Deskripsi Proses Dan Teknik Pembuatan Sarune Pakpak

(1)

DAFTAR INFORMAN

1. Nama : Bapak Atur P.Solin (45 tahun)

Pekerjaan : Budayawan, Pemusik tradisional Pakpak. Alamat : Kota Sukaramai

2. Nama : Mardi Boangmanalu (23 tahun)

Pekerjaan : Petani, Pemusik Tradisional Pakpak. Pengrajin sarune.

Alamat : Kota Salak

3. Nama : Hasran Manik (55 tahun)

Pekerjaan : Budayawan, Pemusik tradisional Pakpak Alamat : Kota Salak

4. Nama : Tender Sitakar (59 tahun) Pelerjaan : Tokoh adat, tokoh masyarakat Alamat : Kota Sukaramai

5. Nama : Elon Boangmanalu (54 tahun) Pekerjaan : PNS, Tokoh adat Pakpak Alamat : Sumbul, Kabupaten Dairi 6. Nama : Mansehat Manik (56 tahun)

Pekerjaan : Anggota DPRD Kabupaten Pakpak Bharat Alamat : Salak, Kabupaten Pakpak Bharat


(2)

DAFTAR PUSTAKA

Bangun, Jenda. 1992. Odong-odong Ratap Cinta Rimba Pakpak. Sinar Indonesia Baru XIII. Medan.

Berutu, Lister. dan Nurbani Padang. 1998. Tradisi dan Perubahan: Konteks

Masyarakat Pakpak-Dairi. Medan: Monora.

Berutu, Tandak. 1986. Tinjauan Nilai Budaya Yang Terdapat Dalam Cerita

Rakyat Pada Masyarakat Pakpak-Dairi di Desa Kecupak. Hasil Penelitian

FPIPS-IKIP Medan.

Colleman, Griffin. 1983. “Pakpak Batak Kin Groups and Land Tenure: A Study of Descent Organization and its Cultural Geology.” For Degree of Doctor Philosophy. Department of Monash University.

_________. 1983. “The Village As a Category of Pakpak Batak Descent” dalam Rita and Richard Smith Kipp (ed.) Beyond Samosir: Resent Studies of The

Batak People of Sumatera. Athens Ohio: Center for International Studies

Ohio University.

Danandjaja, James. 1986. Folklore Indonesia. Jakarta: Pustaka Grafiti Press, 1986.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1977/1978. “Survei Monografi Kebudayaan Pakpak-Dairi di Kabupaten Dairi Sumatera Utara. Medan: Depdikbud.

_________. 1983/1984. Upacara Tradisional Dalam Kaitannya Dengan

Peristi-wa Alam dan Kepercayaan Daerah Sumatera Utara. Jakarta: Depdikbud.

Hood, Mantle. 1982. The Ethnomusicologist. Ohio. The Kent State University Press.

Hutagaol, Masta. 1993. “Musik Vokal Nangen Pakpak-Dairi: Tinjauan Tekstual dan Musikologis dalam Konteks Penuturan Sukut-sukuten si Tagandera.” Hasil Penelitian Fakultas Sastra USU.

Junus, Umar. 1981. Mitos dan Komunikasi. Jakarta: Sinar Harapan.

Kantor Statistik Kabupaten Dairi, 1997. “Kabupaten Dairi Dalam Angka”, Sidikalang: Pemerintah Daerah Kabupaten Dairi.


(3)

Koentjaraningrat, 1988. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Djam-batan.

____________, 1991. Metode-metode Penelitian Masyarakat. Jakarta: PT. Gra-media.

Kotler, Philip dan A.B.Susanto. 1999. Manajemen Pemasaran di Indonesia :

Analisis, Perencanaan, Implementasi dan Pengendalian. Jakarta : Salemba

Empat.

Malm, William P. 1977. Music Cultures of Pacific: The Near East and Asia. New Jersey: Prentice Hall.

Manik, Tindi Radja. 1977. Kamus Bahasa Dairi Pakpak-Indonesia. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Merriam, Alan P. 1964. The Anthropology of Music. Illinois: North-Western University Press.

Moore, Lynette M. 1979. “A Survey of Instrumental Music of the Pakpak-Dairi of North Sumatra.” The Submitted to the Music Department Faculty of Art Monash University.

______________. 1985. “Songs of the Pakpak of North Sumatra.” Disertasi for Degree of Doctor of Philosophy Department of Music, Monash University.

Naiborhu, Torang. “Odong-odong Sebagai Musik Vokal Pakpak di Desa Kecupak Kecamatan Salak-Dairi: Kajian Tekstual dan Musikologis’. Hasil Penelitian Jurusan Etnomusikologi Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara Medan, 1988.

_______________. “Aspek Musikologis dan Sosiokultural Ensembel Gerantung (Gong Chimes) Pakpak-Dairi.” Lembaga Penelitian Universitas Sumatera Utara Medan. 1994.

Nettl, Bruno.1956. Music in Primitive Culture. Cambridge: Harvard University Press.

___________. 1964. Theory and Method in Ethnomusicology. New York: The Free Press.

___________. 1973. Folk and Traditional Music of the Western Continents. New Jersey: Prentice Hall.


(4)

___________. 1983. The Study of Ethnomusicology: Twenty-nine Issues and

Concepts. Urbana, Illinois, Chicago, London: University of Illinois Press.

Panitia Pesta Jubileum HKBP Simerkata Pakpak. 1986. Eben Ezer: Sejarah 75

tahun Kekristenan di Salak-Simsim. Sidikalang: HKBP Simerkata Pakpak.

Pemerintah Daerah Tingkat II Kabupaten Dairi. 1970. “Seminar Adat Istiadat Pakpak-Dairi.” Sidikalang, 16-20 Maret 1970.

Poerwadarminta, W.J.S. 1982. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka,

Rosita, Anna. 1996. “Deskripsi Organologi Sarune Pakpak-Dairi.” Skripsi Sarjana Etnomusikologi Universitas Sumatera Utara. Medan.

Sangti, Batara. 1977. Sejarah Batak. Balige: Karl Sianipar Company.

Siahaan, Nalom. 1964. Sedjarah Kebudajaan Batak. Medan: Napitupulu & Sons.

Sihombing, Simeon. 2010. “Studi Organologi Poti Marende Sipoholon.” Sekolah Tinggi Agama Kristen Protestan Negeri (STAKPN), Tarutung.

Sinaga, Saridin Tua. 2009. “Kajian Organologis Arbab Simalungun Buatan Bapak Arisden Purba di Desa Maniksaribu Kec.Pematang Sidamanik Kab. Simalungun.” Skripsi sarjana Etnomusikologi Universitas Sumatera Utara, Medan.

Sukapiring, Peraturen dan Amhar Kudadiri. 1990. “Pelajaran Bahasa Pakpak-Dairi”. Hasil Penelitian Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara.

Suparlan. Parsudi. 1984. Manusia, Kebudayaan, dan Lingkungannya. Jakarta: Grafiti Press.

Tarigan, Nismawati. 1987. “Migrasi Orang Pakpak: Studi Antropologi Mengenai Motivasi Migrasi Kasus di Kelurahan Kwala Bekala, Kecamatan Medan Johor.” Penelitian Fakultas Sastra USU Medan.

Suzumu, Khasima. 1980. Measuring and Illustrating musical instrument. Tokyo. Keibonsha Limited Publisher.

Takari,Dkk. 2008. Masyarakat Kesenian di Indonesia. Medan: Universitas Sumatera Utara.

Wulijarni, N. dan Soetjipto. t.t. Pedoman Pengenalan Pohon Hutan di Indonesia. Bogor: Pusat Diklat Pegawai dan SDM Kehutanan Yayasan Prosea Bogor.


(5)

BAB III

SEJARAH SARUNE PAKPAK DAN TEKNIK PEMBUATANNYA

3.1 Sejarah Sarune Pakpak

Hingga saat ini oleh penulis sejarah sarune Pakpak belum dapat dipastikan dari mana asalnya, baik dalam hal persebaran dan juga proses penciptaannya, hal ini dikarenakan adanya beberapa perbedaan infomasi dari berbagai narasumber dan juga referensi yang penulis dapatkan baik melalui penelitian, wawancara, dan juga referensi yang ada.

3.1.1 Legenda sejarah sarune Pakpak menurut Atur P. Solin.

Menurut Atur P. Solin, sejarah sarune Pakpak, baik dalam hal penciptaan maupun persebarannya belum pernah dituangkan dalam bentuk tulisan atau karya ilmiah, sehingga sejarah sarune Pakpak yang mereka ketahui saat ini didapat melalui sukut-sukuten (cerita rakyat, folklore) yang bisa digolongkan ke dalam bentuk legenda12

Atur P. Solin menceritakan bahwa sarune Pakpak terlahir dari sebuah ide seseorang untuk menghibur para petani yang sedang memanen padi mereka, dan boleh dikatakan bahwa fungsi sarune Pakpak saat itu adalah sebagai hiburan dan pemberi semangat bagi para petani yang tengah beristirahat disela-sela kesibukan . Oleh karena itu, penulis memutuskan untuk menuliskan beberapa cerita sejarah sarune Pakpak tersebut agar dapat dijadikan sebagai gambaran bagaimana sebenarnya asal-usul sarune Pakpak tersebut.

12

Danandjaja mengatakan, legenda merupakan cerita prosa rakyat yang dianggap siempunya cerita sebagai suatu kejadian yang sungguh-sungguh terjadi (1985:50).


(6)

mereka bekerja. Pada awalnya, untuk menghilangkan rasa lelah yang tengah mereka rasakan saat itu, timbullah ide seseorang untuk membuatkan sebuah alat yang dapat menghasilkan bunyi-bunyian yang terbuat dari batang padi yang dalam bahasa Pakpak disebut nggala page13 . Nggala page ini dibentuk sedemikian rupa kemudian ditiup hingga menghasilkan bunyi. Alat yang terbuat dari nggala page ini mereka sebut pit14 sebagaimana bunyi dominan yang ditimbulkan oleh alat itu sendiri (onomatopeae). Konon, mendengar bunyian itu para petani yang sedang beristirahat merasa lebih bersemangat dengan rasa lelah yang sudah hilang. Ketika

pit itu dimainkan, ketika itu pula banyak burung camar (garo-garo15

Namun, setiap kali pit dimainkan, hujan selalu turun dan hal ini tentu menggangu pekerjaan untuk memanen padi. Pada masa itu masyarakat Pakpak ) yang beterbangan dilangit mengitari mereka, seakan-akan turut bergembira oleh bunyi-bunyian yang dihasilkan oleh pit tersebut. Oleh karena itulah, masyarakat Pakpak terinspirasi untuk membuatkan sebuah tarian garogaro sebagai ekspresi rasa gembira mereka saat sedang panen memotong padi (menabi page). Tarian ini disebut tatak garo-garo (tarian garo-garo). Sejak saat itu, setiap kali orang Pakpak bergotong royong dalam memanen padi akan selalu ada yang memainkan

pit ketika mereka sedang beristirahat, begitu juga dengan burung garo-garo

tersebut akan selalu beterbangan di atas mereka ketika pit sedang dimainkan. Kini,

tatak garo-garo sangat populer sebagai seni pertunjukan yang banyak ditampilkan

pada kegiatan-kegiatan kebudayaan masyarakat Pakpak.

13

Nggala page terdiri dari ruas-ruas dan buku-buku batang padi.

14

Alat musik musik sederhana yang terbuat dari nggala page.

15

Adalah sejenis burung camar yang banyak ditemui di kabupaten Dairi dan juga Pakpak Bharat.


(7)

percaya bahwa turunnya hujan adalah diakibatkan oleh bunyi pit yang dimainkan. Untuk menghindari kejadian tersebut, maka dicarilah kayu dari hutan untuk dijadikan alat musik tradisional yang nantinya diharapkan dapat menghasilkan bunyi yang sama seperti bunyi yang dihasilkan oleh pit, sehingga alat musik yang terbuat dari kayu tersebut mereka menyebutnya sarune. Namun ketika ditanya mengenai pemilihan nama, Bapak Atur P. Solin tidak mengetahui, mengapa instrumen tersebut disebut sebagai sarune.

