan.Pelaksanaan pengawasan pasar merupakan hak dan tanggung jawab instansi teknis dan/atau PEMDA sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku. Tata cara pelaksanaan pengawasan penerapan SNI secara wajib diatur dalam PSN.

Pengawasan pasar terhadap penerapan SNI secara sukarela (voluntary) dilakukan oleh BSN bersama dengan pihak lain terkait. BSN memberikan fasilitas penanganan pengaduan terkait dengan penerapan SNI. Tata cara pengawasan penerapan SNI secara sukarela diatur dalam PSN.

Dalam hal penerapan SNI diwajibkan melalui regulasi teknis, pengawasan pasar menjadi bagian dari tanggung jawab instansi teknis yang menetapkan


(42)

regulasi dan pelaksanaannya dapat dilakukan oleh instansi teknis lainnya dan atau pemerintah daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Tata cara pengawasan penerapan SNI yang diwajibkan melalui regulasi teknis diatur dalam PSN.

Masyarakat dan lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat melakukan pengawasan terhadap barang yang beredar di pasar.Pelaku usaha yang tidak memenuhi ketentuan terkait penerapan SNI dapat dikenakan sanksi sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.

Mengenai pengawasan lembaga sertifikasi produk terhadap produk Standar Nasional Indonesia tertuang dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 102 Tahun 2000, yang berbunyi:102

(1) Pengawasan terhadap pelaku usaha, barang dan atau jasa yang telah memperoleh sertifikat dan atau dibubuhi tanda SNI yang diberlakukan secara wajib, dilakukan oleh Pimpinan instansi teknis sesuai kewenangannya dan atau Pemerintah Daerah.

Pasal 23

(2) Pengawasan terhadap unjuk kerja pelaku usaha yang telah memperoleh sertifikat produk dan atau tanda SNI dilakukan oleh lembaga sertifikasi produk yang menerbitkan sertifikat yang dimaksud.

(3) Masyarakat dan lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat melakukan pengawasan terhadap barang yang beredar di pasaran.

Pengaturan mengenai pengawasan Standar Nasional Indonesia (SNI) juga diatur dalam Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia, yang berbunyi:103

102

Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah Nomor 102 Tahun 2000 tentang Standardisasi Nasional, Bab VII, Pasal 23.

103 Republik Indonesia, Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 753/MPP/Kep/11/2002 tentang Standardisasi dan Pengawasan Standar Nasional Indonesia, Pasal 14-Pasal 20.


(43)

Pasal 14

Kegiatan pengawasan barang yang SNI-nya telah diberlakukan secara wajib masing-masing meliputi pengawasan barang di pabrik, pengawasan barang impor dan pengawasan barang yang beredar di pasar.

Pasal 15

(1) Pengawasan barang di pabrik, baik di dalam negeri maupun di luar negeri dilakukan melalui penilaian sistem manajemen mutu dan pengujian barang/inspeksi oleh Lembaga Sertifikasi Produk yang menerbitkan Sertifikat Produk Penggunaan Tanda SNI.

(2) Hasil pengawasan barang di pabrik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), wajib dilaporkan kepada Sekretaris Jenderal Departemen Perindustrian dan Perdagangan cq Kepala Pusat Standardisasi dan Akreditasi dan Direktorat Jenderal pembina teknis di lingkungan Departemen Perindustrian dan Perdagangan yang terkait.

(3) Lembaga Sertifikasi Produk sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus berdomisili di Indonesia atau di negara lain yang sudah memiliki perjanjian saling pengakuan (MRA) dengan Indonesia.

