5. Menginformasikan setiap perubahan persyaratan sertifikasi. Atas perubahan
persyaratan tersebut perusahaan akan diminta pertimbangan terlebih dahulu serta apabila telah ditetapkan efektif, diberikan waktu yang cukup untuk
penyesuaian atas perubahan tersebut. Perusahaan yang telah menyesuaikan atas perubahan persyaratan sertifikasi harus memberitahukan kepada
Lembaga Sertifikasi Produk. Seluruh perusahaan akan diverifikasi oleh Lembaga Sertifikasi Produk atas penyesuaian yang dilakukan.
6. Semua informasi dari perusahaan yang diterima dan dinilai rahasia oleh
Lembaga Sertifikasi Produk danatau dinyatakan rahasia oleh perusahaan diberlakukan rahasia. Semua personel Lembaga Sertifikasi Produk dan sub
kontraknya harus patuh terhadap persyaratan kerahasiaan tersebut. Informasi tertentu tidak boleh dipaparkan kepada pihak ketiga. Apabila pemaparan
kepada pihak ketiga diizinkan oleh undang-undang atau peraturan yang berlaku, maka perusahaan diberitahu terlebih dahulu materi informasi yang
diberikan.
B. Pengawasan Lembaga Sertifikasi Produk Terhadap Penerbitan Standar
Nasional Indonesia Pada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen, terdapat pasal yang mengatur tentang pengawasan beserta penjelasannya yang berbunyi:
84
84
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Bab VII, Bagian Kedua, Pasal 30.
Pasal 30
Universitas Sumatera Utara
1 Pengawasan terhadap penyelenggaraan perlindungan konsumen serta
penerapan ketentuan peraturan perundang-undangannya diselenggarakan oleh pemerintah, masyarakat, dan lembaga
perlindungan konsumen swadaya masyarakat.
2 Pengawasan oleh pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat 1
dilaksanakan oleh menteri teknis yang terkait. 3
Pengawasan oleh masyarakat dan lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat dilakukan terhadap barang danatau jasa yang
beredar di pasar.
4 Apabila pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat 3 ternyata
menyimpang dari peraturan perundang-undangan yang berlaku dan membahayakan konsumen, menteri danatau menteri teknis
mengambil tindakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
5 Hasil pengawasan yang diselenggarakan masyarakat dan lembaga
perlindungan konsumen swadaya masyarakat dapat disebarluaskan kepada masyarakat dan dapat disampaikan kepada menteri dan
menteri teknis.
6 Ketentuan pelaksanaan tugas pengawasan sebagaimana dimaksud
pada ayat 1, ayat 2, dan ayat 3 ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Penjelasan Ayat 2
Yang dimaksud dengan menteri teknis adalah menteri yang bertanggung jawab secara teknis menurut bidang tugasnya.
Ayat 3 Pengawasan yang dilakukan oleh masyarakat dan lembaga
perlindungan konsumen swadaya masyarakat dilakukan atas barang danatau jasa yang beredar di pasar dengan cara penelitian, pengujian,
danatau survei. Aspek pengawasan meliputi pemuatan informasi tentang risiko
penggunaan barang jika diharuskan, pemasangan label, pengiklanan, dan lain-lain yang disyaratkan berdasarkan peraturan perundang-
undangan dan kebiasaan dalam praktek dunia usaha.
Ketentuan Pasal 30 di atas ini, cukup menjanjikan upaya perlindungan konsumen melalui pemberdayaan setiap unsur yang ada yaitu masyarakat dan
Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat disamping pemerintah sendiri melalui menteri danatau menteri teknis yang terkait.