3.1.2 Legenda sejarah sarune Pakpak menurut Hasran Manik.

Hasran Manik (55 tahun), menceritakan bahwa sejarah sarune Pakpak adalah sebagai berikut :

Pada jaman dahulu (tanpa diketahui kepastian waktunya) di sebuah desa yang terpencil, hiduplah sepasang suami istri yang sangat miskin. Mereka memiliki seorang anak yang sudah pemuda. Si anak sangat rajin bekerja membantu orang tuanya di sawah (sabah) ataupun di ladang (juma). Sadar akan kemiskinan, pemuda ini sangat jarang untuk bermain-main dengan pria sebayanya yang ada di pedesaan itu, ia hanya pergi ke sawah atau ladang setiap harinya. Seharian penuh si pemuda bekerja dan pada malam harinya beristirahat untuk mengumpulkan tenaga supaya memiliki tenaga yang cukup untuk bekerja kembali keesokan harinya. Kerap kali si pemuda (daholi) merasa minder (menderse) akan kehidupan mereka yang miskin itu, sehingga ketika sedang merasa minder, ia akan melampiaskan perasaan itu lewat nyanyian-nyanyian ratapan (ende-ende


(8)

(pantar

Suatu hari, ketika hari sudah mulai agak siang (nggoling ari

) yang biasa dibangun oleh petani di ladang-ladang maupun sawah. Kebiasaan seperti ini selalu ia lakukan untuk menghibur dan menyemangati dirinya sendiri.

16

16

Waktu nggoling ari adalah waktu ketika matahari mulai condong ke Barat, rentang waktu sekitar pukul 12.30 sd pukul 15.00 waktu setempat.

), si pemuda mendengar burung garo-garo (camar, atau sejenis burung elang pemakan tikus) berkicau di atas sebuah dahan disekitar tempat sipemuda itu melakukan pekerjaannya. Berkali-kali ia mendengar kicauan burung tersebut, sehingga semakin lama ia pun semakin menikmati kicauan itu dan merasa kicauan itu sangat merdu (ndalme) dan sedih (mlungun).

Selama beberapa hari, burung tersebut selalu datang dan selalu mengeluarkan kicauan yang sama seperti hari-hari sebelumnya. Namun pada suatu hari burung tersebut tidak dating. Si pemuda itu menunggunya keesokan harinya, tapi pada saat itu burung tersebut juga tidak datang, begitu juga hingga hari-hari berikutnya burung itu tidak pernah datang lagi. Pada saat itu si pemuda tadi berniat untuk mengambil gala-gala page, nggala page (ruas batang padi) dan membentuknya sedemikian rupa sehingga dapat menghasilkan tiruan suara burung

garo-garo. Namun batang padi tersebut tidak dapat bertahan lama, batang padi itu

pun mulai layu dan akhirnya pecah, sehingga tidak dapat digunakan lagi. Tetapi si pemuda tidak menyerah, ia terus mencoba membuatnya berulang kali hingga menghabiskan beberapa batang padi sampai ia mampu dan mahir untuk membuatnya.


(9)

Setelah batang padi itu mulai bisa mengeluarkan bunyi, ia pun mulai memainkannya, tetapi ia merasa tidak puas karena nada yang dihasilkan hanya satu jenis saja, sementara bunyi yang dihasilkan batang padi itu dapat meniru kicauan burung garo-garo tadi.

Suatu hari ia mendapat ide untuk membuat batang padi tersebut mampu mengeluarkan nada yang berbeda-beda, yakni dengan cara membuat lubang nada (tone hole) pada batang padi tersebut sebanyak enam buah agar dapat meniru berbagai macam suara burung garo-garo maupun burung lainnya. Dari keenam lubang nada, ternyata yang digunakan hanya lima lubang saja, yaitu lubang kedua dari bawah hingga lubang keenam. Sedangkan lubang pertama adalah suara yang hanya menjadi milik burung garo-garo tersebut. Sejak saat itu, setiap kali beristirahat, ia selalu mengambil batang padi sebagai alat untuk menghiburnya, dan alat tersebut ia beri nama sarune sebagaimana ia mendengar suara burung garo-garo itu ketika berkicau.

Pada hari berikutnya, karena batang padi yang ia mainkan tidak bisa bertahan lama karena layu, ia pun berniat untuk menggantikan alat tersebut dengan alat yang dapat bertahan lebih lama, yaitu dengan bambu (buluh) yang prinsip bentuknya berdekatan dengan batang padi, namun ia pun merasa itu belum sempurna, karena setiap kali bambu itu mulai mengering, suaranya pun akan mulai berubah, sehingga ia pun mulai berpikir untuk menggantikannya dengan kayu, hingga alat yang terbuat dari kayu inilah yang disebut sebagai sarune hingga kini.


(10)

3.1.3 Legenda sejarah sarune Pakpak menurut Mansehat Manik

Pada jaman dahulu hiduplah sepasang suami istri yang tersesat di hutan belantara (kerangen longo-longo) ketika hendak mengambil kapur barus (merkebun) dan damar (merdamar) yang ketika itu banyak tumbuh di hutan itu. Berhari-hari kedua orang ini mengumpulkan kapur barus dan damar, hingga tidak sadar bahwa mereka telah semakin jauh masuk ke tengah hutan.

Ketika merek kapur barus dan damar yang dikumpulkan sudah cukup banyak, saatnya mereka untuk pulang membawa hasil tersebut, namun ketika mencari jalan keluar, mereka malah semakin tersesat jauh ke dalam hutan. Karena suami istri ini sudah capai mencari jalan keluar dan malam pun mulai tiba, akhirnya mereka memutuskan untuk mendirikan gubuk kecil yang terbuat dari bambu dan beratapkan daun-daunan untuk tempat mereka beristirahat. Pada keesokan harinya, mereka pun berniat untuk kembali mencari jalan keluar, namun ketika mereka hendak keluar dari gubuk itu, timbul kekhawatiran dalam benak mereka akan semakin tersesat jauh ke dalam hutan.

Setelah dipertimbangkan dengan matang, dengan lokasi yang dekat dengan sungai sebagai sumber air, akhirnya mereka pun memutuskan untuk tinggal dan menetap di tempat itu.17

Pada suatu hari terjadilah badai yang sangat besar, hingga gubuk yang mereka tempati hancur berantakan di tiup angin, semua harta benda yang mereka miliki pun ikut hancur. Ketika badai telah berlalu, sang istri pun merenung sedih Mereka mulai berusaha untuk menikmati kehidupan di tempat barunya, dan mulai bersahabat dengan hewan-hewan yang ada disana.

17


(11)

membayangkan penderitaan yang akan mereka hadapi tanpa tempat untuk mengadu. Suasana yang sunyi dan sepi menambah kesedihan hatinya, walaupun suaminya terus berusaha untuk menghiburnya, namun ia tetap dalam kesedihan. Pada saat kesedihannya sangat memuncak, ia mendengar bunyi-bunyian dari tetesan air yang jatuh menimpa reruntuhan gubuk mereka, dan juga tiupan angin yang berhembus meniup dedaunan, gemuruh air sungai, serta suara-suara binatang lain yang seakan-akan menghibur dirinya. Akibat terbawa suasana yang mulai menghibur itu, ia pun menggerak-gerakkan tubuhnya mengikuti irama suara-suara tersebut (tumatak). Namun kejadian tersebut tidak berlangsung setiap hari, sebab kicauan burung tidak dapat didengarnya, dan suara hewan yang lain pun tidak selalu terdengar setiap harinya, hanya suara sungai sajalah yang bisa ia dengar setiap hari. Hal ini membuat sang istri kembali termenung dalam kesedihan sebagaimana ketika badai terjadi dan memporakporandakan tempat tinggal mereka. Melihat istrinya yang selalu termenung, timbullah dalam niat suaminya untuk menciptakan sebuah alat yang mampu menirukan suara-suara hewan dan bermaksud agar istrinya bisa terhibur. Dia mengambil bambu (buluh) untuk meniru suara burung yang ada di hutan, serta kayu untuk meniru suara hembusan angin. Pada bambu serta kayu tersebut masing-masing diberi lubang agar suaranya dapat diatur dan diganti-ganti sesuai dengan karakter bunyi dari burung dan suara dari angin tersebut. Konon menurut cerita, bambu tersebut diberi nama lobat dan kayu tersebut diberi nama sarune.


(12)

3.2 Pandangan Masyarakat Pakpak Terhadap Sarune Pakpak.

Sarune Pakpak merupakan gambaran kehidupan yang memiliki tendi (roh)

sebagaimana halnya manusia. Sesuatu yang dapat dikatakan memiliki tendi adalah apabila pada benda tersebut terdapat unsur lendung (bayangan yang didapat dari bentuk fisik), daroh (darah), dan juga kesah (napas), yang walaupun unsur utama dari ketiga unsur ini adalah kesah (napas) sebagai unsur utama dalam kehidupan.

Sesuatu benda yang terdiri dari lendung dan daroh belum tentu dapat dikatakan memiliki tendi apabila kesah (napas kehidupan) tidak terdapat didalamnya, tetapi sesuatu yang memiliki kesah (napas kehidupan) sudah pasti terdapat unsur lendung dan daroh didalamnya (Anna Rosita, 1996:56).

Pada sarune Pakpak, bunyi yang dihasilkan melalui tiupan napas dari pemainnya adalah merupakan wujud dari roh (tendi) dari sarune itu sendiri. Sedangkan wujuda dari daroh (darahnya) adalah batang dari sarune itu sendiri yang pada acara adat tertentu, batang sarune ini akan diolesi dengan darah ayam jantan berbulu merah (manuk mbara) atau pun dengan darah ayam betina yang belum pernah bertelur. Tujuannya adalah agar nilai magis dari tendi sarune ini tetap dipertahankan yang menurut kepercayaan masyarakat papak jika nilai magis tetap dijaga maka hasil bunyi daari srune akan maksimal. Sementara

sangar-sangar (resonator) yang berfungsi memperbesar produksi suara yang dihasilkan sarune adalah merupakan wujud dari lendung (bayangan).


(13)

3.3 Proses Pembuatan Sarune Pakpak.

Secara keseluruhan, sarune Pakpak dapat dibagi menjadi lima bagian yang dapat dipisahkan antara satu dengan yang lain, yaitu :

1. Batang, 2. Pit,

3. Kambung baba, 4. Sitongkohi, dan 5. Sangar-sangar.

Proses pembuatan sarune Pakpak pada jaman dahulu telah berbeda dengan proses pembuatan sarune Pakpak pada jaman sekarang, terutama dalam hal pemilihan kayu sebagai bahan utamanya. Oleh karena itu penulis memutuskan untuk memaparkan proses pemilihan kayu dan proses penebangannya pada masa dulu dan proses pembuatan sarune Pakpak pada masa kini.

3.3.1 Proses pemilihan dan penebangan kayu pada jaman dahulu.

Menurut cerita rakyat Pakpak (tori-torien) dari narasumber penulis, pada jaman dahulu ketika manusia masih bisa dihitung jumlahnya di bumi ini, antara manusia dan mahluk hidup yang lain, seperti hewan dan tumbuhan mampu saling berkomunikasi antara yang satu dengan yang lain. Namun karena manusia mulai serakah, Batara Guru (Maha pencipta) mulai murka terhadap manusia. Kepada manusia keamudian dijatuhkan hukuman, yaitu tidak dapat lagi berkomunikasi dengan benda-benda hidup atau mahluk hidup lainnya termasuk kepada pohon. Jika pun ingin berkomunikasi dengan mahluk hidup lain, haruslah melalui


(14)

perantaraan guru (dukun) atau juga dengan sesajian melalui bahasa mantra (tabas) yang secara khusus hanya digunakan pada upacara-upacara yang bersifat religius.

Tuhan Batara Guru tidak hanya menjatuhkan hukuman kepada manusia, tetapi Ia juga menjatuhkan hukuman kepada binatang, yaitu haarus tunduk kepada manusia, dan harus mau dijadikan sebagai sesajian untuk kepentingan manusia, dan juga harus siap menderita jika sewaktu-waktu manusia membutuhkannya.

Salah satu mahluk hidup yang tidak mendapatkan hukuman dari Batara

Guru adalah tumbuhan. Hal ini dikarenakan jaman dahulu hanya

tumbuh-tumbuhanlah yang selalu berbicara kebenaran tanpa sedikitpun kebohongan.

