Strategi Perusahaan, Struktur, dan
93
Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional IV, Tahun 2014
Universitas Gadjah Mada. 2012. Profil Mobil Listrik Nasional. Jakarta :
Kementerian Pendidikan
dan Kebudayaan.
Zetzu. 2010, Oktober. Teori Porter. Retrieved Agustus 08, 2014, from
Artikel Ekonomi:
http:zetzu.blogspot.com201010teor i-porter.html
94
Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional IV, Tahun 2014
Dinamika Penerapan Inovasi Teknologi Budidaya dan Pascapanen Untuk Menstabilkan Harga Bawang Merah di
Indonesia
The Dynamics of Cultivation and Postharvest Technology Innovation Application to Stabilize the Price of Shallot in Indonesia
Kiloes, AM
1
1
Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Jl. Ragunan No. 29A, Pasarminggu, Jakarta Selatan, 12540
I N F O A R T I K E L A B S T R A C T
Keywords: Shallot Technology Innovation
Technology Management Shallot Supply Stabilization
Policy Support Kata Kunci:
Inovasi Teknologi Bawang Merah Manajemen Teknologi
Stabilisasi Pasokan Bawang Merah Dukungan Kebijakan
Shallot is one of the commodity that have significant contribution in national inflation. It because the commodity
’s production is not evenly distributed troughout the year. This fact lead shallot supplies in the market also fluctuated
and it affected to the prices that also always fluctuated. Indonesian Agency for Agricultural Research and Development, Ministry of Agriculture has improving
some technology which can be pursued to stabilize the supply of shallot. This paper aimed to reviewing some production and postharvest
technologies that can be used to stabilize supplies and prices of shallot. The initial approaches in this paper using Management of Technology to analyze the
opportunity between thoose technologies. The technologies available include shallot cultivation in off season, seed supplying trough the True Shallot Seed
technology, and the use of instore drying for shallot storage. Those tecnology will analyzed using technology management approaches to identify the alternative
strategy that can be used to aplicate those technology to stabilized the supply of shallot. Policy support needed in implementeing those technology. Some review
also needed to choose the priority of the technology to stabilized the supply of shallot.
S A R I K A R A N G A N
Bawang merah adalah salah satu komoditas yang menyumbangkan inflasi yang cukup signifikan. Hal tersebut disebabkan karena komoditas ini merupakan
komoditas yang produksinya tidak merata sepanjang tahun. Produksi yang tidak merata tersebut menyebabkan persediaan bawang merah di pasar juga berfluktuasi
sehingga harga bawang merah di pasar juga selalu berfluktuasi. Badan Litbang Pertanian, Kementerian Pertanian telah menghasilkan beberapa
teknologi yang dapat diupayakan untuk menstabilkan produksi dan pasokan bawang merah. Tulisan ini bertujuan untuk mengkaji peluang penerapan beberapa
teknologi budidaya dan pasacapanen bawang merah yang dapat digunakan untuk menstabilkan persediaan dan harga bawang merah. Pendekatan menggunakan
konsep manajemen teknologi yang akan digunakan untuk menganalisa peluang teknologi-teknologi yang dimiliki untuk menstabilkan persediaan bawang merah.
Teknologi yang tersedia diantaranya teknologi budidaya bawang merah di luar musim, penyediaan benih melalui biji botani atau True Shallot Seed TSS, dan
penggunaan teknologi penyimpanan kering atau instore drying untuk penyimpanan bawang merah. Teknologi-teknologi tersebut juga akan dianalisis
menggunakan pendekatan manajemen teknologi untuk mengidentifikasi alternatif strategi yang dapat digunakan untuk mengaplikasikan teknologi-teknologi
tersebut. Dukungan kebijakan dibutuhkan dalam penerapan teknologi tersebut. Dibutuhkan kajian untuk menentukan prioritas pemilihan teknologi dalam
menstabilkan pasokan bawang merah.
© Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional IV, Tahun 2014
Corresponding author : E-mail address: aditkilusyahoo.com
95
Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional IV, Tahun 2014
PENDAHULUAN Bawang
merah Allium
ascalonicum L.
merupakan komoditas hortikultura sayuran yang mempunyai nilai ekonomis tinggi dan prospek
pasar yang baik. Kebutuhan bawang merah terus meningkat seiring dengan meningkatnya populasi
penduduk Indonesia. Sementara itu peningkatan produktivitas bawang merah tidak menunjukkan
yang signifikan selama 20 tahun terakhir. Produktivitasnya masih dibawah 10 ton per ha
padahal potensi hasil bawang merah lokal dapat mencapai 20 tonha
1
. Selain itu hasil penelitian mengenai keunggulan usahatani bawang merah
mengemukakan bahwa
usahatani bawang merah memiliki keunggulan komparatif
2
.
Konsumsi per kapita bawang merah cukup tinggi, terutama untuk konsumsi rumah tangga dan
industri pengolahan makanan. Dari data yang diperoleh dari Departemen pertanian, konsumsi
per kapita bawang merah pada tahun 2008 mencapai 2,74 kgtahun. Selain itu konsumsi
bawang merah kadang mengalami peningkatan seperti pada saat hari-hari besar keagamaan
3
. Hal ini disebabkan kebiasaan masyarakat Indonesia
yang selalu membuat masakan istimewa pada saat hari besar keagamaan sehingga membutuhkan
bawang merah sebagai bumbunya.
Tidak hanya konsumsi, produksi bawang merah juga berfluktuasi sepanjang tahun. Ada
beberapa waktu dalam sepanjang tahun dimana produksi bawang merah mengalami penurunan
terutama pada saat musim hujan. Hal ini disebabkan banyak petani di sentra produksi yang
beralih menanam komoditas lain seperti padi pada saat musim hujan. Selain itu intensitas serangan
penyakit lebih tinggi disaat musim hujan sehingga beresiko untuk memproduksi bawang merah
dengan jumah yang besar dan juga biaya untuk mengatasi penyakit tersebut akan memperkecil
margin keuntungan yang didapatkan petani.
Menurunnya produksi bawang merah tersebut menyebabkan harga bawang merah di
pasar melonjak naik karena pasokannya yang menurun
sedangkan permintaannya
yang cenderung tetap atau bahkan meningkat di masa-
masa tertentu. Bahkan bawang merah dikatakan sebagai salah satu komoditas pertanian yang
menyumbangkan inflasi yang cukup signifikan
yakni sebesar 0,44, paling tinggi diantara kelompok bahan makanan pada bulan Maret
2013
13
. Pada bulan Maret 2013 bahkan harga bawang merah menembus angka Rp. 50.000,-
4
. Saat itu selain produksi bawang merah yang
menurun, juga mulai diterapkan peraturan Rekomendasi Impor Produk Hortikultura dimana
pasokan bawang impor yang masuk dihentikan sementara sehingga pasokan nasional jauh
berkurang. Selain menurunnya produksi akibat musim
ada beberapa permasalahan lagi dalam budidaya dan
pascapanen bawang
merah yang
menyebabkan menurunnya pasokan bawang merah di pasar seperti ketersediaan benih bawang
merah bermutu yang belum memenuhi kebutuhan benih bawang merah
5
serta umur simpan bawang merah yang tidak bisa disimpan lama karena akan
mengalami proses-proses fisiologi, biologi, dan fisikokimia
6
. Beberapa hal tersebut harus dicari solusinya untuk menstabilkan pasokan bawang
merah nasional. Penguasaan
teknologi dan
informasi teknologi sangat dibutuhkan untuk merumuskan
kebijakan pembangunan pertanian dan mengatasi segala permasalahan yang ada
7
. Dalam mengatasi fluktuasi pasokan bawang merah, Badan Litbang
Pertanian, Kementerian
Pertanian telah
menghasilkan beberapa teknologi yang dapat digunakan untuk menstabilkan pasokan bawang
merah di pasaran. Untuk itu, berbagai kebijakan dibutuhkan untuk menjembatani antara teknologi
yang sudah dihasilkan dengan perencanaan, pengembangan, dan implementasi teknologi
tersebut di lapangan, guna menstabilkan pasokan bawang merah nasional. Manajemen teknologi
yang dilakukan diharapkan dapat diarahkan untuk lebih secara nyata untuk mengatasi berbagai
permasalahan di budidaya dan pascapanen bawang merah sehingga dapat mencapai tujuan untuk
menstabilkan pasokan bawang merah nasional. Tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk
mengkaji peluang penerapan beberapa teknologi budidaya dan pasacapanen bawang merah yang
dapat digunakan untuk menstabilkan persediaan dan harga bawang merah
KERANGKA TEORIKERANGKA KONSEP Teknologi-teknologi yang tersedia tidak akan
dapat diimplementasikan kecuali apabila didukung oleh
kebijakan-kebijakan yang
mendukung penerapan teknologi tersebut. Teknologi yang
berpeluang untuk
mengatasi beberapa
permasalahan produksi bawang merah berkaitan dengan beberapa pemangku kebijakan diantaranya
peneliti yang menghasilkan teknologi, petani yang menggunakan teknologi, serta pemerintah dan
pembuat kebijakan yang memfasilitasi penyebaran teknologi.
Dengan manajemen teknologi, segala sumberdaya yang diperlukan dalam menstabilkan
pasokan bawang merah dapat diarahkan secara efektif. Pengarahan tersebut meliputi perencanaan,
pengembangan, dan implementasi kemampuan teknologi
8
dan juga pengawasan dan evaluasi aplikasi teknologi
9
untuk pencapaian tujuan, atau
96
Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional IV, Tahun 2014
dalam hal ini tujuan tersebut adalah menstabilkan produksi bawang merah.
Gambar 1.
Siklus kegiatan manajemen teknologi
8
Perencanaan teknologi tekait dengan pemilihan teknologi yang akan diaplikasikan,
pengorganisasian teknologi
diperlukan agar
penerapan teknologi yang dilaksanakan berjalan denan efektif dan efisien. Setelah perencanaan dan
pengorganisasian dilakukan, akan dilakukan pelaksanaan mulai dari pengembangan hingga
penggunaan teknologi dalam produksi, kemudian dilakukan pengawasan secara berkala untuk
mengetahui penyimpangan-penyimpangan dari perencanaan awal yang telah dibuat. Setelah itu
siklus akan terus berulang dengan membuat perencanaan yang baru
9
.
METODE Tulisan ini merupakan kajian mengenai teknologi
budidaya dan pascapanen bawang merah dari beberapa literatur dan hasil penelitian yang terkait.
Data-data pendukung yang digunakan merupakan data primer yang diperoleh dari survei dan
wawancara yang dilakukan di pasar, sentra-sentra produksi, dan balai-balai penelitian. Sedangkan
data sekunder diperoleh melalui Badan Pusat Statistik, dan sumber lainnya.
Pendekatan manajemen
teknologi digunakan untuk mengkaji peluang yang dimiliki
teknologi untuk menstabilkan produksi bawang merah nasional. Teknologi yang dianalisis terbatas
pada teknologi penyediaan benih bawang merah menggunakan biji botani True Shallot Seed,
budidaya bawang merah di luar musim, dan penyimpanan kering bawang merah. Peluang
penerapan teknologi-teknologi tersebut akan dikaji berdasarkan
perencanaan teknologi,
pengorganisasian teknologi, pelaksanaan dan penerapan teknologi, serta pengawasan dan
pengendalian teknologi
9
.
HASIL DAN PEMBAHASAN Penyediaan Benih bawang merah melalui biji
botani Selama
ini petani
bawang merah
menggunakan benih dalam bentuk umbi. Benih umbi yang digunakan diperoleh dari beberapa
penangkar yang ada di sentra-sentra produksi, dan kadang dari sisa hasil panen bawang merah musim
tanam periode sebelumnya. Hal ini memiliki beberapa kekurangan diantaranya penyakit yang
ditularkan oleh umbi, adanya dormansi benih, volume yang besar sehingga membutuhkan tempat
penyimpanan dan biaya transportasi yang besar, serta
biaya penyediaannya
yang besar
10
. Penggunaan biji botani atau True Shallot Seed
TSS, dapat mengatasi beberapa permasalahan perbenihan bawang merah seperti tidak adanya
dormansi benih, volume yang digunakan lebih sedikit sehingga memudahkan penyimpanan dan
transportasi penggunaan benih TSS 2 kgha, benih umbi 1 ton.ha, dan bebas penyakit
11
. Dari informasi yang diperoleh melalui
Focussed Group Discussion , penggunaan biji
botani dalam perbenihan bawang merah di Indonesia belum menjadi hal yang umum
walaupun teknologi ini bukan merupakan teknologi baru. Hanya ada salah satu perusahaan
perbenihan swasta yaitu PT. East West Seed Indonesia sudah memasarkan benih bawang merah
melalui biji botani dengan varietas tuk-tuk. Teknologi ini belum umum karena beberapa
alasan. Berdasarkan wawancara teradap petani bawang merah di sentra produksi Brebes, petani
menganggap teknologi ini masih rumit untuk dijalankan dan juga membutuhkan waktu yang
lebih lama untuk penerapannya.
Hal tersebut dapat dimaklumi karena jika menggunakan
benih umbi,
petani hanya
membutuhkan waktu dua bulan sejak benih umbi ditanam hingga diperoleh hasil panen bawang
merah konsumsi. Hal berbeda diperoleh jika menggunakan biji botani yang terlebih dahulu
harus
dilakukan penyemaian
sehingga menghasilkan umbi mini. Kemudian umbi mini
yang dihasilkan
ditanam kembali
hingga menghasilkan umbi benih seperti yang biasa
ditanam oleh petani. Maka untuk mendapatkan bawang merah konsumsi membutuhkan waktu
yang lebih lama yaitu enam bulan dengan prosedur yang lebih rumit.