Universitas Sumatera Utara
Apabila diperhatikan substansi Pasal 30 tersebut, juga tampak bahwa pengawasan lebih banyak menitikberatkan pada peran masyarakat dan Lembaga
Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat, dibanding dengan peran pemerintah yang pelaksanaannya dilakukan oleh menteri danatau menteri teknis
yang terkait. Seperti terlihat dalam pasal tersebut, pemerintah diserahi tugas melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan perlindungan konsumen serta
penerapan ketentuan peraturan perundang-undangannya. Sementara pengawasan oleh masyarakat dan Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat,
selain tugas yang sama dengan apa yang menjadi tugas pemerintah di atas, juga diserahi tugas pengawasan terhadap barang danatau jasa yang beredar di pasar.
85
Dihubungkan dengan Penjelasan ayat 3 yang menentukan bahwa pengawasan dilakukan dengan cara penelitian, pengujian, danatau survei,
Ayat 4 dari pasal tersebut juga menentukan bahwa, apabila pengawasan oleh masyarakat dan Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat ternyata
mendapatkan hal-hal yang menyimpang dari peraturan perundang-undangan yang berlaku dan membahayakan konsumen, menteri danatau menteri teknis
mengambil tindakan sesuai dengan perturan perundang-undangan yang berlaku. Ini berarti, untuk megetahui ada atau tidaknya suatu barang danatau jasa yang
tidak memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan yang beredar di pasar, pemerintah sepenuhnya menyerahkan dan menanti laporan masyarakat danatau
Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat, untuk kemudian diambil tindakan.
85
Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Op.Cit., hlm. 185.
Universitas Sumatera Utara
terhadap aspek yang meliputi pemuatan informasi tentang risiko penggunaan barang, pemasangan label, pengiklanan, dan lain-lain yang disyaratkan oleh
ketentuan peraturan perundang-undangan dan kebiasaan dalam praktek dunia usaha, menuntut upaya pemberian pemahaman dan peningkatan kesadaran
terhadap apa yang menjadi hak-haknya menjadi sangat penting.
86
Setelah lahirnya Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2001 tentang Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen, bahwa
ketidakjelasan peran pemerintah yang seolah hanya menyerahkan tugas Upaya yang
dimaksudkan ini, bukanlah suatu hal yang mudah dilakukan jika dihubungkan dengan kondisi masyarakat konsumen pada umumnya sekarang ini, khususnya
tingkat pendidikan yang masih rendah yang sekaligus mempengaruhi tingkat kesadaran hukumnya. Demikian pula dengan kesibukan masaing-masing anggota
masyarakat yang kadang menimbulkan sikap acuh tak acuh atas persoalan yang ada, dan baru akan bertindak misalnya mengadukan kepada pihak yang
berwenang pemerintah setelah persoalan yang tidak dikehendaki, seperti keracunan akibat suatu produk tidak layak konsumsi, menimpa diri danatau
anggota keluarganya. Satu-satunya pihak yang diharapkan dapat melaksanakan tugas pengawasan sesuai harapan Pasal 30 ini, adalah Lembaga Perlindungan
Konsumen Swadaya Masyarakat, hanya saja untuk maksud pengawasan dengan cara penelitian, pengujian, danatau survei, terhadap aspek pemuatan informasi
tentang risiko penggunaan barang, pemasangan label, pengiklanan, dan lain-lain tentulah menuntut biaya yang diperlukan untuk maksud ini.
86
Ibid, hlm. 186.
Universitas Sumatera Utara
pengawasan kepada masyarakat dan Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat LPKSM sebagaimana diuraikan, kini menjadi jelas.
87
Lebih jelasnya bentuk pengawasan tersebut diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2001, yang berbunyi:
Oleh karena dalam peraturan ini pemerintah telah ikut aktif melakukan pengawasan
sebagaimana masyarakat dan LPKSM, walaupun dengan obyek pengawasan yang sedikit berbeda.