Berdesarkan cereeda inilah masyarakat Pakpak saat itu memilih kayu

junjung bukit sebagai bahan utama pembuatan sarune Pakpak. Kayu junjung bukit

(sejenis kayu meranti) adalah kayu yang terbaik diantara semua kayu yang ada di hutan pada saat itu, kayu ini biasanya tumbuh di hutan yang lebat di puncak- puncak gunung. Dari segi bentuk dan penampilan, kayu junjung bukit memiliki sesuatu yang menonjol dibanding dengan pohon ata kayu yang lain, yakni secara periodik, kulit kayu yang sudah berlumut akan terkelupas dan berganti secara sendirinya dan akan terus berlangsung seperti ini selama kayu tersebut masih hidup.

Pada jaman dahulu, selain mempercayai Batara Guru, orang Pakpak juga mempercayai bahwa hutan dan alam masing-masing memiliki kekuatan yang besar, sehingga manusia perlu meminta izin kepada alam dan penjaga hutan tersebut jikalau ingin mengambil sesuatu dari mereka, misalnya saat hendak menebang kayu yang dianggap berkeramat atau suci. Maka oleh sebab itulah,


(15)

untuk mengambil kayu junjung bukit dari tengah hutan untuk dijadikan sebagai bahan utama pembuatan sarune Pakpak, bukanlah hal yang mudah, melainkan orang yang ingin menebangnya pun harus menjalankan beberapa syarat yang bertujuan sebagai permintaan ijin kepada penjaga hutan dan ke alam semesta karena kayu junjung bukit tersebut merupakan salah satu jenis kayu yang suci.

Berikut adalah beberapa persyaratan yang harus dilaksanakan seseorang jika ingin menebang kayu junjung bukit. Penebang harus menyediakan :

1. Gatap penter, yaitu sehelai daun sirih yang masih segar atau baru diambil

dari pohonnya. Gatap penter tersebut haruslah dengan ruas-ruas yang saling bertemu.

2. Gatap i krimpit, yaitu beberapa helai (biasanya 7 helai) daun sirih yang

masih segar kemudian dipincuk18

3. Beras banu, yaitu beras ketan (beras pulut) yang dicampur dengan air

kunyit kental (tidak terlalu cair) lalu dikepal hingga beberapa kepal sehingga kelihatan warna beras tersebut menjadi kuning. Beras banu ini selanjutnya harus diletakkan di atas daun pisang.

menjadi 7 pincukan yang masing-masing

pincuk sudah diisi dengan: Kapur sirih, pinang yang sudah dibelah kecil-kecil, kemiri (gambiri), dan sebiji lada hitam.

4. Baja minak, yaitu :

a. Minyak Kayu Baja, jenis kayu ini biasanya tumbuh di pinggiran hutan. Batangnya tidak terlalu besar namun sangat keras dan tidak

18

Dibentuk sedemikian rupa untuk dapat dipergunakan. Misalnya daun sirih yang telah diberi kapur, kemiri, dan lada hitam harus dibentuk sedemikian rupa agar mempermudah untuk dimakan.


(16)

mudah patah. Minyak kayu baja diperoleh dengan cara membakar batang kayu baja yang tidak terlalu kering yang nantinya akan mengeluarkan lendir minyak berwarna hitam. Minyak ini kembali diambil dengan serpihan kayu baja kecil lainnya yang diteruskan dengan menggoreskannya di pipi bagian atas atau di lekukan mata bagian bawah orang yang akan menebang pohon kayu Siraja

Junujung Bukit itu.

b. Serpihan Kayu Baja lainnya atau sisa serpihan kayu baja akan digoreskan ke permukaan gigi bagian bawah paling depan. Kemudian serpihan kayu baja yang digoreskan di lekukan mata bagian bawah dan di gigi bagian bawah tadi diambil kembali dan diletakkan di atas beras banu.

Setelah seluruh persyaratan ini tersedia, maka sipenebang berangkat ke hutan untuk mencari dan memilih kayu Siraja junjung bukit yang dibutuhkan. Sesampainya di hutan, semua persyaratan yang telah dibawa diletakkan di atas tanah didekat kayu yang akan ditebang, setelah tanah itu dibersihkan terlebih dahulu.

Sebelum kayu ditebang, sipenebang harus permisi terlebih dahulu kepada penjaga hutan dan ke alam semesta dengan maksud agar kayu yang ditebang nantinya hasilnya baik, caranya ialah memukul tanah dengan telapak tangan kanan satu kali, kemudian sipenebang mengatakan:

...Ooo ale mpung.. Ko Sinangga jehe… Beras pati ni tanoh. Ko Sinangga Julu.. ulang ko tergerrek.. ulang ko terkuncol, ulang ko tersengget.. kudilo


(17)

pe ko, en mo berreenku bamu : Beras banu, baja minak, napuren mpenter, napuren kinirimpit. En mo kubereken bamu asa ulang ko terenggek,ulang ko terkuncol,ulang ko tersengget. Naing kutabah ko kayu SIRAJA JUNJUNG BUKIT, asa mengampuni mo ko, asa mengerjetken mo ko, mengurupi mo ko mendahiken kami; kupakke kami ko. Ooo mpung Debatara guru.. susur mo ko miterruh. Ko beras pati ni tanoh.. Ko debata tengah.. kundul mo ko ke sisada arih.. asa mendengkoh katangken; kutabah pe kayu siraja junjung bukit en asa mengerasaken mo ko menjunjungi kami.

Terjemahan Indonesia:

Wahai eyang.. penghuni hilir, beras pati ni tanoh. Engkau penghuni hulu, jangan engkau terbangun.. jangan engkau terkejut, jangan engkau tersentak.. walau pun engkau ku panggil, ini lah yang ingin kuberikan padamu : beras ketan, minyak kayu baja, sirih bersirip lurus, sirih yang telah dibentuk, ini lah yang akan kuberikan kepadamu agar kamu tidak terbangun, agar kamu tidak terkejut, agar kamu tidak tersentak. Saya ingin menebang kayu siraja Junjung bukit, biar engkau mengampuni, agar engkau memberi berkah, agar engkau membantu bagi kami ; engkau kami pakai. Ooo eyang maha dewata.. turunlah engkau ke bawah,. Engkau beraspati ni tanoh.. engkau dewata tengah.. duduklah engkau yang sehati semufakat, agar engkau mendengarkan permintaan ku ini; ku tebang pun kayu siraja junjung bukit ini, agar engkau merasakan juga menjunjung kami.

Demikianlah bunyi kalimat permintaan yang disampaikan oleh sipenebang kayu kepada seluruh penjaga-penjaga alam semesta sebagaimana mereka percayai bahwa alam ini sangat gaib dan memilki kekuatan yang besar. Oleh karena itu mereka perlu menjaga hubungan yang baik antara alam dengan insan manusia, dengan melakukan syarat seperti di atas, mereka telah menjaga hubungan yang dimaksud sehingga sipenebang dapat menebang kayu Siraja Junjung bukit dan dan selanjutnya dibawa ke kampung untuk dijadikan sebagai bahan pembuatan


(18)

Sarune. Namun, jika syarat ini tidak dilakukan untuk menebang kayu, maka

diyakini sipenebang tidak akan selamat dalam menggunakannya, dan kayu tersebut juga tidak akan pernah baik untuk dijadikan sebagai alat musik yang dapat membawa tuah terhadap pemakainya.

3.3.2 Proses pembuatan sarune Pakpak masa sekarang. 3.3.2.1 Proses pembuatan batang sarune.

Pada awalnya, batang sarune dibuat dari kayu junjung bukit (sejenis kayu meranti), namun karena saat ini kayu tersebut sangat sulit didapatkan, maka sekarang ini kebanyakan batang sarune dibuat dari kayu kelampai(elatereriospermum) atau dalam bahasa Pakpak disebut kayu nggecih. Kayu nggecih memiliki kulit yang agak kasar, dalam pertumbuhannya kayu ini hanya dapat memiliki diameter hingga sekitar 20cm saja dan memiliki tinggi sekitar 15 meter, kayu ini memiliki banyak serat sehingga mudah untuk diukir, kayu nggecih biasanya tumbuh di daerah hutan yang lebat.

Selain kayu nggecih batang sarune juga sering dibuat dari kayu purbari

(ioucephioea willd). Kedua jenis kayu ini lebih mudah didapatkan, karena

pohonnya dapat tumbuh hampir disemua kawasan hutan atau perladangan di kabupaten Pakpak Bharat. Kedua jenis kayu ini memiliki bentuk yang hampir sama dengan kayu junjung bukit, hanya saja tingkat kekerasannya lebih rendah, dan juga kandungan seratnya yang juga lebih rendah dibanding dengan kayu


(19)

Perbedaan kayu tentu mempengaruhi kualitas suara yang dihasilkan, dimana kualitas suara yang terbaik diyakini hanya dihasilkan dari sarune yang terbuat dari kayu junjung bukit saja. Hal ini sudah tentu dikarenakan tingkat kekerasan dan daya serat yang tinggi yang dimiliki oleh kayu junjung bukit tersebut.19

Gambar 2: Kayu Nggecih saat Gambar 3: Kayu Nggecih setelah di bentuk baru di tebang

Berbeda dengan jaman dahulu, jika dahulu dalam menebang kayu harus menjalani syarat ritual, namun sekarang sistem seperti itu tidak berlaku lagi, tidak ada ritual lagi, dan tidak ada sesajian lagi, hanya saja penebangan kayu tidak boleh dilakukan secara sembarangan agar hutan lindung tetap dapat terlestarikan.

Setelah kayu nggecih atau kayu purbari yang cocok sudah ditemukan, maka kayu dapat ditebang langsung dan boleh dibawa ke kampung atau ke rumah untuk diolah menjadi sebuah sarune Pakpak.

19


(20)

Sesampainya di rumah, tahapan selanjutnya adalah pembentukan batang. Pertama, potongan kayu diperkecil berbentuk segi empat, letak empulur (unong) diusahakan agar berada persis di tengah, karena unong inilah yang akan dijadikan sebagai lobang saluran udara pada batang sarune nantinya.

Sebelum kayu mengering, pembuatan lobang saluran udara harus segera dilakukan dengan menggunakan ohor (sejenis bor yang terbuat dari bambu dan dibentuk sedemikian rupa untuk mempermudah melobangi batang kayu). Hal ini dikarenakan pengeboran kayu lebih mudah dilakukan saat kayu tersebut belum kering dibanding pada saat kayu tersebut telah kering.

Gambar 4 : bor (ohor)

Pengeboran kayu dilakukan dengan cara si pengebor harus duduk, kemudiaan bor diberdirikan dengan mata bor (ujung bor yang paling runcing) mengarah keatas, kemudian bagian pangkal pada batang kayu ditusuk secara perlahan-lahan dengan menggunakan mata bor lalu diputar-putar hingga bor menembus ujung batang kayu yang lainnya. Pada saat pengeboran, diusahakan lobang udara pada pangkal lebih besar dibanding lobang udara pada ujung batang kayu.


(21)

Gambar 5: Cara pengeboran batang kayu nggecih (foto: Manik)

Tahap selanjutnya adalah pengeringan, yaitu setelah batang kayu selesai dibor, kayu tersebut harus dikeringkan dahulu dengan cara menyimpannya ke tempat yang terhindar dari sinar matahari. Saat pengeringan dilakukan, kedua ujung batang kayu dan juga bagian tengahnya harus diikat dengan tali, hal ini bertujuan agar batang kayu tersebut tidak mengalami keretakan atau pecah saat proses pengeringan berlangsung.

Setelah batang diperkirakan memiliki kekeringan yang cukup, dengan melihat kadar air yang sudah mengering, maka proses selanjutnya adalah memotong dan membentuk batang tersebut menjadi sebuah batang sarune.


(22)

Ukuran yang dipakai dalam menentukan panjangnya adalah tangan dan jari-jari orang dewasa, sebuah batang sarune memiliki panjang 1 jengkal 5 jari.20

20

1 (satu) jengkal yang dimaksud ialah dari ujung ibu jari hingga ujung jari kelingking. Sebelum batang dibentuk, diambillah daun bayuan (sejenis daun pandan yang tumbuh di kolam, sawah, atau tanah yang lembab), dan daun tersebut dipotong dengan panjang yang sama dengan batang sarune. Daun bayuan, selanjutnya akan dibagi menjadi 11 (sebelas) simpul yang sama (rempu sibellas). Melalui pembagian ini, pada batang sarune diberi tanda untuk membaginya menjadi 11(sebelas) bagian. Sepuluh dari sebelas bagian tadi (10/11)akan dikikis dengan pisau kecil secara konis mengikuti bentuk saluran udara. Pada bagian ujung batang akan menjadi lebih besar dibanding dengan bentuk pangkalnya. Bentuk ini dinamai perekur mbelis, yaitu bentuk yang semakin keujung semakin besar.

