PERBEDAAN PENGARUH METODE LATIHAN PLYOMETRICS DAN POWER OTOT TUNGKAI TERHADAP PRESTASI LOMPAT JAUH

(1)

PERBEDAAN PENGARUH METODE LATIHAN

PLYOMETRICS DAN POWER OTOT TUNGKAI TERHADAP PRESTASI LOMPAT JAUH

Studi Eksperimen Metode Latihan Plyometrics Knee Tuck Jumps dan Metode Latihan Squat Jumps Terhadap Siswa SMP Negeri 4 Wates Kulon Progo

TESIS

Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai Derajat Magister Program Studi Ilmu Keolahragaan

Oleh

TUTI NUR RAHAYU

A.120907016

PROGRAM PASCA SARJANA

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA

2008


(2)

ii

Studi Eksperimen Metode Latihan Plyometrics Knee Tuck Jumps dan Metode Latihan Squat Jumps Terhadap Siswa SMP Negeri 4 Wates Kulon Progo

Disusun Oleh TUTI NUR RAHAYU

A.120907016

Telah disetujui oleh Tim Pembimbing

Pada Tanggal: Desember 2008

Pembimbing I

Prof. Dr. Sudjarwo, M.Pd NIP.130205394

Pembimbing II

Prof. Dr. Siswandari, M.Stat NIP.131479662 Mengetahui,

Ketua Program Studi Ilmu Keolahragaan

Prof. Dr. Sudjarwo, M.Pd NIP.130205394


(3)

iii

PERBEDAAN PENGARUH METODE LATIHAN PLYOMETRICS DAN POWER OTOT TUNGKAI TERHADAP PRESTASI LOMPAT

JAUH

Disusun Oleh TUTI NUR RAHAYU

A.120907016

Telah disetujui dan disahkan oleh Tim Penguji

Jabatan Nama Tanda Tangan Tanggal

Ketua : Prof. Dr. HM. Furqon H, M.Pd ……… …………

Sekretaris : Dr. dr. Muchsin Doewes, MARS ……… …………

Anggota Penguji

: 1. Prof. Dr. Sudjarwo, M.Pd

2. Prof. Dr. Siswandari, M.Stat

………

………

…………

…………

Mengetahui

Surakarta,

Desember 2008

Ketua Program Studi Ilmu Keolahragaan

Prof. Dr. Sudjarwo, M.Pd NIP.130205394

………

Direktur Program Pasca Sarjana

Prof. Dr. Suranto M.Sc Ph.D NIP.131472192


(4)

iv Yang bertanda tangan di bawah ini. saya :

Nama : TUTI NUR RAHAYU

NIM : A.120907016

Menyatakan dengan sesungguhnya, bahwa tesis yang berjudul "PERBEDAAN PENGARUH METODE LATIHAN PLYOMETRICS DAN POWER OTOT TUNGKAI TERHADAP PRESTASI LOMPAT JAUH" adalah betul-betul karya saya sendiri. Hal-hal yang bukan karya saya dalam tesis tersebut diberi

tanda citasi dan ditunjukkan dalam daftar pustaka.

Apabila dikemudian hari terbukti pernyataan saya tidak benar, maka saya bersedia

mcnerima sanksi akademik berupa pencabutan tesis dan gelar yang saya peroleh

dari tesis tersebut.

Surakarta, Desember 2008

Yang Membuat Pernyataan,


(5)

v

KATA PENGANTAR

Puji syukur Alharadulillah dipanjatkan kehadirat Allah Yang Maha Kuasa,

atas segala Nikmat, Karunia, Hidayah, dan Barokhah-Nya, sehingga penulisan

tesis dengan judul "Perbedaan Pengaruh Metode Latihan Plyometrics dan Power Otot Tungkai terhadap Prestasi Lompat Jauh” dapat diselesaikan.

Tesis ini dapat diselesaikan berkat bimbingan, petunjuk dan nasihat dari

berbagai pihak, oleh karena itu pada kesempatan ini disampaikan ucapan terima

kasih dan penghargaan tak terhingga kepada :

1. Rektor Universitas Sebelas Maret yang telah membenkan kesempatan

untuk tnengikuti Program Pascasarjana di UNS Surakarta.

2. Direktur Progam Pascasarjana UNS yang telah memberikan bebagai

bekal, fasilitas studi dan motivasi.

3. Ketua Program Stndi Ilmu Keolahragaan Program Pascasarjana UNS

atas dukuncan dan arahan guna kelancaran studi.

4. Prof. Dr. Sujarwo, M.Pd dan Prof. Dr. Siswandari, M.Stat selaku

pembimbing tesis yang dengan penuh ketelitian dan kesabaran

memberikan motivasi dan bimbingan.

5. Semua dosen staf pengajar Program Studi Ilmu Keolahragaan

Program Pascasarjana UNS yang telah memberikan transfer ilmu.

6. Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Kulon Progo yang telah memberi


(6)

vi

yang telah mengizinkan dan membantu kelancaran pelaksanaan penelitian.

9. Seluruh keluarga, Bapak/ Ibu. Kakak, Adik, Ananda dan terutama Suami

tercinta dan tersayang yang dengan penuh kesabaran, ketekunan dan

segala pengorbanan baik secara moril maupun materiil dalam

mendukung, menghiburdan memotivasi demi kelancaran studi.

10. Rekan-rekan sesama angkatan 2007 Program Studi Ilmu Keolahragaan

Program Pascasarjana UNS, yang sama-sama merasakan perjuangan

dalam menimba ilmu.

11. Semua pihak yang tak mungkin dapat disebutkan satu per satu yang

tclah membantu meringankan dan melancarkan penelitian ini.

Semoga Allah SWT, membalas semua amal dan kebaikan yang telah

diberikan dengan tulus dan ikhlas. Kritik dan saran yang bcrsifat membantu demi

kesempurnaan tesis ini diterima dengan senang hati dan terbuka. Semoga Allah

selalu melindungi dan meridhoi langkah kita semua. Amiiin.


(7)

vii DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING... ii

HALAMAN PENGESAHAN TESIS... iii

HALAMAN PERNYATAAN ... iv

KATA PENGANTAR ... v

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL ... x

DAFTAR GAMBAR ... xi

DAFTAR LAMPIRAN... xii

ABSTRAK ... xiii

ABSTRACT ... xiv

BAB I. PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi Masalah ... 8

C. Pembatasan Masalah ... 10

D. Rumusan Masalah ... 10

E. Tujuan Penelitian ... 11


(8)

viii

a. Latihan Fisik ... 12

b. Tujuan Latihan Fisik ... 13

c. Prinsip-Prinsip Latihan ... 15

d. Pengaruh Latihan ... 20

e. Mekanisme Kontraksi Otot ... 23

f. Sistem Energi ... 30

2. Latihan Plyometrics ... 39

a. Definisi ... 39

b. Prinsip-Prinsip Latihan Plyometrics... 41

c. Bentuk-Bentuk Latihan Plyometrics... 46

3. PowerOtot Tungkai ... 55

4. Prestasi Lompat Jauh ... 63

5. Hubungan antara Latihan Plyometrics, Power Otot dan Lompat Jauh ... 78

B. Penelitian Yang Relevan ... 79

C. Kerangka Pemikiran ... 80

D. Perumusan Hipotesis ... 84

BAB III. METODE PENELITIAN ... 85

A. Tempat dan Waktu Penelitian ... 85

B. Metode Penelitian ... 85

C. Variabel Penelitian ... 86


(9)

ix

E. Populasi dan Sampel ... 88

F. Teknik Pengumpulan Data ... 88

G. Teknik Analisis Data... 89

BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN…………... 92

A. Deskripsi Data ………. 92

B. Uji Reliabilitas ………. 96

C. Pengujian Persyaratan Analisis ……… 97

D. Pengujian Hipotesis ………. 98

E. Pembahasan Hasil Penelitian ………... 103

BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN ……… 106 A. Kesimpulan ……….. 106

B. Implikasi ……….. 106

C. Saran ……… 107

DAFTAR PUSTAKA


(10)

x

Tabel 2. Ilustrasi Latihan Knee Tuck Jumps dan Squat Jumps. 84

Tabel 3. Rancangan Penelitian Eksperimen 86

Tabel 4. Ringkasan Anava untuk Menghitung Eksperimen Faktorial 2 x 2

91

Tabel 5. Deskripsi Data Hasil Tes Prestasi Lompat Jauh Berdasarkan Pengunaan Metode Latihan dan Tingkat Power Otot

92

Tabel 6. Deskripsi Data Skor Peningkatan Prestasi Lompat Jauh Berdasarkan Pengunaan Metode Latihan

93

Tabel 7. Deskripsi Data Skor Peningkatan Prestasi Lompat Jauh Berdasarkan Kategori Ototnya

94

Tabel 8. Range Kategori Reliabilitas 96

Tabel 9. Ringkasan Hasil Uji Reliabilitas Data 97

Tabel 10. Rangkuman Hasil Uji Normalitas Data 97

Tabel 11. Rangkuman Hasil Uji Homogenitas Data 98

Tabel 12. Rangkuman Hasil Analisis Deskripsi Variabel 99

Tabel 13. Rangkuman Hasil Analisis Varians 1 Jalur tentang Prestasi Lompat Jauh berdasarkan Penggunaan Metode Latihan

99

Tabel 14. Rangkuman Hasil Analisis Varians 1 Jalur tentang Prestasi Lompat Jauh berdasarkan Kategori Kekuatan Otot (Power)

99

Tabel 15. Rangkuman Hasil Analisis Varians 2 Jalur tentang Prestasi Lompat Jauh berdasarkan Interaksi Metode Latihan dan Kategori Kekuatan Otot (Power)

100

Tabel 16. Rangkuman Hasil Analisis Kovarians tentang Prestasi Lompat Jauh

102


(11)

xi


(12)

xii

Gambar 3. Struktur ATP 31

Gambar 4. Hubungan Kedua Fosfat Berenergi Tinggi 31

Gambar 5. Glikolisis Anaerobik 34

Gambar 6. Proses Glikolisis Aerobik dalam Metochondria 94

Gambar 7. Proses Glikolisis Aerobik dan Glikolisis Anaerobik 36

Gambar 8. Siklus Kerb’s 37

Gambar 9. Sistem Transport Elektron 38

Gambar 10. Latihan Knee Tuck Jumps 53

Gambar 11. Latihan Squat Jumps 54

Gambar 12. Ilustrasi Keterkaitan diantara Biomotorik 56

Gambar 13. Konsep Variasi Latihan Berbeban 61

Gambar 14. Teknik Awalan (Approach) 67

Gambar 15. Fase Gerakan Menumpu 69

Gambar 16. Teknik Melayang Gaya Jongkok 70

Gambar 17. Teknik Melayang Gaya Menggantung 71

Gambar 18. Teknik Melayang Gaya Walking in The Air 71

Gambar 19. Teknik Pendaratan (Landing) 72

Gambar 20. Histogram Skor Peningkatan Prestasi Lompat Jauh pada Perla-kuan Metode Knee Tuck Jumps

94

Gambar 21. Histogram Skor Peningkatan Prestasi Lompat Jauh pada Perlakuan Metode Squat Jumps

95

Gambar 22. Histogram Skor Peningkatan Prestasi Lompat Jauh pada kategori Power (Kekuatan) Otot Tinggi