Penerapan penggunaan teknologi biji botani dalam penyediaan benih bawang merah ini
memiliki peluang, karena bawang merah secara alami dapat berbunga dan menghasilkan biji
botani kecuali untuk varietas sumenep. Pemilihan teknologi ini berpeluang terutama untuk mengatasi
permasalahan pengangkutan dan penyimpanan benih, serta meminimalisir serangan penyakit
yang ditularkan oleh virus. Pemilihan
Transfer dan Adaptasi
Implementasi Pengembangan
97
Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional IV, Tahun 2014
Karena panjangnya waktu yang dibutuhkan dalam
menerapkan teknologi
ini, dalam
pengorganisasian dan pelaksanaannya dapat dibuat pembagian pekerjaan menjadi tiga tahap
yaitu produksi biji botani, produksi umbi mini, dan produksi umbi benih. Setiap tahapan dalam
teknologi ini dapat dikerjakan oleh orang yang berbeda sehingga akan membuat peluang usaha
baru dalam perbenihan bawang merah. Produksi biji botani dapat diproduksi di Balai Penelitian
Tanaman Sayuran dan petani penangkar terlatih yang direkomendasikan langsung oleh Balai
Penelitian Tanaman Sayuran. Kegiatan ini dapat dilakukan di dataran tinggi karena pembungaan
bawang merah optimal dilakukan di dataran tinggi. Produksi umbi mini dan umbi benih dapat
dilakukan di oleh penangkar. Untuk itu perlu dikaji
penciptaan suatu
sistem agribisnis
perbenihan bawang
merah menggunakan
teknologi biji botani. Evaluasi dari pelaksanaan teknologi ini
perlu dilakukan
untuk mengidentifikasi
kekurangan dan peluang yang mungkin diperoleh dari pelaksanaan teknologi yang dijalankan,
mengingat teknologi ini adalah teknologi yang belum umum dilaksanakan sehingga dibutuhkan
evaluasi rutin untuk dibuat suatu perencanaan baru.
Teknologi Budidaya Bawang Merah di luar Musim
Diantara seluruh sentra produksi bawang merah yang ada di Indonesia, Kabupaten Brebes
merupakan sentra produksi terbesar dengan sumbangan sekitar 30 dari seluruh produksi
bawang merah nasional
14
. Musim tanam dan panen raya terletak di rentang bulan Juli-
Desember pada musim kemarau. Sentra produksi lain tersebar di seluruh Indonesia dengan musim
tanam yang
berbeda-beda karena
kondisi agroekosistem yang berbeda-beda pula.
Pada saat musim hujan banyak petani yang enggan untuk menanam bawang merah. Hal ini
disebabkan karena kebiasaan sebagian besar petani bawang menanam padi pada saat musim
hujan. Selain itu masalah usahatani bawang merah diluar musim adalah tingginya resiko kegagalan
panen karena tingginya serangan hama dan penyakit.
Untuk menjamin
keberhasilan penanaman diluar musim tanam bawang harus
memperhatikan varietas yang digunakan, cara tanam
yang sesuai,
pemupukan efisien,
pengendalian hama dan penyakit yang efektif, drainase yang baik serta pemeliharaan yang
intensif. Teknologi budidaya bawang merah di luar
musim berkaitan dengan pemilihan varietas yang mampu beradaptasi dan tumbuh baik pada musim
hujan. Pemilihan varietas tertentu dilakukan agar tanaman bawang merah yang ditanam tahan
terhadap serangan hama dan penyakit yang biasa datang pada saat musim hujan. Varietas bawang
merah yang mampu beradaptasi di musim hujan antara lain varietas pikatan dengan potensi hasil
sebesar 6,2-23,3 tonha, pancasona dengan potensi hasil sebesar 6,9-23,7 tonha, trisula dengan
potensi hasil sebesar 6,5-23,2 tonha, dan mentes dengan potensi hasil 7,1-27,6 tonha
16
. Penerapan penggunaan varietas tertentu
yang mampu beradaptasi dengan musim hujan harus dikondisikan sesuai dengan lokasi tanam
bawang. Beberapa varietas mempunyai sifat spesifik lokasi tertentu tergantung daerah tempat
bawang ditanam. Manajemen pemilihan varietas ini menentukan keberhasilan usahatani bawang
merah di lokasi tersebut. Perlu adanya demplot dan uji lokasi pertanaman bawang merah agar
dapat diperoleh varietas bawang merah mana yang paling optimal untuk ditanam. Hal ini perlu
dilakukan juga karena paket teknologi selain varietas
mengharuskan pelaku
usahatani melakukan perlakuan yang berbeda dengan
apabila menanam bawang merah pada musim kemarau.
Dalam pengorganisasian teknologi ini perlu diciptakan penangkar-penangkar benih lokal yang
memproduksi varietas bawang merah baru yang diintroduksikan tersebut melalui pembinaan dari
balai penelitian dan dinas pertanian. Evaluasi pelaksanaan teknologi ini harus melibatkan Balai
Pengawasan dan Sertifikasi Benih di tiap-tiap daerah untuk menjaga kualitas dari varietas yang
diproduksi oleh penangkar-penangkar lokal. Hasil wawancara dengan pengurus Dewan Bawang
Nasional dan Pejabat Dinas Pertanian Kabupaten Brebes mengemukakan bahwa benih bawang
merah yang beredar di pasaran banyak yang tidak bersertifikat sehingga jenis varietasnya tidak jelas.
Teknologi
Penyimpanan Kering
Bawang Merah
Bawang merah merupakan salah satu komoditas hortikultura yang memiliki sifat mudah
rusak. Kerusakan yang terjadi pada saat penyimpanan biasanya berupa tumbuhnya tunas,
pelunakan umbi, tumbuhnya akar, dan busuk serta berjamur. Hal ini disebabkan bawang merah
memiliki kadar air yang tinggi. Kerusakan tersebut berakibat ada menurunnya daya simpan dan mutu
bawang merah
18
. Penanganan
pascapanen yang
biasa dilakukan untuk mengatasi permasalahan tersebut
adalah dengan
melakukan pengeringan.
Berdasarkan wawancara terhadap petani bawang
98
Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional IV, Tahun 2014
merah di Brebes, pengeringan biasa dilakukan dengan menjemur bawang merah hasil panen
dibawah sinar matahari. Proses pengeringan tersebut memakan waktu 5-15 hari. Jika cuaca
dalam keadaan panas maka pengeringan akan lebih cepat. Meskipun sudah dikatakan kering
kadar air bawang merah masih tinggi yaitu 65
19
. Setelah dikeringkan dengan dijemur biasanya
bawang merah disimpan di gudang tertutup namun masih beralaskan tanah sehingga kelembabannya
tinggi. hal
tersebut dapat
menyebabkan kelembaban bawang merah kembali meningkat
sehingga akan lebih mudah busuk. Untuk
memperpanjang masa
simpan pengeringan lebih lanjut dibutuhkan hingga kadar
air bawang merah mencapai 14. Modifikasi sistem pengeringan dan penyimpanan dengan
menggunakan pengaturan aerasi yang dilengkapi pemanas buatan dapat digunakan untuk tempat
penyimpanan kering bawang merah. Penelitian yang
dilakukan mengemukakan
bahwa penyimpanan dalam suhu ruang 38-48
o
C menghasilkan kualitas bawang merah yang cukup
baik dengan kadar air rata-rata 13 dan warna merah mengkilap
6?
. Penerapan teknologi ini berpeluang untuk
mengatasi permasalahan penyimpanan bawang merah. Umur simpan bawang merah dapat
bertahan lebih lama sehingga dapat dijual pada saat produksi bawang merah menurun, namun
pasokan bawang merah di pasar masih tetap tersedia.
Dalam pengorganisasiannya
beberapa peluang juga dapat diterapkan dalam penerapan
teknologi ini. Kelembagaan usahatani dapat digunakan untuk menghimpun hasil panen bawang
emrah di satu daerah. Peluang penerapan resi gudang
juga dapat
diimplementasikan menggunakan teknologi penyimpanan kering
bawang merah ini.
Manajemen Teknologi
dan Dinamika
Penerapan Teknologi dalam Menstabilkan Produksi Bawang Merah Nasional
Dibutuhkan pengaturan untuk menerapkan
teknologi-teknologi untuk menstabilkan produksi bawang merah tersebut. Teknologi-teknologi yang
tersedia tidak semua dapat diimplementasikan secara serentak dan dapat diterapkan di semua
lokasi sentra produksi bawang merah. Harus terlebih dahulu diperhatikan kondisi suatu daerah
serta dilakukan penentuan prioritas teknologi mana yang dapat diterapkan. Untuk itu perlu
pengkajian untuk menentukan teknologi mana yang akan dijadikan prioritas untuk menstabilkan
ketersediaan bawang merah nasional. Identifikasi
pelaku-pelaku yang
akan mengimplementasikan
teknologi-teknologi tersebut juga perlu dilakukan. Pelaku penerapan
teknologi ini bisa dari beberapa pihak yang menghasilkan dan yang menggunakan teknologi
tersebut. Balai-balai Penelitian Lingkup Badan Litbang Pertanian adalah aktor yang memproduksi
teknologi dimana ada Balai Penelitian Tanaman Sayuran
dibawah Pusat
Penelitian dan
Pengembangan Hortikultura yang selama ini melakukan
penelitian mengenai penyediaan
bawang merah menggunakan biji botani dan teknologi produksi bawang merah di luar musim.
Selain itu ada Balai Besar Pengembangan Mekanisasi Pertanian dan Balai Besar Penelitian
Pascapanen Pertanian yang selama ini melakukan penelitian untuk pascapanen bawang merah dan
penggunaan instore drying. Masih di bawah Badan Litbang Pertanian, Balai Pengkajian Teknologi
Pertanian BPTP di setiap provinsi adalah balai yang bertugas untuk melakukan diseminasi dan uji
lokasi di masing-masing daerah. Sebab teknologi yang dihasilkan harus disesuaikan dengan kondisi
daerah masing-masing.
Selain institusi dibawah Badan Litbang Pertanian,
pelaku lain
seperti dinas-dinas
pertanian badan usaha swasta di daerah juga memiliki peranan dalam penerapan teknologi yaitu
dalam penyebarluasan dan pengenalan teknologi. Petani sebagai pengguna juga perlu diidentifikasi
bagaimana peranannya karena petani adalah pelaku yang nantinya akan menerapkan teknologi
ini di lapangan. Selain itu pihak-pihak lain seperti asosiasi-asosiasi bawang merah yang selama ini
bergerak di bidang agribisnis bawang merah juga perlu dilibatkan dalam pemilihan teknologi yang
akan diterapkan. Sebab asosiasi-asosiasi bawang merah merupakan pelaku yang mengetahui
kondisi di lapangan.
Perlu juga diidentifikasi manakah diantara kriteria-kriteria dalam implementasi teknologi
yang paling penting menurut para pelaku tersebut. Kriteria-kriteria yang dapat diambil diantaranya
15
: 1. Kemudahan secara teknis
Pelaku agribisnis
bawang merah
biasa menanam bawang merah menggunakan benih
berbentuk umbi, melakukan budidaya dan penyimpanan sesuai dengan yang selama ini
mereka lakukan. Apabila hendak diterapkan teknologi
perbenihan bawang
merah menggunakan biji botani, penerapan teknologi
budidaya bawang merah diluar musim, dan teknologi
penyimpanan bawang
merah menggunakan penyimpanan kering tentunya
perlu adanya adaptasi yang dilakukan oleh para pelaku usaha. Semakin mudah diterapkan
99
Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional IV, Tahun 2014
kemungkinan teknologi tersebut diadopsi akan lebih besar.
2. Menguntungkan secara ekonomi Penerapan teknologi baru tentunya akan
berdampak kepada bertambahnya biaya yang akan dikeluarkan. Harus dikaji apakah dengan
bertambahnya biaya akan menguntungkan usahatani atau malah merugikan usahatani
yang dilakukan.
3. Dapat diterima secara sosial Kondisi sosial pelaku usahatani bawang merah
juga berdampak
kepada keberhasilan
diseminasi teknologi. Banyak petani, tidak hanya petani bawng merah yang merasa
nyaman dengan kondisi usahatani yang dilakukannya selama ini tanpa adanya sentuhan
teknologi.
Hal ini
dapat menghambat
diseminasi teknologi yang ada. 4. Tidak bertentangan dengan aturan
Diseminasi teknologi yang bertujuan untuk menstabilkan pasokan bawang merah terutama
untuk teknologi perbenihan dihadapkan pada aturan yang harus ditaati seperti peraturan
mengenai produksi, sertifikasi, dan peredaran benih bina.
Agribisnis bawang merah merupakan suatu proses yang dinamis yang selalu berubah
mengikuti sistem yang ada. Penerapan teknologi tidak akan berjalan tanpa adanya dukungan
kebijakan dari pihak yang terkait. Dibutuhkan dukungan
kebijakan yang
selaras dengan
pemanfaatan teknologi,
khususnya yang
dibutuhkan oleh masyarakat luas
12
.
Gambar 2.
Penentuan Prioritas Teknologi yang akan digunakan
dalam menstabilkan
produksi bawang merah
Pemasaran atau diseminasi dari teknologi juga termasuk pengelolaan dari teknologi. Dengan
metode diseminasi yang tepat dapat mempercepat teknologi sampai ke tangan penggunanya.
Sehingga dapat lebih cepat menstabilkan pasokan bawang merah nasional. Tidak hanya kebijakan
dalam menerapkan teknologi tapi juga secara tidak langsung pemerintah harus menentukan kebijakan
terhadap bidang lain yang berkaitan dengan agribisnis bawang merah. Contohnya dalam
pengaturan impor bawang merah dari luar negeri. Impor bawang merah dari luar negeri akan
membuat pasokan bawang merah meningkat dan akan membuat harga bawang merah turun.
Petani tidak akan menanam jika harga tidak menarik. Sebaliknya petani akan menanam jika
harga di pasar menjanjikan. Jika impor tidak diatur maka pasokan akan terus melimpah dan
berpengaruh terhadap turunnya harga bawang merah di pasar. Jika harga bawang merah tidak
menjanjikan maka petani bawang merah tidak akan tertarik untuk menanam bawang merah
sehingga teknologi apapun tidak akan diterapkan. Jangankan untuk meningkatkan produksi, bahkan
untuk berproduksi petani akan enggan karena harga yang tidak menarik.
Pemberian insentif atas penerapan teknologi juga dapat diterapkan oleh pemerintah. Insentif
yang diberikan dapat berupa perlindungan produk, pajak,
kemudahan, memperoleh
dana pengembangan,
fasilitasi pemasaran,
dan pertumbuhan pasar
17
.
PENUTUP Ketiga teknologi bawang merah yang dipaparkan
berpeluang untuk
mengatasi permasalahan
agribisnis bawang merah, tergantung pada fase mana
agribisnis bawang
merah tersebut
berlangsung. Teknologi perbenihan bawang merah menggunakan biji botani berpeluang untuk
mengatasi permasalahan dalam penyediaan benih bawang merah. Teknologi budidaya bawang
merah di luar musim dapat berpeluang untuk mengatasi kekosongan pasokan bawang merah di
pasar. Teknologi penyimpanan kering bawang merah berpeluang untuk memperpanjang umur
simpan bawang merah sehingga menyimpan kelebihan pasokan pada saat panen raya dan
memenuhi kebutuhan pada saat pasar dalam keadaan kosong.
