The Use of Organizational Culture and Structure to Guide Strategic Behavior:

246 Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional IV, Tahun 2014 Tabel 1. Pengujian Ketingian No Ketinggian 1 30 m 2 70 m 3 50 m 4 80 m 5 130 m Dalam pengujian yang kelima didapatkan hasil yang terbaik dengan ukuran dan spesifikasi roket seperti yang diperlihatkan pada Tabel 2. Tabel 2. Ukuran Roket Bagian Ukuran Keterangan Tinggi Keseluruhan 50 cm Dari ujung sampai fin bawah Tinggi Body 22 cm Tinggi Bagian Tengah Lebar Roket 10 cm Lebar Keseluruhan Tinggi Fin 17 cm Dari Ujung Fin sampai bawah Lebar Fin 6.5 cm - Selain itu, untuk membuat ALARC dapat terbang tinggi dibutuhkan baterai sebesar enam cell dengan 2200 mAh. Hal ini dikarenakan EDF Electric Ducted Fan yang digunakan yaitu sebesar 4000kv, dengan memberi pulsa yang lebih sempit dan linearitas naik ke ESC maka akan didapatkan percepatan yang konstan sehingga momentum dari motor EDF dapat di ubah menjadi daya dorong yang optimal. Gambar 2. Bagian dalam ALARC Bagian dalam ALARC terdiri dari tiga bagian, yaitu: bagian pertama, terletak paling bawah sebagai tempat peletakan baterai dan ESC serta modul zigbee; bagian kedua yaitu bagian tengah untuk menyimpan mikrokontroller; dan bagian ketiga adalah bagian paling atas sebagai tempat untuk menyimpan parasut. Gambar 3. Mikrokontroler ALARC Mikrokontroller ALARC dibuat dengan menggunakan PCB kemudian menggunakan ATmega 328 yang sudah diintegrasikan program arduino untuk pengolah kodenya. Selain itu, juga digunakan BMP085 sebagai sensor barometer serta Cmps10 sebagai sensor kompas beserta 3- axis yang nantinya dibutuhkan untuk mengontrol kendali roket agar tetap pada lintasan yang telah ditentukan. Gambar 4. Kodingan sistem ALARC menggunakan Arduino Dalam proses koding menggunakan arduino 1.0.5 dimana sensor diinisiasi untuk melakukan pembacaan data pitch, roll dan yaw. Kemudian dari pembacaan sensor tadi akan diolah dan dilakukan proses filter jenis kalman sehingga dapat meredam pembacaan informasi ambang yang tidak dibutuhkan. Berdasarkan hasil pengolahan data tersebut dilakukan proses maping atau konversi dari nilai sensor ke nilai kontrol dalam bentuk pulsa digital yang telah diperhitungkan untuk interface kontrol, kemudian hasil dari nilai tersebut akan dikirim ke servo untuk mengatur gerak dari servo. Selain itu juga dilakukan pengkodingan untuk EDF Electric Ducted Fan dimana diinisialisasi agar ALARC terbang selama 10 detik kemudian melakukan pembukaan parasut secara otomatis 247 Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional IV, Tahun 2014 Gambar 5. GUI Graphical User Interface ALARC Dalam pembuatan GUI Graphical User Interface menggunakan software Visual Studio 2011 kemudian menggunakan library tambahan berupa sharpGL untuk pembuatan interface yang menarik seperti tampilan pada pesawat. Adapun dalam GUI tersebut terdapat fungsi untuk pengujian data dan gerak dari servi serta peluncuran secara otomatis dan tombol keselamatan untuk mematikan motor secara otomatis kemudian melepaskan parasut secara otomatis. Selain itu juga terdapat tampilan 3D arah ALARC serta grafik waktu dari ALARC. PENUTUP ALARC Autonomous Low Altitude Rocket Control merupakan langkah awal untuk mewujudkan Indonesia yang mandiri dalam menciptakan teknologi roket. Hal ini juga bertujuan agar Indonesia tidak dipandang sebelah mata oleh negara lain. ALARC merupakan roket dengan tenaga Elektrik berupa Lipo Baterai yang memiliki sistem kontrol sendiri menggunakan mikrokontroller ATmega 328 dan BMP 085 serta CMPS 10 yang telah terintegrasi dengan GUI Graphical User Interface . Kedepannya ALARC akan dikembangkan lebih jauh lagi seperti ketinggian yang semakin ditingkatkan serta ketahanan baterai sehingga bisa menjadi layak untuk bersaing dengan negara lain