95

Gambar 23. Histogram Skor Peningkatan Prestasi Lompat Jauh pada kategori Power (Kekuatan) Otot Rendah


(13)

xiii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Program Latihan Plyometrics dengan Knee Tuck Jumps Lampiran 2. Program Latihan Plyometrics dengan Squat Jumps Lampiran 3. Program Latihan Tiap Pertemuan

Lampiran 4. Petunjuk Pelaksanaan Program Latihan Plyometrics Lampiran 5. Petunjuk Pelaksanaan Tes Power Otot Tungkai Lampiran 6. Data PowerOtot Tungkai

Lampiran 7. Klasifikasi Sample Berdasarkan Power Otot Tungkai Urut Berdasarkan Kategori Tinggi dan Rendah

Lampiran 8. Data Hasil Tes Awal Prestasi Lompat Jauh Lampiran 9. Data Hasil Tes Akhir Prestasi Lompat Jauh

Lampiran 10. Hasil Pengujian Reliabilitas Hasil Tes Awal dan Akhir Lampiran 11. Hasil Pengujian Hipotesis dengan Anava dan kelengkapannya Lampiran 12. Surat Izin Penelitian


(14)

xv

Program Studi Ilmu Keolahragaan Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta, Tesis.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui : (1) perbedaan pengaruh latihan plyometrics (knee-tuck jumps dan squat jumps) terhadap peningkatan prestasi lompat jauh, (2) perbedaan prestasi lompat jauh antara siswa putra yang memiliki power otot tinggi dan power otot rendah, (3) interaksi antara metode latihan plyometrics (knee-tuck jumps dan squat jumps) dengan tinggi rendahnya power otot tungkai terhadap prestasi lompat jauh.

Metode penelitian yang digunakan adalah eksperimen dengan rancangan faktoral 2 X 2 . Sampel penelitian sebanyak 40 orang siswa, dibagi menjadi 2 kelompok eksperimen yaitu kelompok eksperimen 1 sebanyak 20 orang dengan metode latihan knee tuck jumps dan kelompok eksperimen 2 sebanyak 20 orang dengan metode latihan squat jumps. Kelompok eksperimen 1 terdiri dari 10 0rang siswa yang memiliki power otot tungkai tinggi dan 10 orang siswa yang memiliki power otot rendah. Kelompok eksperimen 2 terdiri dari 10 orang siswa yang memiliki power otot tinggi dan 10 orang siswa yang memiliki power otot rendah. Setiap siswa melakukan tes awal lompat jauh, tes pertengahan lompat jauh, tes akhir lompat jauh. Latihan dilaksanakan 3 kali per minggu selama 2 bulan.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa : (1) Tidak ada perbedaan prestasi yang signifikan antara latihan knee tuck jumps dan latihan squat jumps (F-hitung = 0,547, p = 0,464), (2) Ada perbedaan prestasi lompat jauh yang signifikan antara power otot tinggi dengan power otot rendah (F-hitung = 14,811, p = 0,000). (3) Tidak ada interaksi antara metode latihan (knee tuck jumps dan squat jumps) dengan tinggi rendahnya power otot tungkai terhadap prestasi lompat jauh (F-hitung = 1,530 p = 0,224).

Kata-kata kunci : Latihan knee tuck jumps, squat jumps, power otot tungkai, prestasi lompat jauh.


(15)

xv ABSTRACT

Tuti Nur Rahayu. A.120907016. The Influence Difference of Plyometrics Trainning and Power Muscle on Long Jumps Prestations. The Study of Sport Science Program of the Postgraduate Program of Sebelas Maret University. Thesis.

The aims of research target are find out : (1) the difference of influence of practice plyometrics (knee tuck jumps and squat jumps) to make up of achievement long jumps. (2) the difference of a achievement of long jump of between make students awning high power muscle and low power muscle. (3) the interaction of between method of practice of plyometrics (knee tuck – jumps and squad jumps) highly lower the power of muscle to long jump achievement.

Research method used by experiment with the factorial design. Research sample is much 40 students people devided to become 2 experiment groups that is experiment group I as much 20 people with method of practice of knee tuck jumps and experiment group 2 as much squat jumps. Group experiment I consisted of by by 10 students people owning power of muscle of low. Every student conduct the test of early long jumps. Test of long jumps, pretest, jumps mid, final test long jumps. Practice executed by 3 times per week of during 2 mouths.

Result of this research indicate that : (1) there is not influence difference which significant of between practice of knee tuck jumps and practice of squat jumps to achievement long jumps; (2) there is difference of achievement of long jumps which significant of among high and lower the power muscle; (3) there is no interaction of between practice of knee tuck jumps and practice of squat jumps highly lower the power muscle of achievement long jump.


(16)

A. Latar Belakang Masalah

Pembinaan dan pengembangan atletik di Indonesia pada dasarnya merupakan bagian dalam pembangunan olahraga di Indonesia yang diarahkan pada usaha meningkatkan kualitas manusia Indonesia sehingga memiliki tingkat kesehatan dan kebugaran yang cukup yang harus dimulai sejak usia dini melalui pendidikan olahraga dan masyarakat. Serta tercapainya sasaran prestasi yang membanggakan di tingkat internasional.

Untuk mewujudkan keinginan pemerintah tersebut, telah dilakukan berbagai upaya serta pendekatan yang strategis oleh pemerintah, induk organisasi atletik di Indonesia dan masyarakat. Upaya pembinaan dan pengembangan atletik yang diselenggarakan melalui jalur sekolah, luar sekolah maupun melalui perkumpulan-perkumpulan/klub-klub yang ada, mengalami pasang surut dan tidak berjalan mulus seperti yang diharapkan. Tidak lancarnya pembinaan dan pengembangan atletik di Indonesia antara lain disebabkan masih tendahnya partisipasi masyarakat, kurangnya minat generasi muda terhadap atletik. Para kaum muda umumnya lebih tertarik terhadap olahraga permainan seperti soft ball, basket, bulu tangkis, bola voli dan cabang-cabng olahraga lainnya yang dapat dinikmati dalam jangka waktu yang cukup lama, tidak membosankan, serta tidak menguras energi dan ada unsur hura-huranya. Di samping yang disebutkan di atas masih kurangnya frekuensi perlobaan atletik yang


(17)

2

diselenggarakan pemerintah dengan unsur-unsur terkait yang melaksanakan pembinan atletik di Indonesia.

Masalah lain yang tidak kalah pentingnya, bahkan ikut menghambat perkembangan pembinaan prestasi atletik di Indonesia adalah masih lemahnya sistem pembinaan serta keterbatasan pengetahuan dan kemampuan melatih dari pelatih, dan guru pendidikan jasmani yang terlibat langsung di lapangan. Melihat kondisi pembinaan dan perkembangan atletik di Indonesia seperti sekarang ini, maka dipandang perlu adanya penanganan serius yang didukung oleh pemerintah serta keterlibatan para pakar atletik baik yang berada di kalangan akademis perguruan tinggi, maupun yang ada dimasyarakat, guna mencari dan menemukan solusi serta alternatif pemecahannya.

Upaya melahirkan atlet atletik yang berprestasi tinggi tidaklah mudah, dan merupakan suatu yang rumit dan memerlukan waktu yang panjang, sekaligus melibatkan berbagai komponen/unsur yang secara simultan harus difungsikan secara bersamaan dengan tanpa mengenal lelah, dan dengan dukungan dana yang tidak sedikit. Latihan yang merupakan proses penyempurnaan dan pendewasaan atlet untuk mencapai prestasi yang optimal memerlukan keterlibatan semua pihak baik itu Pembina/pengurus, pelatih, serta unsur-unsur yang terkait lainnya seperti halnya sekolah-sekolah yang membina para siswa untuk mengembangkan minat dan bakatnya guna mencapai prestasi yang diinginkan.

Pembinaan olahraga melalui jalur sekolah-sekolah memang seharusnya diperjuangankan dan bahkan ditingkatkan kualitas pembinaannya, sebab melalui pembinaan olahraga di sekolah inilah diharapkan akan menghasilkan bibit-bibit


(18)

unggul yang mampu mengangkat harkat dan martabat Indonesia di mata dunia melalui olahraga. Sedang untuk mendapatkan calon olahragawan (bibit unggul) melalui sekolah dilakukan melalui pemanduan bakat.

Melalu sekolah penanaman kesadaran akan pentingnya olahraga bagi peserta didik/siswa sangat dimungkinkan untuk dikembangkan.

Penanaman dasar-dasar atletik melalui pembelajaran pendidikan jasmani secara benar merupakan modal dasar dalam upaya mengembangkan kemampuan/kebebasan bergerak bagi siswa yang pada akhirnya dengan mudah untuk diarahkan kepada pembinaan olahraga atletik. Pembinaan yang mengarah pada peningkatan kemampuan berprestasi yang optimal tidak dapat dicapai hanya dengan waktu yang singkat melainkan memerlukan waktu yang panjang 8-10 tahun, sehingga diperlukan sistem pembinaan yang terencana, dan berkesinambungan serta didukung dengan ilmu pengetahuan dan teknologi yang memadai.

Mengingat sekolah sebagai basis pembinaan, maka keterlibatan kepala sekolah, guru pendidikan jasmani, guru-guru mata pelajaran lainnya, serta pengawas sekolah sangat diperlukan toleransinya. Untuk itu perlu mendapatkan perhatian dan diketahui oleh semua pihak agar tidak terjadi sesuatu yang dapat merugikan siswa selaku objek pembinaan.

Atletik merupakan salah satu cabang olahraga yang mempunyai kekhusunan dan sangat komplek karena keterlibatan seluruh anggota tubuh dan banyak memberikan kemungkinan gerak bagi anggota tubuh, maka dirasa perlu untuk diberikan/diajarkan di kalangan pelajar yang dimulai dari SD, SMP, SLTA.


(19)

4

Pemberian ini hendaknya dilakukan dengan tidak mengabaikan pertumbuhan dan perkembangan tubuh.

Prestasi berbagai cabang olahraga yang dicapai oleh bangsa Indonesia diberbagai kejuaraan baik tingkat nasional, regional maupun internasional, sampai saat ini belum begitu menggembirakan, banyak faktor yang berpengaruh terhadap tercapainya prestasi yang optimal, diantaranya adalah metode latihan yang diterapkan dan kondisi fisik atlet yang bersangkutan.

Berdasarkan fungsinya metode latihan merupakan suatu cara yang bertujuan untuk meningkatkan kemampuan dan keterampilan seorang atlet. Dengan metode latihan yang baik dan bervariasi, seorang atlet diharapkan dapat mencapai prestasi yang optimal. Sedangkan kondisi fisik merupakan satu persyaratan yang sangat penting dan diperlukan dalam usaha peningkatan prestasi seorang atlet. Sajoto (1985: 8) mengemukakan bahwa “Kondisi fisik adalah suatu kesatuan yang utuh dari komponen-komponen yang tidak dapat dipisahkan begitu saja, baik peningkatan maupun pemeliharaannya”. Artinya bahwa di dalam ushaa peningkatan kondisi fisik maka seluruh komponen tesebut harus dikembangkan, meskipun pengembangannya dilakukan dengan skala prioritas sesuai dengan kebutuhan. Komponen kondisi fisik yang utama terdiri dari kecepatan, kekuatan dan daya tahan. Perpaduan antara kecepatan dan kekuatan menghasilkan kekuatan kecepatan (power), kekuatan dan daya tahan mengasilkan daya kekuatan sedangkan kecepatan dan daya tahan menghasilkan daya tahan kecepatan (stamina).