Untuk melihat mana teknologi yang paling baik diantara tiga teknologi tersebut dibutuhkan
kajian lebih lanjut mengenai pemilihan prioritas teknologi yang akan digunakan mengingat
keterbatasan sumberdaya yang dimiliki. Kajian tersebut meliputi pemilihan teknologi dan pelaku
yang akan menerapkan teknologi tersebut, berkaitan dengan perbedaan kondisi di masing-
masing daerah sentra produksi bawang merah di Indonesia.
Kebijakan yang dapat ditempuh adalah dengan memberikan insentif penerapan teknologi,
dapat berupa perlindungan produk, pajak, kemudahan memperoleh dana pengembangan,
100
Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional IV, Tahun 2014
fasilitasi pemasaran, dan kepastian harga dan pasar. Perlu dilakukan kajian lebih lanjut
mengenai bentuk kebijakan yang paling tepat untuk menerpakan teknologi-teknologi tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
1
Kartapradja R, PS Sartono. 1990. Percobaan varietas bawang merah di Sukamandi. Bul.
Penel. Hort. 18 2: 57-60
2
Adiyoga, W
dan Soetiarso,
TA. 1997.
Keunggulan Komparatif
dan Insentif
Ekonomi Usaha Tani Bawang Merah, J. Hort, Vol. 7 No. 1, 641-24
3
Dirjen Hortikultura. 2005. Kinerja
pembangunan sistem dan usaha agribisnis hortikultura
200-2003. Departemen Pertanian. Direktorat Jendral Bina Produksi
Hortikultura. Jakarta.
4
Anonim. 2013. Harga Bawang Tembus Rp. 50.000Kg.
http:cetak.shnews.cowebread2013-03- 119021harga.bawang.tembus.rp.50000kg.
VAHTvsWSx5c diakses tanggal 18 Agustus
2014.
5
Putrasamedja, S dan AH. Permadi. 2001. Vareitas Bawang Merah Unggul Baru
Kramat-1, Kramat-2, dan Kuning. J.Hort. 11 2: 143-147
6
Priyantono, E., Ete, A., dan Andrianton. Vigor Umbi Bawang Merah Allium Acallonicum
L. Varietas Palasa dan Lembah Palu pada Berbagai Kondisi Simpan. e-J. Agrotekbis 1
1: 8-16
7
Saleh. A dan Suwanda, FN. 2008. Analisis Efektifitas Komunikasi Model Prima Tani
Sebagai Diseminasi Teknologi Pertanian Di Desa Citarik Kabupaten Karawang Jawa
Barat. Jurnal Komunikasi Pembangunan 6 2: 66-79
8
Nazruddin. 2008. Manajemen Teknologi. Graha Ilmu. Yogyakarta.
9
Gumbira-Said, E dan Intan, AH. 2001. Manajemen Agribisnis. Penerbit Ghalia
Indonesia, Jakarta
10
Suherman, R. Basuki, R.S. 1990. Strategi luas usahatani bawang merah Allium cepa
var. ascalonicum di Jawa Bali. Tinjauan dari segi usahatani terendah. Buletin Penelitian
Hortikultura, 183: 11 –18
. 11
Ridwan, H., Sutapradja, H., Margono. 1989. Daya produksi dan harga pokok benih, biji
bawang merah.
Buletin Penelitian
Hortikultura, XVII4: 57 –61
12
Anonim. 2012. Pemanfaatan Teknologi Butuh Kebijakan
yang Selaras.
http:w1.bppt.go.idindex.phphome46- umum1179-pemanfaatan-teknologi-butuh-
kebijakan-yang-selaras diakses tanggal 20
Agustus 2014
13
Badan Pusat Statistik. 2013. Berita Resmi Statistik. No. 2204Th. XVI, 1 April 2013
14
Basuki, RS. 2010. Sistem Pengadaan dan Distribusi Benih Bawang Merah pada
Tingkat Petani di Kabupaten Brebes. J. Hort 20 2: 186-195
15
Hernanto, F. 1991. Ilmu Usahatani. Penebar Swadaya, Jakarta.
16
Sumarni, N., Sopha, GA, Setyawati, W, dan Suwandi. 2013. Teknologi Budidaya Bawang
Merah di
Luar Musim.
http:balitsa.litbang.deptan.go.idindindex.p hpberita-terbaru172-bm-2.html
diakses 20 Agustus 2014
17
Firmansyah. 2010.
Analisis Kebijakan
Pemberian Insentif Pajak Atas Sumbangan dalam
Kegiatan Penelitian
dan Pengembangan. Bisnis dan Birokrasi, Jurnal
Ilmu Administrasi dan Organisasi. Vol. 17 1: 1-14.
18
Nugraha, S. 2009. Teknologi Pengeringan- Penyimpanan
Bawang Merah.
http:pascapanen.litbang.deptan.go.idindex. phpenberita71
diakses tanggal 20 Agustus 2014
19
Hartuti, N dan D. Histifariana. 1997. Pengaruh Natrium Metabisulfit dan Lama Perendaman
terhadap Mutu Tepung Bawang Merah. Jurnal Hortikultura 7 1: 583-589
101
Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional IV, Tahun 2014
Peningkatan Daya Saing dan Kapabilitas Inovasi Usaha Kecil Berbasis Teknologi Tinggi Versus Teknologi Sederhana
Improving Competitiveness and Innovation Capability of Small Businesses on the Basis of High Tech Versus Non-High Tech
Edy Wahyudi
1
1
Program Studi Administrasi Bisnis, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Jember, Jl. Kalimantan 37, Jember, 68121
I N F O A R T I K E L A B S T R A C T
Keywords: Innovation Capability
Small Businesses Competitive Strategy
Marketing Innovation
Kata Kunci: Kapabilitas Inovasi
Usaha Kecil Strategi Bersaing
Inovasi Pemasaran According to Wahyudi and Julianto 2013 small business enterprise in East Java
province particularly non high tech small business enterprises still have innovation capabilities for developing the unique characteristics of their products. Moreover, it
is also important for this small business enterprise for reducing the cost of production with the utilization of a moderate tool of production-non high tech tools. Other
important findings also suggest that access to a market is a key factor for ensuring the production sustainability, although the small business owner could not avoid the fact
that an application of a new and improved technology on the process of production will simultaneously leads to an faster and improved the capacity of production, which
means leads for expanding more market. This study with qualitative description methods attempts to find competitive strategy from two different characteristics, of
high tech and non high tech small businesses. The different characteristics of the two businesses require different strategies to business competitiveness. This study will
analyze the characteristics of competing and strengthening market access, marketing innovation, and transitional processes of high-tech acquisition of small businesses to
improve their competitiveness. The results of this study showed that the alternative of business preferences using high-tech or non-high-tech is determined by factors of
leader and work culture in organization push theory and market accesses, consumer preferences and the government facilitation in supporting small businesses pull
theory. Differentiation strategy, low cost and continuous fulfillment of market demand becomes important points of the success of small business competitiveness on
the basis of high tech and non-high tech.
S A R I K A R A N G A N
Berdasarkan hasil penelitian Wahyudi dan Julianto 2013 usaha kecil non high tech di Jawa Timur dapat melakukan inovasi berdasarkan keunikan produk dan mampu
mereduksi biaya produksi dengan menggunakan alat-alat sederhana yang digunakan. Akses pasar juga menjadi faktor kunci dalam kelancaran produksi, meskipun pelaku
usaha mengakui dengan teknologi yang lebih canggih mampu mempercepat kapasitas produksi dan melayani pasar yang lebih luas. Penelitian ini menggunakan pendekatan
deskriptif kualitatif untuk menemukan strategi peningkatan daya saing usaha kecil dari dua karakteristik yang berbeda, yaitu dari usaha kecil teknologi tinggi high tech
dan teknologi sederhana non high tech. Penelitian ini akan mengurai karakteristik bersaing dan penguatan akses pasar, inovasi pemasaran yang dilakukan, dan proses
transisi akuisisi teknologi tinggi untuk meningkatkan daya saingnya. Hasil penelitian ini menemukan bahwa strategi menggunakan high tech atau non high tech ditentukan
faktor pemimpin dan budaya kerja dalam organisasi push theory dan akses pasar, preferensi konsumen dan fasilitasi pemerintah dalam mendukung usaha kecil pull
theory
. Strategi diferensiasi, low cost dan pemenuhan permintaan pasar yang kontinyu menjadi poin penting keberhasilan daya saing usaha kecil, dengan basis high
tech maupun non high tech.
© Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional IV, Tahun 2014
Corresponding author. E-mail address:
edydata75gmail.com
102
Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional IV, Tahun 2014
PENDAHULUAN Usaha kecil di Indonesia sangat besar, sekaligus
menjadi potensi yang luar biasa karena mampu eksis dalam era krisis dengan menjadi aktor
ekonomi hingga 99,8, sementara hanya 0,2 perusahaan besar yang mampu bertahan di era
krisis. Saat ini, sejak bergulirnya industri kreatif, upaya pemberdayaan dan peningkatan
daya saing UMKM mulai dikembangkan Wahyudi dan Julianto, 2013.
Akhir tahun 2010 pertumbuhan ekonomi di Jawa Timur mengalami peningkatan 6,67.
Besarnya pertumbuhan ini melebihi nasional yang hanya 6,10 pada 2010. Jawa Timur saat ini
menduduki posisi kedua penyumbang Produk Domestik Regional Bruto sebesar 15,41 pada
2010 setelah DKI Jakarta sebesar 17,81.
Jawa Timur juga memiliki jumlah industri kecil yang sangat dominan 97,80, sementara
industri menengah 2,09 dan usaha besar 0,10. Dominasi industri kecil ini ternyata juga mampu
menyerap tenaga kerja 60,12, sementara industri menengah 31,73 dan industri besar hanya
8,15. Usaha kecil yang ada di Jawa Timur cukup beragam. Berdasarkan hasil survei yang dilakukan
Bank Indonesia tahun 2007, ditemukan bahwa ada beberapa sektor unggulan yang diantaranya adalah
konveksi dan bordir, mebelair, kerajinan tangan craft dan makanan dan minuman khas mamin
khas. Inovasi berbasis kreativitas berpotensi besar dalam mengatasi kendala klasik usaha kecil dalam
meningkatkan daya saingnya. Banyak usaha kecil yang hanya mengandalkan modal besar dan
berproduksi berdasarkan pesanan pada akhirnya bangkrut karena tidak mampu menekan harga dan
bersaing dengan perusahaan besar. Meskipun jumlah UMKM di Indonesia jauh lebih besar
dibanding perusahaan besar, namun peran UMKM dalam
menciptakan nilai
tambah bagi
perekonomian Indonesia masih kecil Fontana, 2011. UMKM di Indonesia kekurangan pelaku
usaha yang memiliki kewirausahaan dan inovasi sekaligus; yang mampu menemukan peluang,
mencipta,
mengembangkan dan
seterusnya sehingga menghasilkan keuntungan ekonomi
strategic entrepreneurship
. Usaha
Kecil Menengah perlu meningkatkan inovasi sehingga
berhasil meningkatkan kinerja inovasi secara ekonomi dan sosial. Keunggulan model bisnis
dibangun mulai dengan kemampuan melakukan formulasi, implementasi, dan evaluasi tentang
siapa target konsumen dan atau pengguna produk. Upaya kewirausahaan perlu bergandengan dengan
inovasi. Upaya inovasi antara lain terlihat dari upaya menciptakan nilai bagi produk product
innovation
, proses produksi innovation process dan
cara manajemen
bekerja innovation
management . Semua pada intinya dilakukan
untuk meningkatkan nilai tambah barang dan atau jasa yang ditawarkan kepada konsumen dan
berimbas pada nilai atau keuntungan ekonomi unit usaha atau UMKM atau perusahaan pada
umumnya Wahyudi dan Julianto, 2013.
Berdasarkan hasil penelitian Wahyudi dan Julianto 2013 berhasil mengungkap bahwa usaha
kecil yang menggunakan teknologi rendah non high tech
dapat melakukan inovasi dan kreatifitas berdasarkan keunikan produk yang mereka buat,
dan mampu menurunkan biaya produksi dengan menggunakan alat-alat sederhana yang digunakan.
Akses pasar juga menjadi faktor kunci dalam kelancaran produksi, meskipun pelaku usaha
mengakui bahwa dengan adanya teknologi yang lebih canggih akan mampu mempercepat kapasitas
produksi dan mampu melayani pasar yang lebih luas.
Berdasarkan kondisi inilah proses akuisisi teknologi tinggi high tech dibutuhkan bagi usaha
kecil. Penelitian terdahulu yang dilakukan peneliti terkait penggunaan teknologi pada usaha kecil
menemukan bukti bahwa tidak semua pelaku usaha
menganggap penting
meng-upgrade teknologi mereka Wahyudi dan Julianto, 2012.
Pelaku usaha merasa puas dengan kondisi yang ada trimo ing pandum, sehingga mereka enggan
untuk melakukan investasi di bidang teknologi. Temuan lain dalam penelitian adalah memang
tidak semua proses produksi yang dilakukan pelaku usaha membutuhkan teknologi tinggi,
karena mereka memproduksi barang dengan tingkat keunikan dan diferensiasi yang tinggi.
