Nilai C-organik  di hutan sekunder 4,81  lebih tinggi dari agroforestri kopi 0,65  karena perubahan fungsi hutan menjadi lahan pertanian akan
menurunkan nilai C-organik. Hal ini diakibatkan oleh penurunan diversitas vegetasi akan mengurangi jumlah timbunan serasah di  atas permukaan tanah.
Nilai C-organik yang rendah juga terjadi karena aktifitas dekomposisi karbon organik yang tinggi. Hasil ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan
Simanjuntak 2005 di Malang bahwa C-organik di hutan 3,75  lebih tinggi dari kopi campuran 2,84  dan memperkirakan bahwa penanaman tanah hutan
tropik dapat mengurangi kandungan C-organik sebesar 40 . Nilai CN di agroforestri kopi 0,97 lebih rendah dari hutan sekunder 8,59 karena kandungan
C-organik di agroforestri kopi lebih rendah dari nilai  N-total.
4.6  Hubungan Cacing Tanah dan Faktor Fisik Kimia Tanah Hutan Sekunder dan Agroforestri Kopi
Hasil analisis korelasi Pearson antara jumlah individu cacing tanah dengan faktor fisik kimia tanah suhu, pH dan kelembaban menunjukkan  bahwa  jumlah
individu cacing tanah berkorelasi positif secara signifikan terhadap pH  tanah hutan  sekunder  P  =  0,544,  α  =  0,05  Tabel  9; Lampiran 5.  Menurut
Edwards  Lofty 1977  pH tanah merupakan faktor yang sangat berpengaruh terhadap populasi cacing tanah, cacing tanah hidup baik pada pH netral 6 -  7
walaupun terdapat spesies tertentu yang mampu hidup pada pH asam atau basa.
Tabel 9 . Korelasi Pearson antara jumlah individu cacing tanah dengan faktor fisik
kimia lapangan Faktor Fisik Kimia
Korelasi Pearson Hutan sekunder
Agroforestri kopi Suhu
0,041 -0,155
pH 0,544
-0,075 Kelembaban
-0,292 -0,093
= Signifikan
Spesies cacing tanah memiliki kisaran toleransi suhu yang berbeda. Pada umumnya suhu berpengaruh terhadap perkembangan dan reproduksi cacing tanah.
Kelembaban sangat berpengaruh terhadap aktivitas pergerakan cacing tanah karena sebagian tubuhnya terdiri atas air berkisar 75 - 90  dari berat tubuhnya.
Universitas Sumatera Utara
Meskipun demikian cacing tanah masih mampu hidup dalam  kondisi kelembaban yang kurang menguntungkan dengan cara berpindah ke tempat yang lebih sesuai
atau berdiam Edwards  Lofty 1977.
4.7  Respon Pertumbuhan Cacing Tanah Pada Media Percobaan 4.7.1 Berat dan Panjang Tubuh Cacing Tanah
Hasil pengamatan mengenai perubahan berat tubuh cacing tanah pada perlakuan media tanah hutan diperoleh bahwa Pontoscolex  corethrurus  P2  mengalami
fluktuasi dari berat terendah pada  hari ke 10 796 mgind hingga tertinggi pada hari ke 40 844 mgind Gambar 8; Lampiran 6. Peningkatan berat cacing tanah
terjadi  pada  P. corethrurus,  hal ini diduga karena sistem pencernaan P. corethrurus  lebih baik dalam menyerap nutrisi bagi tubuhnya. Menurut
Gaddie    Douglas 1977 proses pencernaan tiap spesies cacing berbeda, tergantung kandungan enzim yang dimiliki cacing tanah  tersebut, kondisi bahan
organik, mikroba serta protozoa yang bersimbiosis dengannya. Peningkatan berat P. corethrurus  tidak begitu berarti karena menurut  Bhattacharjee   Chaudhari
2002  sebagian besar energi cacing dewasa digunakan untuk memproduksi kokon, namun ketika kokon tidak diproduksi, energi cacing tanah dimanfaatkan
untuk pertumbuhan jaringan tubuh.
Gambar 8 .   Berat tubuh cacing tanah mgind pada media tanah hutan sekunder
dengan  P. corethrurus  P2,  Pheretima  sp. P3 dan tanah agroforestri kopi dengan P. corethrurus K2 selama 60 hari.