88
1 Pengawasan oleh pemerintah dilakukan terhadap pelaku usaha dalam
memenuhi standar mutu produksi barang danatau jasa, pencantuman label dan klausula baku, serta pelayanan purna jual barang danatau
jasa. Pelayanan purna jual yang dimaksud, pelayanan yang dilakukan oleh pelaku usaha terhadap konsumen, misalnya tersedianya suku
cadang dan jaminan atau garansi. Pasal 8
2 Pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 dilakukan dalam
proses produksi, penawaran, promosi, pengiklanan, dan penjualan barang danatau jasa.
3 Hasil pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat 2 dapat
disebarluaskan kepada masyarakat. 4
Ketentuan mengenai tata cara pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 ditetapkan oleh Menteri dan atau menteri teknis terkait
bersama-sama atau sendiri-sendiri sesuai dengan bidang tugasnya masing-masing.
Menyangkut bentuk pengawasan yang dilakukan oleh masyarakat diatur pula dalam Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2001, yang berbunyi:
89
1 Pengawasan oleh masyarakat dilakukan terhadap barang danatau jasa
yang beredar di pasar. Pasal 9
87
Ibid, hlm. 187.
88
Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2001 tentang Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen, Bab III, Pasal 8.
89
Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2001 tentang Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen, Bab III, Pasal 9.
Universitas Sumatera Utara
2 Pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 dilakukan dengan
cara penelitian, pengujian, dan atau survei. 3
Aspek pengawasan meliputi pemuatan informasi tentang risiko penggunaan barang jika diharuskan, pemasangan label, pengiklanan,
dan lain-lain yang disyaratkan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan dan kebiasaan dalam praktik dunia usaha.
4 Hasil pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat 2, dapat
disebarluaskan kepada masyarakat dan dapat disampaikan kepada Menteri dan menteri teknis.
Menyangkut pengujian terhadap barang danatau jasa yang beredar sebagaimana diatur dalam Pasal 10 tersebut, dilaksanakan melalui laboratorium
penguji yang telah diakreditasi sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.Penunjukan pengujian hanya kepada laboratorium yang telah diakreditasi
tersebut, dimaksudkan untuk mendapatkan hasil uji yang obyektif dan transparan serta dapat dipertanggungjawabkan.Akreditasi yang dimaksudkan ini dapat
dilakukan baik melalui lembaga akreditasi nasional maupun Internasional.
90
Penjelasan umum peraturan pemerintah tersebut menentukan bahwa pengawasan perlindungan konsumen dilakukan secara bersama oleh Pemerintah,
masyarakat dan LPKSM, mengingat banyak ragam dan jenis barang danatau jasa yang beredar di pasar serta luasnya wilayah Indonesia.Demikian pula, pembinaan
pelaku usaha dan pengawasan terhadap barang danatau jasa yang beredar di pasar tidak semata-mata ditujukan untuk melindungi kepentingan konsumen tetapi
sekaligus bermanfaat bagi pelaku usaha dalam upaya meningkatkan daya saing barang danatau jasa di pasar global.Disamping itu, diharapkan pula tumbuhnya
90
Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2001 tentang Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen, Bab III, Pasal 11.
Universitas Sumatera Utara
hubungan usaha yang sehat antara pelaku usaha dengan konsumen, yang pada gilirannya dapat menciptakan iklim usaha yang kondusif.
91
Asas keseimbangan kepentingan dan terutama asas campur tangan negara terhadap kegiatan ekonomi, dalam sejarah hukum ekonomi, telah diperlihatkan
wujudnya oleh Pemerintah Perancis dan pemerintah di negara-negara Eropa lainnya, berkenaan dengan masuknya konsep negara kesejahteraan walfare state,
yang mewajibkan negara secara aktif menyelenggarakan kepentingan umum sehingga paradigma liberal yang menyerahkan kepada individu-individu sendiri
untuk mengurus kebutuhan-kebutuhan dan kepentingannya, diubah melalui berbagai peraturan di bidang Hukum Administrasi Negara. Tidak terkecuali
Indonesia, sebagaimana dapat dilihat dalam Pembukaan UUD 1945 dan ketentuan Pasal 33 UUD 1945.