UCAPAN TERIMA KASIH Terima kasih kepada Bapak Burhanuddin Dirgantoro Sebagai Pembina dari APTRG Aeromodelling and Payload Telemetry Research Group . Terima kasih kepada seluruh Kru APTRG dan semua orang yang terlibat dalam pembuatan Paper ini yang tidak bisa disebutkan namanya satu persatu. DAFTAR PUSTAKA http:en.wikipedia.orgwikiV-tail http:www.codeproject.com?cat=3 http:www.byteparadigm.comapplicationsintrod uction-to-i2c-and-spi-protocols http:www.robot- electronics.co.ukhtmcmps10doc.htm http:arduino.ccenreferenceserial http:www.atmel.comdevicesatmega328.aspx http:extremeelectronics.co.inavr-tutorialsusing- the-usart-of-avr-microcontrollers-reading-and- writing-data http:forum.arduino.ccindex.phptopic,58048.0.h tml 248 Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional IV, Tahun 2014 Teknologi Genome Scanning Menggunakan 1536- dan 384-SNP Chip untuk Mendukung Program Pemuliaan Padi Rice Genome Scanning using 1536- and 384- SNP Chip Technology for Supporting Rice Breeding Programs Dwinita W. Utami Indonesian Centre of Agricultural Biotechnology and Genetic Resources RD, Jl. Tentara Pelajar 3A, Bogor 16111. I N F O A R T I K E L A B S T R A C T Keywords: Indonesian Rice Germplasm 1536-and 384-SNP set Genotyping and Phenotyping Association Analysis Kata Kunci: Plasma Nutfah Padi Indonesia 1536-dan 384-SNP set Genotyping dan Phenotyping Analisis Asosiasi Increasing and stabilizing rice production as main target in agriculture development. Utilization of molecular markes technology gain prominance in rice breeding, particularly to speed up and precission increasing of selection step. Towards this technology, utilization of rice genomic are now being widely used to provide accelerate the rice breeding program particularly on genetic relatedness, linkage to important traits, and detection of donor introgressions in segregating population. Finally, all of these programs, were targeted to support the attainment of food self-sufficiency in Indonesia. This paper summarizes the genome research status of recent developments in ICABIOGRAD, R D Agency, The Ministry of Agriculture. Rice genome research was initiated in ICABIOGRAD, IAARD, Ministry of Agriculture, since 2011. Currently, the total of 851 accessions of Indonesian rice germplasm were scanned their genome using 2 sets of SNP Single Nucleotide Polymorphism markers chip. To acces the expression, in parallel, has also carried out some phenotyping analysis in across conditions, dry and rainny seassons. Some important traits which were targetted in these analysis, as : date to flowering, date to harvesting, yield components and also respons to biotics and abiotics stress. A large number of total data both genotyping and phenotyping were analyzed on their association to obtaine a set of SNP markers and selected genotypes which significant associated with the target traits. The selected SNP markers could be as markers assited for selection while the selected genotypes could be a new promising rice lines or to to be as a source of potential genes for breeding. In other way, the genotypes and phenotypes data have completed were also applicable for DNA fingerprints detections as a barcode of commercial variety. These rice genome research achieved will packaging as the inovation technology which advantage provide for rice stakholders in Indonesia. S A R I K A R A N G A N Peningkatan dan stabilitas produksi padi menjadi target utama pembangunan pertanian. Perkembangan teknologi marka molekular dalam pemuliaan padi berpotensi mempercepat dan meningkatkan presisi seleksi dalam program pemuliaan padi. Melalui pengembangan teknologi marka molekuler, saat ini informasi genome telah diaplikasikan secara luas terutama dalam hal untuk menganalisis kekerabatan genetik antar aksesi, keterpautan