P2 P3
K2
Universitas Sumatera Utara
Cacing  Pheretima  sp.  pada  media tanah hutan sekunder P3  dan  P. corethrurus pada media agroforestri kopi K2 mengalami penurunan hingga hari
ke 60 karena kondisi media yang kurang mendukung bagi kehidupannya Gambar 8; Lampiran 6. Menurut Paoletti 1999 Pheretima sp. memiliki kisaran toleransi
yang lebih sempit dibanding P. corethrurus dan merupakan cacing kelompok anesik yang memiliki kebiasaan membuat terowongan yang dalam, sehingga
kebiasaan tersebut tidak didukung oleh tebalnya media percobaan. Perubahan panjang tubuh cacing tanah pada berbagai media perlakuan
mengalami fluktuasi. P. corethrurus  pada media tanah hutan  sekunder  P1 mengalami fluktuasi hingga panjang tubuh tertinggi pada hari ke 60
83,24 mmind,  Pheretima  sp. P3 memperoleh panjang tubuh tertinggi pada hari ke 40 78,92 mmind sedangkan panjang tertinggi P. Corethrurus  pada
media tanah agroforestri kopi  K2  pada hari ke 20 65,16 mmind  Gambar  9; Lampiran 6.
Gambar  9
.  Panjang  tubuh cacing tanah mmind pada media tanah hutan sekunder dengan P. corethrurus P2, Pheretima sp. P3 dan tanah
agroforestri kopi dengan P. corethrurus K2 selama 60 hari.
Berat dan panjang P. corethrurus pada media tanah agroforestri kopi K2 lebih rendah dari perlakuan media tanah hutan dengan P. corethrurus  P2 dan
Pheretima  sp. P3 Gambar 8  dan 9; Lampiran 6. Hal ini diduga karena media tanah hutan sekunder memiliki nutrisi yang lebih baik bagi pertumbuhan cacing
tanah dibanding tanah agroforestri kopi. Menurut  Edward   Lofty 1977
K2 P3
P2
Universitas Sumatera Utara
perbedaan jenis media dan spesies cacing tanah mempengaruhi ukuran dan laju pertumbuhan cacing tanah. Selanjutnya  Dominguez  et al.  2000  menyatakan
bahwa  energi yang  digunakan cacing tanah untuk reproduksi tergantung pada kualitas pakannya.
Hasil analisis regresi  linier  antara berat dan panjang tubuh cacing tanah diperoleh nilai tertinggi pada P. corethrurus pada media K2 R
2
= 0,589, α = 0,05
diikuti  P2  R
2
= 0,453 , α = 0,05 dan terendah pada cacing Pheretima sp. pada
media  P3  R
2
= 0,311 Gambar 10; Lampiran 7. Hal ini menunjukkan bahwa pengaruh berat terhadap panjang tubuh cacing tanah tertinggi  terdapat  pada
P. corethrurus pada media K2 sebesar 58,9  dan P2 sebesar 45,3 , sedangkan cacing Pheretima sp. pada media P3 sebesar 31,1.
a b
c
Gambar 10 . Regresi linier antara berat mgind dan panjang tubuh cacing tanah
mmind, yaitu P2 a, P3 b dan K2 c.
Universitas Sumatera Utara
4.7.2 Produksi Kokon dan Juvenil Cacing Tanah
Produksi kokon dan juvenil cacing tanah dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti keadaan tanah dan jenis cacing tanah. Pontoscolex  corethrurus  memproduksi
kokon tertinggi pada media tanah hutan P2 di hari ke 50  25,80 butir, sedangkan Pheretima sp. P3 tidak memproduksi kokon sama sekali Gambar 11;
Lampiran  8. Hal ini diduga karena Pheretima  sp.  mengalami  penurunan berat tubuh di setiap harinya, selanjutnya Lee 1985 menyatakan bahwa Pheretima sp.
termasuk kelompok anesik yang memiliki laju reproduksi tergolong lambat.
Gambar 11 . Produksi kokon cacing tanah P. corethrurus pada media tanah hutan
sekunder P2 dan tanah agroforestri kopi K2. Kondisi media yang mendukung bagi pertumbuhan berat tubuh cacing
akan mendukung bagi reproduksi cacing tersebut Bhattacharjee   Chaudhuri 2002, perbedaan jenis media serta perbedaan spesies cacing tanah mempengaruhi
produksi kokon Edward  Lofty 1977 dan energi yang digunakan cacing tanah untuk reproduksi tergantung  pada kualitas pakannya Dominguez  et al.  2000.