Power merupakan salah satu komponen kondisi fisik yang turut pula menentukan tercapainya prestasi yang optimal. Hampir semua cabang olahraga


(20)

memerlukan power khususnya power otot tungkai dalam aktivitasnya. Sebagai contoh untuk cabang atletik nomor lompat, lempar maupun lari, power memegang peranan utama keberhasilan dalam cabang tersebut. Cabang bola voli, bola basket, sepak bola dan sebagainya termasuk juga senam artistic, memerlukan power dalam setiap gerakannya.

Power otot tingkai mempunyai peranan penting yang menunjang keberhasilan dan tercapainya prestasi yang optimal. Ada beberapa metode atau jenis latihan yang dapat digunakan untuk meningkatkan dan mengembangkan power otot tungkai seorang atlet. Jenis latihan yang efektif dan dapat digunakan untuk meningkatkan power otot tungkai diantaranya adalah latihan berbeban (Wiley dan Smith: 1971; Wilmore: 1978) dan latihan melompat-lompat atau pliometrik (Chu: 1992; 1995); Bompa: 1993).

Latihan pliometrics merupakan latihan dengan memanfaatkan berat badan sendiri atau menggunakan beberapa alat untuk merangsang latihan. Peningkatan energi elastic yang tersimpan di dalam otot selama kontraksi eksentrik (masa persiapan), energi dilepaskan segera sebelum kontraksi konsentrik (masa pelepasan) dilakukan. Energi simpanan ini memudahkan gerakan meninggi atau melompat. Lebih lanjut latihan ini terkait dengan peningkatan power bagian bawah badan atlet.

Keterkaitan antara eksplosive power tungkai, dan jenis-jenis latihan plyometrics, menurut peneliti terdahulu dapat dipakai sebagai predictor terhadap peningkatan performance atau kemajuan latihan atlet, sedangkan vertical jump test merupakan ukuran baku yang menyertai smpulan keterkaitan itu (James CR. 1985: 58). Latihan pyiometrics yang teratur dengan pembebanan yang tepat merupakan


(21)

6

salah satu bentuk dan jenis latihan untuk meningkatkan power otot tungkai yang baik, hal ini didukung oleh hasil-hasil penelitian yang menunjukkan bahwa latihan plyometrics ternyta dapat memperbaiki kemunduran power anggota badan bagian bawah atlet lari gawang yang menjadi penyebab buruknya performance saat pertandingan maupun latihan rutin (James CR, 1985: 58; Sunarko, 1992: 20).

Sampai saat ini telah banyak penelitian ilmiah yang dilakukan khususnya yang terkait dengan program latihan plyometrics, dengan hasil yang masih bevariasi. Penelitian Sunarko, (1992: 21) atlet yang diberi latihan plyometrics dengan frekuensi 3 kali perminggu, selama 12 minggu menunjukkan adanya peningkatan kemampuan kaki yang terukur melalui kekuatan otot kaki, power kaki, dan kecpatan reaksi, namun demikian jika dilihat secara menyeluruh variasi antar atlet sangat tinggi. Lebih lanjut, diterangkan bahwa mungkin bentuk dan ukuran loncat-mendarat dalam prosedur latihan yang diterapkan ukuran akomodatif (Sunarko, 1992: 21). Di samping itu ada peneliti lain yang menyatakan bahwa berbagai program latihan fisik belum sepenuhnya memberikan sumbangan yang berarti dalam upaya peningkatan power bilamana faktor rest dalam (di sela-sela latihan) terabaikan, sehingga muncul kelelahan pada periode sesaat (acut) dalam latihan, bahkan pembebanan latihan fisik tertentu yang berat justru dapat menurunkan kualitas organ tubuh sepetti pembuluh darah akibat kemungkinan adanya pemaparan oksidan yang cukup tinggi.

Latihan plyometrics terdiri dari bermacam-macam bentuk pembebanan latihan. Ada beberapa bentuk gerakan dasar latihan plyometrics untuk kelompok otot panggul dan kaki, diantaranya: bounding (double leg baund, box jumps, alternate leg bound), Hopping (Hurdle Hopping, double leg speed hop, deadine hop) (Bompa,


(22)

1994: 74-141, Donald A Chu, 1992: 27-61). Bentuk latihan yang berbeda merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan kemampuan kondisi fisik melalui proses adaptasi fisiologi dan psikologis yang sistematis dan berkesinambungan, sebagai bentuk latihan yang bervariasi dan tetap pada koridor upaya untuk meningkatkan latihan.

Pada latihan plyometrics dengan bentuk loncat gawang pembebanan dilakukan tidak hanya pada repetisi namun juga terhadap ketinggian loncatan, dengan harapan adaptasi fisiologis yang dihasilkan akan semakin maksimal. Pembebanan yang dilakukan dengan memperhitungkan ketinggian gawang dan saat rest juga perlu dirancnag sedemikian rupa sehingga tubuh dapat merespon secara positip.

Latihan plyometrics dengan bentuk loncat boks lebih mengutamakan intensitas dari pada kualitas pembebanan. Rintangan yang diberikan dengan ketinggian yang sama dapat dipakai untuk mendarat, sehingga gerakan dilakukan dengan cepat dalam waktu tertentu dimaksudkan latihan ini untuk mengendalikan intensitas menjadi cukup tinggi. Intensitas latihan yang cukup tinggi akan memacu sistem kinerja faal tubuh secara maksimal. Kondisi yang demikian jika diterapkan pada atlet yang terlatih akan menghasilkan proses penyesuaian tubuh yang optimal. Sehingga secara fisiologis latihan ini tampak ringan, namun tetap dapat memberikan pengaruh yang lebih baik pada peningkatan kualitas power otot tungkai.

Power otot tungkai memegang peranan penting dalam prestasi lompat jauh gaya jongkok. Kemampuan power otot tungkai akan sangat mempengaruhi keberhasilan seseorang dalam meningkatkan prestasinya. Namun untuk menjaga keseimbangan dalam penyusunan latihan yang disebabkan perbedaan karakteristik


(23)

8

atlet yang akan dilatih terutama dalam kemampuan power otot tungkainya maka perlu dilakukan modifikasi. Oleh karena itu perlu dikembangkan suatu alternatif latihan yang murah, aman, menyenangkan, dan efektif sesuai dengan karakteristik atlet, demi memperbaiki performance dan prestasinya. Berdasar uraian di atas rancangan penelitian ini mengkaji lebih jauh mengenai pengaruh plyometrics, dan power otot tungkai terhadap prestasi lompat jauh pada siswa. Selanjutnya, dengan mengetahui karakter ototnya dipandang sebagai hal yang penting dalam upaya penyusunan program latihan fisik, sehingga dapat memberikan advis secara praktis tentang kemampuan lompat jauh siswa terhadap nilai normal olahragawan.

Dari pengamatan dan pengalaman penulis, metode-metode tersebut masih jarang digunakan oleh pelatih-pelatih nomor lompat khusunya lompat jauh. Dan bagi sebagian besar pelompat yang memiliki karakteristik power otot rendah maupun yang memiliki karakteristik power otot tinggi masih melakukan bentuk latihan plyometrics dengan teknik yang sama. Berdasarkan tinjauan di atas maka, perlu dikembangkan metode latihan plyometrics yang sesuai dan berguna bagi peningkatan prestasi lompat jauh.

B. Identifikasi Masalah

Penggunaan metode latihan yang tepat dan mengadakan evaluasi berdasarkan metodologi latihan merupkaan wujud keberhasilan dan kemajuan latihan-latihan cabang atletik. Pelatih yang mengacu pada pengalaman selama menjadi atlet dan tidak berbasis pada ilmu kepelatihan akan menghambat peningkatan latihan bahkan


(24)

merusak penampilan atlet. Kelemahan-kelemahan yang terjadi harus dicari alternatif pemecahannya sehingga peningkatan prestasi yang maksimal dapat tercapai.

Inovasi dalam bidang metode latihan yang mengkaji pada pengembangan teori dan metodologi latihan serta penemuan-penemuan baru hasil penelitian yang relevan dan selaras dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi adalah perlu mendapat perhatian, sehingga peningkatan hasil latihan dapat dicapai lebih cepat dan akurat.

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dikemukakan di atas, maka masalah-masalah yang timbul dapat diidentifikasi sebagai berikut:

1. Latihan plyometrics dapat meningkatkan prestasi lompat jauh

2. Power otot tungkai merupakan salah satu faktor kondisi fisik yang berpengaruh terhadap prestasi lompat jauh.

3. Cara-cara melatih prestasi lompat jauh

4. Knee Tuck Jump merupakan salah satu media yang dapat meningkatkan prestasi lompat jauh.

5. Dept Jump juga merupakan salah satu media yang dapat meningkatkan prestasi lompat jauh.

6. Seseorang dengan kemampuan power otot tinggi dan power otot rendah memberikan pengaruh yang berbeda terhadap prestasi lompat jauh.

7. Pemberian bentuk latihan plyometricsyg berbeda pada kondisi power otot tungkai dapat mempengaruhi prestasi lompat jauh.


(25)

10

C. Pembatasan Masalah

Guna membatasi ruang lingkup penelitian agar tidak menimbulkan penafsiran yang berbeda, maka perlu ada batasan-batasan pada permasalahan yang akan diteliti. Dalam penelitian ini tidak akan dikaji keseluruhan faktor-faktor yang mempengaruhi prestasi lompat jauh, namun hanya akan meneliti pada permasalahan sebagai berikut:

1. Perbedaan pengaruh antara latihan plyometrics Knee Tuck Jump dan latihan plyometrics squat jump terhadap prestasi lompat jauh.

2. Perbedaan prestasi lompat jauh antara siswa yang memiliki power otot tinggi dan power otot rendah.

3. Interaksi antara latihan plyometrics dan power otot tungkai terhadap prestasi lompat jauh.

D. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian di atas maka rumusan masalah dalam penelitian ini dapat diuraikan sebagai berikut:

1. Adakah perbedaan oengaruh antara latihan plyometrics knee tuck jump dan latihan plyometrics squat jump terhadap prestasi lompat jauh?

2. Adakah perbedaan prestasi lompat jauh antara siswa yang memiliki power otot tinggi dan power otot rendah?

3. Adakah interaksi antara latihan plyometrics dan power otot tungkai terhadap prestasi lompat jauh?


(26)

E. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan pengaruh antara latihan plyometrics knee tuck jump pada power otot tinggi dan rendah terhadap prestasi lompat jauh siswa SMP 4 Wates Kulon Progo.

F. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan bagi perkembangan ilmu pengetahuan khususnya teori dan metodologi latihan serta menambaah pemahaman mengenai peran latihan fisik yang terkait dengan prestasi lompat jauh. Pelatih dapat menggunakan metode latihan plyometrics yang tepat dan power otot tungkai terhadap peningkatan prestasi lompat jauh.

Metode latihan yang digunakan secara tepat dan efisien akan dapat memberikan sumbangan yang berarti bagi perkembangan ilmu keolahragaan di Indonesia. Di samping memberikan kajian mendasar tentang pentingnya metode latihan plyometrics dan power otot tungkai terhadap prestasi nomor lompat secara umum.