Kemudian 1 (satu) bagian sisanya adalah tempat dimasukkannya

sitongkohi yang terdapat pada pangkal sarune, pada bagian ini akan dibentuk


(23)

Gambar 6 :Bentuk pinang muda yang terdapat pada batang sarune.

Setelah tahapan-tahapan di atas selesai dikerjakan, maka tahapan selanjutnya yang harus dilakukan adalah melicinkan bagian luar batang dengan menggunakan pisau kecil atau benda lainnya, seperti kaca, abu sisa pembakaran, atau pasir halus yang diambil dari pinggiran sungai.

Kemudian setelah tahap tersebut selesai dikerjakan, maka tahap berikutnya adalah melakukan kembali pembuatan tanda dengan bayuan yang telah disediakan sebelumnya, yaitu pada penetapan panjang batang sarune, dibagi menjadi 11 (sebelas) bagian untuk menetapkan lobang nada (tone hole)21

Pada jaman dulu, untuk melakukan pembuatan lobang nada pada sarune, sipembuat sarune harus menjalankan beberapa syarat, yaitu membuat lobang nada pada waktu yang tepat; pembuatan lobang yang paling ujung dilakukan harus bertepatan pada malam terakhir bulan purnama bersinar (belah purnama, 14 hari

pada sarune.

21


(24)

bulan)22, tempat lobang yang akan dibuat adalah tepat pada garis ketiga (3/11 bagian) batang sarune. Kemudian lobang berikutnya juga dilakukan pada malam terakhir bulan purnama bersinar, dan dilakukan pada garis ke empat (4/11 bagian), demikian juga pada lobang berikutnya, hingga tahap pembuatan lobang nada selesai dilakukan.23

Setelah letak lobang selesai ditentukan, maka kemudian pembuatan lobang bisa dilakukan langsung. Pembuatan lobang dilakukan dengan menggunakan ohor (sejenis bor yang terbuat dari besi), bor ini dipanaskan di atas api, setelah bor nya berubah warna menjadi merah, kemudian ditus ke tempat lobang nada yang telah diberi tanda. Lobang akan dibentuk dengan sedikit agak miring mengarah ke pangkal, kemiringannya bisa mencapai 40 hingga 45 derajat. Hal ini dilakukan agar udara yang masuk kedalam batang sarune akan dengan mudah keluar dari lobang ini apabila lobang dibuka, selain itu hal ini juga bertujuan agar suara yang dikeluarkan lebih halus tanpa membentur sisi-sisi lobang nada yang dapat mengeluarkan nafas agak keras.

Dengan pembuatan lobang yang demikian, maka satu buah sarune dari awal pembuatan hingga selesai, akan memakan waktu sekitar 6-7 bulan. Namun sekarang ini, untuk membuat lobang nada pada sarune, si pembuat tidak lagi harus menjalankan syarat tersebut, cukup dengan melakukan pengukuran pada batang dan diameter lingkaran batang, sehingga dari hasil pengukuran tersebut ditentukanlah letak lobang pertama, kedua, ketiga, hingga yang terkahir.

24

22

14 (empat bellas) hari bulan maksudnya ialah tanggal 14 (empat belas) pada bulan tersebut.

23

Wawancara dengan Mansehat Manik, pada bulan juli tahun 2013

24

Wawancara: Mardi Boangmanalu,pada bulan juli tahun 2013


(25)

A1

A B C D Gambar 7 : Proses pembentukan batang sarune.

Keterangan gambar :

A : Kayu Ngeccih (shizopheae Spermum) A1 : unog (empurung)

B : kayu setelah dibor dan digambar bentuknya.

C : Penentuan lobang nada, dengan daun bayoan (11 ikatan) D : Batang sarune setelah jadi dan dilobangi.


(26)

3.3.2.2 Proses pembuatan pit.

Pit atau anak sarune adalah istilah dari reed yang digunakan pada sarune

Pakpak. Bahan utama dalam pembuatan pit ini adalah daun make yakni sejenis daun palma yang biasa diperoleh dari hutan, biasanya tumbuhan ini akan tumbuh di tempat yang memiliki kelembaban tanah yang tinggi, seperti pada pinggiran sungai, danau, atau juga rawa. Mardi (23 tahun) mengatakan, sampai sejauh ini untuk bahan pembuatan pit, para pembuat sarune masih menggunakan daun make karena dianggap lebih tahan dan lebih baik. Alternatif lain ubtuk bahan pit dibuat dari daun kelapa atau rumbia.

Gambar 8: Daun (bulung) make yang telah dikeringkan.

Bahan lain yang diperlukan untuk membuat pit ialah batang bulu ayam. Batang bulu ayam ini berfungsi sebagai penyangga atau tempat daun make akan diikat dan dibentuk menadi pit. Sedangkan bahan yang digunakan untuk mengikat daun adalah ijuk atau benang nilon.25

25


(27)

A B

Gambar 9 : A. Benang nilon sebagai pengikat daun make

B. Batang bulu ayam, tempat diikatkannya daun make

Dalam proses pembuatan pit ini, yang pertama dilakukan adalah menggulung daun make. Daun digulung sedemikian rupa hingga membentuk bulatan. Selanjutnya batang bulu ayam dimasukkan ke bulatan daun make tersebut, kemudian kedua benda tersebut diikatkan dengan menggunakan ijuk atau benang nilon agar sisi daun make tersebut menempel rapat dengan batang bulu ayam. Hal ini dilakukan agar hasil suara yang ditiupkan ke daun make tersebut dapat keluar secara terpokus ke lubang sarune melalui lobang batang bulu ayam tersebut.

Tahap selanjutnya yang harus dilakukan adalah menekan pit hingga pipih dan berbentuk konis, panjang daun yang telah dibentuk adalah ± 1 cm, dan panjang batang bulu ayam adalah ± 1,5 sampai 2 cm. Setelah dibentuk, maka panjang keseluruhan adalah mencapai ± 1 cm. sedangkan ukuran lebar daun yang telah dibentuk adalah 0,5 hingga 0,7 cm.


(28)

Akan tetapi, setelah pit selesai dilakukan, pit tersebut belum terjamin untuk dapat berbunyi ketika ditiup. Maka untuk mengatasinya, ada dua cara yang sering dilakukan. Cara pertama: melembabkan daun make dengan menggunakan air liur (air ludah). Hal ini dilakukan dengan cara menempelkan lidah pada bagian pit dan meratakan kelembaban daun dengan menggunakan lidah agar daun tidak terlalu basah. Cara yang kedua adalah menipiskan daun make dengan pisau atau kulit bambu yang telah ditipiskan. Cara kedua ini dilakukan apabila cara pertama gagal, dan cara ini hanya dilakukan apabila situasi sangat mendesak yaitu saat pembuatan pit yang baru tidak dapat dilakukan dalam waktu yang singkat.

Pada umunya daya tahan pit sangatlah terbatas, terutama saat sarune dimainkan dalam durasi yang agak lama. Pit ini sangat mudah basah, sehingga untuk mengatasi masalah saat sarune dimainkan pada durasi yang panjang (biasanya pada upacara adat), para pemain sarune harus menyediakan beberapa

pit cadangan.

Ada dua jenis pit yang ada pada serune Pakpak, kedua jenis ini dibedakan berdasarkan jumlah bilahan daun make yang menjadi reed (penghasil bunyi) pada instrumen sarune tersebut, yang pertama adalah double reed yaitu pit yang memiliki jumlah bilaha reed sebanyak dua lapis, dan yang kedua adalah quart

douple reed, yakni pit yang memiliki bilahan reed sebanyak empat lapis.

Perbedaan jumlah reed ini dibuat tergantung pada tingkat ketebalan daun make. Jika daun make yang ingin dijadikan sebagai reed agak tipis, maka daun tersebut


(29)

akan dilapis hingga empat lapis dalam satu buah pit, namun jika daun make yang akan dijadikan reed cukup tebal, maka cukup dilapis sebanyak dua lapis saja.26

Gambar 11: Double reed (bulung make)

Gambar 12. Quart douple reed

3.3.2.3 Proses pembuatan kambung baba.

Kambung baba adalah alat yang digunakan untuk penampang bibir dan

sekaligus sebagai pembatas pit saat pit dimasukkan kedalam mulut. Selain itu

kambung baba juga berfungsi sebagai penahan mulut yang berisi udara agar tidak

mudah keluar melalui sisi luar pit dan juga sebagai penahan agar pit tidak terlalu masuk kebagian dalam dari mulut pemainnya.

26


(30)

Kambung baba memiliki bentuk seperti lingkaran dengan sedikit

melengkung pada bagian yang akan bersentuhan dengan mulut saat sarune dimainkan. Pada pinggiran kambung baba, biasanya akan dibentuk berbagai variasi seperti berbentuk gerigi, namun ada juga yang tidak memiliki variasi. Pada bagian tengah, akan dibuat lobang sebesar sitongkohi. Diameter keseluruhan dari kambung baba ini adalah sekitar dua ruas jari tengah atau + 5,5 cm.

Pada awalnya, kambung baba terbuat dari tulang tempurung kepala kera, namun sekarang telah diganti dengan menggunakan tempurung kelapa. Hal ini disebabkan kesadaran masyarakat akan pelestarian marga satwa yang berada di daerah kabupaten Pakpak Bharat.


(31)

3.3.2.4 Proses pembuatan sitongkohi.

Sitongkohi merupakan alat yang digunakan sebagai penghubung antara pit, kambung baba dengan batang sarune, pada batang sarune, sitongkohi akan

dihubungkan dengan bagian teratas batang sarune saat dimainkan.

Ada tiga periode yang terjadi dalam perubahan bahan yang digunakan sebagai sitongkohi.

(1) Pada awalnya, sitongkohi terbuat dari ujung tanduk kerbau yang masih keras dan padat. Selanjutnya pada awal abad ke-19, ujung tanduk kerbau digantikan dengan timah. Timah tersebut dibentuk dengan menggunakan cetakan yang telah dipersiapkan sebelumnya. Cetakan tersebut terbuat dari batang bambu yang tebal dan masih basah. Selanjutnya bambu itu akan dibelah menjadi dua bagian. Pada bagian tengah bambu dibuat paritnya sedemikian rupa dengan ukuran tertentu yang telah ditetapkan sesuai dengan jarak dari kambung baba dengan batang sarune. Paritnya akan dibentuk sebanyak dua buah. Dengan membentuk parit pada cetakan, diharapkan akan membentuk dua buah benteng pada sitongkhi setelah pencetakan dilakukan. Benteng yang paling atas berfungsi menahan agar kambung baba tidak terlalumasuk ke batang sarune, sedangkan benteng yang dibawah akan menahan batang sarune.

(3) Proses berikutnya adalah menyatukan kembali kedua belahan kayu dan mengikatnya dengan menggunakan tali atau kawat, sementara itu kayu yang mentah dan lurus harus dipersiapkan untuk dijadikan sebagai pencetak lobang (sumbu) pada bagian tengah cetakan. Diameter kayunya adalah sekitar 0,3 cm. Setelah semua dipersiapkan lalu timah akan dipanaskan hingga mencair


(32)

menggunakan api, setelah itu, timah yang telah mencair akan dituangkan ke dalam cetakan hingga timah tersebut memenuhi cetakan itu. Setelah timah kembali beku dan dingin, kayu pencetak sumbu, boleh ditarik dan ikatan cetakan dibuka kembali. Jika lobang yang dicetak oleh kayu kurang besar, atau tidak seperti yang diharapkan, maka dapat diperbesar dengan menggunakan kawat atau besi dengan cara memasukkan kawat tersebut kedalam lobang dan memutar-mutar kawat tersebut hingga ukuran lobang itu bertambah besar. Sedangkan untuk menghaluskan atau melicinkan bagian timah yang telah dicetak tersebut dapat menggosoknya dengan batu yang halus atau dengan kertas pasir (amplas).