Pasal-pasal yang mengatur tentang tugas pembinaan dan pengawasan dari pemerintah memperjelas kedudukan bidang Hukum Perlindungan Konsumen
sebagai salah satu bidang hukum yang berada dalam kajian Hukum Ekonomi. Sebagai bidang hukum ekonomi selain melibatkan berbagai disiplin ilmu, ciri
utama lainnya berupa keterlibatan pemerintah dalam pengaturan ekonomi rakyat seperti hubungan antara pelaku usaha dengan konsumen, berdasarkan asas
keseimbangan kepentingan, asas pengawasan publik, dan asas campur tangan negara terhadap kegiatan ekonomi, yang ketiganya bersumber dari aspek hukum
publik.
92
91
Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Op.Cit., hlm. 189.
92
Ibid, hlm. 190.
Universitas Sumatera Utara
Sebelum masuknya konsep walfare state, asas kebebasan berkontrak muncul berkenaan dengan lahirnya paham ekonomi klasik yang dipelopori Adam
Smith, mengagungkan laissez faire persaingan bebas.Antara paham ekonomi klasik dan persaingan bebas saling mendukung dan berakar pada paham hukum
alam. Kedua paham tersebut melihat individu mengetahui kepentingan mereka yang paling baik dan cara mencapainya, disebabkan karena manusia sebagai
individu mempergunakan akalnya. Menurut hukum alam individu-individu diberi kebebasan untuk menetapkan langkahnya, dengan sekuat akal dan tenaganya,
untuk mencapai kesejahteraan yang optimal. Berhasilnya individu mencapai kesejahteraan maka masyarakat yang merupakan kumpulan dari individu-individu
tersebut akan menjadi sejahtera pula. Oleh karena itu untuk mencapai kesejahteraan individu harus mempunyai kebebasan bersaing dan negara tidak
boleh ikut campur tangan.Seiring dengan laissez faire tersebut, freedom of contract merupakan pula prinsip umum dalam mendukung berlangsungnya
persaingan bebas tersebut.
93
Berkenaan dengan paham ekonomi klasik yang mengagungkan laissez faire tersebut, para pengusaha bebas mencantumkan berbagai kalusula yang
memperkecil risiko dan tanggungjawabnya dari segala kerugiankerusakan yang mungkin ditimbulkannya, dan membebankannya pada pihak yang lebih
lemah.Pemaknaan asas kebebasan berkontrak yang mendukung laissez faire tersebut, justru mendapat dukungan atau pembenaran dari pihak pengadilan yang
menganggap tetap sah, walaupun kontrak-kontrak semacam itu jelas-jelas
93
Sutan Remi Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan yang Seimbang Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia Jakarta : Institut Banking Indonesia,
1993, hlm. 8.
Universitas Sumatera Utara
dirasakan tidak adil bagi mereka yang secara ekonomis dalam posisi yang lebih lemah.Ketidakadilan seperti ini dalam sejarah awalnya, terutama dalam kontrak-
kontrak perburuhan.
94
Satjipto Rahardjo mengatakan, sistem hukum yang nota bene liberal tidak dirancang untuk memikirkan, dan memberikan keadilan yang luas kepada
masyarakat.Di sini ingin dikatakan, bahwa “sistem hukum tidak diadakan untuk memberikan keadilan kepada masyarakat, melainkan untuk melindungi
kemerdekaan individual”.
95
Paradigma liberal yang sepenuhnya menyerahkan urusan ekonomi pada individu-individu untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan dan kepentingannya,
nyata hanya membawa malapetaka bagi kehidupan masyarakat. Kondisi tersebut harus mengalami perubahan besar saat terjadinya malaise,
96
Sekitar tahun 1930 asas kebebasan berkontrak menyeret masyarakat Eropa dan seluruh dunia ke dalam jurang pengangguran dan kelaparan, menjadikan
Pemerintah Perancis dan lain-lain negara Eropa merasa perlu untuk ikut campur tangan dalam kegiatan kontrak yang dilakukan individu dalam masyarakat.
atau depresi yang melanda seluruh dunia, yang ditandai oleh munculnya ajaran hukum fungsional
yang melahirkan “negara kesejahteraan” atau yang lebih dikenal dengan istilah “welfare state”.