dengan sifat penting dan introgresi pada populasi segregan. Semua program pemuliaan tersebut pada akhirnya bermuara untuk mendukung pencapaian ketahanan dan kemandirian pangan di Indonesia. Makalah ini merangkum status perkembangan terkini penelitian genom padi di BB Biogen, Badan Litbang, Kementerian Pertanian. Penelitian genom padi di BB Biogen, Balitbang Kementan, telah diinisiasi mulai tahun 2011 dan sampai saat ini telah dianalisis genotyping pada 851 aksesi plasma nutfah padi menggunakan 2 set marka SNP chip, 1536 dan 384. Secara paralel juga telah dianalisis phenotyping sejumlah aksesi yang sama lintas musim dan lintas agroekosistem, untuk beberapa karakter agronomi penting terkait dengan umur tanaman komponen hasil dan ketahanan terhadap cekaman biotik ataupun abiotik. Sejumlah besar total data baik data genotyping ataupun phenotyping di atas selanjutnya dianalisis asosiasi keduanya untuk mendapatkan set marka-SNP chip dan set genotipe terpilih yang terkait dengan karakter target. Pengembangan data genotipe yang diperoleh, dilakukan untuk deteksi sidik jari DNA beberapa aksesi plasma nutfah penting sebagai penciri spesifik varietas sebagai barcode variety. Keluaran hasil penelitian berbasis genome ini mulai dikemas sebagai paket inovasi teknologi yang dimanfaatkan oleh para stakeholder padi di Indonesia.  Corresponding author : E-mail address: dnitawuwindowslive.com ; nitautami59gmail.com 249 Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional IV, Tahun 2014 PENDAHULUAN Pertumbuhan penduduk yang terus terjadi dengan luas lahan pertanian yang cenderung tetap bahkan berkurang menyebabkan terjadinya ancaman krisis pangan. Hal ini diperparah dengan pengaruh perubahan iklim global yang menekan produktifitas tanaman pangan. Pemenuhan kebutuhan pangan melalui peningkatan produktivitas pada saatnya tidak akan mampu memenuhi permintaan pangan. Perluasan lahan ekstensifikasi pertanian adalah pendekatan utama yang harus ditempuh untuk menggenjot produksi pangan nasional. Pengembangan teknologi dapat diaplikasikan untuk mendukung peningkatan produksi tanaman pangan. Teknologi genom salah satu teknologi yang dapat diaplikasikan mulai dari hulu sampai hilir dari serangkaian perakitan varietas unggul tanaman pangan. Teknologi genom dapat diaplikasikan mulai dari pengenalan keragaman genetik sampai dengan pengembangan plasma nutfah sebagai sumber genetik bagi galur unggul baru. Pengetahuan tentang genetika sifat- sifat unggul tanaman padi yang didukung teknologi genom memungkinkan dilakukannya percepatan program pemuliaan dan perakitan varietas baru dengan akurasi dan efisiensi yang lebih tinggi, baik melalui seleksi berbasis marka DNA maupun perakitan tanaman transgenik. Saat ini telah dilakukan pengembangan teknologi high-throughput genotyping dan genome sequencing sebagai bagian dari pengembangan lanjut teknologi genomik. Melalui teknologi ini dimungkinkan untuk membuka lembaran baru dalam pemanfaatan sejumlah besar plasma nutfah padi untuk diungkap factor genetic gen-gen penting yang dimilikinya sehingga dapat mempercepat proses pemuliaan dan pencapaian swasembada pangan. Pemetaan asosiasi lintas genom Genome Wide Association Mapping GWAS, saat ini telah banyak dimanfaatkan, diantaranya dalam hal : a. Analisis kandidat gen penting dimungkinkan untuk melacak keberadaan ‘alamat’ gen target dalam genom beserta fungsinya terkait dengan proses biokimia atau regulation pathway yang berhubungan dengan sifat unggul tanaman padi Yu and Buckler, 2006. b. Ketersediaan sekuen genom lengkap pada beberapa spesies selain padi dan dukungan beberapa teknologi genomika, seperti sequencing , genotyping, gene expression profiling , comparative genomics , bioinfotmatics , linkage analysis, mutagenesis dan biokimia , memungkinkan diketahuinya