Penelitian ini akan mengidentifikasi karakteristik dan model daya saing usaha kecil
yang menggunakan teknologi tinggi high tech dan teknologi rendah non high tech. Penelitian
ini juga mengidentifikasi proses transisi akuisisi teknologi tinggi high tech pada usaha kecil dan
langkah-langkah internal dalam proses akuisisi. Output riset ini ini diharapkan pelaku usaha dapat
belajar dari lanskap permasalahan kegagalan akuisisi teknologi tinggi high tech dan memiliki
dasar dasar pengambilan keputusan yang matang untuk meng-upgrade teknologinya sehingga dapat
meningkatkan kinerja bisnis dan mampu meningkatkan daya saing dengan mengakusisi
teknologi yang berdaya guna. METODE PENELITIAN
Model penelitian yang dilakukan menggunakan metode penelitian kualitatif, dengan pendekatan
deskriptif, untuk lebih dapat menggambarkan secara
natural bagaimana
usaha kecil
meningkatkan daya saingnya. Penelitian ini berupaya menemukan karakteristik daya saing
103
Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional IV, Tahun 2014
usaha kecil yang menggunakan teknologi tinggi high tech dan usaha kecil yang menggunakan
teknologi sederhana non high tech. Objek penelitian ini adalah berbagai jenis usaha kecil
seperti makanan dan minuman khas mamin khas, logam, konveksi, dan kerajinan craft. Lokasi
penelitian ini adalah usaha kecil di Jawa Timur yaitu di Kabupaten Tulungagung, Kota Kediri,
Kota Blitar dan Kabupaten Pasuruan. Penelitian ini dengan sengaja berupaya melihat dari
kharakteristik usaha kecil dengan produk yang berbeda beda, sehingga diharapkan dapat melihat
keunikan produk dan strategi bersaingnya. Proses kedalaman informasi didapatkan peneliti melalui
indepth interview
dengan pemilik perusahaan untuk mendapatkan informasi langsung dan
alamiah. Peneliti juga melakukan observasi dan penelitian
dilapangan dengan
melakukan pengamatan langsung proses pengolahan produk,
alat teknologi yang digunakan, proses packaging, dan mencermati akses pasar dan pemasaran di
lapangan. HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakteristik Usaha Kecil
Non high tech di Jawa Timur
Usaha kecil yang menggunakan teknologi rendah dalam penelitian relatif beragam, mulai
dari mamin khas yang tersebar di beberapa KabupatenKota Tulungagung, Kediri, Blitar,
usaha kecil logam Blitar, Tulungagung dan Pasuruan,
dan kerajinan
tangan craft
Tulungagung dan Blitar. Meskipun usaha kecil tersebut menggunakan teknologi rendah, namun
kunci kesuksesan usaha kecil tersebut adalah kreativitas, baik dalam hal menghasilkan kreasi
produk, teknologi tepat guna yang sederhana, citarasa dan packaging yang khas mamin khas,
dan kreativitas dalam memasarkan produk mereka.
Kreativitas adalah dihasilkannya ide baru dan segar yang dapat memenuhi kebutuhan yang
timbul atau menawarkan peluang bagi organisasi. Kreativitas adalah langkah pertama yang penting
dalam inovasi, di mana hal tersebut vital bagi keberhasilan organisasional dalam jangka panjang.
Orang-orang kreatif sering dikenal karena originalitas, memiliki pikiran yang terbuka open
mindedness
, keingintahuan, pendekatan terfokus untuk memecahkan masalah, ketekunan, tingkah
laku yang rileks dan suka bermain-main, serta penerimaan terhadap ide-ide baru Das and He,
2006. Sementara Zuhal 2010 menyatakan bahwa seseorang disebut melakukan kerja kreatif
jika ia menghasilkan sesuatu yang bukan kelanjutan dari solusi yang pernah ada. Nilai
kreativitasnya ditimbang dari seberapa jauh sesuatu itu berbeda dari pengalaman atau solusi
terdahulu. Proses kreatif melahirkan inovasi itu sendiri terbentuk melalui tahapan mencari
search, memutuskan decision, dan mencoba
trial. Selaras dengan yang disampaikan Zuhal
2010 bahwa kemampuan bertahan usaha kecil di Tulungagung, Blitar, KabKota Kediri dan
Pasuruan juga didasari dengan tahapan mencari search
, dengan berupaya menemukan alternatif agar produk mereka dapat diterima dipasar.
Meskipun search yang dilakukan dilakukan secara tradisional hanya dengan melihat produk pesaing,
perbandingan harga, dan melihat daya beli, ternyata
dapat memberikan
dampak yang
signifikan terhadap luaran produk yang mereka hasilkan. Proses memutuskan decision usaha
kecil ini tergolong unik. Proses eksekusi bentuk produk, cara mengemas packaging, hingga
penentuan
harga yang
mereka lakukan
menunjukkan proses trial yang mengandung risiko kegagalan yang tinggi. Ketiga hal inilah yang
membuat daya saing mereka teruji, sehingga produk mereka sukses.
Karakteristik Usaha Kecil
High Tech di Jawa Timur
Berdasarkan hasil penelitian, beberapa pelaku usaha menggunakan teknologi tinggi dalam
proses produksi dan pemasaran produk mereka. Penggunaan teknologi tinggi itu ditandai dengan
menggunakan mesin otomatis, yang mampu mengontrol kualitas mulai dari tingkat presisi
ukuran produk, kualitas rasa jika itu terkait dengan mamin, dan juga dari produktivitas
kecepatan produksi. Berdasarkan hal tersebut, peneliti menemukan bahwa pelaku usaha yang
menggunakan teknologi tinggi adalah perusahaan yang mampu secara kontinyu melakukan produksi
dan melayani permintaan pasar. Beberapa perusahaan adalah berorientasi ekspor, sehingga
menuntut mereka menjaga kualitas produk dan pemasaran dengan website. Survei sentra usaha
marmer Mutiara Onyx di desa Besole Kabupaten Tulungagung, Pemimpin usaha Ibu Idawati
menuturkan bahwa “usaha saya ini memang pake
alat berat untuk motong batu marmer, saya juga butuh alat berat ini untuk dapat memindahkan
batu yang besar besar, kalo pake tenaga manusia, butuh 5 sampai 7 orang, itupun pake gerobak
sapi, sekarang cukup 1 orang
bisa”. Dengan alat berat tersebut usaha marmer yang ditekuninya
dapat lebih produktif, presisi dalam ukuran pemotongan, dan standar kualitas yang tinggi. Ibu
Idawati menuturkan,
”produk saya ini wastafel dan bathup saya kirim ke Eropa, kemarin ke
Italia dan Prancis, standar mutunya harus tinggi,
104
Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional IV, Tahun 2014
dan itu prioritas saya, karena transaksinya pake dollar, lebih menguntungkan”.
Penelitian di tempat berbeda juga menemukan rasionalitas yang mirip dari pelaku
usaha marmer. Usaha roti bakery Salma di Kota Kediri menggunakan teknologi oven besar yang
memiliki timer otomatis. Pak Fauzan selaku pemimpin usaha mengatakan,
”kalo menggunakan oven ini
lebih cepat berproduksi, lebih efisien tempat dan ruang dan cukup 2 karyawan yang
mengontrol matangnya roti dan mengeluar- k
annya”. Berdasarkan pengamatan peneliti, mesin oven besar yang dimiliki memang mampu
memberikan kecepatan produksi dan kualitas hasil roti yang konsisten. Hadirnya teknologi juga
berimplikasi pada kerja karyawan yang lebih cepat, karena semua serba terukur. Lebih lanjut
Pak Fauzan menjelaskan,
”roti ini prosesnya harus pas mas, selisih berapa menit bisa gosong, keju
bisa meleleh, roti bisa atos, alat ini benar benar membantu saya meningkatkan standar roti, gak
pake perasaan atau feeling”. Penelitian ke UD. LOIND Logam Indah
di Kecamatan Ngunut, Kabupaten Tulungagung juga mengungkap fakta bahwa akuisisi teknologi
yang digunakan perusahaan ini memang ditujukan untuk meningkatkan kualitas produksi, kecepatan
proses produksi dan mampu melayani permintaan pasar dengan cepat. LOIND ini adalah perusahaan
yang memproduksi aneka sabuk, dan melayani order dari TNI. Pak Murtadji selaku pemilik
LOIND mengatakan
”saat ini beli alat-alat berat seperti ini sudah mendesak, harus beli, karena
bagaimanapun juga kita dikejar waktu untuk menyelesaikan order dari perusahaan”
Penelitian ini menemukan fakta bahwa faktor kepemimpinan menjadi kunci penting
dalam mengadopsi teknologi. Dampak dari penggunaan teknologi tinggi tersebut juga
berdampak dalam budaya organisasi tidak semua pelaku usaha, memiliki keinginan yang kuat untuk
mengadopsi teknologi tinggi dalam proses produksi mereka. Keberanian menanggung risiko
dengan berinvestasi melalui teknologi membawa keberhasilan terhadap kemampuan berinovasi.
Kecepatan dan kontinyuitas dalam melahirkan produk baru dengan inovasi juga menjadi lebih
mudah untuk dilakukan.
Penggunaan teknologi tinggi ini juga berdampak terhadap kapabilitas inovasi proses dan
inovasi produk. Pak Rudi, selaku manajer pelaksana sekaligus putra pemilik CV LOIND,
mengatakan, ”dengan menggunakan alat-alat ini
memang kerja jadi lebih cepat mas, lebih presisi. Kami juga lebih mudah menerima order baru.
Pesanan dari TNI Polri saat ini lebih beragam, tidak hanya sabuk kopel, tapi juga tenda militer,
dan saat ini kami menerima order traffict light dari Polri”. Lebih lanjut Pak Rudi
menjelaskan, ”inovasi produk kami lakukan
berdasarkan pesanan saja mas, kami percuma bikin inovasi produk baru tapi masih bingung
dipasarkan dimana. Mending dapat order baru, tantangan bagi kami untuk menciptakan produk
baru, tapi sudah langsung bisa laku”. Usaha Roti Bakery Salma milik Pak
Fauzan juga mengakui bahwa dengan alat oven besar yang dimilikinya, membuat lebih inovatif
dengan membuat varian roti yang lebih beragam, baik dari sisi ukuran maupun jenisnya. Pak Fauzan
menuturkan
”saya bisa bikin lebih dari 100 varian roti, dan saya bisa menerima pesanan dalam
jumlah besar dan cepat dengan oven ini. Biasanya kita bikin yang reguler yang biasa di jual di toko
dan di jual keliling. Tapi jika ada pesanan juga kita layani. Kita juga tertantang jika ada jenis roti
baru yang belum pernah kita buat, misal dari
majalah atau acara televisi”. Mutiara Onyx milik Ibu Idawati juga
mengatakan bahwa dampak penggunaan teknologi meningkatkan akses pasar dan inovasi produknya.
Ibu Idawati menuturkan, ”produk yang kami
ekspor ini adalah pesanan dengan standar kualitas yang tinggi, biasanya kita tampilkan
produk kita melalui web, atau kita imilkan ke pelanggan kita di luar negeri, disertai dengan
spek harga. Jika mereka tertarik, mereka akan
order”. Berdasarkan pengamatan peneliti dilapangan,
inovasi produk
juga lebih
berkembang, karena dengan teknologi berat yang dimiliki, dapat memotong batu sesuai dengan
ukuran yang
diinginkan. Ibu
Idawati menuturkan,
”dengan alat berat yang kami miliki, kami bisa motong batu sesuai ukuran. Kalau di
martil atau dipotong dengan manual butuh waktu yang lama dan hasilnya bisa pecah kecil kecil.
Pesanan keluar negeri juga ada tenggat waktu, sehingga kami butuh cepat. Kami juga punya
tukang pahat yang tahu kontur batu ini cocok dibikin westafel, bath up, bentuk naga, kuda atau
bentuk lain”. Transisi Akuisisi Teknologi : Implikasi Daya
Saing dan Akses Pasar
Teknologi dapat menurunkan biaya produksi, tenaga kerja, dan meningkatkan nilai
produk dan
jasa untuk
meningkatkan keunggulan bersaing perusahaan Corso et al.,
2003. Teknologi tidak hanya sebagai alat, namun juga teknik yang harus dipahami
sebelum investasi
modal dialokasikan.
Penelitian Acar et al. 2005 menemukan bahwa teknologi informasi dapat meningkatkan proses
bisnis.
105
Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional IV, Tahun 2014
Memperhatikan pentingnya teknologi dalam bisnis, menjadi bahan diskusi ketika
banyak hasil riset yang membuktikan banyak kegagalan
implementasi teknologi
dan rendahnya akuisisi teknologi pada usaha kecil.
Hal ini diindikasikan ada beberapa alasan, yaitu: 1 manajemen tidak paham mengapa dan
bagaimana mereka
mengadopsi teknologi
sebagai hal yang penting Levy et al, 2001, 2 ada pemahaman yang berbeda dalam proses
akuisisi teknologi yang disebabkan pelaku usaha tidak memahami hubungan antara teknologi
dengan perusahaannya Bull, 2003, atau tidak yakin terhadap kemampuan teknologi yang
digunakan, 3 perusahaan tidak memiliki kapabilitas untuk memperluas sumberdaya
teknologi mereka Acar et al, 2005, karena ketidaksesuaian antara strategi bisnis dengan
teknologi, keterbatasan akses modal, dan keterbatasan
sumberdaya dalam
sistem informasi Bhagwat and Sharma, 2007.
Usaha kecil yang hanya mengadopsi teknologi
tanpa perencanaan
yang jelas
seringkali tidak menghasilkan dampak yang tinggi dalam proses implementasi. Carson and
Gilmore 2000 mengatakan bahwa usaha kecil seringkali ragu dalam hal ini, disebabkan
mereka selalu kesulitan dalam mengembangkan secara fungsional aspek produksinya. Hal ini
disebabkan rendahnya sumberdaya finansial, teknikal dan manajerial Bhagwat and Sharma,
2007.
Riset yang dilakukan Bruque and Moyano 2007 menemukan bukti adanya
pengaruh intangible faktor akuisisi teknologi terhadap perilaku manajemen, sumberdaya
internal dan
eksternal, dan
penggunaan konsultan professional.
Perubahan internal meliputi siklus atau kematangan
perusahaan dan
perubahan eksternal adalah kemampuan bertahan dan
kestabilan dalam pasar. Perubahan yang terjadi dalam berjalannya siklus atau kematangan
perusahaan membuat
perusahaan harus
beradaptasi terhadap
perubahan tersebut.
Perubahan adaptasi yang dilakukan melibatkan manajerial secara internal, dan inilah yang
seringkali tergantung dari kekuatan internal perusahaan, dan sulit diprediksi. Kondisi ini
juga dipengaruhi daya serap perusahaan. Daya serap memegang peranan penting dalam
pertumbuhan
mereka. Hal
ini didukung
pendapat Zahra and George 2002 yang mengatakan
daya serap
perusahaan meningkatkan daya saing perusahaan.
Perubahan eksternal mengarah pada technology push
dan market pull Andries and Debachere, 2006. Technology push dimaknai
bahwa inovasi yang dapat dikembangkan dan memiliki tekanan daya serap yang kuat untuk
memanfaatkan teknologi. Disisi lain, market pull
lebih kepada kebutuhan sosial dimana pengembangan teknologi untuk memenuhi
kebutuhan. Seringkali market pull dilakukan oleh inovator atau pemain baru dalam pasar
Laudon and Laudon, 2007. Market pull juga memberikan kepastian penyusunan standar oleh
industri.