Menurut Bhattacharjee  Chaudari  2002, dibutuhkan energi bagi cacing tanah untuk memproduksi kokon, namun ketika kokon tidak diproduksi lagi maka
energi digunakan untuk pertumbuhan jaringan tubuh. Rata-rata produksi juvenil P. corethrurus pada media tanah hutan P2 dan
agroforestri kopi K2 diperoleh pada hari 40 dengan nilai tertinggi pada media tanah hutan 2,40 ind Gambar 12; Lampiran  8. Hal ini karena media tanah
P2 K2
Universitas Sumatera Utara
hutan memiliki kandungan organik yang lebih baik dibanding media tanah agroforestri kopi, sehingga mendukung untuk reproduksi cacing tersebut. Jumlah
juvenil yang dihasilkan pada setiap media ditentukan oleh jumlah kokon yang mampu menetas dan kondisi media yang mendukung bagi kehidupan cacing tanah
tersebut. Menurut Bhattacharjee  Chaudari 2002 masa inkubasi kokon cacing tanah berbeda berdasar tipe ekologinya, cacing tanah epigeik mempunyai masa
inkubasi 13  -  14 hari, cacing tanah endogeik 15 hari dan cacing tanah anesik memiliki masa yang panjang, yaitu 110 hari.
Gambar 12 . Produksi juvenil cacing tanah P. corethrurus pada media tanah hutan
sekunder P2 dan tanah agroforestri kopi K2. Kokon dan juvenil yang dihasilkan P. corethrurus mengindikasikan bahwa
kondisi media sesuai bagi pertumbuhannya. Penelitian yang dilakukan oleh Nath 2012 di perkebunan karet Tripura India mengenai pertumbuhan dan reproduksi
P.  corethrurus  pada berbagai media campuran pasir dan tanah dengan bahan organik berupa daun karet, daun bambu dan kotoran sapi memperoleh kokon dan
juvenil di hari ke 45.
4.8  Faktor Fisik Kimia Media Percobaan 4.8.1 Suhu
Suhu harian media pada penelitian ini rata-rata 29,17 °C dengan kisaran harian antara 28,00 °C sampai 30,10 °C. Pada seluruh media percobaan, suhu tanah
P2 K2
Universitas Sumatera Utara
cenderung mengalami  peningkatan hingga hari ke 30 kemudian mengalami fluktuasi hingga hari ke 60  Tabel 10. Buch et al.  2011  menyatakan bahwa
cacing Pontoscolex corethrurus P2 dan K2 memiliki kisaran toleransi suhu yang luas sekitar 15  –  32  °C,  sehingga cacing ini  dapat  hidup dengan baik pada
berbagai media percobaan. Menurut  Lubis 1989,  suhu yang ideal untuk Pheretima  sp.  P3 antara 15  –  23  °C  sehingga suhu yang tinggi dapat
mengakibatkan kematian pada cacing ini.
Tabel 10 . Suhu °C pada berbagai media percobaan sampai hari ke 60
Hari Media
P1 P2
P3 K1
K2 28,00
28,00 28,00
28,00 28,00
10 29,38
29,33 29,33
29,28 29,48
20 29,70
29,60 29,77
29,57 29,57
30 30,10
30,03 30,00
29,95 29,95
40 29,03
29,03 29,03
29,07 29,10
50 29,67
29,63 29,57
29,57 29,60
60 28,57
28,23 28,60
28,50 28,63
P1 = media tanah hutan tanpa cacing, P2 = media tanah hutan dengan P. corethrurus, P3 = media tanah hutan dengan Pheretima sp., K1 = media tanah agroforestri, K2 = media tanah agroforestri
dengan P. corethrurus.
