Hubungan Cacing Tanah dan Faktor Fisik Kimia Tanah Hutan Sekunder dan Agroforestri Kopi Analisis Unsur Hara Tanah Media Percobaan

Nilai C-organik di hutan sekunder 4,81 lebih tinggi dari agroforestri kopi 0,65 karena perubahan fungsi hutan menjadi lahan pertanian akan menurunkan nilai C-organik. Hal ini diakibatkan oleh penurunan diversitas vegetasi akan mengurangi jumlah timbunan serasah di atas permukaan tanah. Nilai C-organik yang rendah juga terjadi karena aktifitas dekomposisi karbon organik yang tinggi. Hasil ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan Simanjuntak 2005 di Malang bahwa C-organik di hutan 3,75 lebih tinggi dari kopi campuran 2,84 dan memperkirakan bahwa penanaman tanah hutan tropik dapat mengurangi kandungan C-organik sebesar 40 . Nilai CN di agroforestri kopi 0,97 lebih rendah dari hutan sekunder 8,59 karena kandungan C-organik di agroforestri kopi lebih rendah dari nilai N-total.

4.6 Hubungan Cacing Tanah dan Faktor Fisik Kimia Tanah Hutan Sekunder dan Agroforestri Kopi

Hasil analisis korelasi Pearson antara jumlah individu cacing tanah dengan faktor fisik kimia tanah suhu, pH dan kelembaban menunjukkan bahwa jumlah individu cacing tanah berkorelasi positif secara signifikan terhadap pH tanah hutan sekunder P = 0,544, α = 0,05 Tabel 9; Lampiran 5. Menurut Edwards Lofty 1977 pH tanah merupakan faktor yang sangat berpengaruh terhadap populasi cacing tanah, cacing tanah hidup baik pada pH netral 6 - 7 walaupun terdapat spesies tertentu yang mampu hidup pada pH asam atau basa. Tabel 9 . Korelasi Pearson antara jumlah individu cacing tanah dengan faktor fisik kimia lapangan Faktor Fisik Kimia Korelasi Pearson Hutan sekunder Agroforestri kopi Suhu 0,041 -0,155 pH 0,544 -0,075 Kelembaban -0,292 -0,093 = Signifikan Spesies cacing tanah memiliki kisaran toleransi suhu yang berbeda. Pada umumnya suhu berpengaruh terhadap perkembangan dan reproduksi cacing tanah. Kelembaban sangat berpengaruh terhadap aktivitas pergerakan cacing tanah karena sebagian tubuhnya terdiri atas air berkisar 75 - 90 dari berat tubuhnya. Universitas Sumatera Utara Meskipun demikian cacing tanah masih mampu hidup dalam kondisi kelembaban yang kurang menguntungkan dengan cara berpindah ke tempat yang lebih sesuai atau berdiam Edwards Lofty 1977. 4.7 Respon Pertumbuhan Cacing Tanah Pada Media Percobaan 4.7.1 Berat dan Panjang Tubuh Cacing Tanah Hasil pengamatan mengenai perubahan berat tubuh cacing tanah pada perlakuan media tanah hutan diperoleh bahwa Pontoscolex corethrurus P2 mengalami fluktuasi dari berat terendah pada hari ke 10 796 mgind hingga tertinggi pada hari ke 40 844 mgind Gambar 8; Lampiran 6. Peningkatan berat cacing tanah terjadi pada P. corethrurus, hal ini diduga karena sistem pencernaan P. corethrurus lebih baik dalam menyerap nutrisi bagi tubuhnya. Menurut Gaddie Douglas 1977 proses pencernaan tiap spesies cacing berbeda, tergantung kandungan enzim yang dimiliki cacing tanah tersebut, kondisi