Pasal 16

(1) Barang impor yang akan memasuki daerah pabean Indonesia dan sudah memiliki Sertifikasi Produk Penggunaan Tanda SNI yang diterbitkan oleh Lembaga Sertifikasi Produk atau Sertifikat Kesesuaian Mutu yang diterbitkan oleh Lembaga Inspeksi, wajib didaftarkan terlebih dahulu oleh importir kepada Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Departemen Perindustrian dan Perdagangan cq Direktur Pengawasan dan Pengendalian Mutu Barang untuk mendapatkan Surat Pendaftaran Barang (SPB)

(2) Pendaftaran barang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan sebagai berikut:

a. Importir mengajukan permohonan pendaftaran barang kepada Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Departemen Peindustrian dan Perdagangan cq Direktur Pengawasan dan Pengendalian Mutu Barang dengan menggunakan formulir sebagaimana dimaksud dalam Lampiran I Keputusan ini;

b. Atas permohonan tersebut pada huruf a, Direktorat Jenderal Perdagangan Luar Negeri cq Direktorat Pengawasan dan Pengendalian Mutu Barang menerbitkan Tanda Terima sebagaimana dimaksud dalam Lampiran 2 Keputusan ini;

c. Direktorat Pengawasan dan Pengendalian Mutu Barang melakukan penilaian terhadap permohonan dimaksud pada huruf a dan menerbitkan Surat Pendaftaran Barang (SPB) atau Surat Penolakan dengan menggunakan formulir sebagaimana dimaksud dalam Lampiran 3 atau Lampiran 4 Keputusan ini paling lambat dalam waktu 10 (sepuluh) hari kerja terhitung sejak tanggal penerimaan surat permohonan pendaftaran barang.

(3) Importir yang tidak mendapatkan Surat Pendaftaran Barang, dilarang memasukkan barangnya ke Daerah Pabean Indonesia.


(44)

Pasal 17

(1) Pengawasan barang impor yang SNI nya telah diberlakukan secara wajib dan sudah berada di pelabuhan tujuan/bongkar di wilayah Indonesia namun tidak dilengkapi Surat Pendaftaran Barang, maka importir harus terlebih dahulu mendapatkan Sertifikat Kesesuaian Mutu atau Laporan Inspeksi dalam bentuk Formulir seperti pada Lampiran 5 Keputusan ini, yang diterbitkan oleh Laboratorium Penguji atau Lembaga Inspeksi.

(2) Sertifikasi Kesesuaian Mutu atau Laporan Inspeksi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) disampaikan oleh Laboratorium Penguji atau Lembaga Inspeksi kepada Pelaku Usaha selambat-lambatnya 1 (satu) hari terhitung sejak diterbitkan Sertifikat/Laporan tersebut kepada:

a. Direktorat Jenderal Perdagangan Luar Negeri cq Direktorat Pengawasan dan Pengendalian Mutu Barang.

b. Direktorat Bea dan Cukai cq Kantor Pelayanan Bea dan Cukai setempat

c. Direktorat Jenderal Perdagangan Dalam Negeri cq Direktorat Bina Pengawasan Barang Beredar dan Jasa dan Direktorat Perlindungan Konsumen.

d. Pemerintah Daerah Provinsi, Kabupaten dan Kota cq Dinas yang berwenang di bidang perindustrian.

(3) Apabila Importir tidak berhasil mendapatkan Sertifikat Kesesuaian Mutu atau Laporan Inspeksi, maka Importir tersebut wajib mengekspor atau memusnahkan barang yang akan diimpor.

Pasal 18

Surat Pendaftaran Barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1), disampaikan tembusannya kepada:

a. Direktorat Jenderal Bea dan Cukai cq Kantor Pelayanan Bea dan Cukai setempat;

b. Direktorat Jenderal Perdagangan Luar Negeri;

c. Direktorat Jenderal Perdagangan Dalam Negeri cq Direktorat Pengawasan Barang Beredar dan Jasa dan Direktorat Perlindungan Konsumen;

d. Pemerintah Daerah Provinsi, Kabupaten dan Kota cq Dinas yang berwenang di bidang perindustrian.

Pasal 19

(1) Bagi importir yang telah mendapatkan Surat Pendaftaran Barang sebagaimana dimaksud dalam pasal 16 ayat (1) wajib mencantumkan Nomor Pendaftaran Barang dan atau membubuhkan pada label barang serta melampirkan copy Surat Pendaftaran Barang pada setiap kali pengapalan.