Gambar 14. Proses pencetakan sitongkohi.

Keterangan gambar :

A. Belahan bambu yang telah dibentuk. A1. Parit atas.


(33)

A2. Parit bawah.

B. Cetakan bambu yang telah diikat dan dituangkan timah cair. C. Sitongkohi setelah selesai dicetak.

C1. Benteng atas. C2. Benteng bawah.

Pada periode yang terakhir, yaitu antara akhir abad ke 19 hingga sekarang, sitongkohi tidak lagi terbuat dari ujung tanduk kerbau atau timah melainkan terbuat dari bambu. Bambu yang tengah matang dipotong hingga memiliki panjang sekitar 4cm, kemudian kedua ujungnya diperkecil ukurannya sesuai dengan ukuran batang bulu ayam dan batang sarune.27

Gambar 15 : Sitongkohi yang terbuat dari batang bambu.

3.3.2.5 Proses pembuatan sangar-sangar.

Sangar-sangar merupakan benda yang berfungsi sebagai tabung resonator

pada sarune Pakpak. Sangar-sangar terletak paling ujung dan berada dibagian bawah saat sarune dimainkan. Tanpa sangar-sangar, suara sarune akan turun

27


(34)

sejauh ½ (setengah) laras jika sarune itu dimainkan. Namun sarune yang dimainkan dengan menggunakan sangar-sangar yang tertutup, juga akan kedengaran tidak baik karena suaranya sembab atau tidak nyaring akibat terhalang oleh penutup.28

28

Wawancara denbgan Mardi Boangmanalu pada bulan oktober tahun 2013.

Hal yang perlu diperhatikan saat membuat sangar-sangar adalah pemotongan dan ukuran kayunya. Sangar-sangar diukur berdasarkan panjang batang sarune, yaitu mulai dari pinang muda pada batang sarune hingga lobang nada kelima.

Proses pembuatan sangar-sangar, dimulai dari pembentukan kayu menjadi bentuk empat persegi panjang. Selanjutnya yang dilakukan adalah pembuatan lobang saluran udara pada bagian sangar-sangar secara barrel. Lobang udara pada sangar-sangar meliki ukuran yang lebih besar dibanding lobang saluran udara yang ada pada batang sarune, hal ini bertujuan agar suara yang dihasilkan dari batang sarune melalui pit dapat memantul diantara sisi sangar-sangar tersebut sehingga kedengaran lebih keras, selain itu, juga berkaitan dengan cara pemasangan sangar-sangar ke dalam batang sarune, yaitu dimulai dari ujung batang yang terdapat bentuk pinang muda dan diturunkan hingga sangkut pada ujung sarune paling bawah. Dengan demikian akan terlihat bahwa pada bagian pangkal sangar-sangar (bagian yang paling dekat dengan lobang nada yang pertama dari bawah) akan lebih kecil dibanding dengan bagian ujung yang satunya.


(35)

Setelah semuanya selesai dikerjakan, proses selanjunya adalah pembentukan bagian luarnya (eksternal) dengan mengikuti bentuk bagian dalamnya, yaitu

barrel. Melihat dari bentuknya, masyarakat Pakpak menyebut sangar-sangar

sebagai pinang ntasak karena bentuknya menyerupai buah pinang yang telah masak.29

Gambar 16 A

Simbolisme dari pinang ntasak (buah pinang masak) ini menggambarkan kesempurnaan suara atau menyempurnakan apa maksud sipemain sarune itu ketika sarune tersebut dimainkan. Maksudnya adalah menurut pemain sarune tersebut sejauh apapun kata-kata yang diucapkan oleh pemainnya saat berbicara, tetapi kata-kata itu akan sangat lebih indah jika dikeluarkan melalui suara sarune itu.

29


(36)

Gambar 16 B

Keterangan gambar :

A. sangar-sangar yang telah diberi corak.

B. cara memasukkan dan mengeluarkan sangar-sangar dari batang

sarune.

Setelah kelima tahap di atas selesai dikerjakan, maka dapat dikatakan bahwa proses pembuatan sarune Pakpak yang merupakan alat musik tradisional Pakpak ini telah selesai, artinya setelah kelima bagian di atas disusun sesuai dengan tempatnya, maka sarune tersebut siap untuk dimainkan.

3.3.3 Pengklasifikasian Sarune Pakpak.

Untuk menentukan klasifikasi instrumen sarune Pakpak, penulis menggunakan atau mengacu pada pendapat Sachs dan Hornbostel serta sistem pengklasifikasian yang terdapat pada masyarakat pemilik instrumen ini.


(37)

Sachs–Hornbosterl mengatakan banwa pengklasifikasian alat musik dapat dikelompokkan ke dalam empat bagian yang besar, yakni Idiophones, yaitu kelompok alat musik yang sumber getarannya ditentukan oleh bentuk alami benda itu, atau bisa dikatakan bahwa suara yang dihasilkan berasal dari badan benda itu sendiri. Chordophones, yaitu kelompok instrumen musik yang sumber suaranya berasal dari senar yang terdapat pada alat itu sendiri. Membranophones, yakni alat musik yang sumber suaranya berasal dari membrane, atau kulit yang diregang pada alat musik tersebut, dan aerophones, yaitu alat musik yang sumber getar suaranya berasal dari udara, artinya suara yang diproduksi adalah melalui suatu getaran udara.

Berdasarkan pengklasifikasian di atas, dan setelah mengamati dari segi bentuk dan proses penghasilan bunyi pada sarune Pakpak, maka sarune Pakpak dapat diklasifikasikan kedalam aerophones berlidah ganda (doble reed), dan juga bisa digolongkan ke dalam aerophones berlidah empat (quartdouple) karena ada beberapa sarune yang reednya sebanyak empat lapis dengan jenis oboe.

Sementara jika berdasarkan pengklasifikasian alat musik yang dilakukan oleh masyarakat Pakpak, maka sarune Pakpak dapat digolongkan kedalam kelompok gotci, tapi juga bisa dikelompokkan kedalam oning-oningen. Hal tergantung kepada penyajiannya, yakni jika sarune Pakpak dimainkan bersamaan dengan alat musik tradisional Pakpak lainnya dalam bentuk ensambel, maka


(38)

dimainkan secara sendiri (solo/single atau tunggal), maka sarune Pakpak digolongkan ke dalam kelompok oning-oningen.30

No.

Selain berdasarkan penyajiannya, masyarakat Pakpak juga mengelompakkan alat musiknya berdasarkan cara memainkannya, sehingga berdasarkan cara memainkan, semua alat musik tradisional Pakpak dikelompokkan ke dalam tiga kelompok besar, yaitu : Sipaluun, kelompok alat musik yang cara memainkannya adalah dipukul, sisempulen, yaitu alat musik yang cara memainkannya adalah dihembus atau ditiup, sipiltiken, yaitu alat musik yang dimainkan dengan cara dipetik. Dengan demikian sarune Pakpak dapat dikelompokkan kedalam jenis sisempulen (ditiup).

Tabel-1. Instrumen tradisional Pakpak dan pengelompokannya.

Nama Instrumen Gotci

oning-oningen Sipalun Sipiltiken

Sisempul-en

1 Genderang (gendang 1 sisi) - - -

2 Gendang (gendang 2 sisi) - - -

3 Gerantung (gong chimes) - - -

4 Mbotul (sejenis talempong) - -

5 Gung (gong) - - -

6 Kalondang (silofon) - -

30

Selain sarune, alat musik lain yang dapat digolongkan kedalam oning-oningen adalah lobat, kecapi, suling, dan genggong. Artinya alat musik di atas dapat dipertunjukkan / dimainkan secara tunggal (solo). Sementara alat musik yang tidak pernah dipertunjukkan secara tunggal adalah Genderang, dan juga gung, sehingga kedua alat musik ini harus dikelompokkan kedalam gotci.


(39)

7 Kettuk (bamboo idiofon) - - -

8 Kecapi (lute) - -

9 Sarune (oboe) - -

10 Lobat (rekorder) - -

11

Gennggong (idio-aero

chordo) - -

12 Tengtung (bamboo idiofon) - - -


(40)

BAB IV

KAJIAN FUNGSIONAL SARUNE PAKPAK

4.1 Penyajian Sarune Pakpak

Dalam hal penyajian sarune pada budaya Pakpak, penulis membagikannya kedalam empat tahap penyajian sesuai dengan perkembangan sarune yang berdasarkan informasi yang penulis peroleh dari hasil penelitian di lapangan melalui wawancara dengan pemain musik tradisional yang cukup dikenal di masyarakat Pakpak Bharat. Keempat tahap tersebut adalah pertama (awal), tahap kedua, tahap ketiga adalah pada awal abad ke 20 (dua puluh), dan tahap yang keempat adalah pada masa setelah awal abad ke 20 (dua puluh).

4.1.1 Tahap Awal.

Seperti yang telah diuraikan dalam sejarah sarune yang tertera pada awal tulisan ini, bahwa pada awalnya penyajian sarune Pakpak bertujuan untuk menghibur orang lain yang sedang mengalami kesusahan dan juga untuk menghibur para petani yang tengah bekerja di ladang atau persawahan.

Berdasarkan sejarah pembuatannya, pada awalnya, sarune Pakpak ini diciptakan berdasarkan ilham dari beberapa jenis suara yang ada di lingkungan tempat tinggal masyrakat Pakpak. Suara yang dimaksud adalah seperti suara angin yang berhembus meniup daun-daun yang berada di hutan tepatnya ditempat sepasang suami istri bertempat tinggal, pada saat itu suasana yang sunyi dan sepi membuat hati sang istri merasakan sedih yang amat mendalam, namun mereka


(41)

harus tetap menjalani kondisi seperti itu dalam kehidupan mereka sehari-hari. Saat itu, hanya suara angin dan beberapa kicauan burunglah yang dapat menghibur mereka untuk beberapa saat. Namun suara angin dan kicauan burung tersebut tidak selalu ada untuk menghibur mereka, terkadang suara angin dan burung tidak datang disaat mereka membutuhkannya. Sehingga untuk mengatasi hal ini, sang suami menciptakan alat musik lobat yang terbuat dari bambu untuk menirukan suara burung yang sedang berkicau, dan ia menciptakan sarune untuk menirukan suara angin yang tengah berhembus.

Sehingga dari ceritera di atas, boleh dikatakan bahwa Sarune Pakpak pada saat itu diciptakan untuk menghibur orang yang tengah mengalami kesedihan, kesunyian, atau mungkin juga yang tengah mengalami kesulitan. Dengan dimainkannya alat musik ini diharapkan mereka dapat terhibur.

4.1.2 Tahap kedua.

Pada awalnya, sarune Pakpak tercipta hanyalah sebagai sebuah alat musik tiup yang yang dimainkan guna untuk menghibur seseorang yang sedah bersedih, namun pada beberapa tahun kemudian, alat musik ini digunakan sebagai alat yang dapat mempengaruhi pikiran orang lain, seperti seorang pemuda yang memainkan

sarune untuk memikat hati gadis yang disukainya. Melalui bunyi melodis yang

dihasilkan diyakini dapat membuat pikiran gadis yang dituju menjadi tergila-gila kepada pemuda yang memainkan sarune tersebut. Agar tujuan di atas bisa tercapai, alat musik ini akan dimainkan ditempat yang sepi, dimana sang gadis dapat mendengarnya. Menurut Hasran Manik (55 tahun), jika gadis yang


(42)

ditujunya dapat mendengar, biasanya gadis tersebut akan terhipnotis dan akhirnya datang menghampiri asal suara tersebut, lalu ia akan menawarkan bantuan atau suatu usaha yang lain yang dapat menyenangkan hati si pemain sarune tersebut.

Namun kondisi seperti ini, secara lambat laun semakin berkurang, terutama saat kolonialis Belanda datang dan memasuki wilayah Pakpak, pada saat itu, para penjajah dari Belanda tersebut memasukkan pengaruh kolonialisasinya di tanah Pakpak. Mereka mulai melarang orang Pakpak untuk memainkan segala alat musik, mereka juga melarang masyarakat Pakpak untuk menggunakan unsur magis, dan jika salah satu dari masyarakat Pakpak pada saat itu kedapatan sedang mempergunakan unsur magisnya, maka ia akan dihukum siksa oleh penjajah tersebut.