Penelitian ini dapat dipakai sebagai pedoman untuk membuat program latihan plyometrics yang bertujuan untuk meningkatkan exsplosive power dalam usaha meningkatkan prestasi cabang olahraga atletik, khususnya nomor lompat jauh.


(27)

12 BAB II

KAJIAN TEORI DAN HIPOTESIS

A. Kajian Teori 1. Latihan Fisik

a. Latihan Fisik

Definisi latihan menurut Bompa (1990: 3) adalah latihan merupakan

kegiatan yang sistematis dalam waktu yang lama ditingkatkan secara progresif

dan individual yang mengarah kepada ciri-ciri fungsi fisiologis dan psikologis

manusia untuk mencapai sasaran yang telah ditentukan. Melalui latihan

kemampuan seseorang dapat meningkatkan sebagian besar sistem fisiologi

dapat menyesuaikan diri pada tuntutan fungsi yang melebihi dari apa yang

biasa dijumpai dari biasanya (Pate, Rotella dan Clenaghan. 1993: 318).

Peningkatan kemampuan tubuh tersebut terjadi sebagai wujud dari adaptasi

tubuh terhadap beban yang diberikan.

Latihan fisik merupakan suatu proses kegiatan yang dilakukan

berulang-ulang dan dengan tujuan untuk meningkatkan respon fisiologi

terhadap intensitas, durasi dan frekwensi latihan, keadaan lingkungan dan

status fisiologis individu (Lamb, 1984: 2).

Dari hal-hal tersebut di atas, maka dapat diuraikan bahwa latihan

olahraga adalah suatu aktivitas olahraga yang dilakukan dengan

berulang-ulang secara kontinyu dengan peningkatan beban secara periodik dan


(28)

serta metodik tertentu yang mengarah pada fungsi fisiologis dan psikologis

untuk mencapai tujuna yaitu meningkatkan prestasi olahraga.

Latihan fisik merupakan salah satu unsur dari latihan olahraga secara

menyeluruh dalam latihan fisik penekanannya adalah terhadap peningkatan

fisik yaitu peningkatan kemampuan untuk melakukan kerja.

b. Tujuan Latihan Fisik

Tujuan latihan fisik menurut Bompa (1990: 3-5) disampaikan bahwa

dalam rangka mencapai tujuan utama latihan yaitu puncak penampilan

prestasi yang lebih, perlu kiranya memperhatikan tujuan-tujuan latihan

sebagai berikut:

1) Mencapai dan memperluas perkembangan fisik secara menyeluruh

Tujuan ini merupakan dasar-dasar latihan yang sangat penting

karena menyangkut peningkatan daya tahan umum, kekuatan dan

kecepatan, memperbaiki fleksibilitas untuk pelaksanaan gerak, memiliki

tingkat koordinasi yang tinggi dan akhirnya mencapai perkembangan

tubuh secara harmonis.

2) Menjamin dan memperbaiki perkembangan fisik khusus sebagai suatu

kebutuhan yang telah ditentukan di dalam praktek olahraga.

Pengembangan yang perlu ditekankan adalah pengembangan

kekuatan absolut dan relatif, masa otot dan elastisitasnya, pengembangan

kekuatan daya tahan otot, memperbaiki waktu reaksi dari pengembangan


(29)

14

3) Menanamkan kualitas kemauan melalui latihan yang mencukupi serta

disiplin untuk tingkah laku, ketekunan dan keinginan untuk

menanggulangi kerasnya latihan dan menjamin persiapan psikologis yang

cukup.

4) Mempertahankan keadaan kesehatan

Realisasi tujuan ini menuntut tes kesehatan teratur, tepat antara

intensitas latihan dengan kapasitas usaha individual, latihan berat yang

secara selang-seling dengan fase program yang diperhatikan dengan tepat,

menelusuri penyakit atau cidera, dan yang lebih penting adalah melalui

latihan harus membuat orang menjadi lebih sehat.

5) Mencegah cidera melalui pengamanan terhadap penyebabnya dan juga

meningkatkan fleksibilitas di atas tingkat tuntutan untuk

melaksanakan gerakan yang lebih penting, memperluas otot, tendon

dan ligament khususnya selama fase-fase awal, mengembangkan

kekuatan dan elastisitas otot sampai tingkat tertentu sehingga akan

menghindarkan diri dari kemungkinan cidera sewaktu melakukan

gerakan-gerakan yang tak terbiasa.

6) Memberikan sejumlah pengetahuan teoritis yang berkaitan dengan

dasar-dasar fisiologis dan psikologis latihan, perencanaan gizi dan regenerasi.

Pendekatan yang perlu mendapat perhatian untuk mencapai tujuan

latihan yang utama adalah mengembangkan dasar-dasar latihan secara


(30)

kebutuhan cabang olahraga tertentu. Pengembangan daya tahan umum

kemudian menuju pada persiapan yang lebih khusus atau anaerobiknya.

c. Prinsip-Prinsip Latihan

Agar dapat mencapai hasil sesuai yang diharapkan latihan yang

dilakukan harus memperhatikan prinsip-prinsip sebagai berikut:

1) Prinsip pemanasan dan pendinginan

Setiap latihan harus didahului dengan latihan pendahuluan, hal ini

penting yaitu untuk mempersiapkan kondisi fisik atlet untuk

melaksanakan aktivitas yang lebih berat di dalam latihan inti. Sejalan

dengan hal tersebut Fox (1988: 278) menyebutkan latihan pemanasan atau

warming up meningkatkan suhu badan dan otot, meningkatkan enzim,

meningkatkan jumlah darah dan oksigen ke otot rangka. Efek lain dari

suhu yang meningkat adalah peningkatan kontraksi dan kecepatan reflek

dari otot. Cidera pada otot dan sendi akan jarang terjadi apabila selama

berlatih atau bertanding didahului dengan pemanasan.

Pada umumnya pemanasan bagi atlet yang akan berlatih dilakukan

dengan latihan pemanasan baik aktif maupun pasif seperti peregangan,

senam dan sebagainya. Kemudian setelah latihan inti diakhiri dengan

latihan pendinginan yaitu dengan tujuan untuk mengembalikan kondisi

fisik atlet ke keadaan semula dan juga untuk mempercepat penggusuran

zat kelelahan (asam laktat) dari tubuh sehingga kelelahan yang amat


(31)

16

pendapat Fox (1998: 279) bahwa “keadaan asam laktat akan menurun

lebih cepat selama pulih kerja”.

2) Prinsip intensitas tinggi

Intensitas merupakan faktor penting dalam latihan plyometrics.

Kecepatan pelaksanaan dengan kerja maksimal sangat penting untuk

memperoleh efek latihan yang optimal. Kecepatan peregangan otot lebih

penting daripada besarnya peregangan. Respons refleks yang dicapai

makin besar jika otot diberi beban yang cepat. Karena latihan-latihan

harus dilakukan dengan sungguh-sungguh (intensif), maka penting untuk

diberikan kesempatan beristirahat yang cukup diantara serangkaian latihan

yang terus menerus.

3) Prinsip beban lebih secara progresif

Dengan pemberian beban tubuh akan beradaptasi dengan beban

yang diberikan tersebut jika itu sudah terjadi maka beban harus ditambah

sedikit demi sedikit untuk meningkatkan kemungkinan perkembangan

kemampuan tubuh. Sebab sesuai pendapat Bompa (1990: 44) yaitu

penggunaan beban secara overload, akan merangsang penyesuaian

fisiologis dalam tubuh, selain itu juga peningkatan prestasi terus menerus

hanya dapat dicapai dengan peningkatan beban latihan. Dengan demikian

dalam latihan harus ada pemberian beban yang lebih berat secara


(32)

4) Prinsip memaksimalkan gaya/meminimalkan waktu

Baik gaya maupun kecepatan gerak sangat penting dalam latihan

plyometrics. Dalam berbagai hal, titik beratnya adalah kecepatan di mana

suatu aksi tertentu dapat dilakukan. Misalnya, dalam nomor tolak peluru,

sasaran utama adalah menggunakan gaya maksimum selama gerak

menolak. Makin cepat rangkaian aksi yang dilakukan, makin besar gaya

yang dihasilkan dan makin jauh jarak yang dicapai.

5) Prinsip pengulangan

Gerakan yang dilatihkan harus dilakukan berulang-ulang sehingga

terjadi otomatisasi gerakan. Hal ini seusai dengan pendapat Harsono

(1988: 102) bahwa dengan berlatih secara sistematis dan melalui

pengulangan-pengulangan (repetition) yang konstanta maka organisasi

mekanisme neurophysiologis akan menjadi bertambah baik,

gerakan-gerakan yang diulang lama kelamaan akan merupakan gerakan-gerakan yang

otomatis maka gerakan tersebut akan dilakukan dengan cepat dan efisien

dalam penggunaan tenaga hal ini akan memungkinkan pencapaian prestasi

olahraga yang lebih baik.

Biasanya banyak ulangan atau repetisi berkisar antara 8 sampai 10

kali dengan makin sedikit ulangan untuk rangkaian yang lebih berat dan

lebih banyak ulangan untuk latihan-latihan yang lebih ringan. Banyaknya

set tampaknya juga beragam. Berbagai kajian mengisyaratkan 6 sampai 10


(33)

18

menyarankan 3 sampai 6 set, terutama untuk latihan-latihan lompat yang

lebih berat.

6) Prinsip istirahat yang cukup

Periode istirahat 1-2 menit di sela-sela set biasanya sudah memadai

untuk sistem neuromuskuler yang mendapat tekanan karena latihan untuk

pulih kembali. Periode istirahat yang cukup juga penting untuk pemulihan

yang semestinya untuk otot, ligemen, dan tendon. Latihan plyometrics 2-3

hari per minggu tampaknya dapat memberikan hasil optimal. Yang

penting, jangan mendahului plyometrics, terutama latihan-latihan lompat

dan gerakan-gerakan kaki lainnya, dengan latihan berat pada tubuh bagian

bawah. Otot, tendon dan legamen yang telah lelah sebelumnya dalam

mengalami tekanan yang berlebihan dengan adanya beban resistif yang

tinggi yang dibebankan pada otot, tendon dan legamen tersebut harus

mendapat istirahat.

7) Prinsip bangun landasan yang kuat terlebih dahulu

Karena dasar atau landasan kekuatan penting dan bermanfaat

dalam plyometrics, maka suatu program latihan beban harus dirancang

untuk mendukung, dan bukannya menghambat pengembangan power

eksplosif.

Mewujudkan landasan kekuatan sebelum latihan plyometrics tidak

perlu berlebihan. Tetapi pemberian resep program latihan harus


(34)

Pemula seyogyanya memulai dengan latihan-latihan sedang,

seperti lompat dari tanah atau lantai, dan hops, bounds, dan leaps dengan

kedua tungkai. Dengan meningkatnya kekuatan dan power eksplosif,

dapat dimulai dengan latihan dengan satu tungkai, depth jump dan decline

dan incline. Latihan kekuatan dan fleksibilitas otot perut dan otot

punggung bagian bawah disarankan selama beberapa minggu sebelum

melakukan gerakan-gerakan skipping, swinging, dan latihan-latihan untuk

togok yang serupa.