(2) Bagi importir yang telah mendapatkan Sertifikat Kesesuaian Mutu atau Laporan Inspeksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) wajib mencantumkan tanda SNI, Nomor Sertifikat Kesesuaian Mutu atau Nomor Laporan Inspeksi dan nama importirnya pada label barang sebelum diedarkan.


(45)

Pasal 20

(1) Pengawasan barang dan atau jasa yang berdar di pasar yang SNI nya telah diberlakukan secara wajib dilakukan secara berkala dan secara khusus.

(2) Ketentuan dan tata cara pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dalam keputusan Menteri tentang Ketentuan dan tata cara pengawasan barang dan atau jasa yang beredar di pasar.

C. Dampak Pemberlakuan Sertifikat Produk Penggunaan Tanda Standar Nasional Indonesia Terhadap Konsumen

Saat ini perdagangan bebas sudah mulai berjalan.Hal ini dapat dilihat dari produk-produk asing yang mulai membanjiri pasar domestik Indonesia.Salah satu contoh masuknya produk motor Cina dengan berbagai merek, yang ikut menyemarakkan situasi pasar domestik dan menciptakan pasar yang kompetitif.

Untuk dapat memenangkan kompetisi di pasar, melalui kiat promosi yang menarik pelaku usaha mencoba mempengaruhi konsumen agar mau membeli produknya.Akan tetapi, konsumen memiliki kebebasan untuk memilih produk yang dikehendakinya. Kondisi persaingan yang seperti itu akan sangat menguntungkan bagi konsumen yang telah memiliki tingkat pendidikan dan pengetahuan yang cukup, sehingga tidak mudah terpengaruh oleh janji-janji yang berlebihan dalam promosi dan dapat memilih barang yang berkualitas dengan harga bersaing. Namun, akan sangat merugikan bagi konsumen yang tingkat pendidikan dan pengetahuannya rendah, karena akan mudah tertipu oleh kiat promosi pelaku usaha dan bahkan akan menciptakan budaya konsumerisme yang sangat merugikan konsumen. Dalam keadaan yang demikian maka perlindungan


(46)

konsumen memiliki peranan penting, agar pelaku usaha tidak bertindak sewenang-wenang untuk memperdaya konsumen.104

1. Bagi pelaku usaha

Mengingat bahwa kondisi konsumen Indonesia tergolong yang potensial untuk dirugikan, maka harus diupayakan suatu bentuk perlindungan yang efektif.Di sinilah peran penting sertifikasi berbicara, dalam arti pelaku usaha yang memiliki posisi yang lebih kuat harus mengupayakan suatu bentuk pertanggungjawaban terhadap produk yang telah ditawarkan di pasar.Bentuk pertanggungjawaban itu berupa penerapan standar manajemen mutu dan standar manajemen lingkungan yang telah berlaku secara Internasional.Kemudian, diwujudkan dalam bentuk sertifikat yang menyatakan bahwa produk tersebut telah memenuhi klasifikasi dan kualifikasi standar-standar tersebut sesuai peruntukan sertifikat, sehingga produk yang dihasilkan terjamin mutunya, ramah lingkungan dan aman untuk dikonsumsi.

Dalam hal ini sertifikasi memiliki arti penting, baik bagi pelaku usaha maupun bagi konsumen. Oleh sebab itu, peran penting sertifikat perusahaan dapat dikemukakan sebagai berikut:

105

Faktor kepercayaan konsumen memiliki arti penting bagi kelangsungan hidup suatu perusahaan.Oleh sebab itu, pelaku usaha harus berusaha merebut perhatian dan kepercayaan konsumen. Untuk itu berbagai cara dilakukan untuk tujuan tersebut.

104 Endang Sri Wahyuni, Op.Cit., hlm. 117. 105


(47)

Konsumen sendiri dapat dibedakan menjadi 2 (dua) kelompok, yaitu konsumen yang sudah menjadi pelanggan dan konsumen yang belum menjadi pelanggan.Terhadap konsumen tersebut pelaku usaha berusaha memberikan kepuasan yang terbaik.Hal itu dilakukan sejak pemilihan bahan, proses, sampai pada tahap pelayanan.