4.1.3 Tahap ke tiga (awal abad ke 20).

Pada awal abad ke 20, para tokoh adat dan tokoh musik dari Pakpak berniat untuk memasukkan sarune Pakpak ke dalam ensambel genderang (jenis ensambel musik adat Pakpak) yaitu dalam konteks upacara adat suka cita (kerja mbaik) dan upacara adat duka cita (kerja njahat). Hal ini didasari oleh pertimbangan bahwa pada masa itu hanya masyarakat Pakpaklah yang tidak memasukkan sarune kedalam ensambel musik adatnya, sementara pada suku Batak lainnya, seperti Batak Toba, Karo, Simalungun, dan Mandailing telah memasukkan alat musik

sarune ke dalam ensambel musik mereka yang dapat dilihat dari penyajian alat


(43)

Hal yang sama diungkapkan oleh Tender Sitakar (59 tahun), selain itu, ia juga menambahkan bahwa keinginan atau niat para tokoh adat dan tokoh musik Pakpak pada saat itu untuk memasukkan sarune Pakpak kedalam ensambel musik adat semakin besar setelah kelompok opera batak yang dipimpin oleh Tilhang Gultom sering mengadakan pertunjukan didaerah Pakpak, sehingga para tokoh adat dan tokoh musik Pakpak tersebut memtutuskan untuk memasukkan alat musik ini ke dalam ensambel musik Pakpak, dan hingga sekarang alat musik

sarune ini telah dipakai sebagai alat musik melodis pada ensambel musik Pakpak.

4.1.4 Tahap keempat (setelah awal abad ke 20).

Menurut Tender Sitakar, setelah gurunya Sonang Sitakkar31

31

Sonang Sitakkar adalah tokoh adat dan musisi tradisional Pakpak yang terkenal pada jamannya di Dairi (saat itu kabupaten Pakpak Bharat belum dimekarkan dan masih bahagian dari kabupaten Dairi). Selain sebagai tokoh adat dan musisi, beliau juga sangat dikenal sebagai seorang persukut-sukuten (ceritera rakyat) yang sering dipanggil ke berbagai tempat. Beliau juga pernah bergabung dengan opera yang dipimpin oleh Tilhang Gultom dan pernah beberapa kali melakukan pertunjukan di pulau Jawa, bahkan pernah bermain di Istana Negara ketika diundang oleh presiden Soekarno pada saat itu (tahun 60-an).

bergabung dengan kelompok opera batak Tilhang Gultom kegiatan musik adat Pakpak yang menggunakan sarune sebagai instrumen pembawa melodi disamping genderang semakin hari semakin berkurang. Hal ini disebabkan oleh keahlian Sonang Sitakar dalam memainkan hampir seluruh alat musik tradisional Pakpak yang menjadikan masyarakat Pakpak menutup mata terhadap pemain sarune (persarune) yang lain. Jika pun ada pemain sarune yang pandai bermain sarune, dia tidak terlalu dikenal oleh banyak orang (tidak setenar Sonang Sitakar), sehingga berawal dari sana kegiatan bermain musik adat tanpa sarune pun mulai berlangsung (seakan-akan


(44)

kembali ke tahap awal kedua, dimana sarune belum dimasukkan kedalam ensambel).

Akhirnya eksistensi sarune Pakpak pun menjadi semakin berkurang dikalangan masyarakat Pakpak saat itu, hal ini disebabkan oleh kegiatan musik adat yang tanpa memainkan sarune terus berlangsung dan semakin sering dilakukan yang menjadikan masyarakat Pakpak tidak mempertanyakan eksistensi alat musik ini lagi karena mereka sudah terbiasa mendengar genderang dimainkan tanpa sarune. Kalaupun sesekali sarune ikut dimainkan dalam genderang pada upacara adat, masyarakat Pakpak hanya menganggapnya sebagai pelengkap saja, dan jika seandainya pun sarune tidak ada, upacara adat akan tetap berlangsung saat genderang dimainkan. Artinya, Sarune sudah mulai terbaikan keberadaannya. Namun menurut J.H Kabeaken hal itu tidaklah menjadi masalah, sebab pada awalnya pun baik genderang sisibah (ensambel musik adat untuk kerja mbaik yang terdiri dari 9 (sembilan) buah genderang, 4 (empat) buah gong, dan sebuah pongpong), maupun genderang silima (ensambel adat untuk kerja njahat, yang terdiri dari 5 (lima) buah genderang, 4 (empat) buah gong, dan sebuah pongpong tidak pernah menggunakan sarune dalam penyajiannya. Jika pada akhirnya adapun sarune diikut sertakan dalam ensambel genderang sisibah dan genderang

silima, masyarakat Pakpak hanya menganggapnya sebagai pelengkap saja, artinya

jika sarune dan pemainnya ada, boleh ikut dimainkan dan jika tidak ada, itu tidak mempengaruhi musik upacara adat yang akan berlangsung.

Tetapi disisi lain, Pasang Manik berpendapat bahwa menurut beliau, kehadiran sarune dalam ensambel genderang baik genderang sisibah atau pun


(45)

genderang silima akan menambah keanggunan (mende, mbagak) terhadap suara

ensambel tersebut. Disamping itu, beliau juga menambahkan bahwa diikut sertakannya sarune Pakpak pada musik tradisional Pakpak, akan menambahkan

tuah (berkat) kepada orang yang melaksanakan upacara tersebut, sebab menurut

beliau bahwa bunyi atau suara yang dihasilkan oleh sarune adalah kata-kata yang mengandung unsur magis (elmu) sebagai jalan untuk berkomunikasi dengan

Debataguru (maha pencipta), Sumangan ni empung (roh kekuatan dari leluhur)

dan Braspati ni Tanoh (roh penguasa tanah).

Namun kenyataan yang ada saat ini tidak dapat dipungkiri lagi, bahwa proses generasi sarune kenyataannya tidak pernah lagi terlaksana didalam kehidupan masyarakat Pakpak. Generasi muda tidak begitu tertarik dan menggemari alat musik ini, hal ini diakibatkan oleh tingkat kesulitan dalam memainkan alat musik ini dan juga cara membuatnya.32

Untuk membahas penggunaan dan fungsi sarune Pakpak, penulis mengacu kepada pendapat Alan P. Merriam yang mengatakan bahwa penggunaan menekankan pada situasi yang bagaimana musik dipakai pada kegiatan manusia, sedangkan fungsi adalah menyangkut alasan pemakaian dan tujuan digunakannya alat musik tersebut. (1964:210), selanjutnya dikatakan bahwa penggunaan dan

4.2 Penggunaan dan Fungsi Sarune Pakpak

32

Sejauh ini, penulis hanya menemukan satu orang pemuda saja yang mampu memainkan dan membuat sarune Pakpak dengan cukup mahir, dan dia juga telah diakui kehebatannya oleh masyarakat Pakpak Bharat, dia adalah Mardi Boangmanalu, oleh kepiawaiannya dalam memainkan sarune dan berbagai alat musik tradisional lainnya, dia telah sering bermain musik keluar kota, seperti berbagai festival di Jakarta, dan pesta danau Toba di Parapat.


(46)

fungsi adalah merupakan masalah yang sangat penting dalam kajian etnomusikologi karena menyangkut makna musik, fakta-fakta, dan aspek-aspek yang ditimbulkan terhadap manusia dan bagaimana efek musik itu terjadi.

Mengacu pada kedua teori di atas, penulis akan membahas secara rinci penggunaan dan fungsi sarune Pakpak.

4.2.1 Penggunaan Sarune Pakpak.

Musik adalah cipta rasa bagi pemain atau penyajinya. Cipta rasa tersebut selalu berkaitan dengan dua hal, yaitu : kegembiraan (lias ate) dan kesedihan, pelipur lara (ndaoh ate, melungun). Dalam hal ini, sarune sebagai alat musik tradisional Pakpak, sesuai dengan bentuk fisiknya dan bunyi yang dihasilkan sering dimainkan atau digunakan sebagai ungkapan kegembiraaan pada upacara adat perkawinan (merbayo), peresmian rumah adat atau tempat tinggal (mengket

mi bages ) dan lain-lain yang dikelompokkan kedalam bentuk kerja mbaik.33

Dalam berbagai hal dan situasi, terkadang beberapa orang akan mengungkapkan kesedihannya melalui nyanyian ratapan (ende tangis-tangis).

Dalam mengungkapkan rasa kegembiraan, biasanya sarune tidak dimainkan secara sendiri, melainkan akan dimainkan bersamaan dengan instrumen musik lainnya, yang mereka sebut sebagai gotci, seperti pada genderang sisibah, dan juga gerantung. Sedangkan dalam mengungkapkan kesedihan (ndaoh ate) atau pelipur lara (melungun), sarune biasanya akan dimainkan secara tunggal.

34

33

Kerja mbaik pada masyarakat Pakpak adalah segala kegiatan yang bersifat sukacita yang telah direncanakan jauh hari sebelumnya.

34

istilah ende atau tangis-tangis adalah ungkapan kesedihan untuk kaum wanita melalui nyanyian, sementara untuk kaum lelaki nyanyian ungkapan dukalara disebut sebagai odong-odong,


(47)

Namun karena pada umumnya orang Pakpak bersifat pemalu, mereka menjadikan alat musik melodis seperti sarune dan lobat sebagai sarana untuk mengungkapkan kesedihan mereka, sebab jika kesedihan mereka selalu dituangkan kedalam bentuk nyanyian atau ende, orang lain pasti akan mengerti apa yang dirasakan oleh penyanyi, sementara si penyanyi akan merasa malu (mela) jika orang lain mengetahui bahwa ia sedang menangisi kesedihannya. Hal tersebut terlihat saat sarune Pakpak digunakan dalam konteks ungkapan perasaan atau dukalara seperti yang telah disebut di atas, sarune akan selalu dimainkan di tempat yang sepi (jauh dari keramaian), selain karena adanya rasa malu pada diri sendiri (mela diri), hal itu juga dilakukan agar situasi penyajiannya dapat mendukung perasaan pemainnya, sehingga sarune ini sering dimainkan ditempat yang sepi, seperti pada siang hari (nggoling ari) di ladang atau di sawah, pada malam hari biasanya dimainkan di balai desa (bale) ketika suasana sedang sepi.

Penggunaan sarune dalam konteks ungkapan dukalara, biasanya akan selalu dikaitkan dengan kemiskinan, kemelaratan, keputusasaan (mendeles), ataupun kesedihan karena hidup sebatangkara (sada diri) tanpa ada tempat untuk mengadu. Selain karena duka lara tentang kesengsaraan hidup, sarune juga sering dimainkan sebagai ungkapan kesedihan karena percintaan yang gagal atau perkawinan yang kandas akibat kemiskinan atau kemelaratan. Dalam hal seperti ini, biasanya seseorang yang sedang putus asa tersebut akan merasa malu apabila kesedihannya diungkapkan dalam bentuk nyanyian, selain karena takut akan diejek, ia juga takut akan dicemooh oleh orang yang mendengarnya.

dan biasanya para lelaki akan menyanyikan odong-odong (merodong-odong) ketika sedang mengambil getah kemenyan di hutan.


(48)

Seperti yang telah dibahas sebelumnya, bahwa pada masa dahulu, sarune sering dimainkan oleh anak muda (anak perana) untuk menyampaikan atau mengungkapkan rasa cintanya kepada seorang gadis. Untuk tujuan seperti ini, biasanya sarune akan diisi dengan pitunang (keci-keci memperkas), yaitu sejenis sugesti yang dipercaya dapat memikat hati seorang gadis pada jaman itu. Menurut Mansehat Manik, apabila gadis yang dituju mendengar bunyi sarune yang telah diisi keci-keci memperkas tersebut, biasanya si gadis akan gelisah dan bahkan tak jarang mereka akan berusaha menemui pemain sarune tersebut untuk memberikan penghiburan atau menawarkan bantuan kepada pemain sarune tersebut, sehingga dengan memanfaatkan keadaan, sipemain sarune tersebut akan mengungkapkan isi hatinya kepada gadis itu yang tak jarang, akhirnya bisa sampai ke jenjang pernikahan.