94
Sunaryati Hartono, C.F.G. Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional Bandung : Alumni, 1991, hlm. 119-120.
95
Satjipto Rahardjo, dikutip dari; Achmad Ali, Dari Formal-Legalistik ke Delegalisasi dalam “Wajah Hukum Era Reformasi”—Kumpulan Karya Ilmiah Menyambut 70 Tahun Prof. Dr.
Satjipto Rahardjo, Bandung : Citra Aditya Bakti, 2000.
96
Kamus Besar Bahasa Indonesia, menjelaskan “malaise” adalah keadaaan lesu dan serba sulit terutama di bidang perekonomian; waktu—melanda dunia 1930, daerah jajahan Belanda
pun tidak luput dari kesulitan ekonomi.
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan hal ini, pranata hukum kontrak yang sebelumnya selalu dianggap sebagai pranata hukum perdata yang bersumber pada asas kebebasan para pihak,
setelah Perang Dunia II dan terutama menjelang akhir abad ke-20 sudah banyak diubah oleh peraturan-peraturan Hukum Administrasi Negara sehingga Hukum
Kontrak di bidang bisnis kini tidak lagi dapat dikatakan tunduk sepenuhnya pada asas kebebasan berkontrak dalam Hukum Perdata, tetapi sudah banyak dimasuki
dan diterobos oleh unsur-unsur kepentingan umum dan Hukum Administrasi Negara. Itulah sebabnya Hukum Kontrak di bidang Bisnis kini lebih tepat
dikatakan merupakan bagian dari Hukum Ekonomi Droit de I’Ekonomie daripada Hukum Perdata “murni”.
97
Dalam sejarah mengatasi kesenjangan sosial tersebut Pemerintah Perancis mulai membatasi asas kebebasan berkontrak demi kepentingan umum atau demi
pemerataan.
98
Usaha tersebut dapat kita lihat melalui peraturan pengendalian harga, pemerataan upah buruh minimum, distribusi bahan pangan dan sandang,
pembebasan atau keringanan pajak bagi golongan masyarakat yang sangat miskin atau yang pendapatannya dianggap tidak mencukupi keperluan dasar sehari-hari,
dan keharusan memperoleh izin pemerintah untuk membuka suatu perusahaan baru atau mengimpormengekspor barang, dan masih banyak lagi.
99
Perjalanan sejarah sebagaimana diuraikan, menurut Adji Samekto bahwa setidaknya ada 2 dua momen penting dalam peradaban manusia berkaitan
dengan hukum yaitu; munculnya negara modern the emerge of state pada abad
97
Sunaryati Hartono, C.F.G., loc. cit.
98
Dalam UUPK, kepentingan umum pemerataan yang dimaksud diwujudkan dalam bentuk melahirkan asas keseimbangan.
99
Sunaryati Hartono, C.F.G., loc. cit.
Universitas Sumatera Utara
ke-18, dan kecenderungan mewujudkan civil society di berbagai negara yang muncul di penghujung abad ke-20. Kedua faktor tersebut sangat mempengaruhi
restrukturisasi hukum.Hal yang menarik dicatat, bahwa dari kedua momen itu, sistem produksi ekonomi yang telah memasuki individu, pelan-pelan telah
mengubah cara-cara masyarakat menjalankan kehidupan baik dalam lingkup global maupun lingkup nasional.Demikian pula industrialisasi dan kapitalisme
telah mengubah sistem sosial politik berbagai negara.Dalam pada itu, munculnya negara modern dan hukum modern merupakan respon terhadap sistem produksi
ekonomi, karena sistem yang lama—sebagaimana terjadi dengan paham ekonomi klasik yang mengagungkan laissez faire sudah tidak bisa lagi melayani
perkembangan-perkembangan yang sangat aspiratif.Hal yang tidak dapat disangkal, konsep negara modern yang kemudian melahirkan hukum modern,
merupakan konstruksi yang sangat dipengaruhi oleh perkembangan masyarakat dan pemikiran dari masyarakat di Eropa.