Bentuk jaminan yang diberikan oleh pelaku usaha untuk menjamin kepuasan konsumen adalah bukti sertifikat perusahaan yang dikeluarkan oleh pihak ketiga yang telah dimilikinya.Sertifikat perusahaan tersebut sekaligus merupakan wujud komitmen perusahaan untuk memberikan produk yang bermutu dan aman dikonsumsi kepada konsumen.

Sertifikat perusahaan dapat berfungsi untuk mempertahankan loyalitas pelanggan karena pelanggan merasa puas oleh pelayanan yang diberikan oleh pelaku usaha. Selain itu, juga berfungsi untuk menarik konsumen baru karena ada jaminan bahwa konsumen akan memperoleh produk bermutu dengan pelayanan yang baik. Pengalaman tersebut akan menimbulkan kepercayaan konsumen untuk selanjutnya dapat menjadi pelanggan tetap.

2. Bagi konsumen106

Perlindungan konsumen memiliki arti penting pada saat perdagangan bebas saat ini. Konsumen Indonesia setidaknya memiliki 9 (sembilan) hak yang dilindungi oleh undang-undang, yaitu:

a. Hak atas kenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa.

106


(48)

b. Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan.

c. Hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa.

d. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan.

e. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut.

f. Hak untuk mendapatkan pembinaan dan pendidikan konsumen.

g. Hak untuk diperlakukan dan dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif.

h. Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya.

i. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.

Sayangya, tidak banyak konsumen Indonesia yang mengetahui dan memahami dengan baik hak-haknya, sementara yang sudah sadar dan tahu pun belum tentu mau memperkarakannya ketika hak-haknya dirugikan.Hal tersebut dapat dipahami karena budaya hukum Indonesia kondisinya sangat memprihatinkan, institusi peradilan yang didominasi oleh sistem korup, sehingga kurang berpihak pada masyarakat, serta belum siapnya badan penyelesaian


(49)

sengketa konsumen sebagai sarana yang diberikan oleh undang-undang.Kondisi tersebut menjadi alasan yang kuat terhadap sikap konsumen yang tidak percaya pada institusi peradilan.

Oleh karena itu, penerapan standar Internasional yang ditindaklanjuti dengan sertifikasi merupakan bentuk jaminan yang paling efektif terhadap perlindungan konsumen, karena produk yang bersertifikat tersebut telah memenuhi standar tertentu sesuai dengan yang diharapkan konsumen.

Dengan demikian, konsumen dapat mensyaratkan sertifikasi perusahaan kepada pemasoknya, dengan tujuan untuk menjamin bahwa produk yang dikonsumsi telah memenuhi syarat standar yang diharapkan.Standar yang pada umumnya dituntut oleh konsumen adalah standar Internasional ISO 9000 (sistem manajemen mutu) maupun ISO 14000 (sistem manajemen lingkungan). Dalam perkembangan selanjutnya konsumen akan mensyaratkan adanya sertifikasi dalam setiap produk yang dikonsumsinya.107

Tuntutan konsumen tersebut tidak hanya berlaku untuk pelaku usaha yang besar saja, tetapi terhadap semua pelaku usaha termasuk golongan kecil dan

Untuk menjamin kualitas produk demi kepuasan pelanggannya, maka pelaku usaha juga berusaha melengkapi produknya dengan sertifikasi yang disyaratkan oleh pelanggan sebagai bentuk jaminan atas produknya. Pada umumnya konsumen selain berkepentingan terhadap mutu produk juga menghendaki bahwa produk yang bermutu tersebut diproses dengan cara yang ramah lingkungan.

