3.1.3 Legenda sejarah sarune Pakpak menurut Mansehat Manik
Pada jaman dahulu hiduplah sepasang suami istri yang tersesat di hutan belantara kerangen longo-longo ketika hendak mengambil kapur barus
merkebun dan damar merdamar yang ketika itu banyak tumbuh di hutan itu. Berhari-hari kedua orang ini mengumpulkan kapur barus dan damar, hingga tidak
sadar bahwa mereka telah semakin jauh masuk ke tengah hutan. Ketika merek kapur barus dan damar yang dikumpulkan sudah cukup
banyak, saatnya mereka untuk pulang membawa hasil tersebut, namun ketika mencari jalan keluar, mereka malah semakin tersesat jauh ke dalam hutan. Karena
suami istri ini sudah capai mencari jalan keluar dan malam pun mulai tiba, akhirnya mereka memutuskan untuk mendirikan gubuk kecil yang terbuat dari
bambu dan beratapkan daun-daunan untuk tempat mereka beristirahat. Pada keesokan harinya, mereka pun berniat untuk kembali mencari jalan keluar, namun
ketika mereka hendak keluar dari gubuk itu, timbul kekhawatiran dalam benak mereka akan semakin tersesat jauh ke dalam hutan.
Setelah dipertimbangkan dengan matang, dengan lokasi yang dekat dengan sungai sebagai sumber air, akhirnya mereka pun memutuskan untuk tinggal dan
menetap di tempat itu.
17
Pada suatu hari terjadilah badai yang sangat besar, hingga gubuk yang mereka tempati hancur berantakan di tiup angin, semua harta benda yang mereka
miliki pun ikut hancur. Ketika badai telah berlalu, sang istri pun merenung sedih Mereka mulai berusaha untuk menikmati kehidupan di
tempat barunya, dan mulai bersahabat dengan hewan-hewan yang ada disana.
17
Tempat tinggal pertama seperti ini disebut lebuh.
Universitas Sumatera Utara
membayangkan penderitaan yang akan mereka hadapi tanpa tempat untuk mengadu. Suasana yang sunyi dan sepi menambah kesedihan hatinya, walaupun
suaminya terus berusaha untuk menghiburnya, namun ia tetap dalam kesedihan. Pada saat kesedihannya sangat memuncak, ia mendengar bunyi-bunyian dari
tetesan air yang jatuh menimpa reruntuhan gubuk mereka, dan juga tiupan angin yang berhembus meniup dedaunan, gemuruh air sungai, serta suara-suara binatang
lain yang seakan-akan menghibur dirinya. Akibat terbawa suasana yang mulai menghibur itu, ia pun menggerak-gerakkan tubuhnya mengikuti irama suara-suara
tersebut tumatak. Namun kejadian tersebut tidak berlangsung setiap hari, sebab kicauan burung tidak dapat didengarnya, dan suara hewan yang lain pun tidak
selalu terdengar setiap harinya, hanya suara sungai sajalah yang bisa ia dengar setiap hari. Hal ini membuat sang istri kembali termenung dalam kesedihan
sebagaimana ketika badai terjadi dan memporakporandakan tempat tinggal mereka. Melihat istrinya yang selalu termenung, timbullah dalam niat suaminya
untuk menciptakan sebuah alat yang mampu menirukan suara-suara hewan dan bermaksud agar istrinya bisa terhibur. Dia mengambil bambu buluh untuk
meniru suara burung yang ada di hutan, serta kayu untuk meniru suara hembusan angin. Pada bambu serta kayu tersebut masing-masing diberi lubang agar suaranya
dapat diatur dan diganti-ganti sesuai dengan karakter bunyi dari burung dan suara dari angin tersebut. Konon menurut cerita, bambu tersebut diberi nama lobat dan
kayu tersebut diberi nama sarune.
Universitas Sumatera Utara
3.2 Pandangan Masyarakat Pakpak Terhadap Sarune Pakpak.