Dalam konteks yang sama, akuisisi teknologi juga terukur melalui daya saing dan
daya inovasi. Inovasi selalu identik dengan inspirasi,
ide baru
untuk meningkatkan
pertumbuhan dan profitabilitas. Sementara itu survival
dimaknai kemampuan bertahan dalam pasar, menjadi stabil atau hanya bertahan
Jones, 2003. Berdasarkan hasil penelitian di lima
Kabupaten Kota yang menjadi objek riset dapat diketahui
bahwa setiap
usaha memiliki
kharakteristik yang berbeda dalam meningkatkan daya saingnya. Berdasarkan hasil penelitian dapat
di ketahui bahwa usaha kecil yang menggunakan teknologi rendah memiliki karakteristik yang
berbeda dengan usaha kecil yang berteknologi tinggi.
Dapat dideskripsikan pada industri mamin khas Krupuk rambak, olahan blimbing dan roti
Salma Bakery, dimana karakteristik produk olahan dan segmen pembeli yang berbeda juga menjadi
penentu pelaku usaha mengadopsi teknologi atau mempertahankan
teknologi sederhana
yang mereka miliki. Perusahaan di daerah sentra
rambak pada umumnya masih menggunakan teknologi masih sederhana, masih mengandalkan
sinar matahari dalam proses pengeringan atau penjemuran kulit dalam proses rambak. Sementara
itu pada olahan blimbing UD cemara sari dalam beberapa proses produksinya sudah menggunakan
teknologi press, meskipun alat tersebut adalah hasil modifikasi sendiri dari pemilik perusahaan.
Salma Bakery menggunakan mesin oven sehingga mampu melakukan inovasi proses secara efisien
dan inovasi produk secara kontinyu. Berdasarkan hasil penelitian, nampak bahwa keberadaan
teknologi sangat menyesuaikan dengan tingkat kebutuhan dalam proses produksi. Tidak semua
perusahaan menggunakan teknologi tinggi dalam proses produksinya. Hal ini bukan berarti pelaku
usaha tidak mampu mengakuisisi ataupun membeli teknologi, namun karena dalam proses
produksi tidak semua membutuhkan teknologi tinggi. Produksi krupuk rambak misalkan, faktor
alam
yaitu sinar
matahari masih
sangat dibutuhkan, tidak perlu alat untuk proses
106
Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional IV, Tahun 2014
pengeringan menggunakan energi listrik. Menurut penuturan Pak Djarwo sebagai pengusaha krupuk
rambak, ”sinar matahari penting dalam proses
pengeringan, kendalanya memang pas musim hujan, makanya kami siasati dengan kulakan kulit
dalam jumlah besar, dan kita jemur pas musim kemarau, sehingga pas hujan kita masih punya
stok untuk menggoreng”. Pak Djarwo mengatakan bahwa keberadaan teknologi listrik yang mampu
mengeringkan rambak tanpa sinar matahari dirasa belum perlu. Menurut Pak Djarwo,
”kalau kita invest alatnya mas, maka pengaruhnya ke harga
produk, juga kita mempertimbangkan jumlah permintaan, pesaing di sentra ini kan banyak, jadi
kita belum butuh alat yang canggih seperti itu”. Berdasarkan
hasil penelitian
karakterisitik usaha kecil dalam mengakuisisi teknologi sangat beragam. Faktor kematangan
usaha kecil dalam akses pasar dan stabilnya permintaan pasar menjadi dasar kuat proses
akuisisi teknologi dilakukan. Hal ini terjadi pada usaha krupuk rambak di Tulungagung, dan
juga olahan blimbing di Kota Blitar. Meskipun tidak full high tech, namun upaya usaha kecil
dalam menginvestasikan teknologi merupakan keputusan strategis untuk dapat meningkatkan
kinerja
bisnis. Kemampuan
mengakuisisi teknologi juga dipengaruhi bagaimana manajer
pemilik berfikir
untuk mengembangkan
bisnisnya. Kemampuan belajar baik dari lingkungan internal maupun eksternal juga
mempengaruhi akusisi teknologi. Kendala akuisisi teknologi juga terjadi
karena keengganan manajerpemilik untuk melakukan inovasi. Inovasi identik dengan
inspirasi, ide
baru untuk
meningkatkan pertumbuhan dan profitabilitas. Berdasarkan
hasil riset, nampak usaha kecil dengan teknologi sederhana, hanya menjalankan kegiatan usaha
apa adanya,
tidak termotivasi
untuk berkembang. Sehingga hal ini berdampak
terhadap kemampuan
berinovasi. Akuisisi
teknologi baru tidak terjadi pada usaha kecil yang secara mindset hanya menjalankan usaha
apa adanya. Faktor organisasi juga berdampak dalam
proses akuisisi teknologi. Berdasar hasil penelitian, sebagian besar usaha kecil masih
dikelola secara tradisional, dan faktor pemimpin usaha yang dalam hal ini adalah pemilik sangat
mendominasi dalam hal pola manajerial, model pengembangan, termasuk investasi teknologi
produksi maupun administrasi bisnis.
Dalam skala industri tradisional Liu et al, 2012 mengatakan bahwa mengakuisisi
teknologi untuk
meningkatkan dan
merevitalisasi efisiensi produksi. Beberapa kasus, akuisisi teknologi mendukung terhadap
perkembangan dan
kematangan mereka.
Akuisisi dapat berdampak terhadap perencanaan inovasi, implementasi inovasi, platform inovasi
dan kinerja inovasi.
Sumber: Goyal and Pitt 2007 Gambar 1.
Model akuisisi teknologi dan peningkatan kapabilitas inovasi usaha kecil
Adapun proses akuisisi adopsi teknologi pada usaha kecil pada kenyataannya tidak dapat
dipisahkan dari pengaruh internal dan eksternal. Secara internal, faktor kepemimpinan, strategi,
budaya, sumber daya, orientasi pasar, dan sistem sangat
mempengaruhi akuisisi
teknologi. Sedangkan dari faktor eksternal, akuisisi adopsi
teknologi sangat
dipengaruhi lingkungan
kompetitif perusahaan, baik berupa inovasi- inovasi yang dilakukan pesaing ataupun dorongan
pelanggan untuk melakukan inovasi. Hasil penelitian ini mendukung kerangka konseptual
yang dirancang Nguyen 2009 yang mengatakan bahwa usaha kecil dapat mengadopsi teknologi
secara internal dan eksternal. Faktor-faktor yang mempengaruhi transisi akuisisi teknologi usaha
kecil dapat digambarkan dalam gambar 2.
Sumber : Nguyen 2009 Gambar 2
. Model transisi akuisisi adopsi teknologi usaha kecil
107
Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional IV, Tahun 2014
Berdasarkan hasil penelitian, model transisi akuisisi teknologi usaha kecil dapat
dilihat dari perspektif internal. Dimana kunci dari akuisisi teknologi terletak dari daya inovasi
innovativeness. Kapabilitas
internal perusahaan dalam melakukan inovasi sangat
dipengaruhi oleh kepemimpinan, strategi dan budaya organisasi yang ada pada usaha kecil.
Karakteristik inilah yang tidak dimiliki semua usaha kecil, dimana faktor kepemimpinan
memegang peranan penting dalam berinovasi.
Daya dukung internal lainnya adalah sumberdaya yang dimiliki perusahaan, baik
tenaga kerja maupun teknologi yang digunakan. Hal ini berdampak terhadap proses dan sistem
kerja yang lebih berorientasi pada pasar market orientation
. Orientasi pasar adalah dimana perusahaan
tidak saja
mengembangkan usahanya
berdasarkan pada
permintaan pelanggan customer orientation, namun juga
berorientasi pada
pesaing competitor
orientation .
Orientasi pasar
yang kuat
membutuhkan koordinasi internal yang kuat dalam fungsi-fungsi organisasi coordination
interfunctional . Keputusan usaha kecil dalam
mengakuisisi teknologi sangat dipengaruhi oleh sinergisitas faktor-faktor itu. Dasar inilah yang
memperkuat apa yang disampaikan oleh Goyal and Pitt 2007 yang menemukan pentingnya
beberapa variabel internal itu dalam proses akuisisi teknologi dan meningkatkan kapabilitas
inovasi dan daya saing usaha kecil lihat gambar 1.
Berdasarkan hasil penelitian, intisari terkait akuisisi teknologi adalah 1 permasalahan
akuisisi teknologi adalah dari sisi internal yaitu kematangan organisasi, keberanian pemimpin
menginvestasikan teknologi, kemampuan belajar, keengganan
berinovasi. Permasalahan
lain kemampuan menjalin kerjasama networking.
Secara eksternal peran pemerintah dan lingkungan persaingan juga berdampak terhadap akuisisi
teknologi. 2 model transisi akuisisi teknologi usaha kecil dilihat dari faktor internal dan
eksternal secara lebih komprehensif. Relasi Kepemimpinan, Adopsi Teknologi, dan
Kapabilitas Inovasi
Pemimpin usaha memberikan kontribusi besar terhadap budaya kerja yang ada pada
usaha kecil. Pemimpin usaha yang memiliki keinginan kuat dalam berinovasi, memiliki
kemampuan menyerap informasi eksternal menjadi kekuatan untuk melakukan perubahan.
Berdasarkan
hasil penelitian
yang telah
dilakukan, kemampuan menyerap informasi di wujudkan dengan menerima masukan dari
pelanggan terhadap produk yang selama ini mereka produksi. Tidak jarang juga keluhan
pelanggan, ataupun pesanan pelanggan menjadi basis informasi dalam memperbaiki kualitas
produk, melakukan inovasi produk ataupun mengakuisisi
teknologi baru
untuk menghasilkan produk berorientasi pelanggan.
Budaya kerja yang mengarah pada sistem kerja, pola manajerial dan kemampuan melayani pasar
memberi makna berbeda dalam strategi bersaing usaha kecil menyiasati berkembangnya teknologi
dan persaingan.
Keahlian skill karyawan pada usaha kecil non high-tech memang tidak di tuntut untuk
menguasai teknologi
yang berorientasi
produktivitas dan efisiensi, sehingga aktivitas produksi yang dilakukan tidak dapat dibandingkan
dengan kemampuan perusahaan besar dalam hal kecepatan dan kuantitas hasil produksi. Kondisi
seperti ini sebenarnya memberikan keuntungan tersendiri bagi usaha kecil non-high tech.
Teknologi tradisional yang digunakan membuat usaha kecil tidak membutuhkan karyawan dengan
kualifikasi pendidikan formal yang tinggi, sehingga dapat mengoptimalkan warga sekitar
yang masih menganggur. Dampak dari hal ini adalah usaha kecil hanya mengeluarkan gaji yang
kecil sebatas kemampuan usaha kecil itu mengkalkulasi biaya produksi dan keuntungan.
Berdasarkan hasil penelitian, dapat ditemukan bahwa masih banyak karyawan yang bekerja
paruh waktu atau borongan atau dengan istilah karyawan tidak tetap. Istilah itu muncul karena
kecenderungan usaha kecil yang memiliki pesanan tidak tetap alias musiman. Saat pesanan ramai,
mereka akan membutuhkan tenaga kerja banyak sehingga dapat memaksimalkan karyawan paruh
waktu
atau borongan.
Berdasarkan hasil
penelitian, usaha kecil yang menggunakan teknologi
tradisional berkonsekuensi
pada penggunaan tenaga kerja manusia yang banyak.
Penelitian di usaha kecil krupuk rambak di Tulungung, dan mamin khas di Blitar dan
Tulungagung masih
menggunakan tenaga
borongan dan atau paruh waktu di saat ramai pesanan.
Hal yang sama juga terjadi pada usaha kecil berteknologi tinggi high tech, meskipun
mereka menggunakan teknologi atau alat-alat berat, masih bergantung kepada besaran pesanan.
Hal tersebut dikemukakan Ibu Idawati, pengusaha marmer di Tulungagung Mutiara Onyx yang
mengatakan,
”ekspor kami kan tidak kontinyu volumenya, kalau saat dapat order ekspor dalam
jumlah besar, dan saat pasar domestik juga rame, kita pasti merekrut tenaga borongan atau kita sub
order, dengan kualitas yang kita standarisasi”.
108
Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional IV, Tahun 2014
Hal ini menegaskan bahwa penggunaan teknologi tradisional memunculkan masalah
produktifitas, namun di sisi lain memberikan keuntungan fleksibilitas yang tinggi. Usaha kecil
tidak membutuhkan investasi yang tinggi dalam pembelian alat produksi, mereka masih dapat
melayani permintaan pesanan dengan melibatkan banyak tenaga kerja, yang tidak harus bergaji
tinggi.
Berdasarkan hasil penelitian, tenaga kerja pada usaha kecil berteknologi rendah memperoleh
keahlian dari awal mereka bekerja dengan dibekali ketrampilan dari pemilik atau dari karyawan yang
lebih senior. Tenaga kerja yang ada seringkali belajar otodidak untuk meningkatkan keahliannya.
Hal inilah yang seringkali memunculkan permasalahan terhadap kualitas produk usaha
kecil. Tidak adanya kontrol kualitas terhadap kinerja karyawan baru, sehingga kesalahan-
kesalahan dianggap sebagai hal biasa. Learning by doing
juga memunculkan masalah produktivitas, karena karyawan yang baru belajar tidak akan
produktif dibanding dengan karyawan lama. Pembelajaran secara internal dilakukan
karena pada umumnya usaha kecil yang ada menggunakan tenaga lokal dari masyarakat
sekitar. Bahkan usaha kecil konveksi, tenun dan kerajinan bambu tidak hanya menggunakan tenaga
kerja dari tetangga atau masyarakat sekitar, namun juga sanak saudara sendiri. Banyak pelaku usaha
yang menuturkan bahwa karena usaha ini dari awal memang kecil, sehingga lebih mudah
menggunakan
tenaga lokal,
memanfaatkan pemuda atau ibu-ibu yang pada awalnya tidak
bekerja durung manjing. Diferensiasi, Biaya Rendah dan Kekuatan
Akses Pasar
Aspek kapabilitas pengetahuan usaha kecil cukup beragam, usaha kecil yang mampu
bersaing pada umumnya memiliki kemampuan mengakuisisi informasi, fakta lapangan, lanskap
persaingan, kecenderungan perubahan perilaku pelanggan menjadi pengetahuan knowledge yang
menjadi asset perusahaan dalam merencanakan strategi bersaingnya. Hal itu tercermin dalam hasil
penelitian dimana perusahaan yang mampu bersaing selalu berupaya menyerap informasi
eksternal, perubahan perubahan yang terjadi menjadi pengetahuan yang bermanfaat bagi
perusahaan di masa depan.
