Strategi Perusahaan, Struktur, dan

93 Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional IV, Tahun 2014 Universitas Gadjah Mada. 2012. Profil Mobil Listrik Nasional. Jakarta : Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Zetzu. 2010, Oktober. Teori Porter. Retrieved Agustus 08, 2014, from Artikel Ekonomi: http:zetzu.blogspot.com201010teor i-porter.html 94 Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional IV, Tahun 2014 Dinamika Penerapan Inovasi Teknologi Budidaya dan Pascapanen Untuk Menstabilkan Harga Bawang Merah di Indonesia The Dynamics of Cultivation and Postharvest Technology Innovation Application to Stabilize the Price of Shallot in Indonesia Kiloes, AM 1 1 Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Jl. Ragunan No. 29A, Pasarminggu, Jakarta Selatan, 12540 I N F O A R T I K E L A B S T R A C T Keywords: Shallot Technology Innovation Technology Management Shallot Supply Stabilization Policy Support Kata Kunci: Inovasi Teknologi Bawang Merah Manajemen Teknologi Stabilisasi Pasokan Bawang Merah Dukungan Kebijakan Shallot is one of the commodity that have significant contribution in national inflation. It because the commodity ’s production is not evenly distributed troughout the year. This fact lead shallot supplies in the market also fluctuated and it affected to the prices that also always fluctuated. Indonesian Agency for Agricultural Research and Development, Ministry of Agriculture has improving some technology which can be pursued to stabilize the supply of shallot. This paper aimed to reviewing some production and postharvest technologies that can be used to stabilize supplies and prices of shallot. The initial approaches in this paper using Management of Technology to analyze the opportunity between thoose technologies. The technologies available include shallot cultivation in off season, seed supplying trough the True Shallot Seed technology, and the use of instore drying for shallot storage. Those tecnology will analyzed using technology management approaches to identify the alternative strategy that can be used to aplicate those technology to stabilized the supply of shallot. Policy support needed in implementeing those technology. Some review also needed to choose the priority of the technology to stabilized the supply of shallot. S A R I K A R A N G A N Bawang merah adalah salah satu komoditas yang menyumbangkan inflasi yang cukup signifikan. Hal tersebut disebabkan karena komoditas ini merupakan komoditas yang produksinya tidak merata sepanjang tahun. Produksi yang tidak merata tersebut menyebabkan persediaan bawang merah di pasar juga berfluktuasi sehingga harga bawang merah di pasar juga selalu berfluktuasi. Badan Litbang Pertanian, Kementerian Pertanian telah menghasilkan beberapa teknologi yang dapat diupayakan untuk menstabilkan produksi dan pasokan bawang merah. Tulisan ini bertujuan untuk mengkaji peluang penerapan beberapa teknologi budidaya dan pasacapanen bawang merah yang dapat digunakan untuk menstabilkan persediaan dan harga bawang merah. Pendekatan menggunakan konsep manajemen teknologi yang akan digunakan untuk menganalisa peluang teknologi-teknologi yang dimiliki untuk menstabilkan persediaan bawang merah. Teknologi yang tersedia diantaranya teknologi budidaya bawang merah di luar musim, penyediaan benih melalui biji botani atau True Shallot Seed TSS, dan penggunaan teknologi penyimpanan kering atau instore drying untuk penyimpanan bawang merah. Teknologi-teknologi tersebut juga akan dianalisis menggunakan pendekatan manajemen teknologi untuk mengidentifikasi alternatif strategi yang dapat digunakan untuk mengaplikasikan teknologi-teknologi tersebut. Dukungan kebijakan dibutuhkan dalam penerapan teknologi tersebut. Dibutuhkan kajian untuk menentukan prioritas pemilihan teknologi dalam menstabilkan pasokan bawang merah. © Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional IV, Tahun 2014  Corresponding author : E-mail address: aditkilusyahoo.com 95 Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional IV, Tahun 2014 PENDAHULUAN Bawang merah Allium ascalonicum L. merupakan komoditas hortikultura sayuran yang mempunyai nilai ekonomis tinggi dan prospek pasar yang baik. Kebutuhan bawang merah terus meningkat seiring dengan meningkatnya populasi penduduk Indonesia. Sementara itu peningkatan produktivitas bawang merah tidak menunjukkan yang signifikan selama 20 tahun terakhir. Produktivitasnya masih dibawah 10 ton per ha padahal potensi hasil bawang merah lokal dapat mencapai 20 tonha 1 . Selain itu hasil penelitian mengenai keunggulan usahatani bawang merah mengemukakan bahwa usahatani bawang merah memiliki keunggulan komparatif 2 . Konsumsi per kapita bawang merah cukup tinggi, terutama untuk konsumsi rumah tangga dan industri pengolahan makanan. Dari data yang diperoleh dari Departemen pertanian, konsumsi per kapita bawang merah pada tahun 2008 mencapai 2,74 kgtahun. Selain itu konsumsi bawang merah kadang mengalami peningkatan seperti pada saat hari-hari besar keagamaan 3 . Hal ini disebabkan kebiasaan masyarakat Indonesia yang selalu membuat masakan istimewa pada saat hari besar keagamaan sehingga membutuhkan bawang merah sebagai bumbunya. Tidak hanya konsumsi, produksi bawang merah juga berfluktuasi sepanjang tahun. Ada beberapa waktu dalam sepanjang tahun dimana produksi bawang merah mengalami penurunan terutama pada saat musim hujan. Hal ini disebabkan banyak petani di sentra produksi yang beralih menanam komoditas lain seperti padi pada saat musim hujan. Selain itu intensitas serangan penyakit lebih tinggi disaat musim hujan sehingga beresiko untuk memproduksi bawang merah dengan jumah yang besar dan juga biaya untuk mengatasi penyakit tersebut akan memperkecil margin keuntungan yang didapatkan petani. Menurunnya produksi bawang merah tersebut menyebabkan harga bawang merah di pasar melonjak naik karena pasokannya yang menurun sedangkan permintaannya yang cenderung tetap atau bahkan meningkat di masa- masa tertentu. Bahkan bawang merah dikatakan sebagai salah satu komoditas pertanian yang menyumbangkan inflasi yang cukup signifikan yakni sebesar 0,44, paling tinggi diantara kelompok bahan makanan pada bulan Maret 2013 13 . Pada bulan Maret 2013 bahkan harga bawang merah menembus angka Rp. 50.000,- 4 . Saat itu selain produksi bawang merah yang menurun, juga mulai diterapkan peraturan Rekomendasi Impor Produk Hortikultura dimana pasokan bawang impor yang masuk dihentikan sementara sehingga pasokan nasional jauh berkurang. Selain menurunnya produksi akibat musim ada beberapa permasalahan lagi dalam budidaya dan pascapanen bawang merah yang menyebabkan menurunnya pasokan bawang merah di pasar seperti ketersediaan benih bawang merah bermutu yang belum memenuhi kebutuhan benih bawang merah 5 serta umur simpan bawang merah yang tidak bisa disimpan lama karena akan mengalami proses-proses fisiologi, biologi, dan fisikokimia 6 . Beberapa hal tersebut harus dicari solusinya untuk menstabilkan pasokan bawang merah nasional. Penguasaan teknologi dan informasi teknologi sangat dibutuhkan untuk merumuskan kebijakan pembangunan pertanian dan mengatasi segala permasalahan yang ada 7 . Dalam mengatasi fluktuasi pasokan bawang merah, Badan Litbang Pertanian, Kementerian Pertanian telah menghasilkan beberapa teknologi yang dapat digunakan untuk menstabilkan pasokan bawang merah di pasaran. Untuk itu, berbagai kebijakan dibutuhkan untuk menjembatani antara teknologi yang sudah dihasilkan dengan perencanaan, pengembangan, dan implementasi teknologi tersebut di lapangan, guna menstabilkan pasokan bawang merah nasional. Manajemen teknologi yang dilakukan diharapkan dapat diarahkan untuk lebih secara nyata untuk mengatasi berbagai permasalahan di budidaya dan pascapanen bawang merah sehingga dapat mencapai tujuan untuk menstabilkan pasokan bawang merah nasional. Tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk mengkaji peluang penerapan beberapa teknologi budidaya dan pasacapanen bawang merah yang dapat digunakan untuk menstabilkan persediaan dan harga bawang merah KERANGKA TEORIKERANGKA KONSEP Teknologi-teknologi yang tersedia tidak akan dapat diimplementasikan kecuali apabila didukung oleh kebijakan-kebijakan yang mendukung penerapan teknologi tersebut. Teknologi yang berpeluang untuk mengatasi beberapa permasalahan produksi bawang merah berkaitan dengan beberapa pemangku kebijakan diantaranya peneliti yang menghasilkan teknologi, petani yang menggunakan teknologi, serta pemerintah dan pembuat kebijakan yang memfasilitasi penyebaran teknologi. Dengan manajemen teknologi, segala sumberdaya yang diperlukan dalam menstabilkan pasokan bawang merah dapat diarahkan secara efektif. Pengarahan tersebut meliputi perencanaan, pengembangan, dan implementasi kemampuan teknologi 8 dan juga pengawasan dan evaluasi aplikasi teknologi 9 untuk pencapaian tujuan, atau 96 Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional IV, Tahun 2014 dalam hal ini tujuan tersebut adalah menstabilkan produksi bawang merah. Gambar 1. Siklus kegiatan manajemen teknologi 8 Perencanaan teknologi tekait dengan pemilihan teknologi yang akan diaplikasikan, pengorganisasian teknologi diperlukan agar penerapan teknologi yang dilaksanakan berjalan denan efektif dan efisien. Setelah perencanaan dan pengorganisasian dilakukan, akan dilakukan pelaksanaan mulai dari pengembangan hingga penggunaan teknologi dalam produksi, kemudian dilakukan pengawasan secara berkala untuk mengetahui penyimpangan-penyimpangan dari perencanaan awal yang telah dibuat. Setelah itu siklus akan terus berulang dengan membuat perencanaan yang baru 9 . METODE Tulisan ini merupakan kajian mengenai teknologi budidaya dan pascapanen bawang merah dari beberapa literatur dan hasil penelitian yang terkait. Data-data pendukung yang digunakan merupakan data primer yang diperoleh dari survei dan wawancara yang dilakukan di pasar, sentra-sentra produksi, dan balai-balai penelitian. Sedangkan data sekunder diperoleh melalui Badan Pusat Statistik, dan sumber lainnya. Pendekatan manajemen teknologi digunakan untuk mengkaji peluang yang dimiliki teknologi untuk menstabilkan produksi bawang merah nasional. Teknologi yang dianalisis terbatas pada teknologi penyediaan benih bawang merah menggunakan biji botani True Shallot Seed, budidaya bawang merah di luar musim, dan penyimpanan kering bawang merah. Peluang penerapan teknologi-teknologi tersebut akan dikaji berdasarkan perencanaan teknologi, pengorganisasian teknologi, pelaksanaan dan penerapan teknologi, serta pengawasan dan pengendalian teknologi 9 . HASIL DAN PEMBAHASAN Penyediaan Benih bawang merah melalui biji botani Selama ini petani bawang merah menggunakan benih dalam bentuk umbi. Benih umbi yang digunakan diperoleh dari beberapa penangkar yang ada di sentra-sentra produksi, dan kadang dari sisa hasil panen bawang merah musim tanam periode sebelumnya. Hal ini memiliki beberapa kekurangan diantaranya penyakit yang ditularkan oleh umbi, adanya dormansi benih, volume yang besar sehingga membutuhkan tempat penyimpanan dan biaya transportasi yang besar, serta biaya penyediaannya yang besar 10 . Penggunaan biji botani atau True Shallot Seed TSS, dapat mengatasi beberapa permasalahan perbenihan bawang merah seperti tidak adanya dormansi benih, volume yang digunakan lebih sedikit sehingga memudahkan penyimpanan dan transportasi penggunaan benih TSS 2 kgha, benih umbi 1 ton.ha, dan bebas penyakit 11 . Dari informasi yang diperoleh melalui Focussed Group Discussion , penggunaan biji botani dalam perbenihan bawang merah di Indonesia belum menjadi hal yang umum walaupun teknologi ini bukan merupakan teknologi baru. Hanya ada salah satu perusahaan perbenihan swasta yaitu PT. East West Seed Indonesia sudah memasarkan benih bawang merah melalui biji botani dengan varietas tuk-tuk. Teknologi ini belum umum karena beberapa alasan. Berdasarkan wawancara teradap petani bawang merah di sentra produksi Brebes, petani menganggap teknologi ini masih rumit untuk dijalankan dan juga membutuhkan waktu yang lebih lama untuk penerapannya. Hal tersebut dapat dimaklumi karena jika menggunakan benih umbi, petani hanya membutuhkan waktu dua bulan sejak benih umbi ditanam hingga diperoleh hasil panen bawang merah konsumsi. Hal berbeda diperoleh jika menggunakan biji botani yang terlebih dahulu harus dilakukan penyemaian sehingga menghasilkan umbi mini. Kemudian umbi mini yang dihasilkan ditanam kembali hingga menghasilkan umbi benih seperti yang biasa ditanam oleh petani. Maka untuk mendapatkan bawang merah konsumsi membutuhkan waktu yang lebih lama yaitu enam bulan dengan prosedur yang lebih rumit. Penerapan penggunaan teknologi biji botani dalam penyediaan benih bawang merah ini memiliki peluang, karena bawang merah secara alami dapat berbunga dan menghasilkan biji botani kecuali untuk varietas sumenep. Pemilihan teknologi ini berpeluang terutama untuk mengatasi permasalahan pengangkutan dan penyimpanan benih, serta meminimalisir serangan penyakit yang ditularkan oleh virus. Pemilihan Transfer dan Adaptasi Implementasi Pengembangan 97 Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional IV, Tahun 2014 Karena panjangnya waktu yang dibutuhkan dalam menerapkan teknologi ini, dalam pengorganisasian dan pelaksanaannya dapat dibuat pembagian pekerjaan menjadi tiga tahap yaitu produksi biji botani, produksi umbi mini, dan produksi umbi benih. Setiap tahapan dalam teknologi ini dapat dikerjakan oleh orang yang berbeda sehingga akan membuat peluang usaha baru dalam perbenihan bawang merah. Produksi biji botani dapat diproduksi di Balai Penelitian Tanaman Sayuran dan petani penangkar terlatih yang direkomendasikan langsung oleh Balai Penelitian Tanaman Sayuran. Kegiatan ini dapat dilakukan di dataran tinggi karena pembungaan bawang merah optimal dilakukan di dataran tinggi. Produksi umbi mini dan umbi benih dapat dilakukan di oleh penangkar. Untuk itu perlu dikaji penciptaan suatu sistem agribisnis perbenihan bawang merah menggunakan teknologi biji botani. Evaluasi dari pelaksanaan teknologi ini perlu dilakukan untuk mengidentifikasi kekurangan dan peluang yang mungkin diperoleh dari pelaksanaan teknologi yang dijalankan, mengingat teknologi ini adalah teknologi yang belum umum dilaksanakan sehingga dibutuhkan evaluasi rutin untuk dibuat suatu perencanaan baru. Teknologi Budidaya Bawang Merah di luar Musim Diantara seluruh sentra produksi bawang merah yang ada di Indonesia, Kabupaten Brebes merupakan sentra produksi terbesar dengan sumbangan sekitar 30 dari seluruh produksi bawang merah nasional 14 . Musim tanam dan panen raya terletak di rentang bulan Juli- Desember pada musim kemarau. Sentra produksi lain tersebar di seluruh Indonesia dengan musim tanam yang berbeda-beda karena kondisi agroekosistem yang berbeda-beda pula. Pada saat musim hujan banyak petani yang enggan untuk