4.2.2 Fungsi sarune Pakpak

Beberapa fungsi sarune Pakpak sebagai tujuan dan akibat yang timbul dari penggunaannya yang telah disebutkan di atas, dapat ditelusuri melalui fungsi-fungsi berikut:

4.2.2.1 Fungsi pengungkapan emosional.

Sarune sebagai pengungkapan emosional dapat dilihat saat alat musik

tersebut dimainkan untuk mengungkapkan perasaan seperti rasa sedih dan juga rasa rindu kepada orang tua penyajinya yang telah meninggal dunia. Dorongan


(49)

emosional yang mengakibatkan kesedihan pada diri pemainnya, terutama karena kemelaratan dan penderitaan yang dialami.

4.2.2.2 Fungsi komunikasi.

Sarune berfungsi sebagai alat komunikasi, hal ini dapat dilihat ketika alat

musik ini digunakan oleh anak perana (pemuda) untuk mengkomunikasikan perasaannya kepada gadis yang dikasihinya. Tidak hanya itu, fungsi sarune sebagai alat komunikasi juga dapat terlihat pada saat ensambel genderang sisibah, yaitu repertoar genderang mulana. Pada reportoar ini, sarune adalah sebagai salah satu alat musik yang berperan mengkomunikasikan maksud dan tujuan kesukuten (pelaksana acara atau pesta) melalui pemain sarune-nya kepada Batara Guru (pencipta) agar apa yang diinginkan dapat terkabul.

Sarune sebagai ala komunikasi juga akan terlihat pada upacara adat merkata genderang, karena melodi yang dimainkan adalah merupakan kata-kata atau

permohonan kepada unsure-unsur yang dituju. Jika dikatakan merkata genderang, itu berarti bahwa didalamnya telah terkandung kata-kata dalam bentuk bunyi yang ditujukan untuk mengkomunikasikan sesuatu hal yang lain, sesuai dengan judul reportoar yang akan dimainkan.

4.2.2.3 Fungsi hiburan.

Berdasarkan legenda yang merupakan asal-usul sarune Pakpak, pada awalnya, alat musik ini digunakan sebagai alat untuk menghibur orang lain, dalam hal ini adalah menghibur istri dari pembuat sarune yang sedang bersedih.


(50)

Selanjutnya sarune telah digunakan sebagai alat untuk mengusir rasa jenuh, bosan, dan sunyi saat berada di ladang atau sedang memanen padi di sawah melalui ende-ende muro (nyanyian menjaga padi dan tanaman di sawah atau di ladang). Fungsi sarune sebagai hiburan juga terlihat pada saat genderang dimainkan untuk mengiringi tarian dembas (tarian suka cita dan pergaulan) dimalam bulan purnama.

Sebagai akibat yang ditimbulkan sarune sebagai pengungkapan emosional, maka timbul rasa puas, dimana pemainnya dapat mengungkapkan kesedihan hati dan pendeitaan yang selama ini telah mengganggu hati dan pikirannya. Kini telah tersalurkan yang walaupun kondisi seperti ini berlangsung hanya dalam waktu yang relatif singkat.

4.2.2.4 Fungsi kesinambungan kebudayaan.

Fungsi kesinambungan kebudayaan terlihat ketika sarune dimainkan sebagai alat untuk mengkomunikasikan perasaan seorang pemuda kepada seorang gadis melalui bunyi dan pitunang keci-keci memperkas35

35

Merupakan kekuatan magis yang telah diberi mantra dan sengaja dimasukkan ke dalam sarune dengan maksud agar pemain sarune dapat memikat hati lawan jenisnya melalui suara sarune tersebut.

yang terdapat didalamnya. Berhasilnya cara tersebut hingga gadis yang dituju terpikat dan akhirnya pasangan tersebut dapat sampai ke jenjang pernikahan, maka secara otomatis mereka telah menjalin kesinambungan kebudayaan karena sesuai dengan tujuan utama pernikahan adalah untuk mendapatkan keturunan yang akan mengakibatkan kesinambungan kebudayaan dari generasi orang tua terhadap anak sebagai keturunannya.


(51)

Fungsi sarune sebagai kesinambungan kebudayaan juga terlihat pada saat ini, yaitu kesinambungan kebudayaan masa lalu ke masa kini. Dimana sarune sebagai alat musik tradisional masih digunakan di tengah-tengah kehidupan masyarakat Pakpak yang walaupun secara kuantitas sekarang ini jauh lebih minim dibanding pada jaman dahulu.

4.2.2.5 Fungsi perlambangan.

Fungsi sarune sebagai perlambangan terlihat sangat jelas dari segi bentuk fisiknya, dimana sarune merupakan lambang kehidupan yang dinyatakan dalam tiga unsur, yaitu : lendung (bayangan) yaitu yang terdapat pada sangar-sangar (resonator), daroh (darah) yang terdapat pada batang sarune, dan kesah (nafas) yaitu bunyi yang dihasilkan melalui tiupan sang pemain.

Selain ketiga unsur di atas, terdapat juga pinang muda dan pinang ntasak (pinang yang matang) yang terdapat pada ujung batang sarune dan pada

sangar-sangar. Kedua pinang tersebut adalah merupakan lambang dari kesempurnaan

suara atau maksud dan tujuan pemainnya.

4.3 Tempat Belajar Sarune Pakpak

Menurut Mardi Boangmanalu, tempat yang cocok untuk belajar sarune adalah tempat yang sepi, terhindar dari keramaian dan kebisingan, seperti di

pantar (dangau, gubuk atau rumah kecil yang berada di tengah sawah ataupun


(52)

4.3.1 Di pantar

Pantar merupakan gubuk kecil yang biasanya dibuat di tengah sawah atau

ladang dan kebun. Pantar dibuat karena antara tempat tinggal dan ladang atau sawah memiliki jarak yang cukup jauh. Pantar ini biasanya digunakan untuk tempat berteduh, beristirahat, dan juga sebagai tempat penimpanan alat dan bahan pertanian.

Namun selain itu, pantar juga sering digunakan sebagai tempat kegiatan untuk bermain musik, khususnya oning-oning (instrumen musik solo) yaitu pada saat beristirahat ataupun pada saat menjaga tanaman dari gangguan hewan-hewan seperti kera, babi hutan, atau burung yang sering memakan padi mereka. Pada saat seperti itu, kegiatan bermain musik yang dilakukan adalah sebagai pengungkapan perasaan pemainnya terhadap sesuatu hal yang mempengaruhi pikirannya atau pun untuk mengusir kebosanan dan kejenuhan dari orang yang memainkannya.

Dengan seringnya digunakan sebagai tempat bermain musik, maka proses belajar mengajar dapat dilakukan secara langsung antara murid dengan gurunya, namun ada juga yang belajar secara tidak langsung, yaitu saat berada di pantar ia hanya mendengar, mengingat, lalu mempraktekkannya di tempat yang lain atau ditempat dimana alat musik yang sama dapat ia temukan.

Untuk belajar alat musik secara langsung, biasanya antara murid dengan gurunya terlebih dahulu harus melakukan perjanjian, perjanjian ini adalah mengenai waktu dan tempat dimana mereka akan belajar, dan biasanya kedua hal tersebut akan ditentukan oleh sang guru sebagai pengajar. Pengajaran alat musik yang dilakukan di pantar biasa akan berlangsung secara tidak formal, yaitu


(53)

kegiatan belajar akan dilakukan secara bersamaan dengan melakukan kegiatan yang utama, yakni menjaga tanaman dari berbagai macam hewan, sehingga dengan demikian, konsentrasi siguru akan terbagi antara mengajar dengan menjaga tanaman.

4.3.2 Di balai desa (Bale).

Kegiatan proses belajar mengajar di bale akan berbeda dengan yang dilakukan di pantar, pengajaran yang dilakukan di bale akan bersifat lebih formal. Hal ini didukung oleh keberadaan bale itu sendiri, yaitu selain untuk tempat bermusyawarah bagi warga desa, bale juga berfungsi sebagai tempat berkumpul bagi para kaum pria pada malam hari. Selain itu, bale juga digunakan sebagai tempat penyimpanan benda-benda pusaka milik desa serta alat-alat musik tradisional, baik oning-oning maupun gotci.

Tersedianya alat musik di tempat ini, menjadikan orang-orang yang ingin belajar menjadi mudah untuk memperoleh alat musik yang akan dipelajari. Sedangkan waktu untuk mengadakan proses belajar mengajar pun tidak dibatasi, artinya proses belajar dapat dilakukan pada siang atau pun pada malam hari. Pada siang hari, yang menjadi pengajar biasanya adalah orang-orang yang telah tua yang tidak mampu untuk bekerja di ladang lagi.

Biasanya seseorang yang mengetahui kemampuan orang tua untuk memainkan sarune akan memanfaatkan situasi pada siang hari untuk belajar secara khusus dari orang tua tersebut, dan kemudian pada malam harinya dia akan mempraktekkannya kembali di bale itu ketika orang-orang berkumpul disana,


(54)

dengan maksud agar orang lain mendengarnya dan berharap mereka mengomentari atau memberi saran untuk permainannya. Jika ia merasa masih kurang mahir untuk memainkan instrumen tersebut sesuai dengan komentar dari orang-orang yang telah mendengarnya, maka pada keesokan harinya ia akan menjumpai gurunya dan kembali berlatih hingga ia benar-benar mahir untuk memainkan alat musik itu, sehingga dengan demikian boleh dikatakan bahwa kemahiran seseorang untuk memainkan alat musik tidaklah dinilai oleh gurunya, dan juga olehnya, melainkan melalui hasil komentar dan juga pujian yang diberikan oleh orang-orang yang telah mendengarnya.

4.4 Proses belajar Sarune Pakpak

Untuk mempelajari cara memainkan sarune, yang pertama dilakukan adalah menghafal lagu yang akan dimainkan terlebih dahulu, dan proses menghafal lagu dilakukan secara oral, yakni dengan meniru lagu yang dimainkan oleh sang guru tanpa menggunakan simbol nada atau notasi.36

Setelah lagu dikuasai oleh sang murid maka proses selanjutnya adalah belajar meniup sarune. Tehnik meniup sarune merupakan proses yang penting dan yang utama dalam bermain sarune, sebab dalam bermain sarune proses peniupan harus dilakukan secara terus menerus tanpa terputus, proses ini disebut sebagai sircular breathing, merupakan tehnik penyajian yang khas dalam bermain

sarune yang oleh masyarakat Pakpak disebut dengan pulih nama. Jika pulih nama

belum dikuasai oleh murid, maka permainan sarune tersebut dianggap belum

36

Masyarakat Pakpak tidak memiliki sistem notasi sebagai simbol nada musik, tetapi memiliki sistem melalui lambang suku kata untuk menirukan nada yang didengar, yaitu no-la-le-ni-na-no-la-le-ni.


(55)

memenuhi syarat, sebab faktor yang paling utama dalam menghasilkan nada-nada pada sarune Pakpak adalah tehnik pernafasan. Semakin tinggi nada yang akan dimainkan, maka akan semakin banyak pula tekanan udara yang dibutuhkan, begitu juga sebaliknya, jika nada yang akan dimainkan semakin rendah maka tekanan udara yang diperlukan juga tidak akan terlalu besar. Sedangkan untuk mengatur tekanan udara yang diperlukan untuk memproduksi nada-nada sarune akan diatur dengan cara mengisi udara ke dalam rongga mulut lalu mengeluarkannya sesuai dengan kebutuhan yang diperlukan.

Untuk memproduksi nada-nada yang tinggi, maka udara yang dikeluarkan dari rongga mulut harus sehemat mungkin namun harus dengan tiupan yang sekuat mungkin, sehingga untuk dapat melakukannya adalah dengan merapatkan bibir ke kambung baba, dengan demikian, maka udara dapat dihemat, tidak terlalu banyak terbuang. Sebaliknya untuk memproduksi nada yang paling rendah, maka tekanan udara dan peniupan harus dikurangi, demikian seterusnya, semakin rendah nada yang dihasilkan, maka semakin lemah pula tiupan yang diperlukan dan semakin tinggi nada yang dikeluarkan, maka semakin kuat pula tekanan udara yang diperlukan.

Proses selanjutnya yang perlu dipelajari adalah teknik permainan lidah untuk memproduksi pola ritem. Pola ritem dalam permainan sarune hanya dihasilkan melalui peranan lidah para pemainnya, yaitu dengan cara mendorong - dorongkan lidah ke depan sesuai dengan pola ritem lagu yang dimainkan.