Inovasi dapat menembus seluruh aspek pemasaran. Usaha kecil dapat mengatur aktivitas
dan pelaksanaan, yang memungkinkan mereka melakukan diferensiasi produk atau jasa dalam
ceruk pasar, untuk melayani permintaan standar kearah permintaan perusahaan besar. Besarnya
tingkat diferensiasi dapat dilakukan dengan dasar permintaan pasar dan informasi pemasaran yang
di dapat dari berbagi informasi dengan usaha kecil lain, menggunakan jaringan informal dan secara
fleksibel menerapkan
strategi yang
dapat mengindikasikan proses interaktif dan pemasaran
terintegrasi yang disukai usaha kecil. Karakteristik inovasi telah dapat di
identifikasi sebagai usaha kreatif, solusi solusi yang tidak biasa untuk menyelesaikan masalah.
Hal ini termasuk mengembangkan produk dan jasa baru, proses baru untuk fungsi kinerja organisasi.
Inovasi pasar juga mengidentifikasi potensi pasar baru yang lebih baik, dan menemukan cara baru
yang lebih baik untuk mencapai target pasar. Jadi ada 3 komponen utama dalam inovasi pemasaran
diantaranya adalah: unik, terbaru, dan tidak konvensional
tidak biasa.
Ketika inovasi
pemasaran secara terintegrasi dapat diterapkan dalam organisasi, baik secara proaktif atau reaktif
pada usaha kecil akan dapat menjadi dukungan yang cukup kuat dalam meningkatkan kinerja
mereka. Hal ini selaras dengan pendapat dari
O’Dwyer et al. 2009 yang mengatakan bahwa unique proposition dan modifikasi memungkinkan
usaha kecil menghasilkan produk dengan tingkat diferensiasi
yang tinggi,
sehingga dapat
menerapkan harga premium, meskipun proses produksinya
masih menggunakan
teknologi sederhana non-high tech.
Konsep ini setidaknya menjadi dasar bagi UMKM dalam memosisikan dirinya ditengah
persaingan dan menentukan strategi bersaing bisnisnya. Berdasarkan hasil riset pada usaha
kecil yang menggunakan teknologi rendah, mereka sudah menyadari bahwa desain produk
mereka haruslah khas sehingga tidak saja diingat konsumen
namun juga
bagaimana terjadi
pembelian secara regular. Hal penting lain yang dilakukan adalah merek yang dikenalkan dalam
setiap desain kemasan produk mereka. Produk yang diberi merek dengan nama dan desain yang
khas memberikan awareness dibenak konsumen. Berdasar hasil penelitian, nama pemilik adalah
sebagai nama merek produk-produk unggulan mereka. Seperti wajik klethik bu Prayit dan Denok
grup Kota Blitar, Nisoku pisau Blitar yang mencantumkan
kode NS
untuk beberapa
produknya, adalah beberapa merek produk yang mencerminkan nama pemiliknya. Kalaupun tidak
menggunakan nama pemilik, setidaknya dalam desain kemasan selalu mencantumkan nama
pemilik. Hal ini tidak terlepas dari survei sederhana yang dilakukan pelaku usaha bahwa
seringkali konsumen selalu mencari produk makanan dengan merek yang mereka kenal. Tidak
itu saja, konsumen juga seringkali hafal dengan menyebut nama produk lengkap dengan nama
109
Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional IV, Tahun 2014
pembuat atau pemilik usaha kecil. Proses kreatif yang kelihatan sederhana ini mencerminkan
kreativitas personal yang dominan dari pemilik usaha untuk menamai memberi merek dengan
nama mereka sendiri. Hal ini sependapat dengan Manurung 2010 bahwa kreativitas dapat muncul
melalui person individu, proses, press dan product
.
Networking dan Akses Pasar
Berdasarkan hasil penelitian, tidak semua usaha kecil mampu meraih akses pasar secara
berkelanjutan. Hal ini terjadi karena beberapa faktor: 1 jenis produk dan jangkauan produk
scoope product tidak memungkinkan akses pasar
yang lebih luas. 2 mudah rusak daya tahan rendah. Produk mamin khas tidak mampu
meningkatkan akses pasar kecuali mampu memodifikasi produk sehingga lebih awet, dan
dapat di jadikan oleh-oleh ke luar daerah. Semisal tahu taqwa Kediri yang memiliki keawetan
beberapa jam di udara terbuka. Atau krupuk rambak yang dapat dijual matang dengan
packaging
yang rapat kedap udara atau di jual mentah. 3 tingkat persaingan yang tinggi. Klaster
atau daerah sentra industri kecil memang memberikan keuntungan bagi pengrajin karena
daerahnya akan lebih mudah di kenal masyarakat luas dan mendapat dukungan pemerintah, baik
dalam proses pemberian bantuan alat, promosi maupun akses pasar. Namun di satu sisi, hal ini
juga menimbulkan tingkat persaingan yang tinggi. Meskipun persaingan yang ada tidak seperti
perusahaan besar dalam hal promosi ke berbagai media, namun berdampak terhadap daya saing
perusahaan.
Berdasarkan hasil
penelitian, persaingan harga dan akses pasar terjadi pada
sentra usaha rambak di Kecamatan Sembung dan sentra usaha alat alat dapur di Kecamatan Ngunut
Tulungagung memberikan efek yang besar dalam memenangkan arus persaingan.
Berdasar hasil penelitian, usaha kecil non-high
tech yang
mampu memiliki
networking yang kuat adalah usaha krupuk rambak di Tulungagung, olahan Blimbing di
Blitar, pengusaha pisau komando Nisoku di Blitar, dan beberapa pengusaha alat alat dapur
di Tulungagung.
Usaha kecil dengan teknologi tinggi high tech lebih kuat akses pasar dan
networking mereka. Hal ini dapat dipahami,
dimana mereka
tidak akan
mengadopsi teknologi tinggi tanpa akses pasar dan
permintaan yang kontinyu. Berdasarkan hasil penelitian, beberapa contoh usaha kecil high
tech yang kuat akses pasarnya adalah pengusaha
logam LOIND, dan pengusaha marmer Mutiara Onyx.
Sebenarnya, networking usaha kecil dapat dilakukan lebih terbuka terhadap inovasi
open innovation dengan menjalin networking dengan
universitas terkait
riset dan
pengembangan, perusahaan besar terkait dengan partnership
produk dan standardisasi kualitas produk, antar usaha kecil sendiri dalam
berkolaborasi untuk dapat mereduksi biaya pengadaan
bahan baku
atau melayani
permintaan yang lebih luas, dan juga Lembaga Swadaya Masyarakat atau kelompok-kelompok
pemberdayaan masyarakat lainnya. Networking yang dilakukan harus disertai dengan strategi
pengembangan kapabilitas yang jelas, sehingga networking
yang dilakukan
dapat lebih
sustainable dan meningkatkan daya saing usaha kecil itu sendiri. Beberapa alternatif tujuan dari
networking yang dapat dilakukan adalah 1
network data base ; hal ini terkait kerjasama
penggunaan teknologi sebagai akses informasi, promosi, trend pasar, dan perluasan jaringan.
Networking ini dijalankan bekerjasama dengan
lembaga penelitian,
universitas ataupun
pemerintah lokal 2 network management; ditujukan sebagai media konsultasi, problem
solving , pendampingan terkait pengembangan
usaha, permodalan, pajak, ataupun terkait manajerial lainnya, 3 networking fasilitas;
dimaknai bahwa
perlu kerjasama
dalam pengembangan pasar secara kolektif, bersama
sama mengakuisisi teknologi untuk perbaikan kualitas produk, atau mengembangkan pasar
secara bersama.
Tujuan networking
diatas dapat
dilakukan dengan
dilandasi semangat
kebersamaan untuk berkolaborasi meningkatkan daya saing. Faktor pendukungnya adalah
kejujuran, saling
percaya dan
berusaha transparan
sejak proses
kolaborasi dan
networking itu dilakukan. Implikasi dari proses pengembangan
networking dan kolaborasi dari berbagai daya
dukung yang ada membuat informasi peluang pasar, permintaan pasar, trend pasar menjadi
lebih luas dan ada kekuatan bagi usaha kecil untuk merespon pasar secara agresif. Berdasar
hasil
penelitian, beberapa
usaha kecil
mengalami kesulitan akses pasar, tidak memiliki modal, permintaan pasar yang tidak stabil, dan
kesulitan mencari sumberdaya. Namun disisi lain ada usaha kecil yang kewalahan dalam
melayani permintaan pasar, namun enggan berkolaborasi karena khawatir akan merusak
akses pasar yang sudah mapan.
110
Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional IV, Tahun 2014
PENUTUP Usaha kecil non-high tech dan high tech memiliki
karakteristik daya
saing yang
berbeda. Karakteristik produk yang berbeda beda, akses
pasar dan permintaan pasar sangat menentukan pilihan menggunakan teknologi sederhana atau
melakukan akusisi teknologi tinggi. Faktor leadership
pelaku usaha berperan penting dalam meningkatkan daya saing perusahaan dan
kemampuan meningkatkan kapabilitas inovasi. Tidak semua usaha kecil harus menggunakan
teknologi tinggi, karena memang karakteristik produk yang ada menuntut kreatifitas dan ide,
bukan dengan kecepatan produksi semata. Poin penting dalam riset ini adalah, tingkat diferensiasi
yang tinggi, harga yang mampu bersaing, dan pemenuhan permintaan pasar yang kontinyu
menjadi kunci keberhasilan usaha kecil, apakah mereka usaha kecil high tech atau non-high tech.
DAFTAR PUSTAKA
Acar, E. Sevy., Arditi, D. 2005. Use Of Information
And Communication
Technologies By Small and Medium Sized Enterprises SMEs in Building
Construction. Construction Management And Economic
. Vol. 23. No 7, Pp. 713- 22
Andries, P and Debachere, K. 2006. Adaptation in new technology-based ventures: insight
at the company level. International Journal of Management Review
, Vol. 8 No. 2, pp. 91-112.
Bhagwat, R and Sharma, M.K. 2007. Information system architecture: a framework for a
cluster of small and medium sized enterprises
SMEs. Production
Planning and Control , Vol. 18, No. 4,
pp. 283-96. Bruque, S. and Moyano, J. 2007.
Organizational determinant of information technology adoption and
implementation in SMEs: the case of family
and cooperative
firm. Technovation 27
5, pp. 241-253 Bull, C. 2003. Strategic issues in customer
relationship management
CRM implementation.
Business Process
Management Journal , Vol. 9 No. 5, pp
592-602 Carson, D And Gilmore, A. SME Marketing
Management Competencies.
International Business Review. Vol 9,
No. 3, Pp. 363-82 Corso, M., Martini, A., Pellegrini, L. And
Paolucci, E. 2003. Technology And Organizational Tools For Knowledge
Management: In
Search Of
Configurations. Small
Business Economics.
Vol 21, No. 4, Pp. 397-408 Das, T.K. and He, I.Y. 2006. Entreprenurial firms
in search of established partners: review and
recommendations .
International Journal of entrepreneurial behaviour and
research, Vol. 12, No. 3, pp. 114-43 Fontana, A. 2011. Innovate We Can How to
Create Value Through Innovation in Your Organization and Society
. Cipta Inovasi Sejahtera.
Goyal , S. And Pitt, M. 2007. Determining The Role Of Innovation Management In
Facilities Management. Facilities, Vol. 25. No. 1 2, Pp. 48-60
Jones, O. 2003. Competitive Advantage in SMEs: towards a conseptual frame
work, in Jones, O. and Tilley, F Eds, Competitive Advantage in SMEs,
Willey, chichester, pp. 15-33.
Laudon , K. and Laudon, J. 2007. Essential of Business Information System
, 7
th
ed, Prentice-Hall, Eaglewood Cliff, NJ.
Levy, M., Powell, P. and Yetton, P. 2001. SMEs: aligning IS and the strategic context.
Journal of Information and Technology ,
Vol. 16, No. 3, pp. 133-44. Liu, M., Li, M., And Zhang, T. 2012. Empirical
Research On China Smes Technology Innovation Engineering Strategy. System
Engineering Procedia 5, Pp. 372-378
Manurung, L. 2010. Strategi dan Inovasi Model Bisnis Meningkatkan Kinerja Usaha.
Elex Media Komputindo, Kompas Gramedia. Jakarta
Nguyen, H. 2009. Information Technology Adoption In Smes: An Integrated
Framework. International Journal Of Entrepreneurial Behavior And Research
. Vol. 15 No. 2, Pp 162-186
O’Dwyer, M. Gilmore, A. and David, C. 2009. Innovative
Marketing in
SMEs. European Journal of Marketing.
Vol. 43, No. 1 2, pp 46-61
Wahyudi, E Dan Julianto, D. E. 2012. Model Sistemik Inovasi Berkelanjutan Dan
Kapabilitas Daya Saing Usaha Kecil Teknologi Rendah Non high tech Di
111
Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional IV, Tahun 2014
Jawa Timur. Hibah Strategis Nasional.
Dikti, DP2M Wahyudi, Edy. 2013. Model akselerasi Inovasi
dan Daya Saing Usaha Kecil Non high tech
Kajian Empiris Usaha Kecil di Jawa Timur. Seminar Nasional “Networking
dan Peningkatan Daya Saing Usaha Kecil Mikro Berbasis Kreativitas”. FISIP,
Universitas Jember Zahra, S. and George, G. 2002. International
entrepreneurship: the current status of the field and future research agenda. In
Hitt, M.A., Ireland, R.D. Camp, S.M., Sexton,
D.L Eds.
Strategic Entrepreneurship. Blackwell, Malden,
M.A, pp. 255-288. Zuhal, M. 2010. Knowledge Management and
Innovation. Jakarta: Gramedia.
112
Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional IV, Tahun 2014
Peran Agen Pengubah dalam Keberhasilan Difusi Inovasi Biogas di Desa Pendua Lombok Utara
Agent Modifier Role in the success of Biogas Innovations Diffusion at Pendua Village, North Lombok
Ishelina Rosaira
1
, Hartiningsih
2
Pappiptek - LIPI, Jln. Jend. Gatot Subroto 10, Jakarta Selatan, 12710
I N F O A R T I K E L A B S T R A C T
Keywords:
Modifier Agent Diffusion
Adoption Biogas
Pendua Village Kata Kunci:
Agen Pengubah Difusi
Adopsi Biogas
Desa Pendua Currently the demand for energy resources, especially fossil fuels is very
high. Therefore should be considered in the search effort and the use of alternative energy sources, especially renewable energy. Biogas has been
developed as a source of alternative energy. This fuel is made through the process of anaerobic decomposition of organic wastes of various kinds.