menanam bawang merah. Hal ini disebabkan karena kebiasaan sebagian besar petani bawang menanam padi pada saat musim hujan. Selain itu masalah usahatani bawang merah diluar musim adalah tingginya resiko kegagalan panen karena tingginya serangan hama dan penyakit. Untuk menjamin keberhasilan penanaman diluar musim tanam bawang harus memperhatikan varietas yang digunakan, cara tanam yang sesuai, pemupukan efisien, pengendalian hama dan penyakit yang efektif, drainase yang baik serta pemeliharaan yang intensif. Teknologi budidaya bawang merah di luar musim berkaitan dengan pemilihan varietas yang mampu beradaptasi dan tumbuh baik pada musim hujan. Pemilihan varietas tertentu dilakukan agar tanaman bawang merah yang ditanam tahan terhadap serangan hama dan penyakit yang biasa datang pada saat musim hujan. Varietas bawang merah yang mampu beradaptasi di musim hujan antara lain varietas pikatan dengan potensi hasil sebesar 6,2-23,3 tonha, pancasona dengan potensi hasil sebesar 6,9-23,7 tonha, trisula dengan potensi hasil sebesar 6,5-23,2 tonha, dan mentes dengan potensi hasil 7,1-27,6 tonha 16 . Penerapan penggunaan varietas tertentu yang mampu beradaptasi dengan musim hujan harus dikondisikan sesuai dengan lokasi tanam bawang. Beberapa varietas mempunyai sifat spesifik lokasi tertentu tergantung daerah tempat bawang ditanam. Manajemen pemilihan varietas ini menentukan keberhasilan usahatani bawang merah di lokasi tersebut. Perlu adanya demplot dan uji lokasi pertanaman bawang merah agar dapat diperoleh varietas bawang merah mana yang paling optimal untuk ditanam. Hal ini perlu dilakukan juga karena paket teknologi selain varietas mengharuskan pelaku usahatani melakukan perlakuan yang berbeda dengan apabila menanam bawang merah pada musim kemarau. Dalam pengorganisasian teknologi ini perlu diciptakan penangkar-penangkar benih lokal yang memproduksi varietas bawang merah baru yang diintroduksikan tersebut melalui pembinaan dari balai penelitian dan dinas pertanian. Evaluasi pelaksanaan teknologi ini harus melibatkan Balai Pengawasan dan Sertifikasi Benih di tiap-tiap daerah untuk menjaga kualitas dari varietas yang diproduksi oleh penangkar-penangkar lokal. Hasil wawancara dengan pengurus Dewan Bawang Nasional dan Pejabat Dinas Pertanian Kabupaten Brebes mengemukakan bahwa benih bawang merah yang beredar di pasaran banyak yang tidak bersertifikat sehingga jenis varietasnya tidak jelas. Teknologi Penyimpanan Kering Bawang Merah Bawang merah merupakan salah satu komoditas hortikultura yang memiliki sifat mudah rusak. Kerusakan yang terjadi pada saat penyimpanan biasanya berupa tumbuhnya tunas, pelunakan umbi, tumbuhnya akar, dan busuk serta berjamur. Hal ini disebabkan bawang merah memiliki kadar air yang tinggi. Kerusakan tersebut berakibat ada menurunnya daya simpan dan mutu bawang merah 18 . Penanganan pascapanen yang biasa dilakukan untuk mengatasi permasalahan tersebut adalah dengan melakukan pengeringan. Berdasarkan wawancara terhadap petani bawang 98 Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional IV, Tahun 2014 merah di Brebes, pengeringan biasa dilakukan dengan menjemur bawang merah hasil panen dibawah sinar matahari. Proses pengeringan tersebut memakan waktu 5-15 hari. Jika cuaca dalam keadaan panas maka pengeringan akan lebih cepat. Meskipun sudah dikatakan kering kadar air bawang merah masih tinggi yaitu 65 19 . Setelah dikeringkan dengan dijemur biasanya bawang merah disimpan di gudang tertutup namun masih beralaskan tanah sehingga kelembabannya tinggi. hal tersebut dapat menyebabkan kelembaban bawang merah kembali meningkat sehingga akan lebih mudah busuk. Untuk memperpanjang masa simpan pengeringan lebih lanjut dibutuhkan hingga kadar air bawang merah mencapai 14. Modifikasi sistem pengeringan dan penyimpanan dengan menggunakan pengaturan aerasi yang dilengkapi pemanas buatan dapat digunakan untuk tempat penyimpanan kering bawang merah. Penelitian yang dilakukan mengemukakan bahwa penyimpanan dalam suhu ruang 38-48 o C menghasilkan kualitas bawang merah yang cukup baik dengan kadar air rata-rata 13 dan warna merah mengkilap 6? . Penerapan teknologi ini berpeluang untuk mengatasi permasalahan penyimpanan bawang merah. Umur simpan bawang merah dapat bertahan lebih lama sehingga dapat dijual pada saat produksi bawang merah menurun, namun pasokan bawang merah di pasar masih tetap tersedia. Dalam pengorganisasiannya beberapa peluang juga dapat diterapkan dalam penerapan teknologi ini. Kelembagaan usahatani dapat digunakan untuk menghimpun hasil panen bawang emrah di satu daerah. Peluang penerapan resi gudang juga dapat diimplementasikan menggunakan teknologi penyimpanan kering bawang merah ini. Manajemen Teknologi dan Dinamika Penerapan Teknologi dalam Menstabilkan Produksi Bawang Merah Nasional Dibutuhkan pengaturan untuk menerapkan teknologi-teknologi untuk menstabilkan produksi bawang merah tersebut. Teknologi-teknologi yang tersedia tidak semua dapat diimplementasikan secara serentak dan dapat diterapkan di semua lokasi sentra produksi bawang merah. Harus terlebih dahulu diperhatikan kondisi suatu daerah serta dilakukan penentuan prioritas teknologi mana yang dapat diterapkan. Untuk itu perlu pengkajian untuk menentukan teknologi mana yang akan dijadikan prioritas untuk menstabilkan ketersediaan bawang merah nasional. Identifikasi pelaku-pelaku yang akan mengimplementasikan teknologi-teknologi tersebut juga perlu dilakukan. Pelaku penerapan teknologi ini bisa dari beberapa pihak yang menghasilkan dan yang menggunakan teknologi tersebut. Balai-balai Penelitian Lingkup Badan Litbang Pertanian adalah aktor yang memproduksi teknologi dimana ada Balai Penelitian Tanaman Sayuran dibawah Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura yang selama ini melakukan penelitian mengenai penyediaan bawang merah menggunakan biji botani dan teknologi produksi bawang merah di luar musim. Selain itu ada Balai Besar Pengembangan Mekanisasi Pertanian dan Balai Besar Penelitian Pascapanen Pertanian yang selama ini melakukan penelitian untuk pascapanen bawang merah dan penggunaan instore drying. Masih di bawah Badan Litbang Pertanian, Balai Pengkajian Teknologi Pertanian BPTP di setiap provinsi adalah balai yang bertugas untuk melakukan diseminasi dan uji lokasi di masing-masing daerah. Sebab teknologi yang dihasilkan harus disesuaikan dengan kondisi daerah masing-masing. Selain institusi dibawah Badan Litbang Pertanian, pelaku lain seperti dinas-dinas pertanian badan usaha swasta di daerah juga memiliki peranan dalam penerapan teknologi yaitu dalam penyebarluasan dan pengenalan teknologi. Petani sebagai pengguna juga perlu diidentifikasi bagaimana peranannya karena petani adalah pelaku yang nantinya akan menerapkan teknologi ini di lapangan. Selain itu pihak-pihak lain seperti asosiasi-asosiasi bawang merah yang selama ini bergerak di bidang agribisnis bawang merah juga perlu dilibatkan dalam pemilihan teknologi yang akan diterapkan. Sebab asosiasi-asosiasi bawang merah merupakan pelaku yang mengetahui kondisi di lapangan. Perlu juga diidentifikasi manakah diantara kriteria-kriteria dalam implementasi teknologi yang paling penting menurut para pelaku tersebut. Kriteria-kriteria yang dapat diambil diantaranya 15 : 1. Kemudahan secara teknis Pelaku agribisnis bawang merah biasa menanam bawang merah menggunakan benih berbentuk umbi, melakukan budidaya dan penyimpanan sesuai dengan yang selama ini mereka lakukan. Apabila hendak diterapkan teknologi perbenihan bawang merah menggunakan biji botani, penerapan teknologi budidaya bawang merah diluar musim, dan teknologi penyimpanan bawang merah menggunakan penyimpanan kering tentunya perlu adanya adaptasi yang dilakukan oleh para pelaku usaha. Semakin mudah diterapkan 99 Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional IV, Tahun 2014 kemungkinan teknologi tersebut diadopsi akan lebih besar. 2. Menguntungkan secara ekonomi Penerapan teknologi baru tentunya akan berdampak kepada bertambahnya biaya yang akan dikeluarkan. Harus dikaji apakah dengan bertambahnya biaya akan menguntungkan usahatani atau malah merugikan usahatani yang dilakukan. 3. Dapat diterima secara sosial Kondisi sosial pelaku usahatani bawang merah juga berdampak kepada keberhasilan diseminasi teknologi. Banyak petani, tidak hanya petani bawng merah yang merasa nyaman dengan kondisi usahatani yang dilakukannya selama ini tanpa adanya sentuhan teknologi. Hal ini dapat menghambat diseminasi teknologi yang ada. 4. Tidak bertentangan dengan aturan Diseminasi teknologi yang bertujuan untuk menstabilkan pasokan bawang merah terutama untuk teknologi perbenihan dihadapkan pada aturan yang harus ditaati seperti peraturan mengenai produksi, sertifikasi, dan peredaran benih bina. Agribisnis bawang merah merupakan suatu proses yang dinamis yang selalu berubah mengikuti sistem yang ada. Penerapan teknologi tidak akan berjalan tanpa adanya dukungan kebijakan dari pihak yang terkait. Dibutuhkan dukungan kebijakan yang selaras dengan pemanfaatan teknologi, khususnya yang dibutuhkan oleh masyarakat luas 12 . Gambar 2. Penentuan Prioritas Teknologi yang akan digunakan dalam menstabilkan produksi bawang merah Pemasaran atau diseminasi dari teknologi juga termasuk pengelolaan dari teknologi. Dengan metode diseminasi yang tepat dapat mempercepat teknologi sampai ke tangan penggunanya. Sehingga dapat lebih cepat menstabilkan pasokan bawang merah nasional. Tidak hanya kebijakan dalam menerapkan teknologi tapi juga secara tidak langsung pemerintah harus menentukan kebijakan terhadap bidang lain yang berkaitan dengan agribisnis bawang merah. Contohnya dalam pengaturan impor bawang merah dari luar negeri. Impor bawang merah dari luar negeri akan membuat pasokan bawang merah meningkat dan akan membuat harga bawang merah turun. Petani tidak akan menanam jika harga tidak menarik. Sebaliknya petani akan menanam jika harga di pasar menjanjikan. Jika impor tidak diatur maka pasokan akan terus melimpah dan berpengaruh terhadap turunnya harga bawang merah di pasar. Jika harga bawang merah tidak menjanjikan maka petani bawang merah tidak akan tertarik untuk menanam bawang merah sehingga teknologi apapun tidak akan diterapkan. Jangankan untuk meningkatkan produksi, bahkan untuk berproduksi petani akan enggan karena harga yang tidak menarik. Pemberian insentif atas penerapan teknologi juga dapat diterapkan oleh pemerintah. Insentif yang diberikan dapat berupa perlindungan produk, pajak, kemudahan, memperoleh dana pengembangan, fasilitasi pemasaran, dan pertumbuhan pasar 17 . PENUTUP Ketiga teknologi bawang merah yang dipaparkan berpeluang untuk mengatasi permasalahan agribisnis bawang merah, tergantung pada fase mana agribisnis bawang merah tersebut berlangsung. Teknologi perbenihan bawang merah menggunakan biji botani berpeluang untuk mengatasi permasalahan dalam penyediaan benih bawang merah. Teknologi budidaya bawang merah di luar musim dapat berpeluang untuk mengatasi kekosongan pasokan bawang merah di pasar. Teknologi penyimpanan kering bawang merah berpeluang untuk memperpanjang umur simpan bawang merah sehingga menyimpan kelebihan pasokan pada saat panen raya dan memenuhi kebutuhan pada saat pasar dalam keadaan kosong. Untuk melihat mana teknologi yang paling baik diantara tiga teknologi tersebut dibutuhkan kajian lebih lanjut mengenai pemilihan prioritas teknologi yang akan digunakan mengingat keterbatasan sumberdaya yang dimiliki. Kajian tersebut meliputi pemilihan teknologi dan pelaku yang akan menerapkan teknologi tersebut, berkaitan dengan perbedaan kondisi di masing- masing daerah sentra produksi bawang merah di Indonesia. Kebijakan yang dapat ditempuh adalah dengan memberikan insentif penerapan teknologi, dapat berupa perlindungan produk, pajak, kemudahan memperoleh dana pengembangan, 100 Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional IV, Tahun 2014 fasilitasi pemasaran, dan kepastian harga dan pasar. Perlu dilakukan kajian lebih lanjut mengenai bentuk kebijakan yang paling tepat untuk menerpakan teknologi-teknologi tersebut. DAFTAR PUSTAKA 1 Kartapradja R, PS Sartono. 1990. Percobaan varietas bawang merah di Sukamandi. Bul. Penel. Hort. 18 2: 57-60 2 Adiyoga, W dan Soetiarso, TA. 1997. Keunggulan Komparatif dan Insentif Ekonomi Usaha Tani Bawang Merah, J. Hort, Vol. 7 No. 1, 641-24 3 Dirjen Hortikultura. 2005. Kinerja pembangunan sistem dan usaha agribisnis hortikultura 200-2003. Departemen Pertanian. Direktorat Jendral Bina Produksi Hortikultura. Jakarta. 4 Anonim. 2013. Harga Bawang Tembus Rp. 50.000Kg. http:cetak.shnews.cowebread2013-03- 119021harga.bawang.tembus.rp.50000kg. VAHTvsWSx5c diakses tanggal 18 Agustus 2014. 5 Putrasamedja, S dan AH. Permadi. 2001. Vareitas Bawang Merah Unggul Baru Kramat-1, Kramat-2, dan Kuning. J.Hort. 11 2: 143-147 6 Priyantono, E., Ete, A., dan Andrianton. Vigor Umbi Bawang Merah Allium Acallonicum L. Varietas Palasa dan Lembah Palu pada Berbagai Kondisi Simpan. e-J. Agrotekbis 1 1: 8-16 7 Saleh. A dan Suwanda, FN. 2008. Analisis Efektifitas Komunikasi Model Prima Tani Sebagai Diseminasi Teknologi Pertanian Di Desa Citarik Kabupaten Karawang Jawa Barat. Jurnal Komunikasi Pembangunan 6 2: 66-79 8 Nazruddin. 2008. Manajemen Teknologi. Graha Ilmu. Yogyakarta. 9 Gumbira-Said, E dan Intan, AH. 2001. Manajemen Agribisnis. Penerbit Ghalia Indonesia, Jakarta 10 Suherman, R. Basuki, R.S. 1990. Strategi luas usahatani bawang merah Allium cepa var. ascalonicum di Jawa Bali. Tinjauan dari segi usahatani terendah. Buletin Penelitian Hortikultura, 183: 11 –18 . 11 Ridwan, H., Sutapradja, H., Margono. 1989. Daya produksi dan harga pokok benih, biji bawang merah. Buletin Penelitian Hortikultura, XVII4: 57 –61 12 Anonim. 2012. Pemanfaatan Teknologi Butuh Kebijakan yang Selaras. http:w1.bppt.go.idindex.phphome46- umum1179-pemanfaatan-teknologi-butuh- kebijakan-yang-selaras diakses tanggal 20 Agustus 2014 13 Badan Pusat Statistik. 2013. Berita Resmi Statistik. No. 2204Th. XVI, 1 April 2013 14 Basuki, RS. 2010. Sistem Pengadaan dan Distribusi Benih Bawang Merah pada Tingkat Petani di Kabupaten Brebes. J. Hort 20 2: 186-195 15 Hernanto, F. 1991. Ilmu Usahatani. Penebar Swadaya, Jakarta. 16 Sumarni, N., Sopha, GA, Setyawati, W, dan Suwandi. 2013. Teknologi Budidaya Bawang Merah di Luar Musim. http:balitsa.litbang.deptan.go.idindindex.p hpberita-terbaru172-bm-2.html diakses 20 Agustus 2014 17 Firmansyah. 2010. Analisis Kebijakan Pemberian Insentif Pajak Atas Sumbangan dalam Kegiatan Penelitian dan Pengembangan. Bisnis dan Birokrasi, Jurnal Ilmu Administrasi dan Organisasi. Vol. 17 1: 1-14. 18 Nugraha, S. 2009. Teknologi Pengeringan- Penyimpanan Bawang Merah. http:pascapanen.litbang.deptan.go.idindex. phpenberita71 diakses tanggal 20 Agustus 2014 19 Hartuti, N dan D. Histifariana. 