Kisaran suhu pada media percobaan mendukung P. corethrurus  untuk memproduksi kokon dan juvenil. Hal ini sesuai dengan hasil yang didapat  oleh
Bhattacharjee    Chaudhuri  2002  bahwa  inkubasi  dan  penetasan  kokon P. corethrurus pada suhu 30,11 °C dan 29,76 °C. Selden et al. 2005 menyatakan
bahwa suhu media yang baik untuk kehidupan cacing tanah adalah 21 – 27 °C dan cacing tanah hidup pada suhu 20 – 30 °C, selanjutnya menurut Palungkun 1999
suhu saat penetasan kokon antara 15 – 25 °C.
4.8.2  Kelembaban
Kelembaban harian pada media percobaan ini berkisar antara 24,13  sampai 81,67  rata-rata harian 52,46 . Kelembaban pada media tanah hutan sekunder
P1,  P2  dan  P3  mengalami penurunan hingga hari ke  20 kemudian meningkat hingga hari ke 60. Pada media tanah agroforestri kopi, kelembaban pada media
K2 mengalami penurunan hingga hari ke 20 kemudian meningkat hingga hari ke 60 sedangkan pada media K1 mengalami fluktuasi hingga hari ke 60 Tabel 11.
Universitas Sumatera Utara
Tabel 11 . Kelembaban  pada berbagai media percobaan sampai hari ke 60
Hari Media
P1 P2
P3 K1
K2 67,80
66,60 75,00
35,00 39,00
10 59,10
52,85 60,50
29,30 29,85
20 43,67
40,93 48,73
26,00 24,13
30 49,05
44,60 52,65
38,20 35,75
40 59,13
60,40 63,93
54,20 40,87
50 59,40
63,20 72,27
53,60 50,40
60 65,20
71,13 81,67
62,33 59,80
P1 = media tanah hutan tanpa cacing, P2 = media tanah hutan cacing P. corethrurus,  P3 = media tanah hutan cacing Pheretima  sp., K1  = media tanah agroforestri, K2 = media tanah agroforestri
cacing P. corethrurus.
Nilai kelembaban ini diperoleh karena dilakukan penyiraman setiap tiga hari sekali. Hal ini sangat berguna untuk menjaga agar kulit cacing tanah
berfungsi normal dan proses respirasi serta reproduksi dapat berlangsung dengan baik.  Menurut  Dominguez  et al.  1997  nilai  kelembaban yang ideal bagi
kehidupan cacing tanah berkisar antara 80 – 90  dengan nilai optimum sebesar 85  . Pada media percobaan ini cacing tanah menuju bagian bawah media
sebagai mekanisme pengaturan hilangnya air dari tubuh, seperti yang dikemukaan oleh Edwards  Lofty 1977 bahwa cacing tanah melakukan aestivating, yaitu
menurunkan metabolisme dalam tubuh dan mencari tempat yang lebih lembab, seperti bagian bawah media. Gunadi et al. 2003 menyatakan cacing tanah dapat
mengalami kematian jika kelembaban media terlalu tinggi.
4.8.3 pH
Nilai pH pada media percobaan ini berkisar antara 6,52 sampai 7,00 dengan nilai rata-rata 6,91. Pada seluruh media percobaan, pH tanah cenderung mengalami
peningkatan hingga hari ke 20 kemudian mengalami fluktuasi hingga hari ke 60 Tabel 12. Peningkatan pH hingga hari ke 20 terjadi karena cacing tanah mampu
menetralkan pH tanah yang ditempatinya, namun kondisi pH yang netral ini masih sesuai bagi kehidupan cacing tanah. Menurut Hou et al. 2005 kondisi pH ideal
bagi media budidaya antara 6,5-8,6.
Universitas Sumatera Utara
Tabel 12 . pH pada berbagai media percobaan sampai hari ke 60
Hari Media
P1 P2
P3 K1
K2 6,52
6,70 6,70
6,62 6,82
10 6,81
6,86 6,86
6,90 6,94
20 7,00
6,99 6,99
7,00 7,00
30 6,97
6,97 6,95
6,98 6,96
40 7,00
6,99 6,98
7,00 7,00
50 6,94
6,95 6,92
6,94 6,96
60 6,94
6,93 6,88
6,95 6,97
P1 = media tanah hutan tanpa cacing, P2 = media tanah hutan cacing P. corethrurus,  P3 = media tanah hutan cacing Pheretima  sp.,  K1  = media tanah agroforestri, K2= media tanah agroforestri
cacing P. corethrurus.