Indonesia has many built in biogas reactors, our results show that biogas digesters were built in the center of such cattle in the province of West Java,
Central Java, and East Java. In 2013 in Pendua Village, District Kahayang, North Lombok biogas reactor has been built at the initiative of former
migrant workers in Korea. Pendua is a village with the largest biogas development in Lombok Island. Currently standing in the village biogas
digester Pendua has about 140 units, and 68 units located in the hamlet Pendua digester. This paper wants to show the factors that influence the
diffusion of innovation biogas and also what factors are most dominant in the diffusion of innovations in community biogas. This study used qualitative
methods to conduct a descriptive analysis. The focus of the data analysis is only performed on the modifier agent in the successful diffusion of innovation
in society Pendua biogas. The resulting data is then processed and grouped into eight factors that affect the success of change agents based on the theory
argued by Roger. The results showed that the successful adoption of biogas by the community is determined by the role of change agents, community
openness to new things, and supported by the diffusion process of biogas and networks within the community.
S A R I K A R A N G A N Saat ini kebutuhan akan sumber energi terutama bahan bakar minyak sangat
tinggi. Karenanya perlu dipikirkan usaha dalam pencarian dan penggunaan sumber energi alternatif, terutama energi terbarukan. Biogas banyak
dikembangkan sebagai salah satu sumber energi alternatif. Bahan bakar ini dibuat melalui proses penguraian secara anaerobik dari berbagai macam
limbah organik. Di Indonesia sudah banyak dibangun reaktor biogas, hasil penelitian kami menunjukkan bahwa digester biogas banyak dibangun di
sentra peternakan sapi seperti di Provinsi Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Pada tahun 2013 di Desa Pendua, Kecamatan Kahayang, Kabupaten
Lombok Utara telah dibangun reaktor biogas atas inisiatif mantan TKI di Korea. Pendua merupakan desa dengan pembangunan biogas terbesar di
Pulau Lombok. Saat ini di Desa Pendua telah berdiri digester biogas sekitar 140 unit, dan 68 unit digester berada di Dusun Pendua. Tulisan ini ingin
memperlihatkan faktor-faktor yang mempengaruhi difusi inovasi biogas dan juga faktor-faktor apa saja yang paling dominan dalam difusi inovasi biogas
dalam masyarakat. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan melakukan analisis secara deskriptif. Fokus analisis data hanya dilakukan
pada agen pengubah dalam keberhasilan difusi inovasi biogas di masyarakat Pendua. Data yang dihasilkan kemudian diolah dan dikelompokkan menjadi
delapan faktor yang mempengaruhi keberhasilan agen pengubah berdasarkan teori yang dikemukan oleh Roger. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
keberhasilan adopsi biogas oleh masyarakat sangat ditentukan oleh peran agen pengubah, keterbukaan masyarakat terhadap hal yang baru, serta
didukung oleh proses difusi biogas dan jejaring di dalam masyarakat.
© Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional IV, Tahun 2014
Ishelina Rosaira : E-mail address: ishelina.rosairagmail.com
113
Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional IV, Tahun 2014
PENDAHULUAN Sejak terjadinya krisis minyak tanah di Indonesia,
masyarakat kesulitan dalam mendapatkan minyak tanah, walaupun ada harganya sulit terjangkau
oleh masyarakat perdesaan. Kemudian untuk mengatasi itu Pemerintah membuat program
konversi minyak tanah ke LPG Liquefied Petroleum Gas
yang telah diluncurkan sejak tahun 2007. Program ini mendorong rumah tangga
untuk beralih dari minyak tanah ke LPG. Tetapi sayangnya harga LPG semakin meningkat dan
masih sulit di dapat di perdesaan.
Di sisi lain, Indonesia mempunyai bahan pengganti LPG yang sangat melimpah, yaitu
biogas. Energi biogas adalah energi alternatif yang memanfaatkan limbah sampah dan kotoran sapi
dan ternak lainnya, bahkan kotoran manusia. Biogas merupakan renewable energy yang dapat
dijadikan
bahan bakar
alternatif untuk
menggantikan bahan bakar yang berasal dari fosil seperti minyak tanah dan gas alam Haryati,
2006. Biogas dapat digunakan sebagai pengganti bahan bakar LPG, premium, minyak tanah, dan
kayu bakar Musanif, J., 2009, sehingga biogas memiliki
peluang yang
besar dalam
pengembangannya. Tetapi sayangnya masyarakat banyak yang tidak tahu, maka diperlukan seorang
yang menjadi pelopor, yang dapat disebut agen pengubah atau agen pembaharu atau penyuluh
dalam bidang pertanian. Agen pengubah adalah orang yang membantu terlaksananya perubahan
sosial atau suatu inovasi yang direncanakan Havelock, 1973 dalam Nasution, 1990. Seorang
agen pengubah harus dapat mempengaruhi orang lain untuk dapat mengambil keputusan perubahan
atau inovasi yang sesuai dengan ide yang diharapkan.
Agen pengubah
harus bisa
memperkenalkan ide-ide atau gagasan yang baru, yang dapat dikatakan suatu inovasi di daerah
tersebut kepada masyarakat, supaya kehidupan masyarakat dapat mengalami kemajuan, baik
secara ekonomi atau finansial, kesehatan,sosial dan lingkungan.
Tulisan ini ingin memperlihatkan peran agen pengubah serta faktor-faktor apa yang
mempengaruhi difusi inovasi biogas dan juga faktor-faktor apa saja yang paling dominan dalam
difusi inovasi biogas tersebut dimasyarakat. Pembahasan menggunakan metode deskriptif
karena hanya memiliki kasus tunggal yaitu Desa Pendua, Lombok Utara, NTB.
KERANGKA TEORIKERANGKA KONSEP Biogas dan Agen Pengubah
Biogas memiliki kandungan energi yang tinggi dan juga memiliki beberapa keunggulan sehingga
tidak kalah jika dibandingkan dengan energi fosil, serta mempunyai sifat ramah lingkungan dan
dapat diperbaharui. Dengan demikian, biogas dapat digunakan sebagai pengganti bahan bakar
LPG Liquefied Petroleum Gas, premium, minyak tanah, dan kayu bakar Musanif, J., 2009
dan biogas juga membawa keuntungan untuk kesehatan, sosial, lingkungan, dan finansial. Selain
itu, biogas dapat digunakan sebagai bahan bakar keperluan rumahtangga, yaitu alat penerangan,
seperti lampu petromaks yang dimodifikasi Tarigan, 2009. Energi biogas dapat diperoleh
dari kotoran ayam, sapi, babi maupun sampah organik baik dari rumah tangga, industri makanan
maupun pasar, bahkan dapat dari kotoran manusia. Keuntungan dari pemanfaatan energi biogas,
antara lain bidang lingkungan yaitu mengurangi bau tak sedap, mencegah penyebaran penyakit,
antara lain seperti yang saat ini diramaikan yaitu
‘flu burung’, mengotori sungai, menghasilkan pupuk organik yang sangat berkualitas dari sisa
biogas atau bio-slurry yang dapat menyuburkan tanaman bahkan dapat dijual untuk menambah
uang belanja dan juga membantu mengurangi kelangkaan pupuk Widodo, 2011. Dengan kata
lain, energi biogas dapat dikatakan sebagai energi bersih dan membantu masalah yang ada di
masyarakat. Tetapi sayangnya masyarakat masih banyak yang belum memahami energi biogas, juga
masih ada masyarakat yang takut menggunakan biogas, katanya takut meledak. Masalah ini perlu
ditangani oleh seorang agen pengubah.
Agen pengubah atau agen pembaharu atau biasa disebut penyuluh dalam bidang petanian,
bertidak sebagai pembawa inovasi baru dan berperan sebagai sumber inovasi bagi masyarakat
Aida Vitalaya Syafri Hubalay, 1987 dalam Wardhono. Menurut Soerjono Soekanto 1992,
pihak-pihak
yang menghendaki
perubahan dinamakan agent of change, yaitu seseorang atau
sekelompok orang yang mendapat kepercayaan sebagai pemimpin satu atau lebih lembaga-
lembaga kemasyarakatan. Soekanto, 1992:273. Change agent
atau agen pengubah analog dengan agen koran, adalah pihak yang berusaha
menawarkan suatu
perubahan yang
ingin dilakukan oleh organisasi kepada semua individu
yang ada dalam organisasi tersebut yang pada kenyataannya merupakan individu yang akan
menjalankan perubahan tersebut Priswanto, 2011.
Salah satu peran utama agen perubahan adalah memfasilitasi aliranarus inovasi kepada
masyarakat, supaya difusi inovasi dapat berjalan dengan baik. Seorang agen pengubah harus
mempunyai sifat optimis terhadap ide-ide perubahan yang diharapkan. Salah satu tujuan bagi
agen pengubah adalah meningkatkan kemandirian
114
Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional IV, Tahun 2014
energi dan memelihara lingkungan di daerahnya. Menurut Roger 1962, bahwa seorang dapat
dikatakan sebagai agen pengubah jika ia dapat memahami apa yang ditawarkan ke orang lain,
tujuannya jelas, dan mempunyai rencana perubahan yang akan dilakukan di dalam
masyarakat bahkan harus mampu menjadi Role Model
atau orang pertama yang menjalankan perubahan tersebut. Selain itu, dapat dikatakan
sebagai agen perubahan jika memiliki peranan dalam perubahan itu, yakni sebagai
6
; 1 catalyst atau katalis berperan meyakinkan orang lain atau
sekelompok orang tentang pentingnya perubahan menuju kondisi yang lebih baik, 2 solution givers
atau pemberi solusi berperan sebagai pengingat kepada orang lain atau sekelompok orang terhadap
tujuan akhir dari perubahan yang tengah dilaksanakan bersama, 3 process helpers atau
penolong proses berperan membantu kelancaran proses perubahan, khususnya menyelesaikan
masalah yang muncul dan membina hubungan antara pihak-pihak yang terkait, dan 4 resources
linkers
atau penghubung sumber daya berperan untuk menghubungkan orang dengan pemilik
sumber danaalat yang diperlukan dan bertugas untuk menjalin kerjasama dan menggalang
bantuan dana. Difusi dan Adopsi Inovasi
Menurut Roger 1995, difusi sebagai proses dimana suatu inovasi dikomunikasikan
melalui saluran tertentu dalam jangka waktu tertentu diantara para anggota dalam suatu sistem
sosial. Hal itu sesuai dengan definisi difusi menurut Roger 1962, yaitu suatu bentuk
komunikasi yang bersifat khusus berkaitan dengan penyebaran pesan-pesan yang berupa gagasan
baru. Menurut Parker, 1974 dalam Mulyono, 2009, difusi sebagai sutu proses yang berperan
memberi nilai tambah pada fungsi produksi atau proses ekonomi dan juga merupakan suatu
tahapan dalam proses perubahan teknis.
Menurut pemikiran Rogers, 1995 dalam Mulyono, 2009, dalam proses difusi inovasi
terdapat empat elemen pokok, yaitu: 1 Inovasi adalah gagasan, tindakan,atau barang yang
dianggap baru oleh seseorang; 2 Saluran komunikasi, yaitu alat untuk menyampaikan
pesan-pesan inovasi dari sumber kepada penerima. Dalam memilih saluran komunikasi, sumber
paling tidak perlu memperhatikan a tujuan diadakannya komunikasi dan b karakteristik
penerima; 3 Jangka waktu, yaitu proses keputusan
inovasi, dari
mulai seseorang
mengetahui sampai memutuskan untuk menerima
6
Ristanurita, 2013
atau menolaknya, dan pengukuhan terhadap keputusan itu sangat berkaitan dengan dimensi
waktu. Paling tidak dimensi waktu terlihat pada a proses pengambilan keputusan inovasi, b
keinovatifan seseorang, relatif lebih awal atau lambat dalam menerima inovasi, dan c kecepatan
pengadopsian inovasi dalam sistem sosial; dan 4 Sistem sosial, yaitu kumpulan unit yang berbeda
secara fungsional dan terikat dalam kerja sama untuk memecahkan masalah dalam rangka
pencapaian tujuan bersama.
Menurut Rogers E.M, 1962 khususnya bab 9 tentang The Change Agent menyatakan ada
delapan faktor yang mempengaruhi keberhasilan agen pengubah, yaitu:
1. Usaha dari agen perubahan itu sendiri
Satu faktor dalam kesuksesan agen perubahan adalah dari banyaknya waktu yang dihabiskan
dalam aktivitas komunikasi dengan klien. Kesuksesan agen perubahan dalam menjaga
adopsi inovasi oleh klien merupakan sesuatu yang positif berhubungan dengan usaha agen
dalam menghubungimelakukan mengkontak dengan klien.
2. Orientasi klien Posisi
agen perubahan
sosial adalah
pertengahan antara agensi perubahan dan sistem klien. Agen perubahan adalah subjek
kebutuhan untuk peran persaingan, seorang agen perubahan sering diharapkan untuk
menjanjikan dalam perilaku pasti oleh agensi perubahan, dan pada waktu yang sama klien
mengharapkan
agen perubahan
untuk mewujudkan tindakan-tindakan yang benar-
benar berbeda. Kesuksesan agen perubahan dalam menjamin adopsi inovasi dari klien
secara positif berhubungan untuk orientasi seorang klien lebih daripada orientasi agensi
perubahan.
3. Kesesuaian inovasi dengan kebutuhan klien Sebuah peranan penting dan sulit untuk agen
perubahan untuk mendiagnosis kebutuhan para klien. Kesuksesan Agen perubahan dalam
menjamin adopsi inovasi dari klien secara positif berhubungan untuk derajat dimana
sebuah
program difusi
sesuai dengan
kebutuhan para klien. 4. Empati dari agen perubahan
Empati dapat diartikan sebagai derajat untuk individu yang dapat meletakan dirinya sendiri
ke dalam peran dari orang lain. Empati dari agen perubahan dengan klien adalah ketika
klien mengalami kesulitan secara ekstrim yang berbeda dari agen perubahan, diharapkan agen
115
Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional IV, Tahun 2014
perubahan lebih
sukses jika
mereka mendapatkan empati dengan klien mereka.