1997. Pengaruh Natrium Metabisulfit dan Lama Perendaman terhadap Mutu Tepung Bawang Merah. Jurnal Hortikultura 7 1: 583-589 101 Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional IV, Tahun 2014 Peningkatan Daya Saing dan Kapabilitas Inovasi Usaha Kecil Berbasis Teknologi Tinggi Versus Teknologi Sederhana Improving Competitiveness and Innovation Capability of Small Businesses on the Basis of High Tech Versus Non-High Tech Edy Wahyudi 1 1 Program Studi Administrasi Bisnis, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Jember, Jl. Kalimantan 37, Jember, 68121 I N F O A R T I K E L A B S T R A C T Keywords: Innovation Capability Small Businesses Competitive Strategy Marketing Innovation Kata Kunci: Kapabilitas Inovasi Usaha Kecil Strategi Bersaing Inovasi Pemasaran According to Wahyudi and Julianto 2013 small business enterprise in East Java province particularly non high tech small business enterprises still have innovation capabilities for developing the unique characteristics of their products. Moreover, it is also important for this small business enterprise for reducing the cost of production with the utilization of a moderate tool of production-non high tech tools. Other important findings also suggest that access to a market is a key factor for ensuring the production sustainability, although the small business owner could not avoid the fact that an application of a new and improved technology on the process of production will simultaneously leads to an faster and improved the capacity of production, which means leads for expanding more market. This study with qualitative description methods attempts to find competitive strategy from two different characteristics, of high tech and non high tech small businesses. The different characteristics of the two businesses require different strategies to business competitiveness. This study will analyze the characteristics of competing and strengthening market access, marketing innovation, and transitional processes of high-tech acquisition of small businesses to improve their competitiveness. The results of this study showed that the alternative of business preferences using high-tech or non-high-tech is determined by factors of leader and work culture in organization push theory and market accesses, consumer preferences and the government facilitation in supporting small businesses pull theory. Differentiation strategy, low cost and continuous fulfillment of market demand becomes important points of the success of small business competitiveness on the basis of high tech and non-high tech. S A R I K A R A N G A N Berdasarkan hasil penelitian Wahyudi dan Julianto 2013 usaha kecil non high tech di Jawa Timur dapat melakukan inovasi berdasarkan keunikan produk dan mampu mereduksi biaya produksi dengan menggunakan alat-alat sederhana yang digunakan. Akses pasar juga menjadi faktor kunci dalam kelancaran produksi, meskipun pelaku usaha mengakui dengan teknologi yang lebih canggih mampu mempercepat kapasitas produksi dan melayani pasar yang lebih luas. Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif untuk menemukan strategi peningkatan daya saing usaha kecil dari dua karakteristik yang berbeda, yaitu dari usaha kecil teknologi tinggi high tech dan teknologi sederhana non high tech. Penelitian ini akan mengurai karakteristik bersaing dan penguatan akses pasar, inovasi pemasaran yang dilakukan, dan proses transisi akuisisi teknologi tinggi untuk meningkatkan daya saingnya. Hasil penelitian ini menemukan bahwa strategi menggunakan high tech atau non high tech ditentukan faktor pemimpin dan budaya kerja dalam organisasi push theory dan akses pasar, preferensi konsumen dan fasilitasi pemerintah dalam mendukung usaha kecil pull theory . Strategi diferensiasi, low cost dan pemenuhan permintaan pasar yang kontinyu menjadi poin penting keberhasilan daya saing usaha kecil, dengan basis high tech maupun non high tech. © Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional IV, Tahun 2014  Corresponding author. E-mail address: edydata75gmail.com 102 Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional IV, Tahun 2014 PENDAHULUAN Usaha kecil di Indonesia sangat besar, sekaligus menjadi potensi yang luar biasa karena mampu eksis dalam era krisis dengan menjadi aktor ekonomi hingga 99,8, sementara hanya 0,2 perusahaan besar yang mampu bertahan di era krisis. Saat ini, sejak bergulirnya industri kreatif, upaya pemberdayaan dan peningkatan daya saing UMKM mulai dikembangkan Wahyudi dan Julianto, 2013. Akhir tahun 2010 pertumbuhan ekonomi di Jawa Timur mengalami peningkatan 6,67. Besarnya pertumbuhan ini melebihi nasional yang hanya 6,10 pada 2010. Jawa Timur saat ini menduduki posisi kedua penyumbang Produk Domestik Regional Bruto sebesar 15,41 pada 2010 setelah DKI Jakarta sebesar 17,81. Jawa Timur juga memiliki jumlah industri kecil yang sangat dominan 97,80, sementara industri menengah 2,09 dan usaha besar 0,10. Dominasi industri kecil ini ternyata juga mampu menyerap tenaga kerja 60,12, sementara industri menengah 31,73 dan industri besar hanya 8,15. Usaha kecil yang ada di Jawa Timur cukup beragam. Berdasarkan hasil survei yang dilakukan Bank Indonesia tahun 2007, ditemukan bahwa ada beberapa sektor unggulan yang diantaranya adalah konveksi dan bordir, mebelair, kerajinan tangan craft dan makanan dan minuman khas mamin khas. Inovasi berbasis kreativitas berpotensi besar dalam mengatasi kendala klasik usaha kecil dalam meningkatkan daya saingnya. Banyak usaha kecil yang hanya mengandalkan modal besar dan berproduksi berdasarkan pesanan pada akhirnya bangkrut karena tidak mampu menekan harga dan bersaing dengan perusahaan besar. Meskipun jumlah UMKM di Indonesia jauh lebih besar dibanding perusahaan besar, namun peran UMKM dalam menciptakan nilai tambah bagi perekonomian Indonesia masih kecil Fontana, 2011. UMKM di Indonesia kekurangan pelaku usaha yang memiliki kewirausahaan dan inovasi sekaligus; yang mampu menemukan peluang, mencipta, mengembangkan dan seterusnya sehingga menghasilkan keuntungan ekonomi strategic entrepreneurship . Usaha Kecil Menengah perlu meningkatkan inovasi sehingga berhasil meningkatkan kinerja inovasi secara ekonomi dan sosial. Keunggulan model bisnis dibangun mulai dengan kemampuan melakukan formulasi, implementasi, dan evaluasi tentang siapa target konsumen dan atau pengguna produk. Upaya kewirausahaan perlu bergandengan dengan inovasi. Upaya inovasi antara lain terlihat dari upaya menciptakan nilai bagi produk product innovation , proses produksi innovation process dan cara manajemen bekerja innovation management . Semua pada intinya dilakukan untuk meningkatkan nilai tambah barang dan atau jasa yang ditawarkan kepada konsumen dan berimbas pada nilai atau keuntungan ekonomi unit usaha atau UMKM atau perusahaan pada umumnya Wahyudi dan Julianto, 2013. Berdasarkan hasil penelitian Wahyudi dan Julianto 2013 berhasil mengungkap bahwa usaha kecil yang menggunakan teknologi rendah non high tech dapat melakukan inovasi dan kreatifitas berdasarkan keunikan produk yang mereka buat, dan mampu menurunkan biaya produksi dengan menggunakan alat-alat sederhana yang digunakan. Akses pasar juga menjadi faktor kunci dalam kelancaran produksi, meskipun pelaku usaha mengakui bahwa dengan adanya teknologi yang lebih canggih akan mampu mempercepat kapasitas produksi dan mampu melayani pasar yang lebih luas. Berdasarkan kondisi inilah proses akuisisi teknologi tinggi high tech dibutuhkan bagi usaha kecil. Penelitian terdahulu yang dilakukan peneliti terkait penggunaan teknologi pada usaha kecil menemukan bukti bahwa tidak semua pelaku usaha menganggap penting meng-upgrade teknologi mereka Wahyudi dan Julianto, 2012. Pelaku usaha merasa puas dengan kondisi yang ada trimo ing pandum, sehingga mereka enggan untuk melakukan investasi di bidang teknologi. Temuan lain dalam penelitian adalah memang tidak semua proses produksi yang dilakukan pelaku usaha membutuhkan teknologi tinggi, karena mereka memproduksi barang dengan tingkat keunikan dan diferensiasi yang tinggi. Penelitian ini akan mengidentifikasi karakteristik dan model daya saing usaha kecil yang menggunakan teknologi tinggi high tech dan teknologi rendah non high tech. Penelitian ini juga mengidentifikasi proses transisi akuisisi teknologi tinggi high tech pada usaha kecil dan langkah-langkah internal dalam proses akuisisi. Output riset ini ini diharapkan pelaku usaha dapat belajar dari lanskap permasalahan kegagalan akuisisi teknologi tinggi high tech dan memiliki dasar dasar pengambilan keputusan yang matang untuk meng-upgrade teknologinya sehingga dapat meningkatkan kinerja bisnis dan mampu meningkatkan daya saing dengan mengakusisi teknologi yang berdaya guna. METODE PENELITIAN Model penelitian yang dilakukan menggunakan metode penelitian kualitatif, dengan pendekatan deskriptif, untuk lebih dapat menggambarkan secara natural bagaimana usaha kecil meningkatkan daya saingnya. Penelitian ini berupaya menemukan karakteristik daya saing 103 Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional IV, Tahun 2014 usaha kecil yang menggunakan teknologi tinggi high tech dan usaha kecil yang menggunakan teknologi sederhana non high tech. Objek penelitian ini adalah berbagai jenis usaha kecil seperti makanan dan minuman khas mamin khas, logam, konveksi, dan kerajinan craft. Lokasi penelitian ini adalah usaha kecil di Jawa Timur yaitu di Kabupaten Tulungagung, Kota Kediri, Kota Blitar dan Kabupaten Pasuruan. Penelitian ini dengan sengaja berupaya melihat dari kharakteristik usaha kecil dengan produk yang berbeda beda, sehingga diharapkan dapat melihat keunikan produk dan strategi bersaingnya. Proses kedalaman informasi didapatkan peneliti melalui indepth interview dengan pemilik perusahaan untuk mendapatkan informasi langsung dan alamiah. Peneliti juga melakukan observasi dan penelitian dilapangan dengan melakukan pengamatan langsung proses pengolahan produk, alat teknologi yang digunakan, proses packaging, dan mencermati akses pasar dan pemasaran di lapangan. HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Usaha Kecil Non high tech di Jawa Timur Usaha kecil yang menggunakan teknologi rendah dalam penelitian relatif beragam, mulai dari mamin khas yang tersebar di beberapa KabupatenKota Tulungagung, Kediri, Blitar, usaha kecil logam Blitar, Tulungagung dan Pasuruan, dan kerajinan tangan craft Tulungagung dan Blitar. Meskipun usaha kecil tersebut menggunakan teknologi rendah, namun kunci kesuksesan usaha kecil tersebut adalah kreativitas, baik dalam hal menghasilkan kreasi produk, teknologi tepat guna yang sederhana, citarasa dan packaging yang khas mamin khas, dan kreativitas dalam memasarkan produk mereka. Kreativitas adalah dihasilkannya ide baru dan segar yang dapat memenuhi kebutuhan yang timbul atau menawarkan peluang bagi organisasi. Kreativitas adalah langkah pertama yang penting dalam inovasi, di mana hal tersebut vital bagi keberhasilan organisasional dalam jangka panjang. Orang-orang kreatif sering dikenal karena originalitas, memiliki pikiran yang terbuka open mindedness , keingintahuan, pendekatan terfokus untuk memecahkan masalah, ketekunan, tingkah laku yang rileks dan suka bermain-main, serta penerimaan terhadap ide-ide baru Das and He, 2006. Sementara Zuhal 2010 menyatakan bahwa seseorang disebut melakukan kerja kreatif jika ia menghasilkan sesuatu yang bukan kelanjutan dari solusi yang pernah ada. Nilai kreativitasnya ditimbang dari seberapa jauh sesuatu itu berbeda dari pengalaman atau solusi terdahulu. Proses kreatif melahirkan inovasi itu sendiri terbentuk melalui tahapan mencari search, memutuskan decision, dan mencoba trial. Selaras dengan yang disampaikan Zuhal 2010 bahwa kemampuan bertahan usaha kecil di Tulungagung, Blitar, KabKota Kediri dan Pasuruan juga didasari dengan tahapan mencari search , dengan berupaya menemukan alternatif agar produk mereka dapat diterima dipasar. Meskipun search yang dilakukan dilakukan secara tradisional hanya dengan melihat produk pesaing, perbandingan harga, dan melihat daya beli, ternyata dapat memberikan dampak yang signifikan terhadap luaran produk yang mereka hasilkan. Proses memutuskan decision usaha kecil ini tergolong unik. Proses eksekusi bentuk produk, cara mengemas packaging, hingga penentuan harga yang mereka lakukan menunjukkan proses trial yang mengandung risiko kegagalan yang tinggi. Ketiga hal inilah yang membuat daya saing mereka teruji, sehingga produk mereka sukses. Karakteristik Usaha Kecil High Tech di Jawa Timur Berdasarkan hasil penelitian, beberapa pelaku usaha menggunakan teknologi tinggi dalam proses produksi dan pemasaran produk mereka. Penggunaan teknologi tinggi itu ditandai dengan menggunakan mesin otomatis, yang mampu mengontrol kualitas mulai dari tingkat presisi ukuran produk, kualitas rasa jika itu terkait dengan mamin, dan juga dari produktivitas kecepatan produksi. Berdasarkan hal tersebut, peneliti menemukan bahwa pelaku usaha yang menggunakan teknologi tinggi adalah perusahaan yang mampu secara kontinyu melakukan produksi dan melayani permintaan pasar. Beberapa perusahaan adalah berorientasi ekspor, sehingga menuntut mereka menjaga kualitas produk dan pemasaran dengan website. Survei sentra usaha marmer Mutiara Onyx di desa Besole Kabupaten Tulungagung, Pemimpin usaha Ibu Idawati menuturkan bahwa “usaha saya ini memang pake alat berat untuk motong batu marmer, saya juga butuh alat berat ini untuk dapat memindahkan batu yang besar besar, kalo pake tenaga manusia, butuh 5 sampai 7 orang, itupun pake gerobak sapi, sekarang cukup 1 orang bisa”. Dengan alat berat tersebut usaha marmer yang ditekuninya dapat lebih produktif, presisi dalam ukuran pemotongan, dan standar kualitas yang tinggi. Ibu Idawati menuturkan, ”produk saya ini wastafel dan bathup saya kirim ke Eropa, kemarin ke Italia dan Prancis, standar mutunya harus tinggi, 104 Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional IV, Tahun 2014 dan itu prioritas saya, karena transaksinya pake dollar, lebih menguntungkan”. Penelitian di tempat berbeda juga menemukan rasionalitas yang mirip dari pelaku usaha marmer. Usaha roti bakery Salma di Kota Kediri menggunakan teknologi oven besar yang memiliki timer otomatis. Pak Fauzan selaku pemimpin usaha mengatakan, ”kalo menggunakan oven ini lebih cepat berproduksi, lebih efisien tempat dan ruang dan cukup 2 karyawan yang mengontrol matangnya roti dan mengeluar- k annya”. Berdasarkan pengamatan peneliti, mesin oven besar yang dimiliki memang mampu memberikan kecepatan produksi dan kualitas hasil roti yang konsisten. Hadirnya teknologi juga berimplikasi pada kerja karyawan yang lebih cepat, karena semua serba terukur. Lebih lanjut Pak Fauzan menjelaskan, ”roti ini prosesnya harus pas mas, selisih berapa menit bisa gosong, keju bisa meleleh, roti bisa atos, alat ini benar benar membantu saya meningkatkan standar roti, gak pake perasaan atau feeling”. Penelitian ke