4.9 Analisis Unsur Hara Tanah Media Percobaan
Pengukuran unsur hara C-organik, N-total, CN, P
2
O
5
dan K
2
Nilai C-organik  pada media dengan Pheretima  sp P3  = 10,92   dan Pontoscolex  corethrurus  P2  =  10,66  ,  K2  =  10,66   lebih tinggi bila
dibandingkan dengan media tanpa cacing tanah P1 = 10,39 , K1 = 9,10 . Hal ini disebabkan oleh  aktifitas cacing tanah yang  dapat meningkatkan kandungan
bahan organik tanah.  Menurut  Scheu 1991 pelepasan C-organik harian melalui ekskresi mukus dari permukaan tubuh dan pada kotoran cacing tanah adalah
0,2 - 0,5  dari total biomassa cacing tanah. O dilakukan pada
setiap media percobaan, didapat nilai yang lebih tinggi pada media yang diberi cacing tanah P2,  P3  dan  K2 dibanding media  tanpa cacing tanah P1  dan  K1
Tabel 13; Lampiran  9. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa cacing tanah berpengaruh terhadap perubahan unsur hara tanah. Hal ini sesuai dengan
penyataan Edwards  Lofty 1977 bahwa cacing tanah berperan penting dalam proses daur ulang bahan organik  dengan memakan bahan organik dan masa tanah
yang dicerna dengan bantuan enzim pencernaan kemudian dihasilkan kascing mengandung mineral dan bahan organik tinggi nutrisi. Nilai hasil pengukuran
kandungan unsur hara setiap media percobaan bila dibandingkan dengan nilai unsur hara tanah hutan sekunder dan agroforestri kopi di lapangan, untuk semua
unsur mengalami peningkatan. Pemberian  cacing tanah pada media percobaan dapat meningkatkan unsur hara tanah melalui aktifitasnya, mukus dan kascing
yang lebih subur dari pada tanah sekitar.
Universitas Sumatera Utara
Tabel 13 . Kandungan unsur hara tanah pada berbagai media percobaan
Parameter Media
P1 P2
P3 K1
K2 C-organik
10,39 10,66
10,92 9,10
10,66 N-total
0,94 0,97
0,92 1,00
1,17 CN
11,05 10,99
11,87 9,10
9,11 P
2
O
5
0,019 0,019
0,020 0,127
0,128 K
2
0,055 O
0,069 0,078
0,051 0,070
P1 = media tanah hutan tanpa cacing, P2 = media tanah hutan cacing P. corethrurus,  P3 = media tanah hutan cacing Pheretima  sp., K1  = media tanah agroforestri, K2 = media tanah agroforestri
cacing P. corethrurus.
Nilai N-total  pada media dengan P.  corethrurus  P2  =  0,97  , K2  =  1,17   lebih tinggi bila dari media tanpa cacing tanah P1  =  0,94  ,
K1  =  1,00 dan media dengan Pheretima  sp.  P3 =  0,92  . Hal ini karena proses mineralisasi P.  corethrurus  berlangsung lebih besar dari Pheretima  sp.,
yaitu  P.  corehrurus  menghasilkan mukus yang lebih banyak dari Pheretima  sp. selama masa percobaan. Menurut Lubis 1989 peningkatan kandungan N
disebabkan oleh proses mineralisasi bahan organik, pembusukan cacing tanah yang telah mati, urin yang dihasilkan dan eksresi mukus. Mukus yang dihasilkan
cacing tanah merupakan suatu protein yang banyak mengandung unsur nitrogen. Rasio CN pada media tanah hutan dengan Pheretima  sp.  P3  =  11,87
lebih tinggi dari media tanpa cacing tanah P1  =  11,05,  K1  =  9,10 dan P.  corethrurus  P2  =  10,99,  K2  =  9,11 karena nilai C-organik lebih tinggi dari
nilai N-total. Rasio CN media tanah hutan dengan P.  corethrurus  P2  =  10,99 lebih rendah dari media tanah hutan tanpa cacing tanah  P1  =  11,05 karena
menurut  Brata 2008  C-organik digunakan sebagai sumber energi untuk metabolisme dan penghasilan bahan lainnya seperti ekskresi mukus pada cacing
dan  selanjutnya menurut Lubis 1989  karena terjadinya pembakaran karbon dalam proses respirasi. Rasio CN yang didapat pada setiap media percobaan
mendekati nilai bahan organik yang ideal dan yang mendekati nisbah CN tanah subur  menurut  Hanafiah  et al. 2005, yaitu 10.  Menurut  Ndegwa  Thompson
2000 cacing tanah dapat tumbuh baik sampai pada rasio CN substrat 25. Rasio CN makanan cacing tanah, yaitu serasah hutan sekunder 14,92 dan agroforestri
kopi 17,81 lebih tinggi dari CN tanah pada setiap media percobaan, namun
Universitas Sumatera Utara
Ndegwa  Thompson 2000 menyatakan bahwa cacing tanah lebih memilih bahan organik yang memiliki rasio CN yang lebih rendah sebagai makanannya.