107


(50)

menengah. Kondisi tersebut dapat dipahami karena konsumen tidak lagi melihat besar-kecilnya perusahaan yang memproduksi, tetapi mutu produk dan pelayanan yang akan menjadi perhatiannya. Hal ini sangat penting untuk dipahami oleh pemerintah dan pelaku usaha di Indonesia.Karena sebagian besar pelaku usaha di Indonesia tergolong perusahaan kecil dan menengah. Dan merekalah yang akan menentukan masa depan perekonomian Indonesia di masa depan. Oleh karena itu, harus sesegera mungkin dipersiapkan.Jika pemerintah dan pelaku usaha tidak mau, menjadi penonton yang baik saja di negerinya sendiri karena kalah dalam kompetisi.108

1. Minat dan pemahaman dari pelaku usaha

Di dalam pelaksanaan sertifikasi, ada beberapa aspek yang menghambat pelaksanaan tersebut, yaitu:

109

Minat pelaku usaha memiliki peranan besar dalam menentukan pencapaian sertifikasi perusahaan.Hal yang sangat menentukan minat ini adalah pemahaman pelaku usaha mengenai arti penting sertifikasi bagi kelangsungan usahanya.

Pengetahuan mengenai standar di kalangan pelaku usaha di Indonesia sangat minim.Oleh karena itu, dapat dipahami jika pelaksanaan sertifikasi juga sangat lamban, pelaku usaha cenderung menunggu, artinya, karena baik standar maupun sertifikasi sifatnya adalah sukarela.Maka jika tidak ada desakan dari konsumen, pelaku usaha di Indonesia cenderung pasif/menunggu.Tidak demikian dengan pelaku usaha di Malaysia dan Singapura yang lebih memahami arti penting sertifikasi, segera melakukan tindakan proaktif, sehingga perolehan sertifikasi

108Ibid, hlm. 121. 109


(51)

sangat maju pesat, bahkan tertinggi di kawasan ASEAN. Misalnya tahun 1997 baru 300 (tiga ratus) perusahaan di Indonesia yang memiliki sertifikat ISO 9000, sementara Malaysia tahun 1995 sudah 700 (tujuh ratus) perusahaan dan Singapura sudah 1.180 (seribu seratus delapan puluh) perusahaan.

Sikap pelaku usaha yang cenderung pasif sangat menghambat dalam pencapaian sertifikasi. Jika hal ini disebabkan oleh ketidaktahuan, maka hal itu harus segera dicarikan solusinya, seperti halnya pemerintah Malaysia yang gencar mensosialisasikan pelaksanaan standard an sertifikasi bagi pelaku usaha di negerinya. Demikian juga seharusnya pemerintah Indonesia melakukan hal yang sama terhadap pelaku usaha di Indonesia. Karena dengan pemahaman yang besar yang dimiliki pelaku usaha tentang sertifikasi, maka akan menentukan sikap dan tindakan yang akan diambil untuk selanjutnya.

2. Ketersediaan dan kemampuan lembaga sertifikasi110

Sesuai dengan Keputusan Presiden Nomor 18 Tahun 2000 yang ditindaklanjuti dengan Surat Keputusan Bersama (SKB) Depkeu-Bappenas tentang pedoman pengadaan barang atau jasa bagi instansi pemerintah pelaksanaan sertifikasi adalah wewenang asosiasi. Permasalahannya asosiasi yang ada di Indonesia sangat terbatas, sehingga menimbulkan kesulitan tersendiri bagi pelaku usaha yang ingin melakukan sertifikasi, tetapi belum ada asosiasi yang sesuai dengan bidangnya atau belum seluruh asosiasi mampu menyelenggarakan fungsi dan tugasnya yang baru sebagai lembaga sertifikasi

110


(52)

sebab jumlah anggotanya terlalu kecil. Dengan demikian, hanya yang ada di pusat saja yang dapat terlayani, sementara yang di daerah belum.

Oleh karena itu, asosiasi-asosiasi di Indonesia perlu segera meningkatkan kemampuan dan pelayanannya.Kondisi tersebut menjadi hambatan tersendiri bagi pelaku usaha untuk dapat melakukan sertifikasi perusahaannya, sementara tingkat kesulitan yang ada juga dapat mempengaruhi minat pelaku usaha itu sendiri. 3. Sumber daya manusia111

Kurangnya tenaga-tenaga ahli yang memiliki kompetensi di bidangnya juga menjadi hambatan tersendiri dalam proses sertifikasi di Indonesia. Hal ini sangat dirasakan, baik oleh pelaku usaha, asosiasi maupun instansi pemerintah yang terkait dengan pemasalahan ini.