(56)

Jika semua tahapan di atas telah dapat dikuasai oleh sang murid, maka murid itu dapat dikatakan memenuhi syarat untuk belajar sarune, disertai dengan mempelajari teknik menghasilkan nada-nada.

Dalam proses belajar sarune Pakpak, faktor yang diutamakan dari si murid adalah bakat, sebab seorang murid yang tidak berbakat tidak akan dapat merasakan makna musik yang akan dimainkannya. Namun selain bakat, keseriusan dan keuletan si murid juga sangat dituntut dalam proses belajar sarune Pakpak ini. Sehingga melalui kedua faktor ini, menurut Mansehat Manik maka akan timbul keakraban seseorang dengan alat musik yang dimainkannya.

Waktu atau durasi yang diperlukan untuk belajar sarune ini sangatlah lama, tetapi itu akan tergantung keseriusan, kesabaran dan keterampilan si murid, jika muridnya dapat dengan mudah mengerti apa yang diajarkan oleh gurunya, maka bisa saja pengajaran berlangsung dengan cepat.

4.5 Posisi Tubuh Saat Bermain Sarune Pakpak

Posisi tubuh dalam memainkan sarune pada umumnya adalah dengan duduk bersila dengan gaya yang lebih bebas dan rileks, terutama dalam upacara– upacara adat. Posisi seperti ini akan menjadikan pemainnya dapat bermain sarune dalam waktu yang cukup panjang. Pada saat bermain sarune, umumnya tenaga akan diarahkan pada bagian pinggang dan kepala, oleh sebab itu posisi duduk harus bersila karena pada posisi seperti itu tumpuan badan dan berat tubuh akan bertumpu pada bagian pinggul pemain.


(57)

(58)

4.5.1 Cara memegang Sarune

Saat bermain sarune, jari tangan berfungsi sebagai pembuka dan penutup lobang sarune, namun disamping itu jari tangan juga sekaligus berfungsi sebagai penahan atau penyangga dari alat musik sarune itu. Saat menahan dan memegang

sarune ini tidak boleh terlalu kuat, karena jika sarune itu dipegang terlalu kuat

maka jari tangan akan kaku untuk membuka dan menutup lobang sarune, sehingga jika jari tangan kaku maka hal itu akan menjadi sulit untuk memproduksi nada yang diinginkan oleh lagu yang sedang dimainkan.

4.5.2 Posisi jari tangan

Dalam posisi bermain, posisi jari tangan adalah jari tangan kanan berada pada posisi sebelah atas atau posisi paling dekat dengan kambung baba, sedangkan jari tangan kiri akan berada pada posisi sebelah bawah, yaitu posisi yang paling dekat dengan sangar-sangar. Namun posisi jari seperti bukanlah merupakan suatu keharusan, artinya ada juga pemain sarune yang memainkan

sarune dengan posisi tangan kiri berada di bagian atas dan tangan kanan berada

dibagian bawahnya. Jadi posisi ini ditentukan oleh masing-masing pemain sesuai dengan kenyamanannya memainkan sarune.

Untuk menempatkan jari tangan pada lobang nada sarune, maka diperlukan jumlah jari yang sama dengan jumlah lobang nada yang ada pada sarune, yaitu enam. Namun dari keenam lobang nada tersebut hanya akan menghasilkan lima nada saja untuk setiap jenis reportoar lagu, sedangkan satu buah lobang nada lainnya adalah merupakan nada oktaf yaitu nada yang paling rendah dari sarune.


(59)

Berdasarkan hal di atas, maka dapat dijelaskan bahwa selain berfungsi sebagai lobang nada, lobang yang paling bawah juga berfungsi sebagai panggora atau pengaloi (penyeru atau penyahut). Hal itu berfungsi untuk memberikan aksentuasi pada permainan sarune, yaitu khusus pada nada pertama hingga pada nada yang ketiga jika dimainkan dengan cara ditahan atau diperpanjang durasi ritmis melodinya. Demikian dengan lobang nada ketiga, juga memiliki fungsi yang sama dengan lobang nada pertama yaitu sebagai panggora atau pengaloi jika nada pada lobang keempat, kelima, atau keenam mempunyai durasi ritmis melodis yang panjang.

Posisi penjarian dalam bermain sarune adalah jari manis tangan kiri dipakai untuk lobang nada paling bawah (LN. 1), jari tengahnya adalah untuk lobang kedua (LN. 2), jari telunjuk untuk lobang nada ketiga (LN. 3), kemudian jari manis pada tangan kanan digunakan untuk menutup dan membuka lobang nada keempat (LN. 4), jari tengah untuk lobang nada kelima (LN. 5), dan jari telunjuk adalah untuk lobang nada keenam (LN. 6) atau lobang nada paling atas.

Ibu jari pada kedua tangan berfungsi sebagai penahan badan sarune paling bawah. Kemudian, badan sarune paling atas akan ditahan oleh jari kelingking tangan kiri. Sedangkan jari kelingking tangan kanan tidak memiliki fungsi. Namun jika pemain sarunenya bermain dengan posisi tangan kanan di atas dan tangan kiri dibawah, maka jari kelingking dari tangan kananlah yang berfungsi sebagai penahan badan sarune bagian atas, sedangkan jari kelingking dari tangan kiri tidak memiliki fungsi.


(60)

Tabel-2 : Posisi jari tangan.

Gambar 18 : Posisi tangan kiri dan tangan kanan saat bermain sarune.

Lobang sarune

Lobang Nada (LN)

Penjarian

O 1 Jari manis kiri/kanan

O 2 Jari tengah kiri/kanan

O 3 Jari telunjuk kiri/kanan

O 4 Jari manis kanan/kiri

O 5 Jari tengah kanan/kiri


(1)

Kemudian tidak lupa juga penulis mengucapkan terimakasih banyak kepada pacar penulis: Derma Intan Situmorang, tersayang yang selalu mendoakan serta memberikan penulis dorongan dan semangat sehingga penulis bisa menyelesaikan skripsi ini dengan baik.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masihlah sederhana, sehingga penulis mengharapkan kritik dan saran yang bernilai positip yang sifatnya membangun dan menyempurnakan skripsi ini dari para pembaca.

Akhir kata penulis mengucapkan terimakasih banyak kepada semuanya, semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Kiranya Tuhan selalu melindungi dan memberkati kita, Syalom.

Medan, April 2014 Penulis,


(2)

DAFTAR ISI

ABSTRAK……… i

KATA PENGANTAR……… ii

DAFTAR ISI……… v

DAFTAR GAMBAR………...…………... viii

DAFTAR TABEL……… ix

BAB I PENDAHULUAN……… 1

1.1 Latar Belakang Masalah……… 1

1.2 Pokok Permasalahan………. 4

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian………. 4

1.3.1 Tujuan Penelitian………... 4

1.3.2 Manfaat Penelitian……….……. 4

1.4 Konsep dan Teori……….. 5

1.4.1 Konsep……… 5

1.4.2 Toeri……… 6

1.5 Metode dan Teknik Penelitian………... 8

1.5.1 Studi Perpustakaan………. 9

1.5.2 Penelitian Lapangan (observasi)………. 10

1.5.3 Wawancara……….………… 10

1.5.4 Kerja Laboratorium………..………….. 11

BAB II GAMBARAN UMUM BUDAYA PAKPAK…………..…. 12

4.1 Sejarah Suku Pakpak……….... 12

4.2 Sistem Kekerabatan Suku Pakpak………. 21

4.3 Sistem Kepercayaan……….. 24

4.4 Gambaran dan Bentuk Umum Pedesaan……….…. 25

4.5 Mata Pencaharian……….. 28

BAB III SEJARAH SARUNE PAKPAK & TEKNIK PEMBUATANNYA……….…… 29

3.1 Sejarah Sarune Pakpak………...… 29

3.1.1 Legenda Sejarah Sarune Pakpak Menurut Atur P. Solin………..… 29 3.2.1 Legenda Sejarah Sarune Pakpak


(3)

Menurut Hasran Manik……….…… 31

3.2.3 Legenda Sejarah Sarune Pakpak Menurut Mansehat Manik……….………… 34

3.2 Pandangan Masyarakat Pakpak Terhadap Sarune Pakpak…. 36 3.3 Proses Pembuatan Sarune Pakpak……….. 37

3.3.1 Proses Pemilihan dan Penebangan Kayu pada Jaman Dahulu………. 37

3.3.2 Proses Pembuatan Sarune Pakpak pada Masa Sekarang……… 42

3.3.2.1 Proses Pembuatan Batang Sarune………..… 42

3.3.2.2 Proses Pembuatan Pit……….……… 50

3.3.2.3 Proses Pembuatan Kambung Baba………… 53

3.3.2.4 Proses Pembuatan Sitongkohi……… 55

3.3.2.5 Proses Pembuatan Sangar – sangar…….…… 57

3.3.3 Pengklasifikasian Sarune Pakpak…………..………… 60

BAB IV KAJIAN FUNGSIONAL SARUNE PAKPAK……… 64

4.1 Pengkajian Sarune Pakpak……….. 64

4.1.1 Tahap Awal……….. 64

4.1.2 Tahap Kedua……… 65

4.1.3 Tahap Ketiga (Awal Abad ke 20)……… 66

4.1.4 Tahap Keempat (Setelah Awal Abad 20)……… 67

4.2 Penggunaan dan Fungsi Sarune Pakpak………. 69

4.2.1 Penggunaan Sarune Pakpak……….. 70

4.2.2 Fungsi Sarune Pakpak……… 72


(4)

4.2.2.2 Fungsi Komunikasi………... 73

4.2.2.3 Fungsi Hiburan……….. 73

4.2.2.4 Fungsi Kesinambungan Budaya……… 74

4.2.2.5 Fungsi Perlambangan……… 75

4.3 Tempat Belajar Sarune Pakpak……… 75

4.3.1 Di Pantar……… 76

4.3.2 Di Balai Desa (Bale)……….. 77

4.4 Proses Belajar Sarune……….. 78

4.5 Posisi Tubuh Saat Bermain Sarune Pakpak………. 80

4.5.1 Cara Memegang Sarune………. 82

4.5.2 Posisi Jari Tangan………... 82

4.6 Nada – Nada Pada Sarune Pakpak………. 85

4.7 Sistem Pelarasan pada Sarune Pakpak……… 87

4.8 Wilayah Nada pada Sarune Pakpak……… 89

4.9 Karakteristik Bunyi Melodis Sarune……… 89

4.9.1 Cerrp Merdatas……….….. 90

4.9.2 Merginoling………. 91

4.9.3 Merdatas……….……. 91

4.9.4 Mengragam……….. 92

4.10 Penyajian Sarune yang Baik……….….. 92

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN……….. 95

5.1 Kesimpulan………... 95

5.2 Saran………. 98

DAFTAR PUSTAKA………..……….….. 99


(5)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Bentuk dan Posisi Sebuah Lebbuh pada Suku Pakpak……… 27

Gambar 2. Kayu Nggecih Saat Baru Ditebang……….. 43

Gambar 3. Kayu Nggecih Setelah Dibentuk………. 43

Gambar 4. Bor (Ohor)……… 44

Gambar 5. Cara Pengeboran Kayu Nggecih...……… 45

Gambar 6. Bentuk Pinang Muda yang Terdapat pada Batang Sarune…… 47

Gambar 7. Proses Pembentukan Batang Sarune...………... 49

Gambar 8. Daun (Bulung) Make yang Telah Dikeringkan………... 50

Gambar 9. A. Benang, B. Bulu Ayam……… 51

Gambar 10. Daun Make Setelah Dibentuk………... 51

Gambar 11. Double reed………... 53

Gambar 12. Quartduple reed……….. 53

Gambar 13. Kambung Baba dan Sitongkohi……….. 54

Gambar 14. Proses Pencetakan Sitongkohi……… 56

Gambar 15. Sitongkohi yang Terbuat Dari Batang Bambu…………...… 57

Gambar 16. A. Sangar – sangar………...… 59

B. Cara Memasukkan dan Mengeluarkan Sangar – sangar….. 60

Gambar 17. Posisi tubuh Saat Bermain Sarune……….. 81


(6)

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Instrumen Tradisional Pakpak dan Pengelompokannya………. 62 Tabel 2. Posisi Jari Tangan………... 84 Tabel 3. Nada – nada Sarune Pakpak Dalam Bentuk Tablatur………….……… 86