bahan organik, mikroba serta protozoa yang bersimbiosis dengannya. Peningkatan berat P. corethrurus tidak begitu berarti karena menurut Bhattacharjee Chaudhari 2002 sebagian besar energi cacing dewasa digunakan untuk memproduksi kokon, namun ketika kokon tidak diproduksi, energi cacing tanah dimanfaatkan untuk pertumbuhan jaringan tubuh. Gambar 8 . Berat tubuh cacing tanah mgind pada media tanah hutan sekunder dengan P. corethrurus P2, Pheretima sp. P3 dan tanah agroforestri kopi dengan P. corethrurus K2 selama 60 hari. P2 P3 K2 Universitas Sumatera Utara Cacing Pheretima sp. pada media tanah hutan sekunder P3 dan P. corethrurus pada media agroforestri kopi K2 mengalami penurunan hingga hari ke 60 karena kondisi media yang kurang mendukung bagi kehidupannya Gambar 8; Lampiran 6. Menurut Paoletti 1999 Pheretima sp. memiliki kisaran toleransi yang lebih sempit dibanding P. corethrurus dan merupakan cacing kelompok anesik yang memiliki kebiasaan membuat terowongan yang dalam, sehingga kebiasaan tersebut tidak didukung oleh tebalnya media percobaan. Perubahan panjang tubuh cacing tanah pada berbagai media perlakuan mengalami fluktuasi. P. corethrurus pada media tanah hutan sekunder P1 mengalami fluktuasi hingga panjang tubuh tertinggi pada hari ke 60 83,24 mmind, Pheretima sp. P3 memperoleh panjang tubuh tertinggi pada hari ke 40 78,92 mmind sedangkan panjang tertinggi P. Corethrurus pada media tanah agroforestri kopi K2 pada hari ke 20 65,16 mmind Gambar 9; Lampiran 6. Gambar 9 . Panjang tubuh cacing tanah mmind pada media tanah hutan sekunder dengan P. corethrurus P2, Pheretima sp. P3 dan tanah agroforestri kopi dengan P. corethrurus K2 selama 60 hari. Berat dan panjang P. corethrurus pada media tanah agroforestri kopi K2 lebih rendah dari perlakuan media tanah hutan dengan P. corethrurus P2 dan Pheretima sp. P3 Gambar 8 dan 9; Lampiran 6. Hal ini diduga karena media tanah hutan sekunder memiliki nutrisi yang lebih baik bagi pertumbuhan cacing tanah dibanding tanah agroforestri kopi. Menurut Edward Lofty 1977 K2 P3 P2 Universitas Sumatera Utara perbedaan jenis media dan spesies cacing tanah mempengaruhi ukuran dan laju pertumbuhan cacing tanah. Selanjutnya Dominguez et al. 2000 menyatakan bahwa energi yang digunakan cacing tanah untuk reproduksi tergantung pada kualitas pakannya. Hasil analisis regresi linier antara berat dan panjang tubuh cacing tanah diperoleh nilai tertinggi pada P. corethrurus pada media K2 R 2 = 0,589, α = 0,05 diikuti P2 R 2 = 0,453 , α = 0,05 dan terendah pada cacing Pheretima sp. pada media P3 R 2 = 0,311 Gambar 10; Lampiran 7. Hal ini menunjukkan bahwa pengaruh berat terhadap panjang tubuh cacing tanah tertinggi terdapat pada P. corethrurus pada media K2 sebesar 58,9 dan P2 sebesar 45,3 , sedangkan cacing Pheretima sp. pada media P3 sebesar 31,1. a b c Gambar 10 . Regresi linier antara berat mgind dan panjang tubuh cacing tanah mmind, yaitu P2 a, P3 b dan K2 c. Universitas Sumatera Utara