Kesuksesan agen perubahan dalam menjamin adopsi inovasi secara positif berhubungan
untuk empati dengan para klien.
5. Homofilitasnya dengan klien Homophily adalah interaksi yang terjadi antara
individu yang memiliki kesamaan pada pandangan,
pengetahuan dan
lainnya. Sedangkan heterophily adalah kebalikan dari
homophily yaitu merupakan interaksi antar individu yang memiliki perbedaan. Agen
perubahan memiliki banyak perbedaan dalam banyak hal dari kliennya dan mereka memiliki
kontak dengan kilen yang memiliki lebih banyak kesamaan pada diri mereka.
6. Kredibilitas agen perubahan Agen pembaharu, memiliki kepercayaan dari
klien karena adanya hubungan yang akrab sehingga tidak timbul kecurigaan.
Klien percaya
pada agen
pembaharu karena keyakinannya akan membawa kebaikan
bagi dirinya, yang disebut: kepercayaan, keselamatan savety, credibility. Sumber
saluran seperti agen perubahan profesional dianggap memiliki kredibilitas kompetensi,
sedangkan
sumber homophiloussaluran
seperti asisten dianggap memiliki kredibilitas keamanan. Seorang agen perubahan yang ideal
akan memiliki
keseimbangan antara
kompetensi dan kredibilitas keamanan. 7. Sejalan dengan pemimpin opini
Pemimpin opini adalah sejauh mana seorang individu dapat mempengaruhi individu lain
secara informal. Kampanye difusi akan lebih berhasil jika agen perubahan mengidentifikasi
dan memobilisasi para pemimpin opini. Waktu dan energi dari agen perubahan adalah sumber
daya yang langka. Dengan memfokuskan kegiatan komunikasi pada pemimpin opini
dalam suatu sistem sosial, agen perubahan dapat memanfaatkan sumber daya yang langka
ini dan mempercepat laju difusi suatu inovasi di antara klien.
8. Kemampuan evaluasi klien Salah satu masukan unik agen perubahan untuk
proses difusi kompetensi teknis. Tetapi jika agen perubahan membutuhkan pendekatan
jangka panjang untuk melakukan perubahan, ia harus
berusaha untuk
meningkatkan kompetensi teknis klien dan kemampuan klien
untuk mengevaluasi potensi inovasi sendiri. Sayangnya, seringkali agen perubahan lebih
peduli dengan tujuan-tujuan jangka pendek seperti peningkatan laju adopsi inovasi.
Sebaliknya, dalam banyak kasus, kemandirian klien harus menjadi tujuan utama dari agen
perubahan, sehingga dapat menghentikan ketergantungan klien terhadap agen perubahan.
Tujuan ini, jarang dicapai oleh sebagian besar agen-agen perubahan, mereka biasanya lebih
mementingkan untuk mempromosikan adopsi inovasi, daripada mencari klien untuk diajarkan
keterampilan dasar tentang bagaimana untuk mengevaluasi inovasi bagi diri mereka sendiri.
Penelitian Terdahulu
Penelitian sejenis yang pernah dilakukan antara lain adalah sebagai berikut: Faktor
Keberhasilan Pengembangan
Biogas di
Pemukiman Transmigrasi Sungai Rambutan Ariani, Enny, 2011, Pengetahuan istri dan
pengaruhnya terhadap pengambilan keputusan penggunaan biogas Muflikhati, 2011, dan Agen
Perubahan dalam Pembangunan Hutan Rakyat: Belajar dari Pengembangan Kayu Bawang di
Wilayah Propinsi Bengkulu Waluyo, Efendi Agus dan Ari Nurlia, 2013.
Hasil penelitian-penelitian sebelumnya menyatakan
bahwa penyebaran
dan pengembangan tidak terlepas dari peran agen
perubahan dalam
mengubah kebiasaan
masyarakat. Merubah kebiasaan masyarakat tidaklah mudah, diperlukan suatu usaha yang
panjang dan berkesinambungan Waluyo, 2013. Demikian juga, dari hasil penelitian Ariani 2011
menyatakan bahwa salah satu faktor yang dapat mempercepat
pengembangan biogas
adalah apabila dipermukiman sulit memperoleh energi
lain. Bila ada energi lain yang sudah dimanfaatkan seperti listrik, minyak tanah, dan kayu bakar yang
mudah, murah dan tersedia di lokasi, maka biogas tidak menarik untuk dimanfaatkan. Selain itu,
juga ada kendala lain yaitu kurang tersedianya peralatan dan suku cadang biogas di lokasi, biaya
intalasi yang relatif mahal, budaya masyarakat yang belum terbiasa dengan operasional dan hasil
biogas
serta pemanfaatannya.
Sedangkan penelitian Muflikhati et al 2011, menunjukkan
bahwa pengadopsian biogas bagi masyarakat tidak gampang
walaupun penggunaan
biogas menguntungkan dalam aspek ekonomi, namun
masih belum banyak yang menggunakan biogas sebagai bahan bakar untuk memasak. Alasan yang
disampaikan adalah
mereka masih
suka menggunakan sumber energi yang selain biogas,
seperti gas LPG dan minyak tanah, karena lebih pada aspek ketersediaan.
116
Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional IV, Tahun 2014
METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan metode kualitatif
dengan melakukan analisis secara deskriptif. Bungin 2010 dan Moleong 2006 menjelaskan
bahwa penelitian kualitatif digunakan untuk meneliti masalah-masalah yang membutuhkan
studi yang mendalam seperti studi perilaku, motivasi,
persepsi, dampak,
implementasi kebijakan publik, dan lain-lain. Penelitian
kualitatif mencoba memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian secara
holistik dengan mendeskripsikan fakta secara rinci termasuk gejala yang ada, identifikasi masalah dan
praktek-praktek yang berlaku. Fokus analisis data hanya dilakukan pada agen pengubah dalam
keberhasilan difusi inovasi biogas di masyarakat Pendua.
Pengumpulan data
dilakukan dengan
wawancara mendalam menggunakan pedoman wawancara terhadap Bapak AW dan melakukan
observasi partisipasi masyarakat di sekitar desa Pendua. Data sekunder diambil dari berbagai
literatur. Data yang dihasilkan kemudian diolah dan dikelompokkan menjadi delapan faktor yang
mempengaruhi keberhasilan agen pengubah berdasarkan teori yang dikemukan oleh Roger
1962.
HASIL DAN PEMBAHASAN Desa Pendua Kabupaten Lombok Utara, NTB
Desa Pendua
berada di
Kecamatan Kahayang, Kabupaten Lombok Utara, NTB, yang
memiliki luas wilayah seluas 5.144.558 km
2
BPN Kabupaten Lombok Utara, 2013 dengan jumlah
penduduk sebanyak
515 rumah
tangga. Masyarakat
Desa Pendua
banyak yang
memelihara sapi, tercatat dengan jumlah sebanyak 534 ekor sapi yang terdiri dari 391 ekor jantan dan
143 ekor betina BPS Kabupaten Lombok Utara, 2013 atau melakukan sistem bagi hasil dengan
pemilik sapi. Sehingga banyak kotoran sapi yang tidak berguna bahkan mengotori lingkungan.
Kemudian pada tahun 2010, mulailah kotoran sapi digunakan untuk membuat biogas oleh salah satu
pemuda desa yang pulang setelah menjadi TKI di Korea, yang dapat dikatakan sebagai agen
pengubah atau agen pembaharu, dengan bantuan HIVOS. HIVOS adalah salah satu LSM dari
pemerintah Belanda untuk mengembangan biogas di Indonesia dengan adopsi teknologi untuk
mengatasi kotoran ternak dan menghasilkan energi biogas. Tahun 2013, telah dibangun sekitar 140
unit digester biogas. Desa Pandua sudah mempunyai 18 orang tukang pembuat digester
yang bersertifikat Hivos.
Pembangunan digester biogas di desa ini didukung oleh Dana Alokasi Khusus DAK tahun
2013 dari proyek Pemerintah Daerah Kabupaten Lombok Utara. Setiap pembangunan digester
mendapatkan bantuan sebesar Rp. 3 juta, dan juga mendapatkan dukungan dana Rp. 2 juta untuk
setiap digester dari HIVOS. Dan, kebutuhan lainnya, yaitu bahan-bahan lokal dan tenaga kerja
disediakan oleh masyarakat itu sendiri. Peran Agen Pengubah dalam Keberhasilan
Difusi Inovasi Biogas
Desa Pandua merupakan desa yang penduduknya mempunyai mata pencaharian
beternak sapi, sehingga banyak kotoran sapi yang dihasilkan. Pada awalnya, kotoran sapi yang ada
hanya digunakan untuk memupuk tanaman dan sisanya dibuang begitu saja didekat kandang,
sehingga baunya sangat menganggu masyarakat. Selain itu, juga banyak lalat yang beterbangan,
dan dapat menyebabkan penyakit jika hinggap di makanan. Masalah ini membuat kegelisahan
seorang yang bernama Bapak AW, yang pernah menjadi TKI di Korea. Bapak AW memiliki
pengalaman menggunakan biogas selama tinggal di Korea Kemudian Bapak AW, mencari tahu
lewat internet tentang biogas dan menghubungi HIVOS untuk pembuatan digester biogas. Tahun
2010, Bapak AW membangun biogas dan merupakan orang pertama di Dusun Pendua dalam
pembuatan biogas. Digester yang dibangun berukuran 6 M
3
dengan kotoran sapi berasal dari empat ekor sapi. Biogas ini dapat digunakan
selama 10 jamhari untuk keperluan memasak di rumah tangganya.
Sebenarnya penerapan biogas sudah banyak dilakukan di beberapa daerah terutama daerah
yang banyak terdapat ternak sapi. Sedang Desa Pendua baru oleh Bapak AW lah dikenal adanya
biogas. Setelah melihat manfaat adanya biogas, Bapak AW mengkomunikasikan ke tetangganya,
dan akhirnya banyak tetangganya yang mau ikut- ikutan membangun biogas setelah melihat sendiri
hasil biogas di rumah Bapak AW. Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan terhadap Bapak
AW dan masyarakat sekitar menunjukkan bahwa masyarakat meyambut baik ide yang dikemukakan
olek Bapak AW dan tidak ada berusaha untuk menghalang-halangi niat Bapak AW, walau
memang belum semua dari rumah tangga yang ada sudah memasang digester biogas. Karena Bapak
AW yang melakukan pertama dan mengajak orang lain, maka Bapak AW dapat disebut sebagai agen
pengubah dalam pembuatan biogas di Desa Pandua
dalam mendifusikan
biogas di
lingkungannya. Berdasarkan teori Roger, bahwa Bapak AW
memang seorang agen perubahan yang memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
117
Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional IV, Tahun 2014
1 Catalyst: Bapak AW telah melakukan
komunikasi, mengajak, dan meyakinkan masyarakat di sekitarnya untuk membuat
digester supaya lingkungan lebih sehat, lebih bersih, dan dapat mengurangi pengeluaran
untuk membeli gas atau minyak tanah. Sehingga di tahun 2013, di Desa Pandua telah
dibangun sekitar 140 unit digester biogas.
2 Solution givers atau pemberi solusi. Bapak
AW dalam hal ini telah memberi contoh dengan pembangunan digester biogas di
rumahnya, dimana biogas tersebut dapat digunakan
selama 10
jamhari untuk
keperluan rumah tangganya. Dengan adanya biogas
tersebut keluarga
Bapak AW
mempunyai banyak keuntungan, antara lain, tidak perlu membeli gas atau minyak tanah
untuk keperluan masak, bio slurry atau sisa biogas dapat digunakan untuk membuat
pupuk tanaman, serta lingkungan rumah bersih, tidak bau dan tidak ada lalat.
3 Process helpers atau penolong dalam proses.
Untuk membantu
masyarakat dalam
kelancaran pembangunan digester biogas, Bapak AW membentuk yayasan yang
menjadi mitra kerja HIVOS. 4
Resource linkers atau penghubung sumber
daya. Bapak AW telah melakukan kerja sama dengan HIVOS dan Pemerintah Daerah
untuk membantu
masyarakat dalam
membangun sebuah digester. Membangun sebuah digester dibutuhkan dana sebesar Rp.
4 juta, Bantuan dari Hivos sebesar Rp. 2 juta; bantuan dari Pemerintah Daerah melalui
Koperasi Sentul Jaya sebesar Rp. 1.2 juta dan masyarakat harus menyediakan bahan dan
tenaga atau tunai sebesar Rp. 800 ribu. Masyarakat yang belum mempunyai uang
tunai dapat meminjam kredit ke koperasi dan pembayarannya dapat dicicil sebesar Rp. 55
ribu per bulan.
Keberhasilan agen
pengubah dalam
mendifusikan inovasi biogas, berdasarkan teori Roger di atas diuraikan sebagai berikut:
1.
Usaha dari Agen Perubahan itu Sendiri
Dalam mendifusikan biogas ke masyarakat sekitarnya, Bapak AW melakukan pertemuan
langsung dengan masyarakat supaya lebih saling mengenal secara pribadi, membangun rasa saling
percaya, dan saling mengenal. Bapak AW sangat gigih
dalam mengkomunikasikan
mengenai biogas, malahan waktunya banyak tersita dalam
mengkomunikan hal tersebut, tetapi hal itu tidak menjadi masalah bagi Bapak AW karena
mendapatkan dukungan
dari isterinya.
Komunikasi ini dilakukan pada waktu ada pertemuan
dengan bapak-bapak,
misalnya pertemuan RT, RW, pengajian dan lainnya, atau
bahkan di setiap perkumpulan yang tidak resmi seperti ngobrol di depan rumah Bapak AW.
Dalam pertemuan
tersebut, Bapak
AW menceritakan pengalamannya waktu menjadi TKI
di Korea tahun 2005 – 2007 dengan menggunakan
biogas, dan Bapak AW mengajak masyarakat untuk membuat biogas supaya desa nya menjadi
bersih karena memanfaatkan kotoran ternak yang ada dan juga sekaligus dapat berhemat.
Dalam menyelenggarakan
pertemuan langsung juga tidak mudah, karena adanya
hambatan waktu dan jarak dari masing-masing masyarakat. Untuk mengatasi hal itu, Bapak AW
selain melakukan pertemuan secara langsung, juga melakukan
interaksi melalui
handphone .
Akhirnya dari hasil komunikasi yang dilakukan Bapak AW, sampai tahun 2013 sudah terbangun
140 digester biogas di Desa Pandua.