8) Prinsip perbedaan individu

Manfaat latihan akan lebih berarti jika program latihan tersebut

direncanakan dan dilaksanakan berdasarkan karakteristik dan kondisi atlet.

Oleh karena itu faktor-faktor karakteristik individu atlet harus

dipertimbangkan dalam menyusun dan memberikan latihan secara rinci.

Bompa (1990: 36-37) mengemukakan bahwa faktor-faktor seperti umur,

jenis kelamin, bentuk tubuh kedewasaan, latar belakang pendidikan,

kemampuan berlatih, tingkat kesegaran jasmani, ciri-ciri psikologisnya

semua itu harus ikut dipertimbangkan dalam mendesain program latihan.

9) Prinsip kekhususan

Untuk mencapai hasil sesuai dengan yang diharapkan latihan harus

bersifat khusus yaitu khusus mengembangkan kemampuan tubuh sesuai


(35)

20

Menurut Pyke, (1991: 119) latihan harus ditunjukkan khusus

terhadap sistem energi atau serabut otot yang digunakan juga dikaitkan

dengan peningkatan keterampilan motorik khusus.

Jadilah latihan yang dilakukan akan mendapat hasil sesuai dengan

yang diaharapkan jika latihan tersebut mengembangkan kemampuan tubuh

dan keterampilan yang sesuai dengan karakteristik cabang olahraga yang

bersangkutan.

10) Prinsip makanan yang baik (Nutrisium)

Untuk menunjang tercapainya tujuan latihan fisik, maka prinsip ini

harus diperhatikan. Sebab dalam melakukan aktivitas olahraga sangat

dibutuhkan energi yang cukup. Dimana dalam hal ini menurut Pate,

Clanaghan, Rottela, (1993: 272) bahwa makanan olahragawan harus

menyediakan cukup masukan energi untuk memelihara keseimbangan

kalori dan mengandung cukup zat makanan yang dibutuhkan untuk

mendukung metabolisme tubuh. Maka aktivitas fisik dengan makanan

yang baik dan memadai merupakan faktor yang tak boleh diabaikan untuk

pertumbuhan otot dan tulang. Dengan demikian unsur gizi harus

diperhatikan dengan sungguh-sungguh di dalam proses latihan olahraga.

d. Pengaruh Latihan

Latihan yang dilakukan secara sistematis, teratur dan kontinyu dengan

dosis yang cukup akan menyebabkan perubahan-perubahan tubuh yang


(36)

yang lebih berat dengan lebih baik. Perubahan-perubahan ini antara lain

adalah :

1) Perubahan sistem dan fungsi organisme dalam tubuh

Pengaruh latihan terhadap perubahan sistem dan fungsi organisme

dalam tubuh tersebut terdiri dari:

a) Perubahan biokimia dan sistem otot rangka

Kegiatan fisik yang dilakukan secara teratur dan kontinyu

dapat merangsang kerja enzim di dalam tubuh dan merangsang

pertumbuhan sel otot (hypermetropi). Hal ini sesuai dengan

pendapat Guyton (1983: 190) bahwa dengan latihan akan terdapat

peningkatan jumlah mitochondria dalam otot rangka dan

meningkatkan aktivitas enzim untuk metabolisme energi baik secara

aerobic maupun anaerobic. Selanjutnya disampaikan pula otot yang

terlatih pada umumnya menjadi lebih besar dan lebih kuat daripada

yang tidak terlatih karena ukuran penampang lintang maupun

volumenya lebih besar.

b) Perubahan kardiorespirasi

Latihan secara fisik akan dapat meningkatkan kapasitas total

paru-paru dan volume jantung, sehingga kesegaran atlet akan

meningkat pula. Hal ini terjadi sebagai akibat adanya rangsangan yang

diberikan terhadap tubuh. Sehubungan dengan hal ini Fox (1998: 24)

menyampaikan bahwa adaptasi atlet yang baik ditandai adanya


(37)

22

(1) Frekwensi denyut nadi berkurang dan denyut jantung keras waktu

istirahat.

(2) Pengembangan otot jantung (delatasi)

(3) Haemoglobin (HB) dan glikogen dalam otot bertambah

(4) Frekwensi pernapasan turun dan kapasitas vital bertambah

Dari uraian tersebut bahwa dengan latihan fisik akan dapat

menyebabkan kemampuan kerja jantung dan pernapasan. Sehingga hal

itu akan dapat meningkatkan kesegaran jasmani atlet secara umum.

2) Perubahan mekanisme organisme sistem syaraf

Dalam melakukan latihan olahraga gerakan yang dilatih selalu

diulang-ulang secara teratur. Melalui pengulangan gerakan secara teratur

tersebut akan dapat memperoleh koordinasi gerakan sehingga terjadi

otomatisasi dalam gerakan. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Bompa

(1990: 132) bahwa dengan berlatih secara teratur dan waktu pengulangan

(repetition) yang resisten, maka organisme-organisme mekanisme

neurophysiologis kembali akan bertambah baik gerakan yang semula

sikap dilakukan lama-kelamaan akan merupakan gerakan yang otomatis

dari reflektif yang semakin kurang membutuhkan konsentrasi pasif syaraf

daripada sebelum melakukan latihan tersebut.

Dengan adanya otomatisasi dalam gerakan, maka gerakan tersebut

akan dapat dilakukan dengan cepat dan efisien dalam penggunaan tenaga,


(38)

e. Mekanisme Kontraksi Otot

Latihan plyometrics diperlukan untuk menstimulasi berbagai

perubahan dalam sistem neuromuscular, memperbesar kemampuan

kelompok-kelompok otot untuk memberikan respon lebih cepat dan lebih kuat

terhadap perubahan-perubahan yang ringan dan cepat pada panjangnya otot.

Salah satu ciri penting latihan plyometrics adalah pengkondisian sistem

neuromusculer sehingga memungkinkan adanya perubahan-perubahan arah

yang lebih cepat dan lebih kuat, misalnya gerakan turun naik pada lompat dan

gerakan kaki arah anterior dan posterior pada waktu lari. Dengan mengurangi

waktu untuk perubahan arah ini, maka kekuatan dan kecepatan dapat

ditingkatkan (Redeliffe and Farentinos, 1985: 8)

Gerakan plyometrics diyakini berdasarkan kontraksi reflek

serabut-serabut otot sebagai akibat pembebanan yang cepat dari serabut-serabut-serabut-serabut otot

yang sama. Reseptor sensori utama yang bertanggung jawab atas deteksi

pemanjangan serabut-serabut otot yang cepat ini adalah mucle-spindle, yang

mampu memberi respon kepada besaran dan kecepatan perubahan panjang

serabut-serabut otot. Jenis respon peregangan lainnya, yakni organ tendon

golgi, terletak dalam tendon-tendon dan memberi respon terhadap tegangan

yang berlebihan sebagai akibat kontraksi yang kuat atau peregangan otot

(Redliffe and F arentinos, 1985: 111).

Gelendong otot merupakan bentuk modifikasi serabut otot diliputi oleh

jaringan ikat yang berfungsi sebagai mekanoreseptorm yang berfungsi selama


(39)

24

nuclear chain fiber. Gelendong otot tersebut ada di antara serabut otot. Di

dalam gelendong otot ada dua bentuk sensorik yaitu, the primary ending/annu

lospiral ending dan the secondary ending flower spary ending, sedangkan

efferent-infusal fibers dilakukan oleh gamma motorneuron (dinamic fober or

static fiber). Dynamic gamma motorneuron hanya mensyarafi nuclear bag

fiber. Sedangkan static gamma motorneuron mensyarafi baik nuclear bag

fiber, maupun nuclear chain (Bompa, 1990: 19, 23).

Gambar 1. Gelendong Otot (Powers and Howly, 1990: 167)

The Primary Ending (PE), letaknya sepertiga letak gelendong otot.

Neuron-neuron sensori yang terkait dengan reseptor-reseptor primer itu sangat

besar. Diameternya (kira-kira 17 mikron dan mampu menghantar


(40)

kira-kira 100 meter per detik, yang kira-kira-kira-kira sama cepatnya dengan serabut syaraf

manapun dalam tubuh (Radeliffe and Farentinos, 1985: 70).

The Secondary Ending (SE). Letaknya di samping-samping

annulospiral reseptor-reseptor primer. Reseptor-reseptor sekunder hanya

terkait dengan bagian-bagian yang tidak berkontraksi dari serabut-serabut

intrafusal mata rantai nucleus, yang mengelilinginya seperti ujung-unjung

annulospirali dari reseptor primer. Neuron-neuron affern pada ujung-ujung

reseptor sekunder adalah jauh lebih kecil diameternya (kurang lebih 8

mikron) daripada neuron-neuron reseptor primer dan dengan demikian

mampu menghantar impuls-impuls syaraf ke sumsum tulang belakang dengan

kecepatan sekitar 50 meter per detik (Radeliffe and Farentinos, 1985: 113)

Otot rangka mendapat dua persyarafan motorik, yaitu alfa

motorneuron dan gama motorneuron. Alfa motorneuron akan memberikan

rangsangan motorik pada serabut otot extrafusal, sedangkan gama

motorneuron akan memberikan rangsang motorik pada serabut otot intrafusal.

Efek kontraksi tersebut dapat timbul dari rangsangan peregangan yang

mendadak pada muscle spindle. Sehingga latihan yang disengaja dengan

peregangan otot yang mendadak akan menyebabkan dua efek motorik pada

otot, baik melalui gamma motorneuron maupun alfa motorneuron, sehingga

menimbulkan efek kontraksi yang lebih kuat (Bompa, 1994: 23)

Setiap saat intrafusal fiber mengalami peregangan yang tidak terlalu

besar dan pelan, maka baik the primary ending dan the secondary ending akan


(41)

Reseptor-26

reseptor primer maupun sekunder dapat diaktifkan dengan cara yang

berlainan. Karena ujung-ujung serabut intrafusal itu yang di sekitar

ujung-ujung reseptor primer (ujung-ujung-ujung-ujung annulospiral) membentuk kumparan

menempel pada serabut otot rangka, maka setiap pemanjangan pada

serabut-serabut otot rangka akan menyebabkan peregangan pada serabut-serabut-serabut-serabut

intrafusal dan pada gilirannya juga ujung-ujung reseptor primer yang

membentuk kumparan itu. Terbukanya ujung annulospiral memulai ledakan

impuls-impuls syaraf yang dikirim ke sumsum tulang belakang melalui

neuron-neuron sensori afferent gamma, stimulasi serabut-serabut intrafusal

yang demikian itu dapat menyebabkan serabut-serabut itu berkontraksi,

meregangkan bagian-bagian sentralnya, dan pada gilirannya mengaktifkan

resptor-reseptor primer. Ini dapat terjadi sekalipun serabut-serabut otot rangka

itu sendiri (yang ditempeli serabut intrafusal) tetap tidak meregang.

Uraian mekanisme kontraksi otot skelet secara singkat dijelaskan oleh

Patem Mc Clenaghan and Rotella (1993: 226-227) yaitu bahwa serabut otot

skelet dirangsang untuk berkontraksi oleh sel-sel syaraf khusus yang disebut

motorneuron. Motorneuron ini bekerja untuk mengirim rangsang listrik dari

otak ke masing-masing serabut otot, rangsang syaraf yang dihasilkan dalam

kontraksi yang dimulai dari daerah khusus otak yang disebut selaput gerak.