Kondisi yang demikian harus segera diatasi dan ini sangat memerlukan kerja sama yang baik antara pemerintah dan swasta. Seperti halnya pemerintah Malaysia yang tanggap terhadap kekurangannya segera mendatangkan tenaga-tenaga ahli dari negara maju, atau mengirim tenaga-tenaga-tenaga-tenaga ahlinya untuk belajar dari negara-negara maju.Hasilnya kini telah dapat dinikmati oleh pelaku usaha di Malaysia.

Demikian juga seharusnya pemerintah Indonesia harus tanggap terhadap kebutuhan dalam negerinya dan segera mencarikan solusi yang diperlukan. Hal ini sangat penting untuk diperhatikan, mengingat kelangsungan hidup perusahaan-perusahaan ini akan sangat mempengaruhi perekonomian Indonesia, sementara perekonomian sendiri merupakan salah satu pilar pembangunan di

111


(53)

Indonesia. Jadi, jika salah satu pilarnya tidak kuat, maka terancamlah stabilitas nasionalnya.

Berikut ini adalah dampak pemberlakuan Sertifikat Produk Penggunaan Tanda Standar Nasional Indonesia:

1. Tuntutan kontraktual112

Dalam hal pelaku usaha mengadakan kontrak dagang di mana dalam kontrak tersebut telah disyaratkan adanya sertifikasi, maka pelaku usaha wajib melaksanakan sertifikasi karena telah disepakati dalam kontrak.Dan hal ini mempunyai akibat hukum yang dapat dipaksakan. Artinya, jika pelaku usaha tidak memenuhi tuntutan pelanggannya sesuai dengan isi kontrak, maka hal itu akan menimbulkan gugatan produk. Jika hal ini terjadi maka akan berakibat fatal bagi masa depan perusahaan yang bersangkutan karena nama baiknya sudah tercemar, bahkan tidak jarang dimasukkan dalam daftar pengusaha nakal, sehingga akan sangat mempengaruhi kepuasan konsumen untuk membeli produknya. Maka dari itu, sangat diperlukan pemberlakuan Sertifikat Produk Penggunaan Tanda Standar Nasional Indonesia.

2. Peluang di pasar113

Sertifikasi berkaitan dengan peluang besar di mana produk tersebut akan diekspor, misalnya pasar negara-negara maju, seperti Uni Eropa, Amerika Serikat, dan Jepang. Jelas negara-negara tersebut akan menuntut sertifikasi. Hal itu akan memacu pelaku usaha yang sudah memiliki pasar di negara-negara tersebut untuk segera melakukan sertifikasi untuk mempertahankan pemasaran

112Ibid, hlm. 74. 113


(1)

ABSTRAK

TANGGUNG JAWAB LEMBAGA SERTIFIKASI PRODUK TERHADAP PENERBITAN SERTIFIKAT PRODUK PENGGUNAAN TANDA

STANDAR NASIONAL INDONESIA DALAM RANGKA PERLINDUNGAN KONSUMEN

Erin Yohana SimanjuntakBismar Nasution∗∗ Tri Murti Lubis∗∗∗

Pada masa era globalisasi ini, Indonesia telah melakukan perkembangan yang cukup signifikan di bidang perdagangan barang.Untuk itu diperlukan adanya standardisasi dan sertifikasi pada produk yang dihasilkan demi perlindungan konsumen. Maka dari itu, pemerintah menerapkan suatu regulasi terhadap standar barangdi Indonesia, dimana dalam pelaksanaannya muncul beberapa permasalahan seperti bagaimana bentuk perlindungan terhadap konsumen jika dikaitkan dengan SNI, bagaimana prosedur penerbitan SPPT-SNI, bagaimana tanggung jawab LSPro terhadap penerbitan SPPT-SNI dalam rangka perlindungan konsumen.