UD. LOIND Logam Indah di Kecamatan Ngunut, Kabupaten Tulungagung juga mengungkap fakta bahwa akuisisi teknologi yang digunakan perusahaan ini memang ditujukan untuk meningkatkan kualitas produksi, kecepatan proses produksi dan mampu melayani permintaan pasar dengan cepat. LOIND ini adalah perusahaan yang memproduksi aneka sabuk, dan melayani order dari TNI. Pak Murtadji selaku pemilik LOIND mengatakan ”saat ini beli alat-alat berat seperti ini sudah mendesak, harus beli, karena bagaimanapun juga kita dikejar waktu untuk menyelesaikan order dari perusahaan” Penelitian ini menemukan fakta bahwa faktor kepemimpinan menjadi kunci penting dalam mengadopsi teknologi. Dampak dari penggunaan teknologi tinggi tersebut juga berdampak dalam budaya organisasi tidak semua pelaku usaha, memiliki keinginan yang kuat untuk mengadopsi teknologi tinggi dalam proses produksi mereka. Keberanian menanggung risiko dengan berinvestasi melalui teknologi membawa keberhasilan terhadap kemampuan berinovasi. Kecepatan dan kontinyuitas dalam melahirkan produk baru dengan inovasi juga menjadi lebih mudah untuk dilakukan. Penggunaan teknologi tinggi ini juga berdampak terhadap kapabilitas inovasi proses dan inovasi produk. Pak Rudi, selaku manajer pelaksana sekaligus putra pemilik CV LOIND, mengatakan, ”dengan menggunakan alat-alat ini memang kerja jadi lebih cepat mas, lebih presisi. Kami juga lebih mudah menerima order baru. Pesanan dari TNI Polri saat ini lebih beragam, tidak hanya sabuk kopel, tapi juga tenda militer, dan saat ini kami menerima order traffict light dari Polri”. Lebih lanjut Pak Rudi menjelaskan, ”inovasi produk kami lakukan berdasarkan pesanan saja mas, kami percuma bikin inovasi produk baru tapi masih bingung dipasarkan dimana. Mending dapat order baru, tantangan bagi kami untuk menciptakan produk baru, tapi sudah langsung bisa laku”. Usaha Roti Bakery Salma milik Pak Fauzan juga mengakui bahwa dengan alat oven besar yang dimilikinya, membuat lebih inovatif dengan membuat varian roti yang lebih beragam, baik dari sisi ukuran maupun jenisnya. Pak Fauzan menuturkan ”saya bisa bikin lebih dari 100 varian roti, dan saya bisa menerima pesanan dalam jumlah besar dan cepat dengan oven ini. Biasanya kita bikin yang reguler yang biasa di jual di toko dan di jual keliling. Tapi jika ada pesanan juga kita layani. Kita juga tertantang jika ada jenis roti baru yang belum pernah kita buat, misal dari majalah atau acara televisi”. Mutiara Onyx milik Ibu Idawati juga mengatakan bahwa dampak penggunaan teknologi meningkatkan akses pasar dan inovasi produknya. Ibu Idawati menuturkan, ”produk yang kami ekspor ini adalah pesanan dengan standar kualitas yang tinggi, biasanya kita tampilkan produk kita melalui web, atau kita imilkan ke pelanggan kita di luar negeri, disertai dengan spek harga. Jika mereka tertarik, mereka akan order”. Berdasarkan pengamatan peneliti dilapangan, inovasi produk juga lebih berkembang, karena dengan teknologi berat yang dimiliki, dapat memotong batu sesuai dengan ukuran yang diinginkan. Ibu Idawati menuturkan, ”dengan alat berat yang kami miliki, kami bisa motong batu sesuai ukuran. Kalau di martil atau dipotong dengan manual butuh waktu yang lama dan hasilnya bisa pecah kecil kecil. Pesanan keluar negeri juga ada tenggat waktu, sehingga kami butuh cepat. Kami juga punya tukang pahat yang tahu kontur batu ini cocok dibikin westafel, bath up, bentuk naga, kuda atau bentuk lain”. Transisi Akuisisi Teknologi : Implikasi Daya Saing dan Akses Pasar Teknologi dapat menurunkan biaya produksi, tenaga kerja, dan meningkatkan nilai produk dan jasa untuk meningkatkan keunggulan bersaing perusahaan Corso et al., 2003. Teknologi tidak hanya sebagai alat, namun juga teknik yang harus dipahami sebelum investasi modal dialokasikan. Penelitian Acar et al. 2005 menemukan bahwa teknologi informasi dapat meningkatkan proses bisnis. 105 Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional IV, Tahun 2014 Memperhatikan pentingnya teknologi dalam bisnis, menjadi bahan diskusi ketika banyak hasil riset yang membuktikan banyak kegagalan implementasi teknologi dan rendahnya akuisisi teknologi pada usaha kecil. Hal ini diindikasikan ada beberapa alasan, yaitu: 1 manajemen tidak paham mengapa dan bagaimana mereka mengadopsi teknologi sebagai hal yang penting Levy et al, 2001, 2 ada pemahaman yang berbeda dalam proses akuisisi teknologi yang disebabkan pelaku usaha tidak memahami hubungan antara teknologi dengan perusahaannya Bull, 2003, atau tidak yakin terhadap kemampuan teknologi yang digunakan, 3 perusahaan tidak memiliki kapabilitas untuk memperluas sumberdaya teknologi mereka Acar et al, 2005, karena ketidaksesuaian antara strategi bisnis dengan teknologi, keterbatasan akses modal, dan keterbatasan sumberdaya dalam sistem informasi Bhagwat and Sharma, 2007. Usaha kecil yang hanya mengadopsi teknologi tanpa perencanaan yang jelas seringkali tidak menghasilkan dampak yang tinggi dalam proses implementasi. Carson and Gilmore 2000 mengatakan bahwa usaha kecil seringkali ragu dalam hal ini, disebabkan mereka selalu kesulitan dalam mengembangkan secara fungsional aspek produksinya. Hal ini disebabkan rendahnya sumberdaya finansial, teknikal dan manajerial Bhagwat and Sharma, 2007. Riset yang dilakukan Bruque and Moyano 2007 menemukan bukti adanya pengaruh intangible faktor akuisisi teknologi terhadap perilaku manajemen, sumberdaya internal dan eksternal, dan penggunaan konsultan professional. Perubahan internal meliputi siklus atau kematangan perusahaan dan perubahan eksternal adalah kemampuan bertahan dan kestabilan dalam pasar. Perubahan yang terjadi dalam berjalannya siklus atau kematangan perusahaan membuat perusahaan harus beradaptasi terhadap perubahan tersebut. Perubahan adaptasi yang dilakukan melibatkan manajerial secara internal, dan inilah yang seringkali tergantung dari kekuatan internal perusahaan, dan sulit diprediksi. Kondisi ini juga dipengaruhi daya serap perusahaan. Daya serap memegang peranan penting dalam pertumbuhan mereka. Hal ini didukung pendapat Zahra and George 2002 yang mengatakan daya serap perusahaan meningkatkan daya saing perusahaan. Perubahan eksternal mengarah pada technology push dan market pull Andries and Debachere, 2006. Technology push dimaknai bahwa inovasi yang dapat dikembangkan dan memiliki tekanan daya serap yang kuat untuk memanfaatkan teknologi. Disisi lain, market pull lebih kepada kebutuhan sosial dimana pengembangan teknologi untuk memenuhi kebutuhan. Seringkali market pull dilakukan oleh inovator atau pemain baru dalam pasar Laudon and Laudon, 2007. Market pull juga memberikan kepastian penyusunan standar oleh industri. Dalam konteks yang sama, akuisisi teknologi juga terukur melalui daya saing dan daya inovasi. Inovasi selalu identik dengan inspirasi, ide baru untuk meningkatkan pertumbuhan dan profitabilitas. Sementara itu survival dimaknai kemampuan bertahan dalam pasar, menjadi stabil atau hanya bertahan Jones, 2003. Berdasarkan hasil penelitian di lima Kabupaten Kota yang menjadi objek riset dapat diketahui bahwa setiap usaha memiliki kharakteristik yang berbeda dalam meningkatkan daya saingnya. Berdasarkan hasil penelitian dapat di ketahui bahwa usaha kecil yang menggunakan teknologi rendah memiliki karakteristik yang berbeda dengan usaha kecil yang berteknologi tinggi. Dapat dideskripsikan pada industri mamin khas Krupuk rambak, olahan blimbing dan roti Salma Bakery, dimana karakteristik produk olahan dan segmen pembeli yang berbeda juga menjadi penentu pelaku usaha mengadopsi teknologi atau mempertahankan teknologi sederhana yang mereka miliki. Perusahaan di daerah sentra rambak pada umumnya masih menggunakan teknologi masih sederhana, masih mengandalkan sinar matahari dalam proses pengeringan atau penjemuran kulit dalam proses rambak. Sementara itu pada olahan blimbing UD cemara sari dalam beberapa proses produksinya sudah menggunakan teknologi press, meskipun alat tersebut adalah hasil modifikasi sendiri dari pemilik perusahaan. Salma Bakery menggunakan mesin oven sehingga mampu melakukan inovasi proses secara efisien dan inovasi produk secara kontinyu. Berdasarkan hasil penelitian, nampak bahwa keberadaan teknologi sangat menyesuaikan dengan tingkat kebutuhan dalam proses produksi. Tidak semua perusahaan menggunakan teknologi tinggi dalam proses produksinya. Hal ini bukan berarti pelaku usaha tidak mampu mengakuisisi ataupun membeli teknologi, namun karena dalam proses produksi tidak semua membutuhkan teknologi tinggi. Produksi krupuk rambak misalkan, faktor alam yaitu sinar matahari masih sangat dibutuhkan, tidak perlu alat untuk proses 106 Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional IV, Tahun 2014 pengeringan menggunakan energi listrik. Menurut penuturan Pak Djarwo sebagai pengusaha krupuk rambak, ”sinar matahari penting dalam proses pengeringan, kendalanya memang pas musim hujan, makanya kami siasati dengan kulakan kulit dalam jumlah besar, dan kita jemur pas musim kemarau, sehingga pas hujan kita masih punya stok untuk menggoreng”. Pak Djarwo mengatakan bahwa keberadaan teknologi listrik yang mampu mengeringkan rambak tanpa sinar matahari dirasa belum perlu. Menurut Pak Djarwo, ”kalau kita invest alatnya mas, maka pengaruhnya ke harga produk, juga kita mempertimbangkan jumlah permintaan, pesaing di sentra ini kan banyak, jadi kita belum butuh alat yang canggih seperti itu”. Berdasarkan hasil penelitian karakterisitik usaha kecil dalam mengakuisisi teknologi sangat beragam. Faktor kematangan usaha kecil dalam akses pasar dan stabilnya permintaan pasar menjadi dasar kuat proses akuisisi teknologi dilakukan. Hal ini terjadi pada usaha krupuk rambak di Tulungagung, dan juga olahan blimbing di Kota Blitar. Meskipun tidak full high tech, namun upaya usaha kecil dalam menginvestasikan teknologi merupakan keputusan strategis untuk dapat meningkatkan kinerja bisnis. Kemampuan mengakuisisi teknologi juga dipengaruhi bagaimana manajer pemilik berfikir untuk mengembangkan bisnisnya. Kemampuan belajar baik dari lingkungan internal maupun eksternal juga mempengaruhi akusisi teknologi. Kendala akuisisi teknologi juga terjadi karena keengganan manajerpemilik untuk melakukan inovasi. Inovasi identik dengan inspirasi, ide baru untuk meningkatkan pertumbuhan dan profitabilitas. Berdasarkan hasil riset, nampak usaha kecil dengan teknologi sederhana, hanya menjalankan kegiatan usaha apa adanya, tidak termotivasi untuk berkembang. Sehingga hal ini berdampak terhadap kemampuan berinovasi. Akuisisi teknologi baru tidak terjadi pada usaha kecil yang secara mindset hanya menjalankan usaha apa adanya. Faktor organisasi juga berdampak dalam proses akuisisi teknologi. Berdasar hasil penelitian, sebagian besar usaha kecil masih dikelola secara tradisional, dan faktor pemimpin usaha yang dalam hal ini adalah pemilik sangat mendominasi dalam hal pola manajerial, model pengembangan, termasuk investasi teknologi produksi maupun administrasi bisnis. Dalam skala industri tradisional Liu et al, 2012 mengatakan bahwa mengakuisisi teknologi untuk meningkatkan dan merevitalisasi efisiensi produksi. Beberapa kasus, akuisisi teknologi mendukung terhadap perkembangan dan kematangan mereka. Akuisisi dapat berdampak terhadap perencanaan inovasi, implementasi inovasi, platform inovasi dan kinerja inovasi. Sumber: Goyal and Pitt 2007 Gambar 1. Model akuisisi teknologi dan peningkatan kapabilitas inovasi usaha kecil Adapun proses akuisisi adopsi teknologi pada usaha kecil pada kenyataannya tidak dapat dipisahkan dari pengaruh internal dan eksternal. Secara internal, faktor kepemimpinan, strategi, budaya, sumber daya, orientasi pasar, dan sistem sangat mempengaruhi akuisisi teknologi. Sedangkan dari faktor eksternal, akuisisi adopsi teknologi sangat dipengaruhi lingkungan kompetitif perusahaan, baik berupa inovasi- inovasi yang dilakukan pesaing ataupun dorongan pelanggan untuk melakukan inovasi. Hasil penelitian ini mendukung kerangka konseptual yang dirancang Nguyen 2009 yang mengatakan bahwa usaha kecil dapat mengadopsi teknologi secara internal dan eksternal. Faktor-faktor yang mempengaruhi transisi akuisisi teknologi usaha kecil dapat digambarkan dalam gambar 2. Sumber : Nguyen 2009 Gambar 2 . Model transisi akuisisi adopsi teknologi usaha kecil 107 Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional IV, Tahun 2014 Berdasarkan hasil penelitian, model transisi akuisisi teknologi usaha kecil dapat dilihat dari perspektif internal. Dimana kunci dari akuisisi teknologi terletak dari daya inovasi innovativeness. Kapabilitas internal perusahaan dalam melakukan inovasi sangat dipengaruhi oleh kepemimpinan, strategi dan budaya organisasi yang ada pada usaha kecil. Karakteristik inilah yang tidak dimiliki semua usaha kecil, dimana faktor kepemimpinan memegang peranan penting dalam berinovasi. Daya dukung internal lainnya adalah sumberdaya yang dimiliki perusahaan, baik tenaga kerja maupun teknologi yang digunakan. Hal ini berdampak terhadap proses dan sistem kerja yang lebih berorientasi pada pasar market orientation . Orientasi pasar adalah dimana perusahaan tidak saja mengembangkan usahanya berdasarkan pada permintaan pelanggan customer orientation, namun juga berorientasi pada pesaing competitor orientation . Orientasi pasar yang kuat membutuhkan koordinasi internal yang kuat dalam fungsi-fungsi organisasi coordination interfunctional . Keputusan usaha kecil dalam mengakuisisi teknologi sangat dipengaruhi oleh sinergisitas faktor-faktor itu. Dasar inilah yang memperkuat apa yang disampaikan oleh Goyal and Pitt 2007 yang menemukan pentingnya beberapa variabel internal itu dalam proses akuisisi teknologi dan meningkatkan kapabilitas inovasi dan daya saing usaha kecil lihat gambar 1. Berdasarkan hasil penelitian, intisari terkait akuisisi teknologi adalah 1 permasalahan akuisisi teknologi adalah dari sisi internal yaitu kematangan organisasi, keberanian pemimpin menginvestasikan teknologi, kemampuan belajar, keengganan berinovasi. Permasalahan lain kemampuan menjalin kerjasama networking. Secara eksternal peran pemerintah dan lingkungan persaingan juga berdampak terhadap akuisisi teknologi. 2 model transisi akuisisi teknologi usaha kecil dilihat dari faktor internal dan eksternal secara lebih komprehensif. Relasi Kepemimpinan, Adopsi Teknologi, dan Kapabilitas Inovasi Pemimpin usaha memberikan kontribusi besar terhadap budaya kerja yang ada pada usaha kecil. Pemimpin usaha yang memiliki keinginan kuat dalam berinovasi, memiliki kemampuan menyerap informasi eksternal menjadi kekuatan untuk melakukan perubahan. Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, kemampuan menyerap informasi di wujudkan dengan menerima masukan dari pelanggan terhadap produk yang selama ini mereka produksi. Tidak jarang juga keluhan pelanggan, ataupun pesanan pelanggan menjadi basis informasi dalam memperbaiki kualitas produk, melakukan inovasi produk ataupun mengakuisisi teknologi baru untuk menghasilkan produk berorientasi pelanggan. Budaya kerja yang mengarah pada sistem kerja, pola manajerial dan kemampuan melayani pasar memberi makna berbeda dalam strategi bersaing usaha kecil menyiasati berkembangnya teknologi dan persaingan. Keahlian skill karyawan pada usaha kecil non high-tech memang tidak di tuntut untuk menguasai teknologi yang berorientasi produktivitas dan efisiensi, sehingga aktivitas produksi yang dilakukan tidak dapat dibandingkan dengan kemampuan perusahaan besar dalam hal kecepatan dan kuantitas hasil produksi. Kondisi seperti ini sebenarnya memberikan keuntungan tersendiri bagi usaha kecil non-high tech. Teknologi tradisional yang digunakan membuat usaha kecil tidak membutuhkan karyawan dengan kualifikasi pendidikan formal yang tinggi, sehingga dapat mengoptimalkan warga sekitar yang masih menganggur. Dampak dari hal ini adalah usaha kecil hanya mengeluarkan gaji yang kecil sebatas kemampuan usaha kecil itu mengkalkulasi biaya produksi dan keuntungan. Berdasarkan hasil penelitian, dapat ditemukan bahwa masih banyak karyawan yang bekerja paruh waktu atau borongan atau dengan istilah karyawan tidak tetap. Istilah itu muncul karena kecenderungan usaha kecil yang memiliki pesanan tidak tetap alias musiman. Saat pesanan ramai, mereka akan membutuhkan tenaga kerja banyak sehingga dapat memaksimalkan karyawan paruh waktu atau borongan. Berdasarkan hasil penelitian, usaha kecil yang menggunakan teknologi tradisional berkonsekuensi pada penggunaan tenaga kerja manusia yang banyak. Penelitian di usaha kecil krupuk rambak di Tulungung, dan mamin khas di Blitar dan Tulungagung masih menggunakan tenaga borongan dan atau paruh waktu di saat ramai pesanan. Hal yang sama juga terjadi pada usaha kecil berteknologi tinggi high tech, meskipun mereka menggunakan teknologi atau alat-alat berat, masih bergantung kepada besaran pesanan. Hal tersebut dikemukakan Ibu Idawati, pengusaha marmer di Tulungagung Mutiara Onyx yang mengatakan, ”ekspor kami kan tidak kontinyu volumenya, kalau saat dapat order ekspor dalam jumlah besar, dan saat pasar domestik juga rame, kita pasti merekrut tenaga borongan atau kita sub order, dengan kualitas yang kita standarisasi”. 108 Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional IV, Tahun 2014 Hal ini menegaskan bahwa penggunaan teknologi tradisional memunculkan masalah produktifitas, namun di sisi lain memberikan keuntungan fleksibilitas yang tinggi. Usaha kecil tidak membutuhkan investasi yang tinggi dalam pembelian alat produksi, mereka masih dapat melayani permintaan pesanan dengan melibatkan banyak tenaga kerja, yang tidak harus bergaji tinggi. Berdasarkan hasil penelitian, tenaga kerja pada usaha kecil berteknologi rendah memperoleh keahlian dari awal mereka bekerja dengan dibekali ketrampilan dari pemilik atau dari karyawan yang lebih senior. Tenaga kerja yang ada seringkali belajar otodidak untuk meningkatkan keahliannya. Hal inilah yang seringkali memunculkan permasalahan terhadap kualitas produk usaha kecil. Tidak adanya kontrol kualitas terhadap kinerja karyawan baru, sehingga kesalahan- kesalahan dianggap sebagai hal biasa. Learning by doing juga memunculkan masalah produktivitas, karena karyawan yang baru belajar tidak akan produktif dibanding dengan karyawan lama. Pembelajaran secara internal dilakukan karena pada umumnya usaha kecil yang ada menggunakan tenaga lokal dari masyarakat sekitar. Bahkan usaha kecil konveksi, tenun dan kerajinan bambu tidak hanya menggunakan tenaga kerja dari tetangga atau masyarakat sekitar, namun juga sanak saudara sendiri. Banyak pelaku usaha yang menuturkan bahwa karena usaha ini dari awal memang kecil, sehingga lebih mudah menggunakan tenaga lokal, memanfaatkan pemuda atau ibu-ibu yang pada awalnya tidak bekerja durung manjing. Diferensiasi, Biaya Rendah dan Kekuatan Akses Pasar Aspek kapabilitas pengetahuan usaha kecil cukup beragam, usaha kecil yang mampu bersaing pada umumnya memiliki kemampuan mengakuisisi informasi, fakta lapangan, lanskap persaingan, kecenderungan perubahan perilaku pelanggan menjadi pengetahuan knowledge yang menjadi asset perusahaan dalam merencanakan strategi bersaingnya. Hal itu tercermin dalam hasil penelitian dimana perusahaan yang mampu bersaing selalu berupaya menyerap informasi eksternal, perubahan perubahan yang terjadi menjadi pengetahuan yang bermanfaat bagi perusahaan di masa depan. Inovasi dapat menembus seluruh aspek pemasaran. Usaha kecil dapat mengatur aktivitas dan pelaksanaan, yang memungkinkan mereka melakukan diferensiasi produk atau jasa dalam ceruk pasar, untuk melayani permintaan standar kearah permintaan perusahaan besar. Besarnya tingkat diferensiasi dapat dilakukan dengan dasar permintaan pasar dan informasi pemasaran yang di dapat dari berbagi informasi dengan usaha kecil lain, menggunakan jaringan informal dan secara fleksibel menerapkan strategi yang dapat mengindikasikan proses interaktif dan pemasaran terintegrasi yang disukai usaha kecil. Karakteristik inovasi telah dapat di identifikasi sebagai usaha kreatif, solusi solusi yang tidak biasa untuk menyelesaikan masalah. Hal ini termasuk mengembangkan produk dan jasa baru, proses baru untuk fungsi kinerja organisasi. Inovasi pasar juga mengidentifikasi potensi pasar baru yang lebih baik, dan menemukan cara baru yang lebih baik untuk mencapai target pasar. Jadi ada 3 komponen utama dalam inovasi pemasaran diantaranya adalah: unik, terbaru, dan tidak konvensional tidak biasa. Ketika inovasi pemasaran secara terintegrasi dapat diterapkan dalam organisasi, baik secara proaktif atau reaktif pada usaha kecil akan dapat menjadi dukungan yang cukup kuat dalam meningkatkan kinerja mereka. Hal ini selaras dengan pendapat dari O’Dwyer et al. 2009 yang mengatakan bahwa unique proposition dan modifikasi memungkinkan usaha kecil menghasilkan produk dengan tingkat diferensiasi yang tinggi, sehingga dapat menerapkan harga premium, meskipun proses produksinya masih menggunakan teknologi sederhana non-high tech. Konsep ini setidaknya menjadi dasar bagi UMKM dalam memosisikan dirinya ditengah persaingan dan menentukan strategi bersaing bisnisnya. Berdasarkan hasil riset pada usaha kecil yang menggunakan teknologi rendah, mereka sudah menyadari bahwa desain produk mereka haruslah khas sehingga tidak saja diingat konsumen namun juga bagaimana terjadi pembelian secara regular. Hal penting lain yang dilakukan adalah merek yang dikenalkan dalam setiap desain kemasan produk mereka. Produk yang diberi merek dengan nama dan desain yang khas memberikan awareness dibenak konsumen. Berdasar hasil penelitian, nama pemilik adalah sebagai nama merek produk-produk unggulan mereka. Seperti wajik klethik bu Prayit dan Denok grup Kota Blitar, Nisoku pisau Blitar yang mencantumkan kode NS untuk beberapa produknya, adalah beberapa merek produk yang mencerminkan nama pemiliknya. Kalaupun tidak menggunakan nama pemilik, setidaknya dalam desain kemasan selalu mencantumkan nama pemilik. Hal ini tidak terlepas dari survei sederhana yang dilakukan pelaku usaha bahwa seringkali konsumen selalu mencari produk makanan dengan merek yang mereka kenal. Tidak itu saja, konsumen juga seringkali hafal dengan menyebut nama produk lengkap dengan nama 109 Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional IV, Tahun 2014 pembuat atau pemilik usaha kecil. Proses kreatif yang kelihatan sederhana ini mencerminkan kreativitas personal yang dominan dari pemilik usaha untuk menamai memberi merek dengan nama mereka sendiri. Hal ini sependapat dengan Manurung 2010 bahwa kreativitas dapat muncul melalui person individu, proses, press dan product . Networking dan Akses Pasar Berdasarkan hasil penelitian, tidak semua usaha kecil mampu meraih akses pasar secara berkelanjutan. Hal ini terjadi karena beberapa faktor: 1 jenis produk dan jangkauan produk scoope product tidak memungkinkan akses pasar yang lebih luas. 2 mudah rusak daya tahan rendah. Produk mamin khas tidak mampu meningkatkan akses pasar kecuali mampu memodifikasi produk sehingga lebih awet, dan dapat di jadikan oleh-oleh ke luar daerah. Semisal tahu taqwa Kediri yang memiliki keawetan beberapa jam di udara terbuka. Atau krupuk rambak yang dapat dijual matang dengan packaging yang rapat kedap udara atau di jual mentah. 3 tingkat persaingan yang tinggi. Klaster atau daerah sentra industri kecil memang memberikan keuntungan bagi pengrajin karena daerahnya akan lebih mudah di kenal masyarakat luas dan mendapat dukungan pemerintah, baik dalam proses pemberian bantuan alat, promosi maupun akses pasar. Namun di satu sisi, hal ini juga menimbulkan tingkat persaingan yang tinggi. Meskipun persaingan yang ada tidak seperti perusahaan besar dalam hal promosi ke berbagai media, namun berdampak terhadap daya saing perusahaan. Berdasarkan hasil penelitian, persaingan harga dan akses pasar terjadi pada sentra usaha rambak di Kecamatan Sembung dan sentra usaha alat alat dapur di Kecamatan Ngunut Tulungagung memberikan efek yang besar dalam memenangkan arus persaingan. Berdasar hasil penelitian, usaha kecil non-high tech yang mampu memiliki networking yang kuat adalah usaha krupuk rambak di Tulungagung, olahan Blimbing di Blitar, pengusaha pisau komando Nisoku di Blitar, dan beberapa pengusaha alat alat dapur di Tulungagung. Usaha kecil dengan teknologi tinggi high tech lebih kuat akses pasar dan networking mereka. Hal ini dapat dipahami, dimana mereka tidak akan mengadopsi teknologi tinggi tanpa akses pasar dan permintaan yang kontinyu. Berdasarkan hasil penelitian, beberapa contoh usaha kecil high tech yang kuat akses pasarnya adalah pengusaha logam LOIND, dan pengusaha marmer Mutiara Onyx. Sebenarnya, networking usaha kecil dapat dilakukan lebih terbuka terhadap inovasi open innovation dengan menjalin networking dengan universitas terkait riset dan pengembangan, perusahaan besar terkait dengan partnership produk dan standardisasi kualitas produk, antar usaha kecil sendiri dalam berkolaborasi untuk dapat mereduksi biaya pengadaan bahan baku atau melayani permintaan yang lebih luas, dan juga Lembaga Swadaya Masyarakat atau kelompok-kelompok pemberdayaan masyarakat lainnya. Networking yang dilakukan harus disertai dengan strategi pengembangan kapabilitas yang jelas, sehingga networking yang dilakukan dapat lebih sustainable dan meningkatkan daya saing usaha kecil itu sendiri. Beberapa alternatif tujuan dari networking yang dapat dilakukan adalah 1 network data base ; hal ini terkait kerjasama penggunaan teknologi sebagai akses informasi, promosi, trend pasar, dan perluasan jaringan. Networking ini dijalankan bekerjasama dengan lembaga penelitian, universitas ataupun pemerintah lokal 2 network management; ditujukan sebagai media konsultasi, problem solving , pendampingan terkait pengembangan usaha, permodalan, pajak, ataupun terkait manajerial lainnya, 3 networking fasilitas; dimaknai bahwa perlu kerjasama dalam pengembangan pasar secara kolektif, bersama sama mengakuisisi teknologi untuk perbaikan kualitas produk, atau mengembangkan pasar secara bersama. Tujuan networking diatas dapat dilakukan dengan dilandasi semangat kebersamaan untuk berkolaborasi meningkatkan daya saing. Faktor pendukungnya adalah kejujuran, saling percaya dan berusaha transparan sejak proses kolaborasi dan networking itu dilakukan. Implikasi dari proses pengembangan networking dan kolaborasi dari berbagai daya dukung yang ada membuat informasi peluang pasar, permintaan pasar, trend pasar menjadi lebih luas dan ada kekuatan bagi usaha kecil untuk merespon pasar secara agresif. Berdasar hasil penelitian, beberapa usaha kecil mengalami kesulitan akses pasar, tidak memiliki modal, permintaan pasar yang tidak stabil, dan kesulitan mencari sumberdaya. Namun disisi lain ada usaha kecil yang kewalahan dalam melayani permintaan pasar, namun enggan berkolaborasi karena khawatir akan merusak akses pasar yang sudah mapan. 110 Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional IV, Tahun 2014 PENUTUP Usaha kecil non-high tech dan high tech memiliki karakteristik daya saing yang berbeda. Karakteristik produk yang berbeda beda, akses pasar dan permintaan pasar sangat menentukan pilihan menggunakan teknologi sederhana atau melakukan akusisi teknologi tinggi. Faktor leadership pelaku usaha berperan penting dalam meningkatkan daya saing perusahaan dan kemampuan meningkatkan kapabilitas inovasi. Tidak semua usaha kecil harus menggunakan teknologi tinggi, karena memang karakteristik produk yang ada menuntut kreatifitas dan ide, bukan dengan kecepatan produksi semata. Poin penting dalam riset ini adalah, tingkat diferensiasi yang tinggi, harga yang mampu bersaing, dan pemenuhan permintaan pasar yang kontinyu menjadi kunci keberhasilan usaha kecil, apakah mereka usaha kecil high tech atau non-high tech. DAFTAR PUSTAKA Acar, E. Sevy., Arditi, D. 2005. Use Of Information And Communication Technologies By Small and Medium Sized Enterprises SMEs in Building Construction. Construction Management And Economic . Vol. 23. No 7, Pp. 713- 22 Andries, P and Debachere, K. 2006. Adaptation in new technology-based ventures: insight at the company level. International Journal of Management Review , Vol. 8 No. 2, pp. 91-112. Bhagwat, R and Sharma, M.K. 2007. Information system architecture: a framework for a cluster of small and medium sized enterprises SMEs. Production Planning and Control , Vol. 18, No. 4, pp. 283-96. Bruque, S. and Moyano, J. 2007. Organizational determinant of information technology adoption and implementation in SMEs: the case of family and cooperative firm. Technovation 27 5, pp. 241-253 Bull, C. 2003. Strategic issues in customer relationship management CRM implementation. Business Process Management Journal , Vol. 9 No. 5, pp 592-602 Carson, D And Gilmore, A. SME Marketing Management Competencies. International Business Review. Vol 9, No. 3, Pp. 363-82 Corso, M., Martini, A., Pellegrini, L. And Paolucci, E. 2003. Technology And Organizational Tools For Knowledge Management: In Search Of Configurations. Small Business Economics. Vol 21, No. 4, Pp. 397-408 Das, T.K. and He, I.Y. 2006. Entreprenurial firms in search of established partners: review and recommendations . International Journal of entrepreneurial behaviour and research, Vol. 12, No. 3, pp. 114-43 Fontana, A. 2011. Innovate We Can How to Create Value Through Innovation in Your Organization and Society . Cipta Inovasi Sejahtera. Goyal , S. And Pitt, M. 2007. Determining The Role Of Innovation Management In Facilities Management. Facilities, Vol. 25. No. 1 2, Pp. 48-60 Jones, O. 2003. Competitive Advantage in SMEs: towards a conseptual frame work, in Jones, O. and Tilley, F Eds, Competitive Advantage in SMEs, Willey, chichester, pp. 15-33. Laudon , K. and Laudon, J. 2007. Essential of Business Information System , 7 th ed, Prentice-Hall, Eaglewood Cliff, NJ. Levy, M., Powell, P. and Yetton, P. 2001. SMEs: aligning IS and the strategic context. Journal of Information and Technology , Vol. 16, No. 3, pp. 133-44. Liu, M., Li, M., And Zhang, T. 2012. Empirical Research On China Smes Technology Innovation Engineering Strategy. System Engineering Procedia 5, Pp. 372-378 Manurung, L. 2010. Strategi dan Inovasi Model Bisnis Meningkatkan Kinerja Usaha. Elex Media Komputindo, Kompas Gramedia. Jakarta Nguyen, H. 2009. Information Technology Adoption In Smes: An Integrated Framework. International Journal Of Entrepreneurial Behavior And Research . Vol. 15 No. 2, Pp 162-186 O’Dwyer, M. Gilmore, A. and David, C. 2009. Innovative Marketing in SMEs. European Journal of Marketing. Vol. 43, No. 1 2, pp 46-61 Wahyudi, E Dan Julianto, D. E. 2012. Model Sistemik Inovasi Berkelanjutan Dan Kapabilitas Daya Saing Usaha Kecil Teknologi Rendah Non high tech Di 111 Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional IV, Tahun 2014 Jawa Timur. Hibah Strategis Nasional. Dikti, DP2M Wahyudi, Edy. 2013. Model akselerasi Inovasi dan Daya Saing Usaha Kecil Non high tech Kajian Empiris Usaha Kecil di Jawa Timur. Seminar Nasional “Networking dan Peningkatan Daya Saing Usaha Kecil Mikro Berbasis Kreativitas”. FISIP, Universitas Jember Zahra, S. and George, G. 2002. International entrepreneurship: the current status of the field and future research agenda. In Hitt, M.A., Ireland, R.D. Camp, S.M., Sexton, D.L Eds. Strategic Entrepreneurship. Blackwell, Malden, M.A, pp. 255-288. Zuhal, M. 2010. Knowledge Management and Innovation. Jakarta: Gramedia. 