Motorneuron atas turun dari otak dan berhubungan dengan motorneuron

bawah membelah simpul spinal dalam syaraf spinal dan berakhir dalam

sejumlah syaraf, pada akhirnya pada setiap syaraf berhubungan dengan


(42)

Seluruh serabut otot dikendalikan oleh motorneuron yang membentuk

suatu unit gerak. Sejumlah serabut dalam sejumlah unit gerak sangat

bervariasi daerahnya, sekurang-kurangnya lima sampai sebanyak-banyaknya

beberapa ribu. Pada umumnya unit gerak yang terbesar dijumpai dalam otot

terbesar pada punggung dan anggota badan, sementara otot terkecil di wajah

dan tangan tersusun dari unit gerak yang relatif berisi serabut otot yang lebih

sedikit.

Gambar 2. Serabut Otot Rangka (Pate, Mc Clenaghan and Rotella, 1993:227)

Dengan mengabaikan letak anatomisnua, seluruh serabut otot dalam

suatu unit gerak tertentu senderung berkontraksi secara bersamaan selama

mereka dikendalikan oleh motorneuron yang sama.

Rangsang untuk berkontraksi dikirim dari syaraf yang berakhir di


(43)

28

rangsang meluas ke simpangan mioneural, suatu impuls syaraf menyebabkan

lepasnya zat kimia yang disebut acetikholin dari syaraf terakhir. Acetikholin

adalah perantara yang memungkinkan perjalanan rangsang listrik

menyeberangi simpangan mioneural. Jika rangsang listrik tiba, sarkolema

serabut otot dibawa keluar dari serabut oleh tubulus-T dan reticulum

sarkoplasma. Hasil kontraksi reticulum sarkoplasma meninggalkan ion

kalsium ke dalam sarkoplasma, dalam merespon rangsangan listrik. Ion-ion

kalsium mempercepat kontraksi dengan memungkinkan kontraksi sel-sel actin

dan myosin dengan mempermudah pemisahan ATP. Jadi bahan-bahan kimia

yang dihasilkan dalam kontraksi otot mulai dengan impuls syaraf dari otak

dan simpul spinall.

Kontraksi otot adalah proses rangsangan listrik dari otak dan sumsum

tulang belakang akan sampai pada muscle fiber melalui akson dari neuron

motorik. Rangsangan listrik yang sampai diakson terminalis menyebabkan

terjadinya potensial aksi. Potensial aksi tersebut akan mengakibatkan

terjadinya pelepasan asetilkolin dan synoptic vesicle pada presynaptic ke

dalam synaptic-gutter.

Seperti halnya dengan sebuah vector, suatu gaya dapat diuraikan

menjadi komponen vertikal dan komponen horizontal, yang besarnya

masing-masing komponen itu bergantung pada sudut di mana gaya bekerja. Bila gaya

itu gaya otot, besarnya sudut tarikan otot berubah sesuai dengan perubahan

geraknya sendiri yang berakibat berubah juga besarnya komponen-komponen


(44)

dari gaya tarik otot dalam menggerak pengungkit tulang. Makin besar sudut

antara 0 derajat dan 90 derajat, makin besar komponen vertikalnya dan makin

kecil komponen horisontalnya.

Komponen dari kontraksi otot selalu tegak lurus pada batang

pengungkit dan disebut komponen rotasi. Komponen rotasi inilah yang

menggerakkan pengungkit. Komponen horizontal sejajar dengan batang

pengungkit dan disebut dengan komponen nonrotasi. Komponen nonrotasi ini

tidak menggerakkan pengungkit. Sudut tarikan dari kebanyakan otot dalam

keadaan istirahat besarnya kurang dari 90 derajat. Hal ini berarti bahwa

komponen nonrotasi arahnya menuju ke fulerum atau sendi sebagai sumbu

putar, yang merupakan stabilisator. Dengan menarik tulang menurut sumbu

memanjangnya menuju ke sendi akan membantu memelihara keterpaduan

sendi. Oleh karenanya, dikatakan bahwa gaya otot mempunyai dua fungsi

sekaligus, yaitu untuk menggerakkan dan stabilitas, tugas stabilitas ialah

membantu ligamenta-ligamenta.

Sudut tarikan otot menjadi lebih besar dari sudut siku-siku, yang

berarti bahwa komponen nonrotasi otot arahnya menjauhi sendi dan oleh

karenanya merupakan komponen dislikasi yang akan memperlemah sendi.

Dalam banyak hal keadaan ini tidak akan terjadi, dan kalau sampai terjadi otot

sudah mendekati kemampuan memendeknya dan oleh karenanya tidak

menghasilkan gaya yang besar.

Bila sudut tarikan 90 derajat, gaya seluruhnya rotasi. Bila sudut tarikan


(45)

30

tarikan otot biasanya kurang dari 45 derajat, lebih banyak gaya otot pada

waktu bekerja menstabilkan sendi daripada menggerakkan pengungkit atau

segmen. Kenyataanya ada beberapa otot yang sudut tarikannya begitu

kecilnya sehingga sumbangannya kepada gerak nampaknya dapat diabaikan.

Hal ini nampak pada otot-otot coracobrachialis dan subclavisu. Menarik

untuk dicatat bahwa anggota badah sebelah atas seringkali dituntut untuk

melakukan gerakan-gerakan yang kuat penuh tenaga maupun menahan berat

badan dalam posisi menggantung. Sendi-sendi yang memikul beban yang

berat adalah sendi bahu dan sendi stercoclavicularis. Sendi-sendi itu akan

mudah mengalami dislikasi jika tidak ada otot-otot coracobracialis dan

subelavisu yang menarik tulang-tulang menuju kearah sendi-sendi

proksimalnya dan dengan demikian bekerja menstabilkan atau memperkuat

sendi-sendi ini. Dengan panjangnya otot tungkai juga akan mempengaruhi

sudut tarikan otot dan efisiensi gerakan. Atau dengan kata lain semakin

panjang otot dan semakin kecil sudut tarikkan maka akan menghasilkan gaya

yang lebih besar.

f. Sistem Energi

Setiap melakukan kerja atau aktivitas memerlukan energi kemampuan

fisik. Untuk melakukan kerja tergantung kepada energi yang ada di dalam

tubuh. Sehingga energi dapat diartikan sebagai kapasitas untuk melakukan

kerja.

Energi yang digunakan tubuh untuk melakukan kerja dipasok dari


(46)

dari makanan tersebut. Tetapi menurut Fox (1998: 270) ”diperoleh

persenyawaan yang disebut ATP” (Adenosine Triphospate)”. Persenyawaan

ATP itu dihasilkan dari penguraian makanan yang dimakan. Lebih lanjut Fox

(1998: 19) menjelaskan “struktur ATP terdiri dari satu komponen yang sangat

komplek taitu adenosine dan tiga bagian lainnya yaitu kelompok-kelompok

fospat”.

Gambar 3. Struktur ATP (Fox, 1998: 19)

Kedua fosfat yang terakhir merupakan hubungan yang berenergi

tinggi, yaitu apabila hubungan tersebut dilepas, maka akan mengeluarkan

energi yang tinffi. ATP dan Pi, maka sejumlah energi akan keluar seperti

terlihat pada gambar 4.

Gambar 4.Hubungan Kedua Fosfat Berenergi Tinggi (Fox, 1998: 21)

Menurut Fox (1998: 19) pemecahan satu mole ATP mengeluarkan


(47)

32

digunakan oleh otot sebanyak 1,3 kilo kalori. Pada saat istirahat seluruh tubuh

energi yang digunakan oleh otot sebanyak 1,3 kilo kalori setiap menitnya.

Dalam 1-2 menit kebutuhan energi meningkat sampai 35 kcal/menit, maka

kebutuhan ATP akan besar. Sedangkan ATP yang tersedia dalam otot hanya

4-6 milimol/kg otot. Untuk aktivitas yang berlangsung terus menerus ATP

yang tersedia hanya dapat digunakan selama 3 detik. Sehingga harus ada

mekanisme untuk dapat memenuhi kebutuhan energi, mekanisme ini dikenal

sebagai resintesa ATP dari ADP dan Pi. Ada tiga proses untuk memproduksi

ATP menurut Foz (1998: 20-26) yaitu:

1) Sistem ATP-PC (Phosphagen). Dalam sistem ini resintesa ATP hanya

berasal dari suatu persenyawaan phosphocreatine (PC).

2) Sistem Glykolysis Anaerobik atau asam laktat. Sistem ini menyediakan

ATP dari sebagian pemecahan glukosa atau glikogen.

3) Sistem Aerobik atau Sistem Oksigen. Sistem ini terdiri dari dua bagian.

Bagian A merupakan penyelesaian dari oksidadi karbohidrat. Bagian B

merupakan penyelesaian dari oksidasi lemak. Kedua sistem ini perjalanan

terakhir oksidasinya melalui siklus kreb’s.

Sistem ATP-PC atau Phosophagen

Otot untuk dapat berkonraksi terus menerus perlu adanya

pembentukan kembali ATP, karena ATP dalam otot sangat terbatas

jumlahnya. Energi diperlukan dalam pembentukan ATP untuk itu perlu

senyawa dalam pembentukan ATP dengan cepat yaitu phosphocreatin.


(48)

senyawa fosfat (P), maka sistem ini disebut sebagai “phospagen sistem”, PC

pecah akan kelaur energi, pemecahan ini tidak memerlukan oksigen. PC

jumlahnya hanya sedikit, tetapi PC merupakan sumber energi yang tercepat

untuk membentuk ATP kembali. Sistem phosphagen merupakan sumber

energi yang dapat secara tepat yang diperlukan untuk kecepatan, karena

sistem ini mempunyai reaksi kimia yang pendek, tanpa oksigen dan ATP-PC

tertimbun dalam mekanisme kontraktil dalam otot. Persendian PC dalam otot

sekitar 15-17 milimol/kg otot atau untuk seluruh tubuh berkisar 4,5

kcal-5,1kcal. Jumlah sistem ATP-PC tersebut dapat ditingkatkan dengan latihan

yang cepat dan berat Fox (1998: 20). Lebih lanjut dapat dilihat sebagai

berikut:

Tabel 1. Estimasi of the Energy Available in the Body Through the

Phosphagen (ATP-PC) Sistem (Fox, 1998: 20).

ATP PC

Total

Phosphagen

(ATP+PC)

1. Muscular concentration

a. mM/kg muscle

b. mM total muscle mast

4-6 120-180 15-17 450-510 19-23 570-690

2.Useful energy

a. Kcal/kg muscle

b. Kcal total muscle mass

0.04-0.06 1.2-1.8 0.15-0.17 4.5-5.1 1.19-0.23 5.7-6.9


(49)

34

Glikosis Anaerobik (Lactid Acid Sistem)

Untuk membentuk ATP kembali setelah cadangan ATP-PC habis dan

tanpa O2 dapat dilakukan dengan cara pemecahan glycogen atau dikenal

dengan sistem Glykolisis Anaerobik. Pembentukan lewat sistem ini berjalan

lambat dan prosesnya lebih rumit dibandingkan dengan sistem ATP-PC.