Jenis penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah penelitian hukum normatif dan bersifat deskriptif.Adapun metode pendekatan yang digunakan adalah metode pendekatan perudang-undangan dengan menggunakan bahan hukum primer dan sekunder. Data-data yang diperlukan dikumpulkan dengan cara penelitian kepustakaan dan kemudian dianalisis dengan metode analisis kualitatif sehingga menghasilkan data yang bersifat deskriptif.

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa SNI menjamin konsumen untuk mendapatkan barang-barang yang bagus di pasaran sesuai dengan standarnya.Secara garis besar, prosedur penerbitan SPPT-SNIdiantaranya Pendaftaran, Pengujian, Penerbitan SPPT (LSPro), dan Penandatanganan Penggunaan Tanda SNI.Tanggung jawab LSPro terhadap penerbitan SPPT-SNI adalah menerbitkan, mengesahkan, dan memberi sertifikat.Adapun saran yang dapat diberikan adalah agar pemerintah semakin giat melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap produk yang belum dan sudah menggunakan tanda SNI. Kata Kunci : standar nasional indonesia, lembaga sertifikasi produk,

perlindungan konsumen

∗Mahasiswa Hukum Ekonomi Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

∗∗ Pembimbing I, Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara


(2)

KATA PENGANTAR

Dengan mengucapkan puji syukur terhadap Tuhan Yang Maha Esa karena dengan karunia-Nya telah memberikan kesehatan, kekuatan dan ketekunan pada penulis sehingga mampu dan berhasil menyelesaikan skripsi ini.

Skripsi ini adalah sebagai satu syarat guna memperoleh gelar Serjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Skripsi ini berjudul : “Tanggung Jawab Lembaga Sertifikasi Produk Terhadap Penerbitan Sertifikat Produk Penggunaan Tanda Standar Nasional Indonesia Dalam Rangka Perlindungan Konsumen”.

Dalam penulisan skripsi ini penulis menyadari terdapatnya kekurangan, namun demikian dengan berlapang dada penulis menerima kritik dan saran yang bersifat membangun dari semua pihak yang menaruh perhatian terhadap skripsi ini.

Demi terwujudnya peyelesaian dan penyusunan skripsi ini, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah dengan ikhlas dalam memberikan bantuan untuk memperoleh bahan-bahan yang diperlukan dalam penulisan skripsi ini.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, SH.M.Hum. sebagai Dekan Fakultas Hukum USU Medan.

2. Bapak Dr. OK. Saidin, SH.M.Hum sebagai Wakil Dekan I FH. USU Medan

ii


(3)

3. Ibu Puspa Melati Hasibuan, SH.M.Hum sebagai wakil dekan II FH. USU Medan.

4. Bapak Dr. Jelly Leviza, SH.M.Hum sebagai wakil dekan III FH.USU Medan. 5. Ibu Windha, SH., M.Hum selaku Ketua Departemen Hukum Ekonomi, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

6. Bapak Prof. Dr. Bismar Nasution, S.H., M.H selaku Dosen Pembimbing I. Terima kasih sedalam-dalamnya saya ucapkankepada Prof atas segala bantuan, kemudahan, kelancaran, saran,bimbingan sekaligus arahan yang sangat berarti dan bermanfaat bagi penulis sampai pada akhirnya penulis bisa menyelesaikan penulisan skripsi ini.

7. Ibu Tri MurtiLubis, S.H., M.H.selakuDosenPembimbingIIdan Dosen Hukum Ekonomi, yangtelahpedulidanmemberikanbimbingandalampenulisanskripsiini. 8. Seluruh staf pengajar dan seluruh staf administrasi di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah berjasa mendidik danmembantu penulisdalam menyelesaikan skripsi ini.

9. Kedua orang tua tersayang dan paling dikasihi penulis Oloan Simanjuntakdan Rita Simanungkalit yang sudah dalam membesarkan, mendidik, memotivasi dan membiyaai pendidikan penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini.

