Nasional Indonesia yang memuat persyaratan keunggulan mutu dan efisiensi proses produksi nasional untuk meningkatkan daya saing produk nasional baik di
pasar domestik maupun pasar global.
50
C. Bentuk-Bentuk Kerugian Yang Dialami Konsumen Terhadap Produk
Yang Tidak Berlabel Standar Nasional Indonesia
Sesuai dengan salah satu tujuan daripada Standardisasi dan Penilaian Kesesuaian yaitu meningkatkan perlindungan kepada konsumen
51
, maka secara tidak langsung hal ini menandakan bahwa keduanya berkaitan erat.Perencanaan
perumusan Standar Nasional Indonesia SNI yang disusun dalam suatu Program Nasional Perumusan Standar PNPS juga memperhatikan aspek perlindungan
konsumen.
52
Untuk mengetahui pelaku usaha yang tidak memenuhi Standar Nasional Indonesia dalam menentukan perbuatan melawan hukumnya maka diperlukan
teori Hukum Perlindungan Konsumen, antara lain Dengan demikian, apabila setiap produk yang dipasarkan di
Indonesia sudah memiliki dan memenuhi standardisasi, maka otomatis produk tersebut telah terjamin mutu dan kualitasnya. Tentunya standardisasi tersebut
ditandai dengan adanya label SNI. Apabila suatu produk tidak berlabel SNI, maka kita patut waspada dan meragukan kualitas dan mutu produk tersebut.
53
1. “Let the buyer bewarecaveat emptor; Asas ini berasumsi bahwa:
:
50
“Sosialisasi UU SPK”. Lihat http:www.akari-corp.comartikelsosialisai-uu-spk diakses pada tanggal 22 April 2016.
51
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2014 tentang Standardisasi dan Penilaian Kesesuaian, Bab I, Pasal 3.
52
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2014 tentang Standardisasi dan Penilaian Kesesuaian, Bab III, Pasal 10, angka 3.
53
Dina W. Kariodimedjo, “Persentasi : Mata Kuliah Konsentrasi Perlindungan Konsumen”, Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 2005, hlm. 8.
Universitas Sumatera Utara
“Pelaku usaha dan konsumen adalah dua pihak yang sangat seimbang sehingga tidak perlu ada proteksi apapun bagi si konsumen. Tentu saja dalam
perkembangannya, konsumen tidak mendapat akses informasi yang sama terhadap barang atau jasa yang dikonsumsikannya. Ketidakmampuan itu bisa
karena keterbatasan pengetahuan konsumen, tetapi terlebih-lebih lagi banyak disebabkan oleh ketidakterbukaan pelaku usaha terhadap produk yang
ditawarkannya.Menurut prinsip ini, dalam suatu hubungan jual beli keperdataan, yang wajib berhati-hati adalah pembeli. Sekarang mulai diarahkan menuju
kepada caveat venditor pelaku usaha yang perlu berhati-hati”. 2.
The due care theory; Doktrin ini menyatakan bahwa: “Pelaku usaha mempunyai kewajiban untuk berhati-hati dalam memasarkan
produknya, baik barang ataupun jasa.Selama berhati-hati, pelaku usaha tidak dapat dipersalahkan.Jika ditafsirkan secara
a-contratio, maka untuk mempersalahkan si pelaku usaha seseorang harus dapat membuktikan, pelaku
usaha itu melanggar prinsip kehati-hatian”. 3.
The privity of contract; Prinsip ini menyatakan bahwa: “Pelaku usaha mempunyai kewajiban untuk melindungi konsumen, tetapi hal itu
baru dapat dilakukan jika di antara mereka telah terjalin suatu hubungan kontraktual.Pelaku usaha tidak dapat dipersalahkan atas hal-hal di luar yang
diperjanjikan.Fenomena kontrak-kontrak standar yang banyak beredar di masyarakat merupakan petunjuk yang jelas betapa tidak berdayanya konsumen
menghadapi dominasi pelaku usaha”.
Universitas Sumatera Utara
4. Kontrak bukan syarat;
Prinsip ini tidak mungkin dipertahankan, jadi kontrak bukan lagi merupakan syarat untuk menetapkan eksistensi suatu hubungan hukum.
Berbicara mengenai kerugian, terlebih dahulu kita perlu mengetahui pengertian kerugian. Pengertian kerugian menurut Nieuwenhuis 1985, adalah
berkurangnya harta kekayaan pihak yang satu, yang disebabkan oleh perbuatan melakukan atau membiarkan yang melanggar norma oleh pihak lain.
Kerugian yang diderita seseorang secara garis besar dapat dibagi atas dua bagian, yaitu kerugian yang menimpa diri dan kerugian yang menimpa harta
benda seseorang.Sedangkan kerugian harta benda sendiri dapat berupa kerugian nyata yang dialami serta kehilangan keuntungan yang diharapkan.
54
Salah satu faktor untuk menegakkan hak-hak konsumen adalah upaya untuk menumbuhkan sikap dan perilaku konsumen itu sendiri, sehingga menjadi
Di samping itu, Bloembergen berpendapat bahwa kerugian merupakan pengertian normatif yang membutuhkan penafsiran, dan menurutnya, bukan
kehilangan atau kerusakan barang yang merupakan kerugian, melainkan harga dari barang tersebut atau biaya-biaya perbaikan.
Selain kerugian harta benda kerugian ekonomi, dalam Hukum Perlindungan Konsumen dikenal pula kerugian fisik, begitu pula kerugian karena
cacat dan kerugian akibat produk cacat, namun pembedaan tersebut tidak penting dalam kasus perlindungan konsumen, akan tetapi yang paling penting adalah
konsumen mengalami kerugian karena mengonsumsi suatu produk tertentu.