100
Terdapat beberapa peraturan yang mengatur mengenai pengawasan terhadap produk Standar Nasional Indonesia.Pengawasan ini termasuk ke dalam
kategori pengawasan di bidang standardisasi.
101
100
Adji Samekto, F.X..Kapitalisme dan Pengaruhnya terhadap Sistem Hukum Modern, dalam “Wajah Hukum di Era Reformasi” Kumpulan Karya Ilmiah Menyambut 70 Tahun Prof. Dr.
Satjipto Rahardjo, Bandung : Citra Aditya Bakti, 2000, hlm. 235.
101
Republik Indonesia, Peraturan Kepala Badan Standardisasi Nasional Nomor 135PERBSN122010 tentang Sistem Standardisasi Nasional, dalam Lampiran I, hlm. 46.
Pengawasan terhadap standardisasi meliputi ketaat-asasan dalam pengembangan dan penerapan SNI
yang dilakukan oleh Badan Standardisasi Nasional BSN berkoordinasi dengan instansi teknis terkait.
Universitas Sumatera Utara
Pengawasan terhadap pelaksanaan pengembangan SNI yang dilakukan oleh panitia teknis terkait dilakukan oleh Badan Standardisasi Nasional BSN
berkoordinasi dengan instansi teknis terkait. Pengawasan penerapan SNI mencakup pengawasan terhadap penerapan
SNI secara wajib, sukarela dan pengawasan terhadap pelaku usaha. Pengawasan penerapan SNI secara wajib dilakukan secara berkala
danatau sewaktu-waktu berupa pengawasan pra-pasar pre-market dan pasar post-market.
Pengawasan pra-pasar dilakukan oleh Lembaga Penilaian Kesesuaian yang menerbitkan sertifikasi produk untuk memastikan bahwa barang danatau jasa
serta proses, sesuai dengan persyaratan SNI sebelum didistribusikan ke pasar. Pengawasan pasar terhadap barang dan jasa yang bertanda SNI di seluruh
wilayah Republik Indonesia harus dilaksanakan secara konsisten dan berkesinambungan.Pelaksanaan pengawasan pasar merupakan hak dan tanggung
jawab instansi teknis danatau PEMDA sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku. Tata cara pelaksanaan pengawasan penerapan SNI secara wajib
diatur dalam PSN. Pengawasan pasar terhadap penerapan SNI secara sukarela voluntary
dilakukan oleh BSN bersama dengan pihak lain terkait. BSN memberikan fasilitas penanganan pengaduan terkait dengan penerapan SNI. Tata cara pengawasan
penerapan SNI secara sukarela diatur dalam PSN. Dalam hal penerapan SNI diwajibkan melalui regulasi teknis, pengawasan
pasar menjadi bagian dari tanggung jawab instansi teknis yang menetapkan
Universitas Sumatera Utara
regulasi dan pelaksanaannya dapat dilakukan oleh instansi teknis lainnya dan atau pemerintah daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Tata cara pengawasan penerapan SNI yang diwajibkan melalui regulasi teknis diatur dalam PSN.
Masyarakat dan lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat melakukan pengawasan terhadap barang yang beredar di pasar.Pelaku usaha yang
tidak memenuhi ketentuan terkait penerapan SNI dapat dikenakan sanksi sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.