10. Saudara penulis, Kak Raya, Kak Inggrid, yang selalu mendoakan dan memberikan semangat kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

11. Teman-teman seperjuangan penulis selama masa perkuliahan yang selalu menemani Kiky,Iput, Yara, Clinton, Andreas, Bona, Thia, Cia, Yonggi, Beby,


(4)

12. Kepada kekasih hati yang bernama Enim Putra Pranata Matondang yang selalu mendukung dan menyemangati penulis disaat suka maupun duka.

13. Kepada teman-teman Beautiful UAS Kak Inggrid, Kak Ayu, Kak Michelle, Kak Utik, Cika, Rachel, Egik, Ela, Ester, Sere yang selalu menyemangati dan mendoakan penulis agar segera menyelesaikan skripsi ini.

14. Teman-teman Grup D FH USU 2012, IMAHMI 2012 dan segenap teman-teman stambuk 2012 yang dekat dan pernah dekat.

15. Kepada seluruh keluarga penulis yang berada di Medan dan luar kota yang selalu mendoakan penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

16. Dan kepada semua rekan-rekan yang tidak bisa disebutkan satu per satu oleh penulis.

Semoga ilmu yang penulis peroleh ini dapat bermakna dan menjadi berkah bagi penulis dalam hal penulis ingin menggapai cita-cita..

Medan, 11 Juli 2016 Penulis

ErinYohana Simanjuntak NIM : 120200198

iv


(5)

DAFTAR ISI

Abstrak ... Kata Pengantar ... Daftar Isi ... BAB I PENDAHULUAN

A. LatarBelakang ...1

B. RumusanMasalah ...8

C. TujuandanManfaat Penulisan ...8

D. Keaslian Penulisan ...10

E. TinjauanPustaka ...10

F. MetodePenulisan ...13

G. SistematikaPenulisan ...16

BAB II STANDAR NASIONAL INDONESIA SEBAGAI SUATU BENTUK PERLINDUNGAN TERHADAP KONSUMEN A. Pengertian Standar Nasional Indonesia ...19

B. Latar Belakang Berlakunya Standar Nasional Indonesia ...32

C. Bentuk-Bentuk Kerugian Yang Dialami Konsumen Terhadap Produk Yang Tidak Berlabel Standar Nasional Indonesia ...35

D. Standar Nasional Indonesia Sebagai Suatu Bentuk Perlindungan Terhadap Konsumen ...41


(6)

BAB III PROSEDUR PENERBITAN SERTIFIKAT PRODUK PENGGUNAAN TANDA STANDAR NASIONAL INDONESIA

A. Syarat Penerbitan Sertifikat Produk Penggunaan Tanda

Standar Nasional Indonesia ...48

B. Kewenangan Lembaga Sertifikasi Produk Dalam Penerbitan

Sertifikat Produk Penggunaan Tanda Standar Nasional Indonesia ...54

C. Prosedur Penerbitan Sertifikat Produk Penggunaan Tanda

Standar Nasional Indonesia ...60 BAB IV TANGGUNG JAWAB LEMBAGA SERTIFIKASI

PRODUK TERHADAP PENERBITAN SERTIFIKAT PRODUK PENGGUNAAN TANDA STANDAR NASIONAL INDONESIA DALAM RANGKA PERLINDUNGAN KONSUMEN

A. Kewajiban Lembaga Sertifikasi Produk Terhadap Penerbitan

Sertifikat Produk Penggunaan Tanda Standar Nasional Indonesia ...72

B. Pengawasan Lembaga Sertifikasi Produk Terhadap

Penerbitan Standar Nasional Indonesia ...77

C. Dampak Pemberlakuan Sertifikat Produk Penggunaan Tanda

Standar Nasional Indonesia Terhadap Konsumen ...95

D. Tanggung Jawab Lembaga Sertifikasi Produk Penggunaan

Tanda Standar Nasional Indonesia Dalam Rangka Perlindungan Konsumen ...106 BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ...118 B. Saran ...120 DAFTAR PUSTAKA ...121

vi