4.7.2 Produksi Kokon dan Juvenil Cacing Tanah

Produksi kokon dan juvenil cacing tanah dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti keadaan tanah dan jenis cacing tanah. Pontoscolex corethrurus memproduksi kokon tertinggi pada media tanah hutan P2 di hari ke 50 25,80 butir, sedangkan Pheretima sp. P3 tidak memproduksi kokon sama sekali Gambar 11; Lampiran 8. Hal ini diduga karena Pheretima sp. mengalami penurunan berat tubuh di setiap harinya, selanjutnya Lee 1985 menyatakan bahwa Pheretima sp. termasuk kelompok anesik yang memiliki laju reproduksi tergolong lambat. Gambar 11 . Produksi kokon cacing tanah P. corethrurus pada media tanah hutan sekunder P2 dan tanah agroforestri kopi K2. Kondisi media yang mendukung bagi pertumbuhan berat tubuh cacing akan mendukung bagi reproduksi cacing tersebut Bhattacharjee Chaudhuri 2002, perbedaan jenis media serta perbedaan spesies cacing tanah mempengaruhi produksi kokon Edward Lofty 1977 dan energi yang digunakan cacing tanah untuk reproduksi tergantung pada kualitas pakannya Dominguez et al. 2000. Menurut Bhattacharjee Chaudari 2002, dibutuhkan energi bagi cacing tanah untuk memproduksi kokon, namun ketika kokon tidak diproduksi lagi maka energi digunakan untuk pertumbuhan jaringan tubuh. Rata-rata produksi juvenil P. corethrurus pada media tanah hutan P2 dan agroforestri kopi K2 diperoleh pada hari 40 dengan nilai tertinggi pada media tanah hutan 2,40 ind Gambar 12; Lampiran 8. Hal ini karena media tanah P2 K2 Universitas Sumatera Utara hutan memiliki kandungan organik yang lebih baik dibanding media tanah agroforestri kopi, sehingga mendukung untuk reproduksi cacing tersebut. Jumlah juvenil yang dihasilkan pada setiap media ditentukan oleh jumlah kokon yang mampu menetas dan kondisi media yang mendukung bagi kehidupan cacing tanah tersebut. Menurut Bhattacharjee Chaudari 2002 masa inkubasi kokon cacing tanah berbeda berdasar tipe ekologinya, cacing tanah epigeik mempunyai masa inkubasi 13 - 14 hari, cacing tanah endogeik 15 hari dan cacing tanah anesik memiliki masa yang panjang, yaitu 110 hari. Gambar 12 . Produksi juvenil cacing tanah P. corethrurus pada media tanah hutan sekunder P2 dan tanah agroforestri kopi K2. Kokon dan juvenil yang dihasilkan P. corethrurus mengindikasikan bahwa kondisi media sesuai bagi pertumbuhannya. Penelitian yang dilakukan oleh Nath 2012 di perkebunan karet Tripura India mengenai pertumbuhan dan reproduksi P. corethrurus pada berbagai media campuran pasir dan tanah dengan bahan organik berupa daun karet, daun bambu dan kotoran sapi memperoleh kokon dan juvenil di hari ke 45. 4.8 Faktor Fisik Kimia Media Percobaan 4.8.1 Suhu Suhu harian media pada penelitian ini rata-rata 29,17 °C dengan kisaran harian antara 28,00 °C sampai 30,10 °C. Pada seluruh media percobaan, suhu tanah P2 K2 Universitas Sumatera Utara cenderung mengalami peningkatan hingga hari ke 30 kemudian mengalami fluktuasi hingga hari ke 60 Tabel 10. Buch et al. 2011 menyatakan bahwa cacing Pontoscolex corethrurus P2 dan K2 memiliki kisaran toleransi suhu yang luas sekitar 15 – 32 °C, sehingga cacing ini dapat hidup dengan baik pada berbagai media percobaan. Menurut Lubis 1989, suhu yang ideal untuk Pheretima sp. P3 antara 15 – 23 °C sehingga suhu yang tinggi dapat mengakibatkan kematian pada cacing ini. Tabel 10 . Suhu °C pada berbagai media percobaan sampai hari ke 60 Hari Media P1 P2 P3 K1 K2 28,00 28,00 28,00 28,00 28,00 10 29,38 29,33 29,33 29,28 29,48 20 29,70 29,60 29,77 29,57 29,57 30 30,10 30,03 30,00 29,95 29,95 40 29,03 29,03 29,03 29,07 29,10 50 29,67 29,63 29,57 29,57 29,60 60 28,57 28,23 28,60 28,50 28,63 P1 = media tanah hutan tanpa cacing, P2 = media tanah hutan dengan P. corethrurus, P3 = media tanah hutan dengan Pheretima sp., K1 = media tanah agroforestri, K2 = media tanah agroforestri dengan P. corethrurus. Kisaran suhu pada media percobaan mendukung P. corethrurus untuk memproduksi kokon dan juvenil. Hal ini sesuai dengan hasil yang didapat oleh Bhattacharjee Chaudhuri 2002 bahwa inkubasi dan penetasan kokon P. corethrurus pada suhu 30,11 °C dan 29,76 °C. Selden et al. 2005 menyatakan bahwa suhu media yang baik untuk kehidupan cacing tanah adalah 21 – 27 °C dan cacing tanah hidup pada suhu 20 – 30 °C, selanjutnya menurut Palungkun 1999 suhu saat penetasan kokon antara 15 – 25 °C.