Mengenai pengawasan lembaga sertifikasi produk terhadap produk Standar Nasional Indonesia tertuang dalam Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia Nomor 102 Tahun 2000, yang berbunyi:
102
1 Pengawasan terhadap pelaku usaha, barang dan atau jasa yang telah
memperoleh sertifikat dan atau dibubuhi tanda SNI yang diberlakukan secara wajib, dilakukan oleh Pimpinan instansi teknis sesuai
kewenangannya dan atau Pemerintah Daerah. Pasal 23
2 Pengawasan terhadap unjuk kerja pelaku usaha yang telah memperoleh
sertifikat produk dan atau tanda SNI dilakukan oleh lembaga sertifikasi produk yang menerbitkan sertifikat yang dimaksud.
3 Masyarakat dan lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat
melakukan pengawasan terhadap barang yang beredar di pasaran.
Pengaturan mengenai pengawasan Standar Nasional Indonesia SNI juga diatur dalam Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik
Indonesia, yang berbunyi:
103
102
Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah Nomor 102 Tahun 2000 tentang Standardisasi Nasional, Bab VII, Pasal 23.
103
Republik Indonesia, Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 753MPPKep112002 tentang Standardisasi dan Pengawasan Standar Nasional Indonesia, Pasal
14-Pasal 20.
Universitas Sumatera Utara
Pasal 14 Kegiatan pengawasan barang yang SNI-nya telah diberlakukan secara wajib
masing-masing meliputi pengawasan barang di pabrik, pengawasan barang impor dan pengawasan barang yang beredar di pasar.
Pasal 15 1
Pengawasan barang di pabrik, baik di dalam negeri maupun di luar negeri dilakukan melalui penilaian sistem manajemen mutu dan
pengujian baranginspeksi oleh Lembaga Sertifikasi Produk yang menerbitkan Sertifikat Produk Penggunaan Tanda SNI.
2 Hasil pengawasan barang di pabrik sebagaimana dimaksud dalam ayat
1, wajib dilaporkan kepada Sekretaris Jenderal Departemen Perindustrian dan Perdagangan cq Kepala Pusat Standardisasi dan
Akreditasi dan Direktorat Jenderal pembina teknis di lingkungan Departemen Perindustrian dan Perdagangan yang terkait.
3 Lembaga Sertifikasi Produk sebagaimana dimaksud dalam ayat 1
harus berdomisili di Indonesia atau di negara lain yang sudah memiliki perjanjian saling pengakuan MRA dengan Indonesia.
Pasal 16 1
Barang impor yang akan memasuki daerah pabean Indonesia dan sudah memiliki Sertifikasi Produk Penggunaan Tanda SNI yang
diterbitkan oleh Lembaga Sertifikasi Produk atau Sertifikat Kesesuaian Mutu yang diterbitkan oleh Lembaga Inspeksi, wajib
didaftarkan terlebih dahulu oleh importir kepada Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Departemen Perindustrian dan Perdagangan
cq Direktur Pengawasan dan Pengendalian Mutu Barang untuk mendapatkan Surat Pendaftaran Barang SPB
2 Pendaftaran barang sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 dilakukan
sebagai berikut: a.
Importir mengajukan permohonan pendaftaran barang kepada Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Departemen
Peindustrian dan Perdagangan cq Direktur Pengawasan dan Pengendalian Mutu Barang dengan menggunakan formulir
sebagaimana dimaksud dalam Lampiran I Keputusan ini;
b. Atas permohonan tersebut pada huruf a, Direktorat Jenderal
Perdagangan Luar Negeri cq Direktorat Pengawasan dan Pengendalian Mutu Barang menerbitkan Tanda Terima
sebagaimana dimaksud dalam Lampiran 2 Keputusan ini;
c. Direktorat Pengawasan dan Pengendalian Mutu Barang
melakukan penilaian terhadap permohonan dimaksud pada huruf a dan menerbitkan Surat Pendaftaran Barang SPB atau Surat
Penolakan dengan menggunakan formulir sebagaimana dimaksud dalam Lampiran 3 atau Lampiran 4 Keputusan ini paling lambat
dalam waktu 10 sepuluh hari kerja terhitung sejak tanggal penerimaan surat permohonan pendaftaran barang.