Proses glikolisis anaerobic dibambarkan menurut Fox (1998: 20) sebagai

berikut:

or

Gambar 5. Glikolisis Anaerobik (Fox, 1998: 23)

Daapat dikemukakan rangkaian reaksi-reaksi kimia yang sederhana

dalam proses tersebut di atas adalah:

Glikogen  Asal Laktat + Energi Glycogen

(from muscle)

Glucosa

Glycolytic squence

Pyruvic acid

Blood glucose

Lactid acid ADP + Pi


(50)

Energi + 3 ADP + 3 pi  3 ATP

Phospho Fruktokinase (PFK) di sini adalah enzim yang penting sebagai pengatur

kecepatan reaksi dalam setiap reaksi. Kelelahan atau kontraksi bertambah lembah

di sini dapat terjadi bila terlambatnya reaksi kimia yang diakibatkan Ph dalam

otot maupun darah rendah dan terbentuknya asal latat yang banyak. Proses

glikolisis anaerobic secara sederhana dapat disimpulkan bahwa proses ini

menyebabkan kelelahan, tanpa oksigen, menggunakan karbohidrat, dan

memberikan energi untuk resistensa beberapa molekul ATP saja.

Sistem Aerobik atau Sistem Oksigen

Reaksi aerobic terjadi di dalam “metachondira” yang terdapat pada

setiap serabut otot. Dalam metachindria berlangsung proses metabolisme

aerobic dengan oksigen, sehingga menghasilkan ATP dalam jumlah yang

besar, maka metochondria ini disebut juga warung energi (power house).

Reaksi yang sangat rumit dan komplek memerlukan cukup oksigen, maka satu

mole glycogen dipecah secara sempurna menjadi CO2 dan H2O, serta

mengeluarkan energi yang cukup untuk resintesa sejumlah ATP (Hazeldine,

1989: 7). Proses ini lebih lanjut dapat dilihat sebagai berikut:


(51)

36

Sistem Aerobik menurut Fox (1998: 26) dapat berlangsung dengan

tiga cara, yaitu :

1) Glikolisis Aerobik

Tersedianya oksigen yang cukup dan asam laktat yang tidak

tertimbun dalam reaksi glykolisis aerobic dikarenakan oksigen

menghambat penumpukan asam laktat tetapi tidak menghalangi

pembentukan ATP, oksigen membantu mengubah asam laktat menjadi

piruvat setelah ATP diresintesis. Reaksi glykolisis aerobic terjadi sebagai

berikut :

Glukosa + 2 ADP + 2 fosfat dengan energi  2 asam piruvat + 2 ATP + 4 H

Proses ini lebih lanjut terlihat pada gambar di bawah ini

Gambar 7. Proses Glikolisis Aerobik dan Glikolisis Anaerobik (Fox, 1998 28)

Pyuvic acid Sulficlient : oxygen Glucose Glykogen

CO2 + H2O + ATP ATP ADP+ Pi Pyuvic acid Sulficlient : oxygen Glucose Glykogen ATP ADP+ Pi Lactid acid Aerobic glycolysis Aerobic glycolysis


(52)

2) Siklus Kreb’s

Siklus Kerb’s menghasilkan karbondioksida, terjadinya oksidasi

dan menghasilkan ATP (Fox, 1998: 30).

Pemecahan glukosa dilanjutkan dengan memecah dua macam piruvat

dengan pertolongan Coenzym A 

Asam piruvat + Coenzym A Acetyl Coenzym

A + 2 CO2 + 4H. asam lemak aktif ini masuk ke dalam siklus oksidasi

yang dinamakan beta oksidasi dan menjadi acetyl coenzyme A. Acetyl

coenzyme A ini lalu masuk ke dalam siklus kreb’s. ATP yang dihasilkan

tergantung macam asam lemak yang dioksidasi. Proses siklus kreb’s lebih

lanjut terlihat pada gambar di bawah ini :

Gambar 8. Siklus Kerb’s (Fox, 1998: 30)

Glycogen

Glukose

Pyruvic acid

ATP ADP + Pi

Aerobic Glycolysis

CO2

CO2

H + e

-H+ e -Krebs Cycle

CO2 H + e

-CO2 NAD NADH FAD FADH2 NAD NADH NAD+ NADH


(53)

38

3) Sistem Transport Ekektron

Reaksi yang terjadi di dalam membran dalam (inner membrane)

dari metochondria adalah serangkaian reaksi hingga terjadi H2O disebut

dengan istlah transport eletkron atau rantai respiratori. Di mana ion-ion

hydrogen dan elektron masuk ke dalam sistem transport electron memiliki

tingkat sedikit lebih tinggi dari FADH2, yang mana NADH meyediakan

tiga molekul ATP sedangkan FADH2, hanya dua molekul ATP. Inti

reaksinya adalah

4H+ + 4c + O2 I H2O

Sejumlah energi dikeluarkan sewaktu terjadi transport dari

electron di dalam rante rispiratori (Lamb, 1984: 49)


(54)

2. Plyometrics a. Plyometrics

Radcliffe and Farentinos (1985 : 1) mengemukakan Plyometrics

adalah suatu metode untuk mengembangkan daya ledak (ezplosive power),

suatu komponen penting dari sebagian prestasi olahraga. Asal istilah

Plyometrics diperkirakan dari bahasa Yunani “pletyhuen”, berarti

memperbesar “ukuran” Chu (1992 : 5). Sekarang ini Plyometrics mengacu

pada latihan-latihan yang ditandai dengan kontraksi-kontraksi otot yang kuat

sebagai respon terhadap pembebanan yang cepat dan dinamis atau peregangan

otot-otot yang terlibat.

Pada latihan beberapa cabang olahraga sering kita lihat bentuk laihan

loncat-lompat untuk meningkatkan kekuatan dan daya ledak otot. Beberapa

bentuk latihan tersebut dinamakan latihan Plyometrics. Latihan Plyometrics

dilakukan tanpa alat maupun dengan alat yang sederhana.

Pada dasarnya latihan Plyometrics adalah gerakan dari rangsangan

peregangan otot secara mendadak supaya terjadi kontraksi yang lebih kuat.

Latihan tersebut dapat menghasilkan peningkatkan daya ledak dan kekuatan

kontraksi. Daya ledak dan kekuatan kontraksi otot merupakan cermin

peningkatan adaptasi fungsional neuromoscular. Peningkatan kontraksi otot

merupakan perbaikan fungsi reflek peregangan (strech reflex) dari muscle

spindle (Radcliffe and Farentinos 1985 : 6).

Gerakan-gerakan Plyometrics dilakukan dalam berbagai cabang


(55)

40

melompat tinggi melampaui net untuk memblokade smash lawan, pelompat

jauh yang melesat untuk mencapai lompatan yang tinggi dan sejauh-jauhnya.

Sebagian besar cabang olahraga dapat dilakukan dengan lebih terampil jika

atlet memiliki power yang merupakan gabungan dari kekuatan dan kecepatan

Plyometrics adalah salah satu cara terbaik untuk mengembangkan eksplosif

power untuk berbagai cabang olahraga.

Latihan Plyometrics menggunakan kekuatan gaya berat untuk

meningkatkan energi elastis yang tersimpan di otot selama kontraksi eksentrik

dari suatu kegiatan, beberapa energi yang disimpan itu kemudian dilepaskan

pada saat kontraksi konsentrik yang menyusul dengan segera. Daya

penggerak dan pengakuan Plyometrics sebagai teknik yang bermanfaat untuk

mengingkatkan ezplosive power.

Latihan-latihan Plyometrics diperkirakan menstimulasi berbagai

perubahan dalam sistem neuromuskular, memperbesar kemampuan

kelompok-kelompok otot memberikan respon lebih cepat dan lebih kuat

terhadap perubahan-perubahan yang ringan dan cepat pada panjangnya otot.

Salah satu ciri penting latihan Plyometrics adalah pengkondisian sistem

neuromuskular sehingga memungkinkan adanya perubahan-perubahan arah

yang lebih cepat dan lebih kuat (Radcliffe and Farentinos 1985 : 8-9). Latihan

sangat membantu mengembangkan seluruh sistem neuromuskuler untuk


(56)

b. Prinsip-Prinsip Latihan Plyometrics

Latihan Plyometrics dibuat berdasarkan elemen structural tubuh

manusia yang didukung oleh sistem mekanika, elastisitas, kekuatan,

pembebanan tekanan dan tegangan otot, juga katilago tulang, tendon dan

ligamen adalah merupakan unsur penting dalam Plyometrics.

Pada kenyataanya penampilan dari banyak pola gerakan Plyometrics

atau bentuk gerakan olahraga lainnya adalah holistic (menyeluruh) dan nature

(alami) yang merupakan intergrasi total dari semua unsur-unsur.

Adapun prinsip latihan Plyometrics secara umum sama dengan

prinsip-prinsip dasar latihan fisik. Sedangkan prinsip khusus dan latihan

Plyometrics adalah memberi stretch (regangan) yang cepat pada otot-otot

yang terlibat sebelum melakukan kontraksi (gerak) secara fisiologis yaitu : (a)

Memberi panjang awal yang optimum pada otot, (b) Mendapat tenaga elastis,

(c) Menimbulkan stretch reflex (refleks regangan).

1. Memberikan panjang awal yang optimum pada otot

Maksud dari memberikan regangan pada otot sebelum kontraksi adalah

untuk memberikan panjang awal yang optimum pada otot-otot untuk

kontraksi. Pyke, F.S., (1980 : 43) menyatakan bahwa otot akan

berkontraksi lebih kuat bila diberikan strecth (regangan) segera sebelum

otot berkontraksi. Walingga (1980 : 22) juga menyatakan bahwa kekuatan

kontraksi otot maksimum terjadi bila saat panjang otot optimum,

dirangsang untuk berkontraksi. Rolf (1984 : 133), menyatakan bahwa


(57)

42

berkontraksi. Berdasarkan hasil penelitiannya kontraksi otot yang paling

kuat dihasilkan pada panjang awal 120% dari resting length. Dan bila

diregangkan lebih dari 120 % dari resting length kemudian dirangsang

untuk berkontraksi maka kekuatan kontraksinya akan menurun. Demikian

pula bila otot sudah memendek mencapai 50% dari resting length maka

tidak akan mampu berkontraksi bila diberi rangsangan, sedangkan

menurut Guyton (1991 : 594) dari hasil penelitiannya diperoleh hasil yang

sama yaitu bahwa kekuatan otot tergantung dari panjang awal (sarcomer)

sebelum berkontraksi. Otot akan berkontraksi paling kuat apabila

dirangsang pada saat otot dalam keadaan resting length (panjang

fisiologis) atau agak teregang sedikit. Semakin banyak cross bridge yang

menghubungkan aktin dan myosin, makin besar pula kekuatan kontraksi

otot. Kekuatan kontraksi maksimal terjadi bila jumlah cross bridge yang

menghubungkan antar filamen aktin dan myosin paling banyak.