112 Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional IV, Tahun 2014 Peran Agen Pengubah dalam Keberhasilan Difusi Inovasi Biogas di Desa Pendua Lombok Utara Agent Modifier Role in the success of Biogas Innovations Diffusion at Pendua Village, North Lombok Ishelina Rosaira 1 , Hartiningsih 2 Pappiptek - LIPI, Jln. Jend. Gatot Subroto 10, Jakarta Selatan, 12710 I N F O A R T I K E L A B S T R A C T Keywords: Modifier Agent Diffusion Adoption Biogas Pendua Village Kata Kunci: Agen Pengubah Difusi Adopsi Biogas Desa Pendua Currently the demand for energy resources, especially fossil fuels is very high. Therefore should be considered in the search effort and the use of alternative energy sources, especially renewable energy. Biogas has been developed as a source of alternative energy. This fuel is made through the process of anaerobic decomposition of organic wastes of various kinds. Indonesia has many built in biogas reactors, our results show that biogas digesters were built in the center of such cattle in the province of West Java, Central Java, and East Java. In 2013 in Pendua Village, District Kahayang, North Lombok biogas reactor has been built at the initiative of former migrant workers in Korea. Pendua is a village with the largest biogas development in Lombok Island. Currently standing in the village biogas digester Pendua has about 140 units, and 68 units located in the hamlet Pendua digester. This paper wants to show the factors that influence the diffusion of innovation biogas and also what factors are most dominant in the diffusion of innovations in community biogas. This study used qualitative methods to conduct a descriptive analysis. The focus of the data analysis is only performed on the modifier agent in the successful diffusion of innovation in society Pendua biogas. The resulting data is then processed and grouped into eight factors that affect the success of change agents based on the theory argued by Roger. The results showed that the successful adoption of biogas by the community is determined by the role of change agents, community openness to new things, and supported by the diffusion process of biogas and networks within the community. S A R I K A R A N G A N Saat ini kebutuhan akan sumber energi terutama bahan bakar minyak sangat tinggi. Karenanya perlu dipikirkan usaha dalam pencarian dan penggunaan sumber energi alternatif, terutama energi terbarukan. Biogas banyak dikembangkan sebagai salah satu sumber energi alternatif. Bahan bakar ini dibuat melalui proses penguraian secara anaerobik dari berbagai macam limbah organik. Di Indonesia sudah banyak dibangun reaktor biogas, hasil penelitian kami menunjukkan bahwa digester biogas banyak dibangun di sentra peternakan sapi seperti di Provinsi Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Pada tahun 2013 di Desa Pendua, Kecamatan Kahayang, Kabupaten Lombok Utara telah dibangun reaktor biogas atas inisiatif mantan TKI di Korea. Pendua merupakan desa dengan pembangunan biogas terbesar di Pulau Lombok. Saat ini di Desa Pendua telah berdiri digester biogas sekitar 140 unit, dan 68 unit digester berada di Dusun Pendua. Tulisan ini ingin memperlihatkan faktor-faktor yang mempengaruhi difusi inovasi biogas dan juga faktor-faktor apa saja yang paling dominan dalam difusi inovasi biogas dalam masyarakat. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan melakukan analisis secara deskriptif. Fokus analisis data hanya dilakukan pada agen pengubah dalam keberhasilan difusi inovasi biogas di masyarakat Pendua. Data yang dihasilkan kemudian diolah dan dikelompokkan menjadi delapan faktor yang mempengaruhi keberhasilan agen pengubah berdasarkan teori yang dikemukan oleh Roger. Hasil penelitian menunjukkan bahwa keberhasilan adopsi biogas oleh masyarakat sangat ditentukan oleh peran agen pengubah, keterbukaan masyarakat terhadap hal yang baru, serta didukung oleh proses difusi biogas dan jejaring di dalam masyarakat. © Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional IV, Tahun 2014  Ishelina Rosaira : E-mail address: ishelina.rosairagmail.com 113 Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional IV, Tahun 2014 PENDAHULUAN Sejak terjadinya krisis minyak tanah di Indonesia, masyarakat kesulitan dalam mendapatkan minyak tanah, walaupun ada harganya sulit terjangkau oleh masyarakat perdesaan. Kemudian untuk mengatasi itu Pemerintah membuat program konversi minyak tanah ke LPG Liquefied Petroleum Gas yang telah diluncurkan sejak tahun 2007. Program ini mendorong rumah tangga untuk beralih dari minyak tanah ke LPG. Tetapi sayangnya harga LPG semakin meningkat dan masih sulit di dapat di perdesaan. Di sisi lain, Indonesia mempunyai bahan pengganti LPG yang sangat melimpah, yaitu biogas. Energi biogas adalah energi alternatif yang memanfaatkan limbah sampah dan kotoran sapi dan ternak lainnya, bahkan kotoran manusia. Biogas merupakan renewable energy yang dapat dijadikan bahan bakar alternatif untuk menggantikan bahan bakar yang berasal dari fosil seperti minyak tanah dan gas alam Haryati, 2006. Biogas dapat digunakan sebagai pengganti bahan bakar LPG, premium, minyak tanah, dan kayu bakar Musanif, J., 2009, sehingga biogas memiliki peluang yang besar dalam pengembangannya. Tetapi sayangnya masyarakat banyak yang tidak tahu, maka diperlukan seorang yang menjadi pelopor, yang dapat disebut agen pengubah atau agen pembaharu atau penyuluh dalam bidang pertanian. Agen pengubah adalah orang yang membantu terlaksananya perubahan sosial atau suatu inovasi yang direncanakan Havelock, 1973 dalam Nasution, 1990. Seorang agen pengubah harus dapat mempengaruhi orang lain untuk dapat mengambil keputusan perubahan atau inovasi yang sesuai dengan ide yang diharapkan. Agen pengubah harus bisa memperkenalkan ide-ide atau gagasan yang baru, yang dapat dikatakan suatu inovasi di daerah tersebut kepada masyarakat, supaya kehidupan masyarakat dapat mengalami kemajuan, baik secara ekonomi atau finansial, kesehatan,sosial dan lingkungan. Tulisan ini ingin memperlihatkan peran agen pengubah serta faktor-faktor apa yang mempengaruhi difusi inovasi biogas dan juga faktor-faktor apa saja yang paling dominan dalam difusi inovasi biogas tersebut dimasyarakat. Pembahasan menggunakan metode deskriptif karena hanya memiliki kasus tunggal yaitu Desa Pendua, Lombok Utara, NTB. KERANGKA TEORIKERANGKA KONSEP Biogas dan Agen Pengubah Biogas memiliki kandungan energi yang tinggi dan juga memiliki beberapa keunggulan sehingga tidak kalah jika dibandingkan dengan energi fosil, serta mempunyai sifat ramah lingkungan dan dapat diperbaharui. Dengan demikian, biogas dapat digunakan sebagai pengganti bahan bakar LPG Liquefied Petroleum Gas, premium, minyak tanah, dan kayu bakar Musanif, J., 2009 dan biogas juga membawa keuntungan untuk kesehatan, sosial, lingkungan, dan finansial. Selain itu, biogas dapat digunakan sebagai bahan bakar keperluan rumahtangga, yaitu alat penerangan, seperti lampu petromaks yang dimodifikasi Tarigan, 2009. Energi biogas dapat diperoleh dari kotoran ayam, sapi, babi maupun sampah organik baik dari rumah tangga, industri makanan maupun pasar, bahkan dapat dari kotoran manusia. Keuntungan dari pemanfaatan energi biogas, antara lain bidang lingkungan yaitu mengurangi bau tak sedap, mencegah penyebaran penyakit, antara lain seperti yang saat ini diramaikan yaitu ‘flu burung’, mengotori sungai, menghasilkan pupuk organik yang sangat berkualitas dari sisa biogas atau bio-slurry yang dapat menyuburkan tanaman bahkan dapat dijual untuk menambah uang belanja dan juga membantu mengurangi kelangkaan pupuk Widodo, 2011. Dengan kata lain, energi biogas dapat dikatakan sebagai energi bersih dan membantu masalah yang ada di masyarakat. Tetapi sayangnya masyarakat masih banyak yang belum memahami energi biogas, juga masih ada masyarakat yang takut menggunakan biogas, katanya takut meledak. Masalah ini perlu ditangani oleh seorang agen pengubah. Agen pengubah atau agen pembaharu atau biasa disebut penyuluh dalam bidang petanian, bertidak sebagai pembawa inovasi baru dan berperan sebagai sumber inovasi bagi masyarakat Aida Vitalaya Syafri Hubalay, 1987 dalam Wardhono. Menurut Soerjono Soekanto 1992, pihak-pihak yang menghendaki perubahan dinamakan agent of change, yaitu seseorang atau sekelompok orang yang mendapat kepercayaan sebagai pemimpin satu atau lebih lembaga- lembaga kemasyarakatan. Soekanto, 1992:273. Change agent atau agen pengubah analog dengan agen koran, adalah pihak yang berusaha menawarkan suatu perubahan yang ingin dilakukan oleh organisasi kepada semua individu yang ada dalam organisasi tersebut yang pada kenyataannya merupakan individu yang akan menjalankan perubahan tersebut Priswanto, 2011. Salah satu peran utama agen perubahan adalah memfasilitasi aliranarus inovasi kepada masyarakat, supaya difusi inovasi dapat berjalan dengan baik. Seorang agen pengubah harus mempunyai sifat optimis terhadap ide-ide perubahan yang diharapkan. Salah satu tujuan bagi agen pengubah adalah meningkatkan kemandirian 114 Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional IV, Tahun 2014 energi dan memelihara lingkungan di daerahnya. Menurut Roger 1962, bahwa seorang dapat dikatakan sebagai agen pengubah jika ia dapat memahami apa yang ditawarkan ke orang lain, tujuannya jelas, dan mempunyai rencana perubahan yang akan dilakukan di dalam masyarakat bahkan harus mampu menjadi Role Model atau orang pertama yang menjalankan perubahan tersebut. Selain itu, dapat dikatakan sebagai agen perubahan jika memiliki peranan dalam perubahan itu, yakni sebagai 6 ; 1 catalyst atau katalis berperan meyakinkan orang lain atau sekelompok orang tentang pentingnya perubahan menuju kondisi yang lebih baik, 2 solution givers atau pemberi solusi berperan sebagai pengingat kepada orang lain atau sekelompok orang terhadap tujuan akhir dari perubahan yang tengah dilaksanakan bersama, 3 process helpers atau penolong proses berperan membantu kelancaran proses perubahan, khususnya menyelesaikan masalah yang muncul dan membina hubungan antara pihak-pihak yang terkait, dan 4 resources linkers atau penghubung sumber daya berperan untuk menghubungkan orang dengan pemilik sumber danaalat yang diperlukan dan bertugas untuk menjalin kerjasama dan menggalang bantuan dana. Difusi dan Adopsi Inovasi Menurut Roger 1995, difusi sebagai proses dimana suatu inovasi dikomunikasikan melalui saluran tertentu dalam jangka waktu tertentu diantara para anggota dalam suatu sistem sosial. Hal itu sesuai dengan definisi difusi menurut Roger 1962, yaitu suatu bentuk komunikasi yang bersifat khusus berkaitan dengan penyebaran pesan-pesan yang berupa gagasan baru. Menurut Parker, 1974 dalam Mulyono, 2009, difusi sebagai sutu proses yang berperan memberi nilai tambah pada fungsi produksi atau proses ekonomi dan juga merupakan suatu tahapan dalam proses perubahan teknis. Menurut pemikiran Rogers, 1995 dalam Mulyono, 2009, dalam proses difusi inovasi terdapat empat elemen pokok, yaitu: 1 Inovasi adalah gagasan, tindakan,atau barang yang dianggap baru oleh seseorang; 2 Saluran komunikasi, yaitu alat untuk menyampaikan pesan-pesan inovasi dari sumber kepada penerima. Dalam memilih saluran komunikasi, sumber paling tidak perlu memperhatikan a tujuan diadakannya komunikasi dan b karakteristik penerima; 3 Jangka waktu, yaitu proses keputusan inovasi, dari mulai seseorang mengetahui sampai memutuskan untuk menerima 6 Ristanurita, 2013 atau menolaknya, dan pengukuhan terhadap keputusan itu sangat berkaitan dengan dimensi waktu. Paling tidak dimensi waktu terlihat pada a proses pengambilan keputusan inovasi, b keinovatifan seseorang, relatif lebih awal atau lambat dalam menerima inovasi, dan c kecepatan pengadopsian inovasi dalam sistem sosial; dan 4 Sistem sosial, yaitu kumpulan unit yang berbeda secara fungsional dan terikat dalam kerja sama untuk memecahkan masalah dalam rangka pencapaian tujuan bersama. Menurut Rogers E.M, 1962 khususnya bab 9 tentang The Change Agent menyatakan ada delapan faktor yang mempengaruhi keberhasilan agen pengubah, yaitu: 1. Usaha dari agen perubahan itu sendiri Satu faktor dalam kesuksesan agen perubahan adalah dari banyaknya waktu yang dihabiskan dalam aktivitas komunikasi dengan klien. Kesuksesan agen perubahan dalam menjaga adopsi inovasi oleh klien merupakan sesuatu yang positif berhubungan dengan usaha agen dalam menghubungimelakukan mengkontak dengan klien. 2. Orientasi klien Posisi agen perubahan sosial adalah pertengahan antara agensi perubahan dan sistem klien. Agen perubahan adalah subjek kebutuhan untuk peran persaingan, seorang agen perubahan sering diharapkan untuk menjanjikan dalam perilaku pasti oleh agensi perubahan, dan pada waktu yang sama klien mengharapkan agen perubahan untuk mewujudkan tindakan-tindakan yang benar- benar berbeda. Kesuksesan agen perubahan dalam menjamin adopsi inovasi dari klien secara positif berhubungan untuk orientasi seorang klien lebih daripada orientasi agensi perubahan. 3. Kesesuaian inovasi dengan kebutuhan klien Sebuah peranan penting dan sulit untuk agen perubahan untuk mendiagnosis kebutuhan para klien. Kesuksesan Agen perubahan dalam menjamin adopsi inovasi dari klien secara positif berhubungan untuk derajat dimana sebuah program difusi sesuai dengan kebutuhan para klien. 