3 Importir yang tidak mendapatkan Surat Pendaftaran Barang, dilarang
memasukkan barangnya ke Daerah Pabean Indonesia.
Universitas Sumatera Utara
Pasal 17 1
Pengawasan barang impor yang SNI nya telah diberlakukan secara wajib dan sudah berada di pelabuhan tujuanbongkar di wilayah
Indonesia namun tidak dilengkapi Surat Pendaftaran Barang, maka importir harus terlebih dahulu mendapatkan Sertifikat Kesesuaian
Mutu atau Laporan Inspeksi dalam bentuk Formulir seperti pada Lampiran 5 Keputusan ini, yang diterbitkan oleh Laboratorium
Penguji atau Lembaga Inspeksi.
2 Sertifikasi Kesesuaian Mutu atau Laporan Inspeksi sebagaimana
dimaksud dalam ayat 1 disampaikan oleh Laboratorium Penguji atau Lembaga Inspeksi kepada Pelaku Usaha selambat-lambatnya 1 satu
hari terhitung sejak diterbitkan SertifikatLaporan tersebut kepada:
a. Direktorat Jenderal Perdagangan Luar Negeri cq Direktorat
Pengawasan dan Pengendalian Mutu Barang. b.
Direktorat Bea dan Cukai cq Kantor Pelayanan Bea dan Cukai setempat
c. Direktorat Jenderal Perdagangan Dalam Negeri cq Direktorat
Bina Pengawasan Barang Beredar dan Jasa dan Direktorat Perlindungan Konsumen.
d. Pemerintah Daerah Provinsi, Kabupaten dan Kota cq Dinas yang
berwenang di bidang perindustrian. 3
Apabila Importir tidak berhasil mendapatkan Sertifikat Kesesuaian Mutu atau Laporan Inspeksi, maka Importir tersebut wajib
mengekspor atau memusnahkan barang yang akan diimpor.
Pasal 18 Surat Pendaftaran Barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat 1,
disampaikan tembusannya kepada: a.
Direktorat Jenderal Bea dan Cukai cq Kantor Pelayanan Bea dan Cukai setempat;
b. Direktorat Jenderal Perdagangan Luar Negeri;
c. Direktorat Jenderal Perdagangan Dalam Negeri cq Direktorat
Pengawasan Barang Beredar dan Jasa dan Direktorat Perlindungan Konsumen;
d. Pemerintah Daerah Provinsi, Kabupaten dan Kota cq Dinas yang
berwenang di bidang perindustrian. Pasal 19
1 Bagi importir yang telah mendapatkan Surat Pendaftaran Barang
sebagaimana dimaksud dalam pasal 16 ayat 1 wajib mencantumkan Nomor Pendaftaran Barang dan atau membubuhkan pada label barang
serta melampirkan copy Surat Pendaftaran Barang pada setiap kali pengapalan.
2 Bagi importir yang telah mendapatkan Sertifikat Kesesuaian Mutu
atau Laporan Inspeksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat 1 wajib mencantumkan tanda SNI, Nomor Sertifikat Kesesuaian Mutu
atau Nomor Laporan Inspeksi dan nama importirnya pada label barang sebelum diedarkan.
Universitas Sumatera Utara
Pasal 20 1
Pengawasan barang dan atau jasa yang berdar di pasar yang SNI nya telah diberlakukan secara wajib dilakukan secara berkala dan secara
khusus.
2 Ketentuan dan tata cara pengawasan sebagaimana dimaksud dalam
ayat 1 diatur dalam keputusan Menteri tentang Ketentuan dan tata cara pengawasan barang dan atau jasa yang beredar di pasar.
C. Dampak Pemberlakuan Sertifikat Produk Penggunaan Tanda Standar