4.8.2 Kelembaban

Kelembaban harian pada media percobaan ini berkisar antara 24,13 sampai 81,67 rata-rata harian 52,46 . Kelembaban pada media tanah hutan sekunder P1, P2 dan P3 mengalami penurunan hingga hari ke 20 kemudian meningkat hingga hari ke 60. Pada media tanah agroforestri kopi, kelembaban pada media K2 mengalami penurunan hingga hari ke 20 kemudian meningkat hingga hari ke 60 sedangkan pada media K1 mengalami fluktuasi hingga hari ke 60 Tabel 11. Universitas Sumatera Utara Tabel 11 . Kelembaban pada berbagai media percobaan sampai hari ke 60 Hari Media P1 P2 P3 K1 K2 67,80 66,60 75,00 35,00 39,00 10 59,10 52,85 60,50 29,30 29,85 20 43,67 40,93 48,73 26,00 24,13 30 49,05 44,60 52,65 38,20 35,75 40 59,13 60,40 63,93 54,20 40,87 50 59,40 63,20 72,27 53,60 50,40 60 65,20 71,13 81,67 62,33 59,80 P1 = media tanah hutan tanpa cacing, P2 = media tanah hutan cacing P. corethrurus, P3 = media tanah hutan cacing Pheretima sp., K1 = media tanah agroforestri, K2 = media tanah agroforestri cacing P. corethrurus. Nilai kelembaban ini diperoleh karena dilakukan penyiraman setiap tiga hari sekali. Hal ini sangat berguna untuk menjaga agar kulit cacing tanah berfungsi normal dan proses respirasi serta reproduksi dapat berlangsung dengan baik. Menurut Dominguez et al. 1997 nilai kelembaban yang ideal bagi kehidupan cacing tanah berkisar antara 80 – 90 dengan nilai optimum sebesar 85 . Pada media percobaan ini cacing tanah menuju bagian bawah media sebagai mekanisme pengaturan hilangnya air dari tubuh, seperti yang dikemukaan oleh Edwards Lofty 1977 bahwa cacing tanah melakukan aestivating, yaitu menurunkan metabolisme dalam tubuh dan mencari tempat yang lebih lembab, seperti bagian bawah media. Gunadi et al. 2003 menyatakan cacing tanah dapat mengalami kematian jika kelembaban media terlalu tinggi.

4.8.3 pH

Nilai pH pada media percobaan ini berkisar antara 6,52 sampai 7,00 dengan nilai rata-rata 6,91. Pada seluruh media percobaan, pH tanah cenderung mengalami peningkatan hingga hari ke 20 kemudian mengalami fluktuasi hingga hari ke 60 Tabel 12. Peningkatan pH hingga hari ke 20 terjadi karena cacing tanah mampu menetralkan pH tanah yang ditempatinya, namun kondisi pH yang netral ini masih sesuai bagi kehidupan cacing tanah. Menurut Hou et al. 2005 kondisi pH ideal bagi media budidaya antara 6,5-8,6. Universitas Sumatera Utara Tabel 12 . pH pada berbagai media percobaan sampai hari ke 60 Hari Media P1 P2 P3 K1 K2 6,52 6,70 6,70 6,62 6,82 10 6,81 6,86 6,86 6,90 6,94 20 7,00 6,99 6,99 7,00 7,00 30 6,97 6,97 6,95 6,98 6,96 40 7,00 6,99 6,98 7,00 7,00 50 6,94 6,95 6,92 6,94 6,96 60 6,94 6,93 6,88 6,95 6,97 P1 = media tanah hutan tanpa cacing, P2 = media tanah hutan cacing P. corethrurus, P3 = media tanah hutan cacing Pheretima sp., K1 = media tanah agroforestri, K2= media tanah agroforestri cacing P. corethrurus.