2. Untuk mendapatkan tenaga elastis

Tujuan kedua dari pemberian regangan (stretch) pada otot sebelum

melakukan gerakan yaitu untuk mendapatkan tenaga elastis. Elemen

kontraktil dari otot-otot adalah serabut otot. Beberapa bagian dari otot

bukan kontraktil, seperti ujung membungkus erabut otot yang

berhubungan ke urat daging (tendon), selaput menyilang dari

serabut-serabut otot dan tandon. Elemen kontraktil bersama bagian non kontraktil


(1)

105

sedangkan otot-otot kaki lebih dominan pada gerakan fleksi. Oleh karena itu, powerotot tungkai yang baik akan menunjang kesiapan siswa untuk mencapai prestasi lompatan. Dukungan power otot yang baik, maka siswa dapat berlatih maksimal dan memperoleh hasil optimal pula sehingga dalam penerapannya, guru, pelatih, dan pembina olahraga mempertimbangkan kreteria fisik power otot tungkai yang akan dibentuk dan fokus pada latihan power otot tungkai dalam rangka meningkatkan prestasi lompat jauh.

c. Interaksi antara Metode Latihan dan Tingkat Power Otot Tungkai

Hasil pengujian hipotesis membuktikan bahwa tidak ada interaksi antara penerapan metode latihan dan tingkat power otot tungkai terhadap prestasi lompat jauh. Artinya, bahwa interaksi penerapan metode latihan dan tingkat power otot tungkai tidak memberikan efek hasil yang berbeda secara optimal terhadap prestasi lompat jauh. Berdasarkan analisis diatas, secara simultan keduanya (metode latihan dan power otot tungkai) memberikan kontribusi terhadap besarnya perubahan variabel prestasi lompat jauh, yaitu sebesar 29,7%. Sisanya sebesar 70,3%, perubahannya dipengaruhi oleh variabel lainnya.

Hal ini dapat dijelaskan bahwa untuk memperoleh suatu hasil yang optimal dalam lompat jauh, tidak hanya dibutuhkan latihan dan power otot saja. Tetapi perlu juga diperhatikan variabel-variabel lain antara lain : kecepatan, ketepatan, kelentukan, dan koordinasi gerakan. Selain itu, pelompat juga harus menguasai dan memahami teknik lompat jauh dengan melakukannya secara tepat, luwes dan cepat.


(2)

BAB V

KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan hasil analisis data yang telah dilakukan. dapat diperoleh kesimpulan penelitian sebagai berikut:

1. Tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara metode latihan knee tuck jumps dengan metode squat jumps terhadap prestasi lompat jauh siswa (F-hitung = 0,547, p = 0,464). Penerapan metode latihan tersebut dapat memberikan efek peningkatan yang relatif sama terhadap prestasi lompat jauh.

2. Terdapat perbedaan prestasi yang signifikan antara siswa yang memiliki power otot tinggi dengan power otot rendah (F-hitung = 14,811, p = 0,000). Peningkatan prestasi lompat jauh pada siswa yang memiliki power otot tinggi lebih baik dari pada yang memiliki power otot rendah.

3. Tidak ada interaksi antara metode latihan dan tingkat power otot terhadap prestasi lompat jauh (F-hitung = 1,530, p = 0,224). Interaksi keduanya, tidak memberikan efek hasil yang berbeda secara optimal terhadap prestasi lompat jauh.

B. Implikasi

Berdasarkan kesimpulan yang telah diambil, ternyata metode latihan knee tuck jumps dengan metode squat jumps memiliki efek peningkatan yang relatif sama, sehingga guru, pelatih, dan pembina olahraga cukup menerapkan salah satunya untuk mendukung latihan kekuatan otot dalam rangka meningkatkan prestasi lompat jauh.


(3)

107

Tinggi dan rendahnya kondisi power otot tungkai memberikan pengaruh yang signifikan terhadap peningkatan prestasi lompat jauh. Hal ini menunjukkan bahwa secara independen variabel power otot tungkai memiliki kontribusi yang positif terhadap peningkatan prestasi lompat jauh. Untuk itu, guna meningkatkan prestasi lompat jauh, guru, pelatih, dan pembina olahraga harus mempertimbangkan potensi power otot tungkai dan pemberian perlakuan yang tepat terhadap power otot tungkai agar prestasi lompat jauh meningkat secara signifikan.

C. Saran

Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh maka disampaikan saran-saran sebagai berikut:

1. Pejabat yang berwenang dalam hal prestasi olahraga ( Pengda Atletik, Dinas Pendidikan, Pengcab atletik, klub-klub Atletik) perlu mensosialisasikan hasil penelitian ini melalui seminar-seminar maupun penataran.

2. Guru/ pelatih olahraga disarankan merancang materi pembelajaran secara terprogram dengan memperhatikan karakteristik dan kondisi fisik anak. Latihan plyometrics yang disajikan harus memperhatikan kondisi power otot anak, sehingga dapat meningkatkan prestasi lompat jauh.

3. Bagi peneliti yang ingin mengembangkan penelitian tentang masalah latihan plyometrics dapat melakukan penelitian dengan bentuk latihan yang berbeda dan pengontrolan kovariabel yang ada.


(4)

73

Aip Syarifudin, 1997,

Pengetahuan Olahraga

. Jakarta: CV. Baru.

Ballesteros J. M., 1979.

The Physiological Of Physical Educational And Atletic

.

London : W.B. Sounders Company.

Bernhart Gunter, 1993,

Atletik Prinsip Dasar Latihan Lampat Tinggi. Lompat Jauh,

Jangkit dan Lompat Galah

(Terjemahan). Semarang. Dahara Pres.

Bompa I.O. 1990.

Theory and Methodology Of Training. The Key to Atletics

Performance

. Second Edition Kendall/Hunt : Publishing Company.

Boosey, D. 1980.

The Jump, Conditioning and Technical Training

, Beatrice

Publishing PTY. LTD: Beatrice Avenue.

Clarke, 1980,

Muscular Strenghth and Endurance, Method for Development

, Utah

Bringhton Publishing Company, Salt Lake City

Donald A. Chu, 1992.

Jumping Into Plyometrics

, California: Leisure Press.

Engkos Kosasih, 1994,

Pendidikan Jasmani dan Kesehatan

, Jakarta, Erlangga.

Furchan, A. 1982.

Pengantar Penelitian dalam Pendidikan

. Surabaya : Usaha

Nasional

Gayton Athur C.M.D. 1983.

Text Book of Medical Physiology.

Fitfh Edition Toronto :

B. Sounders Company.

Harsono, 1988.

Coaching dan Aspek-Aspek Phsycologis dalam Coaching

. Jakarta :

Ditjendikti.

Hazeldine, R. 1989.

Fitnes for Sport

. Reansbury.Marlborough Willshire : The

Crowood Press.

James C. Radiliffe, 1985,

Plyometrics Explosive Power Training

. Second ed….

Campaign: Human Kinetititcs Publishers. Inc.

Jansen, C.R. Schulz G.W. Bangerter B.L. 1983.

Applied Kinesiologi and

Biomechanics.

New York : Mc Graw-Hill Inc.

Jarver, 1985,

Belajar dan Berlatih Atletik

(Terjemahan Drs BE, Handoko), Bandung

CV. Pioner Jaya.


(5)

74

Jerver Jess, 1985.

Belajar dan Berlatih Atletik.

(Terjemahan Drs. BE Handoko).

Bandung : CV. Pioner Jaya.

Jess Kaver, 1985,

Belajar dan Berlatih Atletik

(Terjemahan B.E. Handoko) Bandung:

CV. Pionir Jaya.

Johnson Barry L. Nelson Jack K. 1986.

Practical Measure of Evaluation in Physical

Education.

Fourth Edition. United States of Amerika : MacMillan Publishing

Company a division of Macmillan Inc.

Jonath, U. Haag A. & Krepel R. 1987.

Leichtathletic I Laufen Und Springen :

Training-Technik-Tactick

. Alih Bahasa. Soeparmo : Atletik I-lari, Loncat :

(Latihan Tehnik-Taktik), Jakarta : PT. Rosda Jaya.

Lamb David R. 1984.

Physiologhy of Exercise Respones and Adaptions

. Canada :

Mac Milk Publishing Company.

Nossek, Josef. 1982.

General Theory of Training,

Lagos: Asrican Press Ltd.

Pate, Russell R. Clanaghan. Bruce Mc & Rotella Robert. 1993.

Dasar-Dasar Ilmiah

Kepelatihan

(Terjemahan). Semarang : IKIP Semarang Press.

Paul Uram. 1986.

Latihan Peregangan

. Alih Bahasa Oleh Iskandar ZA & Engkos

Kosasaih : Akademika Pressindo.

Power Scotik K, Howley Edward T. 1990.

Exercise Physiology. Theory and

Aplication to Fitness and Performance.

Dubuque USA : Wim. C. Brown

Publishers.

Pyke Fs. 1991.

Better Coaching. Advanced Coach’s Manual.

Australia : L Chucing

Council Inc.

Radcliffe James C. Farentinos Robert C. 1985.

Plyometrics : Explosive Power

Training.

Second Edition Champaign Illnois : Human Kinetics Publisher Inc.

Roji, 1996.

Pendidikan Jasmani dan Kesehatan.

Jakarta : erlangga.

Rolf, W., 1984,

Athletic Ability the Anatomy of Winning

, Medical Publication,

Sweden Wolfe.

Thys, et all, 1972,

Utilization of Muscle Elasticity in Exercise

, Jurnal Applied

Phisiology

Sajoto. M . 1995.

Peningkatan dan Pembinaan Kekuatan Kondisi Fisik Dalam

Olahraga

. Semarang : Dahara Prize


(6)

Sage, 1984.

Motor Learning and Control a Neuropsychological Approach

. Dubuque,

IOWA: Wm.C_ Brown Publishers.

Schmidt, Richard A. (1988).

Motor Learning and Control

:

A Behavioral Emphasis

.

Champaign, Illnois: Human Kinetics Publisher, Inc.

Setyo Rahayu, 1993.

Pengaruh Latihan Plaiometrik dengan Kotak dan Tanjakan

terhadap Kemampuan Daya Ledak dan Kekuatan Anggota Gerak Bawah

,

UNAIR Surabaya.

Siswandari 2006.

Statistika Terapan Bagi Para Peneliti

. Surakarta: Sebelas Maret

University Press.

Singer (1980).

Motor Learning and Human Performance and Aplication to Motor

Skill and Movement Behaviors

(third Edition). New York, London McMillan

Publishing Co. Inc.

Sudibyo Suryobroto, 2001.

Mental Training

, Jakarta : Percetakan Solo.

Sudjana. 2002.

Metode Statistik.

Bandung : Tarsito.

. 2002.

Desain dan Analisis Eksperimen

. Edisi VI. Bandung : Tarsito.

Sugiyanto, 1999.

Belajar Gerak II.

Surakarta : UNS Press.

Suharno, HP. 1986.

Kepelatihan Olahraga

. Yogyakarta : FPOK.

Suharsimi Arikunto, 1992.

Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik

. Jakarta :

Rineka Cipta.

Sunaryo Basuki, 1979.

Atletik I

. Depdikbud Jakarta : Garuda Maju Cipta.

Sutrisno Hadi, 2000.

Metodologi Research Jilid 4

. Yogyakarta : Andi.

Ulrich Jinath, dkk. 1995.

Leichtathletik I Fur Laufen, Rowoh I

, Taschenbuch: Verlag.

Walinga, et a;;, 1984,

Force Development Of Fast and Slow Skeletal Muscle at

Different Muscle Lengths

, American Jurnal Physiologi, i Cell Physiol

Yusuf Adi Sasmita, 1992.

Atletik Bandung: Tarsito