4. Empati dari agen perubahan Empati dapat diartikan sebagai derajat untuk individu yang dapat meletakan dirinya sendiri ke dalam peran dari orang lain. Empati dari agen perubahan dengan klien adalah ketika klien mengalami kesulitan secara ekstrim yang berbeda dari agen perubahan, diharapkan agen 115 Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional IV, Tahun 2014 perubahan lebih sukses jika mereka mendapatkan empati dengan klien mereka. Kesuksesan agen perubahan dalam menjamin adopsi inovasi secara positif berhubungan untuk empati dengan para klien. 5. Homofilitasnya dengan klien Homophily adalah interaksi yang terjadi antara individu yang memiliki kesamaan pada pandangan, pengetahuan dan lainnya. Sedangkan heterophily adalah kebalikan dari homophily yaitu merupakan interaksi antar individu yang memiliki perbedaan. Agen perubahan memiliki banyak perbedaan dalam banyak hal dari kliennya dan mereka memiliki kontak dengan kilen yang memiliki lebih banyak kesamaan pada diri mereka. 6. Kredibilitas agen perubahan Agen pembaharu, memiliki kepercayaan dari klien karena adanya hubungan yang akrab sehingga tidak timbul kecurigaan. Klien percaya pada agen pembaharu karena keyakinannya akan membawa kebaikan bagi dirinya, yang disebut: kepercayaan, keselamatan savety, credibility. Sumber saluran seperti agen perubahan profesional dianggap memiliki kredibilitas kompetensi, sedangkan sumber homophiloussaluran seperti asisten dianggap memiliki kredibilitas keamanan. Seorang agen perubahan yang ideal akan memiliki keseimbangan antara kompetensi dan kredibilitas keamanan. 7. Sejalan dengan pemimpin opini Pemimpin opini adalah sejauh mana seorang individu dapat mempengaruhi individu lain secara informal. Kampanye difusi akan lebih berhasil jika agen perubahan mengidentifikasi dan memobilisasi para pemimpin opini. Waktu dan energi dari agen perubahan adalah sumber daya yang langka. Dengan memfokuskan kegiatan komunikasi pada pemimpin opini dalam suatu sistem sosial, agen perubahan dapat memanfaatkan sumber daya yang langka ini dan mempercepat laju difusi suatu inovasi di antara klien. 8. Kemampuan evaluasi klien Salah satu masukan unik agen perubahan untuk proses difusi kompetensi teknis. Tetapi jika agen perubahan membutuhkan pendekatan jangka panjang untuk melakukan perubahan, ia harus berusaha untuk meningkatkan kompetensi teknis klien dan kemampuan klien untuk mengevaluasi potensi inovasi sendiri. Sayangnya, seringkali agen perubahan lebih peduli dengan tujuan-tujuan jangka pendek seperti peningkatan laju adopsi inovasi. Sebaliknya, dalam banyak kasus, kemandirian klien harus menjadi tujuan utama dari agen perubahan, sehingga dapat menghentikan ketergantungan klien terhadap agen perubahan. Tujuan ini, jarang dicapai oleh sebagian besar agen-agen perubahan, mereka biasanya lebih mementingkan untuk mempromosikan adopsi inovasi, daripada mencari klien untuk diajarkan keterampilan dasar tentang bagaimana untuk mengevaluasi inovasi bagi diri mereka sendiri. Penelitian Terdahulu Penelitian sejenis yang pernah dilakukan antara lain adalah sebagai berikut: Faktor Keberhasilan Pengembangan Biogas di Pemukiman Transmigrasi Sungai Rambutan Ariani, Enny, 2011, Pengetahuan istri dan pengaruhnya terhadap pengambilan keputusan penggunaan biogas Muflikhati, 2011, dan Agen Perubahan dalam Pembangunan Hutan Rakyat: Belajar dari Pengembangan Kayu Bawang di Wilayah Propinsi Bengkulu Waluyo, Efendi Agus dan Ari Nurlia, 2013. Hasil penelitian-penelitian sebelumnya menyatakan bahwa penyebaran dan pengembangan tidak terlepas dari peran agen perubahan dalam mengubah kebiasaan masyarakat. Merubah kebiasaan masyarakat tidaklah mudah, diperlukan suatu usaha yang panjang dan berkesinambungan Waluyo, 2013. Demikian juga, dari hasil penelitian Ariani 2011 menyatakan bahwa salah satu faktor yang dapat mempercepat pengembangan biogas adalah apabila dipermukiman sulit memperoleh energi lain. Bila ada energi lain yang sudah dimanfaatkan seperti listrik, minyak tanah, dan kayu bakar yang mudah, murah dan tersedia di lokasi, maka biogas tidak menarik untuk dimanfaatkan. Selain itu, juga ada kendala lain yaitu kurang tersedianya peralatan dan suku cadang biogas di lokasi, biaya intalasi yang relatif mahal, budaya masyarakat yang belum terbiasa dengan operasional dan hasil biogas serta pemanfaatannya. Sedangkan penelitian Muflikhati et al 2011, menunjukkan bahwa pengadopsian biogas bagi masyarakat tidak gampang walaupun penggunaan biogas menguntungkan dalam aspek ekonomi, namun masih belum banyak yang menggunakan biogas sebagai bahan bakar untuk memasak. Alasan yang disampaikan adalah mereka masih suka menggunakan sumber energi yang selain biogas, seperti gas LPG dan minyak tanah, karena lebih pada aspek ketersediaan. 116 Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional IV, Tahun 2014 METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan melakukan analisis secara deskriptif. Bungin 2010 dan Moleong 2006 menjelaskan bahwa penelitian kualitatif digunakan untuk meneliti masalah-masalah yang membutuhkan studi yang mendalam seperti studi perilaku, motivasi, persepsi, dampak, implementasi kebijakan publik, dan lain-lain. Penelitian kualitatif mencoba memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian secara holistik dengan mendeskripsikan fakta secara rinci termasuk gejala yang ada, identifikasi masalah dan praktek-praktek yang berlaku. Fokus analisis data hanya dilakukan pada agen pengubah dalam keberhasilan difusi inovasi biogas di masyarakat Pendua. Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara mendalam menggunakan pedoman wawancara terhadap Bapak AW dan melakukan observasi partisipasi masyarakat di sekitar desa Pendua. Data sekunder diambil dari berbagai literatur. Data yang dihasilkan kemudian diolah dan dikelompokkan menjadi delapan faktor yang mempengaruhi keberhasilan agen pengubah berdasarkan teori yang dikemukan oleh Roger 1962. HASIL DAN PEMBAHASAN Desa Pendua Kabupaten Lombok Utara, NTB Desa Pendua berada di Kecamatan Kahayang, Kabupaten Lombok Utara, NTB, yang memiliki luas wilayah seluas 5.144.558 km 2 BPN Kabupaten Lombok Utara, 2013 dengan jumlah penduduk sebanyak 515 rumah tangga. Masyarakat Desa Pendua banyak yang memelihara sapi, tercatat dengan jumlah sebanyak 534 ekor sapi yang terdiri dari 391 ekor jantan dan 143 ekor betina BPS Kabupaten Lombok Utara, 2013 atau melakukan sistem bagi hasil dengan pemilik sapi. Sehingga banyak kotoran sapi yang tidak berguna bahkan mengotori lingkungan. Kemudian pada tahun 2010, mulailah kotoran sapi digunakan untuk membuat biogas oleh salah satu pemuda desa yang pulang setelah menjadi TKI di Korea, yang dapat dikatakan sebagai agen pengubah atau agen pembaharu, dengan bantuan HIVOS. HIVOS adalah salah satu LSM dari pemerintah Belanda untuk mengembangan biogas di Indonesia dengan adopsi teknologi untuk mengatasi kotoran ternak dan menghasilkan energi biogas. Tahun 2013, telah dibangun sekitar 140 unit digester biogas. Desa Pandua sudah mempunyai 18 orang tukang pembuat digester yang bersertifikat Hivos. Pembangunan digester biogas di desa ini didukung oleh Dana Alokasi Khusus DAK tahun 2013 dari proyek Pemerintah Daerah Kabupaten Lombok Utara. Setiap pembangunan digester mendapatkan bantuan sebesar Rp. 3 juta, dan juga mendapatkan dukungan dana Rp. 2 juta untuk setiap digester dari HIVOS. Dan, kebutuhan lainnya, yaitu bahan-bahan lokal dan tenaga kerja disediakan oleh masyarakat itu sendiri. Peran Agen Pengubah dalam Keberhasilan Difusi Inovasi Biogas Desa Pandua merupakan desa yang penduduknya mempunyai mata pencaharian beternak sapi, sehingga banyak kotoran sapi yang dihasilkan. Pada awalnya, kotoran sapi yang ada hanya digunakan untuk memupuk tanaman dan sisanya dibuang begitu saja didekat kandang, sehingga baunya sangat menganggu masyarakat. Selain itu, juga banyak lalat yang beterbangan, dan dapat menyebabkan penyakit jika hinggap di makanan. Masalah ini membuat kegelisahan seorang yang bernama Bapak AW, yang pernah menjadi TKI di Korea. Bapak AW memiliki pengalaman menggunakan biogas selama tinggal di Korea Kemudian Bapak AW, mencari tahu lewat internet tentang biogas dan menghubungi HIVOS untuk pembuatan digester biogas. Tahun 2010, Bapak AW membangun biogas dan merupakan orang pertama di Dusun Pendua dalam pembuatan biogas. Digester yang dibangun berukuran 6 M 3 dengan kotoran sapi berasal dari empat ekor sapi. Biogas ini dapat digunakan selama 10 jamhari untuk keperluan memasak di rumah tangganya. Sebenarnya penerapan biogas sudah banyak dilakukan di beberapa daerah terutama daerah yang banyak terdapat ternak sapi. Sedang Desa Pendua baru oleh Bapak AW lah dikenal adanya biogas. Setelah melihat manfaat adanya biogas, Bapak AW mengkomunikasikan ke tetangganya, dan akhirnya banyak tetangganya yang mau ikut- ikutan membangun biogas setelah melihat sendiri hasil biogas di rumah Bapak AW. Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan terhadap Bapak AW dan masyarakat sekitar menunjukkan bahwa masyarakat meyambut baik ide yang dikemukakan olek Bapak AW dan tidak ada berusaha untuk menghalang-halangi niat Bapak AW, walau memang belum semua dari rumah tangga yang ada sudah memasang digester biogas. Karena Bapak AW yang melakukan pertama dan mengajak orang lain, maka Bapak AW dapat disebut sebagai agen pengubah dalam pembuatan biogas di Desa Pandua dalam mendifusikan biogas di lingkungannya. Berdasarkan teori Roger, bahwa Bapak AW memang seorang agen perubahan yang memiliki ciri-ciri sebagai berikut: 117 Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional IV, Tahun 2014 1 Catalyst: Bapak AW telah melakukan komunikasi, mengajak, dan meyakinkan masyarakat di sekitarnya untuk membuat digester supaya lingkungan lebih sehat, lebih bersih, dan dapat mengurangi pengeluaran untuk membeli gas atau minyak tanah. Sehingga di tahun 2013, di Desa Pandua telah dibangun sekitar 140 unit digester biogas. 2 Solution givers atau pemberi solusi. Bapak AW dalam hal ini telah memberi contoh dengan pembangunan digester biogas di rumahnya, dimana biogas tersebut dapat digunakan selama 10 jamhari untuk keperluan rumah tangganya. Dengan adanya biogas tersebut keluarga Bapak AW mempunyai banyak keuntungan, antara lain, tidak perlu membeli gas atau minyak tanah untuk keperluan masak, bio slurry atau sisa biogas dapat digunakan untuk membuat pupuk tanaman, serta lingkungan rumah bersih, tidak bau dan tidak ada lalat. 3 Process helpers atau penolong dalam proses. Untuk membantu masyarakat dalam kelancaran pembangunan digester biogas, Bapak AW membentuk yayasan yang menjadi mitra kerja HIVOS. 4 Resource linkers atau penghubung sumber daya. Bapak AW telah melakukan kerja sama dengan HIVOS dan Pemerintah Daerah untuk membantu masyarakat dalam membangun sebuah digester. Membangun sebuah digester dibutuhkan dana sebesar Rp. 4 juta, Bantuan dari Hivos sebesar Rp. 2 juta; bantuan dari Pemerintah Daerah melalui Koperasi Sentul Jaya sebesar Rp. 1.2 juta dan masyarakat harus menyediakan bahan dan tenaga atau tunai sebesar Rp. 800 ribu. Masyarakat yang belum mempunyai uang tunai dapat meminjam kredit ke koperasi dan pembayarannya dapat dicicil sebesar Rp. 55 ribu per bulan. Keberhasilan agen pengubah dalam mendifusikan inovasi biogas, berdasarkan teori Roger di atas diuraikan sebagai berikut: 1. Usaha dari Agen Perubahan itu Sendiri Dalam mendifusikan biogas ke masyarakat sekitarnya, Bapak AW melakukan pertemuan langsung dengan masyarakat supaya lebih saling mengenal secara pribadi, membangun rasa saling percaya, dan saling mengenal. Bapak AW sangat gigih dalam mengkomunikasikan mengenai biogas, malahan waktunya banyak tersita dalam mengkomunikan hal tersebut, tetapi hal itu tidak menjadi masalah bagi Bapak AW karena mendapatkan dukungan dari isterinya. Komunikasi ini dilakukan pada waktu ada pertemuan dengan bapak-bapak, misalnya pertemuan RT, RW, pengajian dan lainnya, atau bahkan di setiap perkumpulan yang tidak resmi seperti ngobrol di depan rumah Bapak AW. Dalam pertemuan tersebut, Bapak AW menceritakan pengalamannya waktu menjadi TKI di Korea tahun 2005 – 2007 dengan menggunakan biogas, dan Bapak AW mengajak masyarakat untuk membuat biogas supaya desa nya menjadi bersih karena memanfaatkan kotoran ternak yang ada dan juga sekaligus dapat berhemat. Dalam menyelenggarakan pertemuan langsung juga tidak mudah, karena adanya hambatan waktu dan jarak dari masing-masing masyarakat. Untuk mengatasi hal itu, Bapak AW selain melakukan pertemuan secara langsung, juga melakukan interaksi melalui handphone . Akhirnya dari hasil komunikasi yang dilakukan Bapak AW, sampai tahun 2013 sudah terbangun 140 digester biogas di Desa Pandua.

2. Orientasi Klien

Posisi Bapak AW sebagai agen pengubah harus mempertanggungjawabkan pekerjaannya dalam mendifusikan biogas di daerahnya. Supaya Difusi biogas di masyarakat Desa Pendua berhasil, maka Bapak AW melakukan kerja sama dengan HIVOS dan Pemerintah Daerah untuk membantu masyarakat dalam pembangunan digester biogas, terutama masalah pembiayaan. Dalam pembangunan digester biogas, HIVOS telah memberikan training kepada masyarakat Desa Pandua. Dan, sekarang untuk membangun digester biogas dilakukan oleh Bapak AW dan 18 orang penduduk Desa Pandua sebagai Tukang yang sudah mempunyai sertifikat pembangunankonstruksi digester biogas dari HIVOS. 3. Kesesuaian inovasi dengan Kebutuhan Klien Kesuksesan Agen perubahan dalam menjamin adopsi inovasi dari masyarakat secara positif berhubungan sebuah program difusi yang sesuai dengan kebutuhan masyarakatnya. Program difusi inovasi biogas yang dilakukan oleh Bapak AW sangat sesuai dengan kebutuhan masyarakat yang belum memanfaatkan kotoran sapi yang ada di Desa Pandua. Dari banyaknya masyarakat yang ikut membangun digester, berarti program difusi tersebut sesuai dengan kebutuhan masyarakat desa tersebut. Bagi masyarakat pemilik ternak, program biogas ini sangat membantu mereka dalam penyediaan bahan bakar untuk memasak sehingga proses memasak jadi lebih cepat, bersih, sehat karena tidak mengeluarkan asap, dan tidak 118 Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional IV, Tahun 2014 mengeluarkan biaya dengan kata lain gratis. Selain itu, manfaat lainnya adalah kandang sapi menjadi semakin bersih, tidak bau karena limbah kotoran kandang langsung dimasukkan dalam digester. Sisa limbah atau bio slurry yang dikeluarkan dari digester dapat dijadikan pupuk dan pakan ternak bebek dan lele sehingga tidak mencemari lingkungan. Dan, juga tidak banyak lalat yang ada di sekitar rumah, sehingga desa tersebut semakin sehat masyarakatnya. Penggunaan biogas juga dapat berkontribusi menurunkan emisi gas rumah kaca melalui pengurangan pemakaian bahan bakar kayu dan bahan bakar minyak, dan relatif lebih aman dari ancaman bahaya kebakaran.