4.9 Analisis Unsur Hara Tanah Media Percobaan

Pengukuran unsur hara C-organik, N-total, CN, P 2 O 5 dan K 2 Nilai C-organik pada media dengan Pheretima sp P3 = 10,92 dan Pontoscolex corethrurus P2 = 10,66 , K2 = 10,66 lebih tinggi bila dibandingkan dengan media tanpa cacing tanah P1 = 10,39 , K1 = 9,10 . Hal ini disebabkan oleh aktifitas cacing tanah yang dapat meningkatkan kandungan bahan organik tanah. Menurut Scheu 1991 pelepasan C-organik harian melalui ekskresi mukus dari permukaan tubuh dan pada kotoran cacing tanah adalah 0,2 - 0,5 dari total biomassa cacing tanah. O dilakukan pada setiap media percobaan, didapat nilai yang lebih tinggi pada media yang diberi cacing tanah P2, P3 dan K2 dibanding media tanpa cacing tanah P1 dan K1 Tabel 13; Lampiran 9. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa cacing tanah berpengaruh terhadap perubahan unsur hara tanah. Hal ini sesuai dengan penyataan Edwards Lofty 1977 bahwa cacing tanah berperan penting dalam proses daur ulang bahan organik dengan memakan bahan organik dan masa tanah yang dicerna dengan bantuan enzim pencernaan kemudian dihasilkan kascing mengandung mineral dan bahan organik tinggi nutrisi. Nilai hasil pengukuran kandungan unsur hara setiap media percobaan bila dibandingkan dengan nilai unsur hara tanah hutan sekunder dan agroforestri kopi di lapangan, untuk semua unsur mengalami peningkatan. Pemberian cacing tanah pada media percobaan dapat meningkatkan unsur hara tanah melalui aktifitasnya, mukus dan kascing yang lebih subur dari pada tanah sekitar. Universitas Sumatera Utara Tabel 13 . Kandungan unsur hara tanah pada berbagai media percobaan Parameter Media P1 P2 P3 K1 K2 C-organik 10,39 10,66 10,92 9,10 10,66 N-total 0,94 0,97 0,92 1,00 1,17 CN 11,05 10,99 11,87 9,10 9,11 P 2 O 5 0,019 0,019 0,020 0,127 0,128 K 2 0,055 O 0,069 0,078 0,051 0,070 P1 = media tanah hutan tanpa cacing, P2 = media tanah hutan cacing P. corethrurus, P3 = media tanah hutan cacing Pheretima sp., K1 = media tanah agroforestri, K2 = media tanah agroforestri cacing P. corethrurus. Nilai N-total pada media dengan P. corethrurus P2 = 0,97 , K2 = 1,17 lebih tinggi bila dari media tanpa cacing tanah P1 = 0,94 , K1 = 1,00 dan media dengan Pheretima sp. P3 = 0,92 . Hal ini karena proses mineralisasi P. corethrurus berlangsung lebih besar dari Pheretima sp., yaitu P. corehrurus menghasilkan mukus yang lebih banyak dari Pheretima sp. selama masa percobaan. Menurut Lubis 1989 peningkatan kandungan N disebabkan oleh proses mineralisasi bahan organik, pembusukan cacing tanah yang telah mati, urin yang dihasilkan dan eksresi mukus. Mukus yang dihasilkan cacing tanah merupakan suatu protein yang banyak mengandung unsur nitrogen. Rasio CN pada media tanah hutan dengan Pheretima sp. P3 = 11,87 lebih tinggi dari media tanpa cacing tanah P1 = 11,05, K1 = 9,10 dan P. corethrurus P2 = 10,99, K2 = 9,11 karena nilai C-organik lebih tinggi dari nilai N-total. Rasio CN media tanah hutan dengan P. corethrurus P2 = 10,99 lebih rendah dari media tanah hutan tanpa cacing tanah P1 = 11,05 karena menurut Brata 2008 C-organik digunakan sebagai sumber energi untuk metabolisme dan penghasilan bahan lainnya seperti ekskresi mukus pada cacing dan selanjutnya menurut Lubis 1989 karena terjadinya pembakaran karbon dalam proses respirasi. Rasio CN yang didapat pada setiap media percobaan mendekati nilai bahan organik yang ideal dan yang mendekati nisbah CN tanah subur menurut Hanafiah et al. 2005, yaitu 10. Menurut Ndegwa Thompson 2000 cacing tanah dapat tumbuh baik sampai pada rasio CN substrat 25. Rasio CN makanan cacing tanah, yaitu serasah hutan sekunder 14,92 dan agroforestri kopi 17,81 lebih tinggi dari CN tanah pada setiap media percobaan, namun Universitas Sumatera Utara Ndegwa Thompson 2000 menyatakan bahwa cacing tanah lebih memilih bahan organik yang memiliki rasio CN yang lebih rendah sebagai makanannya. Nilai P 2 O 5 Nilai K media tanah hutan dengan Pheretima sp. P3 = 0,020 dan media tanah agroforestri dengan P. corethrurus P2 = 0,128 lebih tinggi dari media tanpa cacing tanah P1 = 0,019 , K1 = 0,127 . Menurut Kuczak et al. 2006 nilai P yang lebih tinggi pada media dengan cacing tanah karena adanya pengaruh pH usus 6,8 dan 6,0 di bagian anterior dan posterior dan pH tanah 5,0 - 5,4, kandungan ekskresi mukus dan peningkatan aktifitas mikroba selama proses pencernaan. Haryati 1994 melaporkan bahwa perlakuan inokulasi Pheretima sp. dapat meningkatkan nilai P tanah dan Kuczak et al. 2006 melaporkan bahwa famili Glossoscolecidae P. corethrurus dapat berperan meningkatkan nilai P tiga kali lebih tinggi pada tanah di hutan sekunder dan agroforestri Amazonia. 2 O media tanah hutan sekunder dan agroforestri kopi dengan P. corethrurus dan Pheretima sp. P2 = 0,069 , P3 = 0,078 , K2 = 0,070 lebih tinggi dari media tanpa cacing tanah P1 = 0,055 , K1=0,051 . Nilai tertinggi pada media tanah hutan dengan dengan cacing Pheretima sp. P3 karena adanya peningkatan mineralisasi unsur tersebut yang disebabkan oleh aktifitas enzim dan mikroorganisme di dalam saluran pencernaan cacing tanah dan menurut Edwards Lofty 1977 kasting yang dihasilkan cacing memiliki nilai K yang lebih tinggi di banding tanah sekitarnya. Haryati 1994 melaporkan bahwa perlakuan inokulasi Pheretima sp. dapat meningkatkan kadar K tanah. Universitas Sumatera Utara