Nilai P
2
O
5
Nilai K media tanah hutan dengan Pheretima  sp.  P3  =  0,020   dan
media tanah agroforestri dengan P. corethrurus P2 = 0,128  lebih tinggi dari media tanpa  cacing tanah P1  =  0,019  ,  K1  =  0,127  .  Menurut
Kuczak  et al.  2006  nilai P yang lebih tinggi pada  media dengan cacing tanah karena  adanya  pengaruh pH usus 6,8 dan 6,0 di bagian anterior dan posterior
dan pH tanah   5,0  -  5,4, kandungan ekskresi mukus dan peningkatan aktifitas mikroba selama proses pencernaan. Haryati 1994 melaporkan bahwa
perlakuan inokulasi Pheretima  sp.  dapat meningkatkan nilai P tanah dan Kuczak et al. 2006 melaporkan bahwa famili Glossoscolecidae P. corethrurus
dapat berperan meningkatkan nilai P tiga kali lebih tinggi pada tanah di hutan sekunder dan agroforestri Amazonia.
2
O media tanah hutan sekunder dan agroforestri kopi dengan P. corethrurus dan Pheretima sp. P2 = 0,069 , P3 = 0,078 , K2 = 0,070
lebih tinggi dari media tanpa cacing tanah P1  =  0,055  ,  K1=0,051  . Nilai tertinggi pada media tanah hutan dengan dengan cacing Pheretima sp. P3 karena
adanya peningkatan mineralisasi unsur tersebut yang disebabkan oleh aktifitas enzim dan mikroorganisme di dalam saluran pencernaan cacing tanah dan
menurut Edwards  Lofty 1977 kasting yang dihasilkan cacing memiliki nilai K yang lebih tinggi di banding tanah sekitarnya. Haryati 1994 melaporkan bahwa
perlakuan inokulasi Pheretima sp. dapat meningkatkan kadar K tanah.
Universitas Sumatera Utara
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan analisis data pada penelitian di hutan sekunder dan agroforestri kopi Desa Kutagugung Kecamatan Naman Teran Kabupaten Karo diperoleh
kesimpulan bahwa:
a. Populasi cacing tanah tertinggi terdapat di agroforestri kopi dengan nilai
K = 283,73 indm
2
b. Jenis cacing tanah  bioindikator di hutan sekunder, yaitu P.  corethrurus
KR = 60,81 , FK = 60  dan Pheretima sp. KR= 30,49, FK = 53 sedangkan di agroforestri kopi P. corethrurus KR = 91,73 , FK = 100 .
.
c. Respon pertumbuhan,  produksi kokon dan juvenil tertinggi terdapat  pada
jenis  P.  corethrurus  pada  media tanah hutan dan pengaruh berat  terhadap panjang tubuh tertinggi  pada  jenis  P.  corethrurus  pada  media  tanah
agroforestri kopi. d.
Nilai unsur hara tanah C-organik, N-total, CN, P
2
O
5
dan K
2
O lebih tinggi pada media percobaan dengan penambahan cacing tanah.
5.2 Saran
Perlu dilakukan penelitian mengenai populasi cacing tanah dengan waktu yang lebih lama minimal 1 musim agar data yang diperoleh lebih lengkap sehingga
diketahui  pola fluktuasi cacing tanah pada jangka waktu tertentu dan  penelitian mengenai kajian peran jenis cacing tanah jenis bioindikator tanah yang di
aplikasikan  ke tanaman, sehingga dapat terlihat langsung pengaruhnya terhadap pertumbuhan tanaman.
Universitas Sumatera Utara