4. Empati dari Agen Perubahan

Empati didefinisikan sebagai kemampuan seseorang untuk mengenali, mempersepsikan, dan merasakan perasaan orang lain. Agen perubahan lebih sukses jika mereka mendapatkan empati dengan klien mereka dan kesuksesannya dalam menjamin adopsi inovasi secara positif berhubungan untuk empati dengan para klien. Hal ini terlihat dari pertama kali Bapak AW, yang selaku orang lokal merasakan sendiri bagaimana kondisi desanya yang sebelumnya banyak sekali kotoran sapi yang tidak terurus, sampai akhirnya Bapak AW berinisiatif untuk membangun digester, supaya kotoran sapi tidak berserakan dan dapat dimanfaatkan dengan baik. Pengalaman ini kemudian Bapak AW bagikan kepada masyarakat sekitar, yang akhirnya masyarakat pun berempati dengan ide yang dipunyai oleh Bapak AW. Dengan adanya empati ini maka dapat mempengaruhi keefektifitas komunikasi antar agen pengubah dan masyarakat, dengan adanya komunikasi yang efektif akan semakin mempercepat inovasi biogas diterima oleh masyarakat.

5. Homofilitasnya dengan klien

Homophily adalah interaksi yang terjadi antara individu yang memiliki kesamaan pada pandangan, pengetahuan, status ekonomi, tingkat pendidikan, asal daerah, bahasa dan lainnya. Bapak AW sebagai orang lokal yang mengetahui budaya masyarakat setempat, dan dikenal oleh masyarakat di desanya, lebih mengetahui cara berkomunikasi dengan mereka. Sehingga memudahkan Bapak AW mengajak masyarakat untuk mengikuti apa yang menjadi keinginannya. Sedangkan heterophily adalah kebalikan dari homophily yaitu merupakan interaksi antar individu yang memiliki perbedaan. Kontak komunikasi antara agen pembaharu dengan klien akan lebih efektif jika homophily.

6. Kredibilitas Agen Perubahan

Didefinisikan sebagai sejauh mana sumber komunikasi atau saluran dianggap berpengetahuan dan ahli, mereka memiliki keuntungan khusus yaitu kredibilitas keamanan, sejauh mana sumber komunikasi atau saluran dianggap sebagai dipercaya. Memiliki kepercayaan dari klien karena adanya hubungan yang akrab sehingga tidak timbul kecurigaan. Klien percaya pada agen pembaharu karena keyakinannya akan membawa kebaikan bagi dirinya, yang disebut: kepercayaan, keselamatan Savety, credibility. Dengan pengalaman yang dimiliki oleh Bapak AW selama di Korea, yaitu Bapak AW yang sudah biasa menggunakan dan mengenal biogas selama disana. Setelah kembali ke Indonesia, Bapak AW juga sebagai pemilik biogas pertama di Dusun Pendua. Dengan pengalamannya tersebut, Bapak AW membentuk yayasan yang menjadi mitra kerja HIVOS. Dari pengelaman-pengalaman yang diperolehnya dan pengetahuan serta pelatihan yang diikutinya akhirnya Bapak AW mempunyai sertifikat pada tahun 2013. Sehingga pada waktu Distamben dan Hivos membuat 450 unit degester, Bapak AW dan yayasannya mendapat tugas untuk membuat 300 buah degester. Rencananya pada tahun 2014, akan membuat 2000 buah degester.

7. Sejalan dengan Pemimpin Opini

Pemimpin opini adalah sejauh mana seorang individu dapat mempengaruhi individu lain secara informal. Kampanye difusi akan lebih berhasil jika agen pengubah mengidentifikasi dan memobilisasi para pemimpin opini. Waktu dan energi dari agen pengubah adalah sumber daya yang langka. Dengan memfokuskan kegiatan komunikasi pada pemimpin opini dalam suatu sistem sosial, agen pengubah dapat memanfaatkan sumber daya yang langka ini dan mempercepat laju difusi suatu inovasi di antara klien. Untuk mengenalkan biogas ke masyarakat, pertama-tama Bapak AW membangun digester biogas yang berukuran 6 M 3 pada tahun 2010. Dan kemudian Bapak AW mulai mengenalkan manfaat biogas ini kepada para tetangganya. Dengan melihat contoh dari Bapak AW kemudian tetangga-tetangga merasa tertarik untuk menggunakan biogas tersebut. Pada saat bersamaan program HIVOS masuk ke dusun ini, sehingga pada tahun 2010 dimulai program biogas di desa ini yang merupakan swadaya masyarakat dan HIVOS. Program biogas ini disambut baik oleh masyarakat setempat, karena mereka juga menginginkan penggunaan biogas ini yang mempunyai banyak manfaat untuk mereka. 119 Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional IV, Tahun 2014

8. Kemampuan Evaluasi klien

Salah satu masukan unik agen perubahan untuk proses difusi kompetensi teknis. Tetapi jika agen perubahan membutuhkan pendekatan jangka panjang untuk melakukan perubahan, ia harus berusaha untuk meningkatkan kompetensi teknis klien dan kemampuan klien untuk mengevaluasi potensi inovasi sendiri. seringkali agen perubahan lebih peduli dengan tujuan-tujuan jangka pendek seperti peningkatan laju adopsi inovasi. Pada kasus di Desa Pendua, sebelum mengenalkan kepada masyarkat mengenai digester biogas ini, Bapak AW membangun digester biogas dan kemudian Bapak AW mulai mengenalkan manfaat biogas ini kepada para tetangganya. Dengan melihat contoh dari Bapak AW kemudian tetangga-tetangga merasa tertarik untuk menggunakan biogas tersebut. Terlihat bahwa tidak membutuhkan pendekatan jangka panjang dalam melakukan perubahan, hal ini disebabkan Bapak AW merupakan orang lokal dan mengerti bagaimana cara mendekati masyarakat setempat. Sebaliknya, dalam banyak kasus, kemandirian klien harus menjadi tujuan utama dari agen perubahan, sehingga dapat menghentikan ketergantungan klien terhadap agen perubahan. Tujuan ini, jarang dicapai oleh sebagian besar agen-agen perubahan, mereka biasanya lebih mementingkan untuk mempromosikan adopsi inovasi, daripada mencari klien untuk diajarkan keterampilan dasar tentang bagaimana untuk mengevaluasi inovasi bagi diri mereka sendiri. Pada saat Bapak AW mengenalkan ke masyarakat disaat bersamaan program HIVOS masuk ke dusun ini, sehingga pada tahun 2010 dimulai program biogas di desa ini yang merupakan swadaya masyarakat dan HIVOS. Program biogas ini disambut baik oleh masyarakat setempat, karena mereka juga menginginkan penggunaan biogas ini yang mempunyai banyak manfaat untuk mereka. Masyarakat pada umumnya menyediakan bahan- bahan lokal dan tenaga kerja. Sehingga masyarakat pun merasa bahwa ikut berkontribusi dalam pembuatan digester biogas ini. Dalam hal ini, masyarakat dibuat untuk ikut memiliki dan membutuhkan digester tersebut sehingga dalam pemeliharaan dan pengelolaan tidak bergantung pada agen pengubah. Berdasarkan teori yang dikemukakan oleh Roger diatas, terlihat bahwa Bapak AW sebagai agen pengubah telah memenuhi kriteria-kriteria keberhasilan agen pengubah dalam mendifusikan inovasi biogas. Salah satu hasil penelitian juga mengatakan bahwa penyebaran dan pengembangan tidak terlepas dari peran agen pengubah dalam mengubah kebiasaan masyarakat. Tetapi tidak semua hasil penelitian menyatakan bahwa dengan adanya agen pengubah ini maka adopsi inovasi telah berhasil, karena ketidakberhasilan ini dipengaruhi oleh banyak hal diantaranya adalah mereka masih suka menggunakan sumber energi yang selain biogas, seperti gas LPG dan minyak tanah, karena lebih pada aspek ketersediaan. Bila ada energi lain yang sudah dimanfaatkan seperti listrik, minyak tanah, dan kayu bakar yang mudah, murah dan tersedia di lokasi, maka biogas tidak menarik untuk dimanfaatkan. Selain itu, informasi mengenai biogas ternyata belum banyak diketahui oleh masyarakat sehingga tingkat pengetahuan tentang biogas rendah. Padahal dalam pengambilan keputusan penggunaan biogas sangat dipengaruhi oleh tingkat pengetahuan dan informasi tentang biogas yang diperoleh oleh isteri yang sebagai pengguna biogas. PENUTUP Saat ini, Desa Pendua yang berada di Kecamatan Kahayang, Kabupaten Lombok Utara, merupakan desa dengan pembangunan biogas terbesar di Pulau Lombok. Dan telah berdiri digester biogas di Desa Pendua sekitar 140 unit, dan 68 unit digester berada di Dusun Pendua. Hal tersebut tidak terlepas dari peran agen pengubah yang sangat dibutuhkan dalam keberhasilan difusi inovasi biogas di desa tersebut. Tidaklah mudah untuk merubah kebiasaan masyarakat, diperlukan suatu usaha yang kuat dan terus-menerus. Agen pengubah merupakan seseorang yang mempunyai komitmen dan konsisten dalam memperkenalkan dan memberikan informasi secara berkesinambungan kepada masyarakat dengan cara memberikan contoh berupa digester serta memberikan pengarahan dan penyuluhan guna menyadarkan masyarakat akan pentingnya suatu difusi inovasi biogas di desa Pendua. Difusi inovasi akan berhasil jika sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Agen pengubah akan berhasil dalam mendifusikan inovasi jika bisa mendekati dan mengkomunikasikan inovasi kepada masyarakat sesuai dengan antara lain, pendidikan, budaya, taraf hidup dan sebagainya. Demi keberhasilan suatu difusi inovasi dibutuhkan agen pengubah dari masyarakat lokal yang mengetahui budaya masyarakat setempat. DAFTAR PUSTAKA Ariani, E. 2011. Faktor Keberhasilan Pengembangan Biogas di Pemukiman Transmigrasi Sungai Rambutan SP.1. Jurnal Ketransmigasian . Vol. 28 No. 1 Juli 2011. Jakarta. Diakses 2014. 120 Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional IV, Tahun 2014 Haryati, T. 2006. Biogas: Limbah Peternakan Yang Menjadi Sumber Energi Alternatif. Balai Penelitian Terna, Bogor 16002. WARTAZOA Vol. 16 No . 3 Th. 2006. Diakses 29082014. Hartiningsih, et al., 2013. Peran Jejaring dan Aktor Dalam Mempertahankan Kesinambungan Energi di Perdesaan. Laporan Hasil Penelitian Pappiptek-LIPI . Katalog Perpustakaan Pappiptek-LIPI No. 333.7PerH, Seri Laporan Penelitian No. 2014-01-01-04 Muflikhati, Istiqlaliyah, dkk, 2011. Pengetahuan Istri dan Pengaruhnya Terhadap Pengambilan Keputusan Penggunaan Biogas. Jurnal Ilmu Keluarga dan Konsumen , Januari 2011, p: 91-97, vol. 4 no. 1. Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen, Fakultas Ekologi Manusia, IPB, Bogor. Diakses 2014. Musanif, J. 2009. Biogas. Departemen Pertanian. Risnanurita, 2013. Peranan Agen Perubahan. Risnanurita.wordpress.com …peranan- agent-perubah.. Diakses 08 September 2014. Rogers, Everett M., 1962. Diffusion of Innovations . London: The Free Press. New York. Rogers, Everett M., 1995. Diffusion of Innovations. Forth Edition . London: The Free Press. New York. Soekanto, S., 1992. Teori Sosiologi tentang Perubahan Sosial . Rajawali. Jakarta. Tarigan, R., 2009. Pemanfaatan Bigas Kotoran Ternak Sapi Sebagai Pengganti Bahan bakar Minyak dan Gas. Medan: Universitas Sumatera Utara. Waluyo, Efendi Agus dan Ari Nurlia. Agen Perubahan dalam Pembangunan Hutan Rakyat: Belajar dari Pengembangan Kayu Bawang di Wilayah Propinsi Bengkulu. Peneliti Balai Penelitian Kehutanan Palembang. www.forda- mof.org...7._Agen_Perubahan- Fendi.pdf. Diakses 2014 . Wardhono, W. 2012. Deskripsi Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Proses Adopsi Bio Energi Pedesaa BEP Biogas di Kecamatan Lembang, Kabupaten Bandung Barat. wisnutehape.blogspot.com...contoh- proposal-tesis.ht.. diakses Feb 24, 2012 Widodo, T. W. et all, 2011. Pemanfaatan Energi Biogas Untuk Mendukung Agribisnis di Pedesaan. Balai Besar Pengembangan Mekanisasi Pertanian Serpong ntb.litbang.deptan.go.idind...6_Isi20 Jilid20II.pd... Diakses, 25 Agustus 2014. 121 Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional IV, Tahun 2014 Kendala Inovasi Industri Teknologi Air Bersih di Indonesia The Obstacles of Innovation for Water Technology Industry in Indonesia Rendi Febrianda, Trina Fizzanty, Wati Hermawati, Sigit Setiawan, Dini Oktaviyanti, Nur Laili, Qinan Maulana Binu Soesanto, Dadang Ramdhan Pusat Penelitian Perkembangan IPTEK LIPI, Jl. Jend. Gatot Subroto 10 Jakarta 12710 I N F O A R T I K E L A B S T R A C T Keywords: Innovation Obstacle Industry Water Technology Indonesia Kata Kunci: Kendala inovasi Industri Teknologi air Indonesia Water supply and water technology are important issues for many countries. Water quality problem is getting worse, reduced water availability and water demand for various uses has driven the emergence of water technology industry in Indonesia. Innovation based on science and technology is one of the strategic keys in the development and the sustainable success of market competition for industry. Innovation exists in a complex system and influenced by factors both internal and external factors. The objective of this paper is to deliver various technical and non- technical obstacles experienced by water technology industry in innovation. The survey was conducted to 45 companies in Jabodetabek, West Java and East Java. Innovation obstacles can be categorized into six categories: finance, knowledge, facility and infrastructure, market, institutional and human resources. The results showed that market conditions are the major obstacle for water technology industry in Indonesia in innovation, occur against all companies scale, including domestic companies PMDN and foreign companies PMA. S A R I K A R A N G A N Saat ini industri teknologi air semakin berperan penting bagi banyak negara termasuk Indonesia. Permasalahan kualitas air yang semakin buruk dan ketersediaan air yang semakin berkurang serta permintaan akan air untuk beragam pemanfaatan telah mendorong munculnya industri teknologi air di Indonesia. Inovasi berbasis ilmu pengetahuan dan teknologi merupakan salah satu kunci strategis dalam pengembangan dan kesuksesan kompetisi pasar yang berkelanjutan bagi suatu industri. Inovasi muncul dalam sebuah sistem yang kompleks dan dipengaruhi oleh faktor internal maupun faktor eksternal. Tujuan dari makalah ini adalah untuk menyampaikan hasil penelitian tentang berbagai kendala teknis dan non teknis yang dialami industri teknologi air dalam melakukan inovasi. Survei dilakukan terhadap 45 perusahaan di wilayah Jabodetabek, Jawa barat dan Jawa timur. Data kualitatif tentang kendala berinovasi dapat dikategorikan menjadi 6 kategori yaitu dana, pengetahuan dan teknologi, sarana dan prasarana, pasar, kelembagaan dan sumber daya manusia. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kondisi pasar adalah kendala utama bagi industri teknologi air di Indonesia dalam berinovasi, dan kendala ini terjadi terhadap semua skala industri termasuk PMDN dan PMA. © Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional IV, Tahun 2014  Corresponding author. E-mail address: febrianconcertoyahoo.com rend003lipi.go.id