Legenda sejarah sarune Pakpak menurut Hasran Manik.

percaya bahwa turunnya hujan adalah diakibatkan oleh bunyi pit yang dimainkan. Untuk menghindari kejadian tersebut, maka dicarilah kayu dari hutan untuk dijadikan alat musik tradisional yang nantinya diharapkan dapat menghasilkan bunyi yang sama seperti bunyi yang dihasilkan oleh pit, sehingga alat musik yang terbuat dari kayu tersebut mereka menyebutnya sarune. Namun ketika ditanya mengenai pemilihan nama, Bapak Atur P. Solin tidak mengetahui, mengapa instrumen tersebut disebut sebagai sarune.

3.1.2 Legenda sejarah sarune Pakpak menurut Hasran Manik.

Hasran Manik 55 tahun, menceritakan bahwa sejarah sarune Pakpak adalah sebagai berikut : Pada jaman dahulu tanpa diketahui kepastian waktunya di sebuah desa yang terpencil, hiduplah sepasang suami istri yang sangat miskin. Mereka memiliki seorang anak yang sudah pemuda. Si anak sangat rajin bekerja membantu orang tuanya di sawah sabah ataupun di ladang juma. Sadar akan kemiskinan, pemuda ini sangat jarang untuk bermain-main dengan pria sebayanya yang ada di pedesaan itu, ia hanya pergi ke sawah atau ladang setiap harinya. Seharian penuh si pemuda bekerja dan pada malam harinya beristirahat untuk mengumpulkan tenaga supaya memiliki tenaga yang cukup untuk bekerja kembali keesokan harinya. Kerap kali si pemuda daholi merasa minder menderse akan kehidupan mereka yang miskin itu, sehingga ketika sedang merasa minder, ia akan melampiaskan perasaan itu lewat nyanyian-nyanyian ratapan ende-ende tangis, baik saat sedang bekerja maupun ketika sedang beristirahat di dangau Universitas Sumatera Utara pantar Suatu hari, ketika hari sudah mulai agak siang nggoling ari yang biasa dibangun oleh petani di ladang-ladang maupun sawah. Kebiasaan seperti ini selalu ia lakukan untuk menghibur dan menyemangati dirinya sendiri. 16 16 Waktu nggoling ari adalah waktu ketika matahari mulai condong ke Barat, rentang waktu sekitar pukul 12.30 sd pukul 15.00 waktu setempat. , si pemuda mendengar burung garo-garo camar, atau sejenis burung elang pemakan tikus berkicau di atas sebuah dahan disekitar tempat sipemuda itu melakukan pekerjaannya. Berkali-kali ia mendengar kicauan burung tersebut, sehingga semakin lama ia pun semakin menikmati kicauan itu dan merasa kicauan itu sangat merdu ndalme dan sedih mlungun. Selama beberapa hari, burung tersebut selalu datang dan selalu mengeluarkan kicauan yang sama seperti hari-hari sebelumnya. Namun pada suatu hari burung tersebut tidak dating. Si pemuda itu menunggunya keesokan harinya, tapi pada saat itu burung tersebut juga tidak datang, begitu juga hingga hari-hari berikutnya burung itu tidak pernah datang lagi. Pada saat itu si pemuda tadi berniat untuk mengambil gala-gala page, nggala page ruas batang padi dan membentuknya sedemikian rupa sehingga dapat menghasilkan tiruan suara burung garo-garo. Namun batang padi tersebut tidak dapat bertahan lama, batang padi itu pun mulai layu dan akhirnya pecah, sehingga tidak dapat digunakan lagi. Tetapi si pemuda tidak menyerah, ia terus mencoba membuatnya berulang kali hingga menghabiskan beberapa batang padi sampai ia mampu dan mahir untuk membuatnya. Universitas Sumatera Utara Setelah batang padi itu mulai bisa mengeluarkan bunyi, ia pun mulai memainkannya, tetapi ia merasa tidak puas karena nada yang dihasilkan hanya satu jenis saja, sementara bunyi yang dihasilkan batang padi itu dapat meniru kicauan burung garo-garo tadi. Suatu hari ia mendapat ide untuk membuat batang padi tersebut mampu mengeluarkan nada yang berbeda-beda, yakni dengan cara membuat lubang nada tone hole pada batang padi tersebut sebanyak enam buah agar dapat meniru berbagai macam suara burung garo-garo maupun burung lainnya. Dari keenam lubang nada, ternyata yang digunakan hanya lima lubang saja, yaitu lubang kedua dari bawah hingga lubang keenam. Sedangkan lubang pertama adalah suara yang hanya menjadi milik burung garo-garo tersebut. Sejak saat itu, setiap kali beristirahat, ia selalu mengambil batang padi sebagai alat untuk menghiburnya, dan alat tersebut ia beri nama sarune sebagaimana ia mendengar suara burung garo-garo itu ketika berkicau. Pada hari berikutnya, karena batang padi yang ia mainkan tidak bisa bertahan lama karena layu, ia pun berniat untuk menggantikan alat tersebut dengan alat yang dapat bertahan lebih lama, yaitu dengan bambu buluh yang prinsip bentuknya berdekatan dengan batang padi, namun ia pun merasa itu belum sempurna, karena setiap kali bambu itu mulai mengering, suaranya pun akan mulai berubah, sehingga ia pun mulai berpikir untuk menggantikannya dengan kayu, hingga alat yang terbuat dari kayu inilah yang disebut sebagai sarune hingga kini. Universitas Sumatera Utara

3.1.3 Legenda sejarah sarune Pakpak menurut Mansehat Manik