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan analisis data pada penelitian di hutan sekunder dan agroforestri kopi Desa Kutagugung Kecamatan Naman Teran Kabupaten Karo diperoleh kesimpulan bahwa: a. Populasi cacing tanah tertinggi terdapat di agroforestri kopi dengan nilai K = 283,73 indm 2 b. Jenis cacing tanah bioindikator di hutan sekunder, yaitu P. corethrurus KR = 60,81 , FK = 60 dan Pheretima sp. KR= 30,49, FK = 53 sedangkan di agroforestri kopi P. corethrurus KR = 91,73 , FK = 100 . . c. Respon pertumbuhan, produksi kokon dan juvenil tertinggi terdapat pada jenis P. corethrurus pada media tanah hutan dan pengaruh berat terhadap panjang tubuh tertinggi pada jenis P. corethrurus pada media tanah agroforestri kopi. d. Nilai unsur hara tanah C-organik, N-total, CN, P 2 O 5 dan K 2 O lebih tinggi pada media percobaan dengan penambahan cacing tanah.

5.2 Saran

Perlu dilakukan penelitian mengenai populasi cacing tanah dengan waktu yang lebih lama minimal 1 musim agar data yang diperoleh lebih lengkap sehingga diketahui pola fluktuasi cacing tanah pada jangka waktu tertentu dan penelitian mengenai kajian peran jenis cacing tanah jenis bioindikator tanah yang di aplikasikan ke tanaman, sehingga dapat terlihat langsung pengaruhnya terhadap pertumbuhan tanaman. Universitas Sumatera Utara