gen-gen fungsional untuk beragam karakter penting yang bersifat kuantitatif, seperti komponen hasil pada beragam plasma nutfah Zhu et al, 2008. c. Ketersediaan sekuen genom lengkap dan teknologi resequencing juga memungkinkan untuk menemukan ratusan bahkan ribuan marka SNP Single Nucleotide Polymorphism yang fungsional untuk dikembangkan sebagai marka molekuler fungsional untuk membantu seleksi pada beragam plasma nutfah terkait dengan karakter yang diinginkan. Penggunaan marka SNP yang bersifat bi-allelic lebih mudah untuk analisis genotyping dan asosiasi McNally et al, 2009. Dengan mengacu pada pemanfaatan teknologi berbasis genomika, maka penelitian genom padi yang dilakukan di BB Biogen mencoba menjawab beberapa masalah untuk peningkatan produksi padi nasional. Makalah ini merangkum status perkembangan terkini penelitian genom padi di BB Biogen, Badan Litbang, Kementerian Pertanian. KERANGKA TEORI Indonesia memiliki keragaman genetik tanaman padi yang melimpah. Kekayaan keragaman genetik ini merupakan bahan dasar untuk memperbaiki berbagai karakter padi, seperti karakter komponen produksi dan umur genjah. Padi lokal adalah salah satu sumber genetik padi yang saat ini sudah terdesak oleh varietas unggul Crowder, 1997. Pemanfaatan teknologi dapat mendukung peningkatan produksi pangan nasional. Perkembangan teknologi genomik, telah memungkinkan untuk mengidentifikasi alel-alel dari gen-gen potensial dalam koleksi plasma nutfah padi yang melimpah untuk dimanfaatkan dalam perbaikan varietas. Percepatan program pemuliaan dengan memanfaatkan informasi genom memiliki manfaat yang besar dalam penciptaan galur unggul baru. Pengembangan penelitian genom dapat diibaratkan seperti teknologi penginderaan jarak jauh menggunakan citra satelit yang digunakan untuk mendeteksi potensi sumber daya alam di suatu titik lokasi, maka teknologi genom padi ini ditujukan untuk ‘memotret’ potensi genetik terkait dengan karakter unggul pada ratusan koleksi aksesi plasma nutfah, sehingga aksesi-aksesi plasma nutfah tersebut dapat lebih termanfaatkan secara optimal. Secara lebih jauh, dengan termanfaatkannya plasma nutfah padi kita, terutama padi-padi lokal secara lebih optimal diharapkan dapat mendukung ketahanan pangan baik pada taraf regional ataupun nasional. 250 Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional IV, Tahun 2014 Perkembangan kemajuan teknologi genomik padi dimulai dari teknologi mapping cytogenetic, molecular genetic, dan physical sampai dengan sekuen lengkap genom padi yang merupakan terobosan penting untuk mengungkap bagian- bagian fungsional dari genom padi rice functional genomic . Teknologi ini berperan dalam beberapa karakter kompleks padi, seperti karakter produksi dan umur berbunga pendek Tyagi et al, 2004; Yamamoto et al, 2009. Identifikasi genomik dari beragam variasi genetik padi diharapkan dapat mendukung percepatan program pemuliaan yang pada akhirnya dapat mendukung ketahanan pangan nasional. METODE PENELITIAN Disain dan Seleksi Sub Set Marka Snp-Chip Pada tahap awal disain 1536 dan 384 SNP chip dilakukan dengan berkoordinasi dengan beberapa institusi internasional yang sudah mengembangkan illumina-SNP-chip lebih dahulu, yaitu IRRI dan Cornell University Zhao et al. 2010. Disamping itu disain SNP chip juga dilakukan dengan menganalisis sekaligus mengkompilasi marka SNP polimorfis tinggi yang dapat diakses di website Oryza SNP Database. Setiap marka SNP dirunut sekuen lengkapnya dan disain primer dibuat dengan memposisikan SNP tepat di tengah sikuen dan diapit oleh 50-60 pasang basa nukleotida. Jumlah marka SNP yang dipilih harus 2 kali dari target SNP-chip yang akan didisain. Validasi masing-masing marka SNP yang terdisain dilakukan dengan sistem deteksi GoldenGate Illlumina-Align Disaign Tool ADT. Setelah melalui