54
Ahmadi Miru, Prinsip-Prinsip Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Di Indonesia, Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada, 2013, hlm. 78.
Universitas Sumatera Utara
konsumen yang bertanggung jawab, yaitu konsumen yang sadar akan hak-haknya sebagai konsumen. Bahwa kegiatan konsumen dalam meningkatkan barang atau
jasa yang dibutuhkannya transaksi konsumen, selain diatur dalam Undang- Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen juga
menggunakan Hukum Perdata. Oleh karena itu, peranan Hukum Perdata sangat besar artinya dalam menegakkan hak-hak konsumen dalam Hukum Perlindungan
Konsumen. Di samping itu, aspek Hukum Perdata yang cukup menonjol pada
perlindungan konsumen adalah hak konsumen untuk mendapatkan ganti atas kerugian yang dideritanya sebagai akibat dari pemakaian barang-barang
konsumsi.Ganti rugi atas kerugian yang diderita konsumen sebagai akibat dari pemakaian barang-barang konsumsi merupakan salah satu hak pokok konsumen
dalam Hukum Perlindungan Konsumen.Hak atas ganti rugi ini bersifat universal di samping hak-hak pokok lainnya.
Ganti rugi atas kerugian yang diderita konsumen pada hakikatnya berfungsi sebagai:
1. Pemulihan hak-haknya yang telah dilanggar;
2. Pemulihan atas kerugian materiil maupun immateriil yang telah dideritanya;
3. Pemulihan pada keadaan semula.
Kerugian yang dapat diderita konsumen sebagai akibat dari pemakaian barang-barang konsumsi itu dapat diklasifikasikan ke dalam:
55
1. Kerugian materiil, yaitu berupa kerugian pada barang-barang yang dibeli;
55
Adrian Sutedi, Tanggung Jawab Produk Dalam Hukum Perlindungan Konsumen Jakarta : Ghalia Indonesia, hlm. 58.
Universitas Sumatera Utara
2. Kerugian immateriil, yaitu kerugian yang membahayakan kesehatan danatau
jiwa konsumen. Kerugian yang dialami konsumen akibat barang yang cacat diatur dalam
ketentuan pasal 1367 KUHPerdata.Menurut pandangan para sarjana, pertanggungjawaban untuk kerugian yang ditimbulkan oleh benda didasarkan
pada ajaran risiko, sedangkan yurisprudensi Belanda berpendapat bahwa tanggung jawab timbul apabila kerugian yang terjadi merupakan akibat dari kelalaian dalam
mengawasi benda yang berada pada pengawasannya. Pada ayat 3 pasal 1367 KUHPerdata ini menunjukkan pada kerusakan akan sesuatu benda atau lukanya
seseorang yang ditimbulkan dengan perantaraan sesuatu benda. Apabila seseorang menimbulkan kerugian tersebut mirip perbuatan
melawan hukum dan kerugian itu ditimbulkan oleh benda tanpa perbuatan manusia maka pertanggungjawabannya terletak pada pihak yang mengawasi
benda tersebut serta bertanggungjawab memberikan ganti rugi atas kerugian yang terjadi.
56
Pada kenyataannya, konsumen Indonesia masih sering mengalami kasus- kasus yang sangat merugikan dirinya, baik secara materiil maupun
immateriil.Seperti halnya yang dikemukakan oleh Badan Pembina Hukum Dalam transaksi yang dilakukan konsumen, konsumen menghadapi
permasalahan yang sulit diatasi oleh mereka sendiri.Perangkat peraturan perundang-undangan dan pelaksanaan wewenang administratif aparat pemerintah
masih belum mendukung dalam memenuhi kebutuhan hidup konsumen.
56
Ibid, hlm. 59.
Universitas Sumatera Utara
Nasional Indonesia, di mana kekecewaan yang dinyatakan oleh konsumen karena kualitas produk yang tidak memenuhi standar.
Kerugian materi atau ancaman bahaya pada jiwa konsumen disebabkan oleh tidak sempurnanya produk.Banyak produsen yang kurang menyadari
tanggung jawabnya untuk melindungi konsumen atau menjamin keselamatan dan keamanan dalam mengonsumsi produk yang dihasilkannya. Hal ini juga
dipengaruhi oleh faktor-faktor sebagai berikut:
57
1. Rendahnya kesadaran hukum para pejabat pemerintah yang kurang hati-hati
dalam melakukan pengawasan terhadap barang-barang konsumsi yang dihasilkan produsen.
2. Adanya kebijaksanaan resmi pemerintah tentang pemakaian barang
berbahaya atau adanya barang yang mempunyai cacat, yang bertentangan dengan peraturan-peraturan yang berlaku yang menyangkut dengan
keamanan dan keselamatan masyarakat. 3.
Masih rendahnya kesadaran masyarakat konsumen dan produsen lapisan bawah serta kurangnya penyuluhan hukum sehingga mereka tidak terjangkau
oleh peraturan perundang-undangan yang ada. 4.
Adanya kesengajaan dari produsen untuk mengedarkan barang yang cacat dan berbahaya, baik karena menyadari kelemahan konsumen, kelemahan
pengawasan, ataupun demi mengejar keuntungan atau laba. 5.
Kriteria terhadap barang yang dikatakan cacat dan berbahaya.
57
Ibid, hlm. 61.
Universitas Sumatera Utara
D. Standar Nasional Indonesia Sebagai Suatu Bentuk Perlindungan