sistem skoring sesuai persyaratan untuk assay Golden Gate Illumina, maka terpilih 1536 atau 384 marka SNP yang selanjutnya akan disintesis oleh Illumina sebagai 384 atau 1536 SNP chip. Hasil sintesis SNP chip ini dinamakan sebagai custom OPA dan dilengkapi dengan assay kit custom synt 1536 atau 384 SNP bead chip telah siap untuk digunakan dalam analisis genotyping menggunakan metode GoldenGate reader dengan mesin iScan. Pemilihan marka SNP yang akan didisain sebagai SNP-chip dapat dikembangkan sesuai dengan target tujuan pemuliaan tertentu. Seperti misalnya untuk tujuan identifikasi profile genotipe sidikjari DNA plasma nutfah padi sebagai penciri varietas, maka dipilih SNP yang menyebar di total 12 kromosom genom padi dengan rata-rata jarak per SNP bervariasi untuk masing-masing kromosom. Marka SNP penciri genotipe tersebut dipilih tanpa ada pertimbangan gen-gen target tertentu sehingga marka-marka tersebut dapat membentuk profil genotipe umum. Namun demikian tahapan ini akan apabila ditujukan untuk pemetaan genQTL untuk karakter tertentu, maka seleksi subset SNP dilakukan pada posisi genetik dari genQTL karakter target . Analisis Data a. Studi keragaman genetik Untuk mengurangi kesalahan terjadinya asosiasi yang disebabkan oleh struktur populasi, data struktur populasi padi yang dipelajari dikalkulasi menggunakan software Structure http:pritch.bsd.uchicago.edustructure.html dengan menggunakan data genotipe SNP sebagai input, untuk digunakan sebagai covariate dalam analisis asosiasi menggunakan Tassel. b. Pemetaan genQTL : Teknologi Pemetaan dengan populasi persilangan LE Untuk memahami mekanisme yang menyebabkan sebuah populasi berevolusi, perlu memperhatikan kondisi-kondisi apa saja yang diperlukan oleh suatu populasi untuk tidak berevolusi. Asas Hardy-Weinberg menyatakan bahwa frekuensi alel variasi pada sebuah gen pada sebuah populasi yang cukup besar akan tetap konstan jika gaya dorong yang terdapat pada populasi tersebut hanyalah penataan ulang alel secara acak selama pembentukan gamet dan kombinasi acak sel genetik ini selama penyerbukan. Populasi seperti ini tidak berevolusi dan dikatakan sebagai dalam populasi kesetimbangan Hardy-Weinberg atau populasi kesetimbangan pautan Linkage equilibrium LE Kerry, 2007. Dalam kaitan dengan pemetaan kelompok pautan maka populasi LE terbentuk dari populasi pemetaan hasil persilangan 2 tetua. Pada kondisi ini alel lokus bersifat random random association. Jika 2 alel lokus berada dalam kondisi LE , maka kedua alel lokus tersebut diwariskan secara bebas independent inheritad Bovenhuis dan Meuwissen, 1996. d. Pemetaan LD dan analisis asosiasi : Teknologi pemetaan dengan populasi alami Perkembangan teknologi genomik, yang meliputi pemetaan QTL Quantitative Trait Locus , penemuan gene gene discovery, dan tersedianya sekuen genom secara lengkap telah memungkinkan untuk mencari alel-alel yang berguna dalam koleksi plasma nutfah padi untuk perbaikan varietas melalui suatu strategi yang disebut dengan allele mining. Pemetaan LD linkage disequilibrium dilakukan untuk mendapatkan daerah genom yang sempit yang mengandung alel yang diinginkan Morton, 2005. Berlainan dengan pemetaan QTL, yang menggunakan populasi yang dikembangkan dari dua tetua saja, pemetaan LD dapat menggunakan secara langsung beberapa sampai ratusan aksesi yang berbeda untuk membuat peta tanpa harus 251 Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional IV, Tahun 2014 melakukan persilangan Flint-Garcia et al. 2003. Jika dua alellokus berada dalam LD, maka kedua alellokus diwariskan secara bersama dependent inherited Bovenhuis dan Meuwissen, 1996. Analisis asosiasi dilakukan menggunakan software Tassel Bradbury et al., 2007. Data marka dan fenotipe digunakan sebagai input bagi software Tassel untuk mencari asosiasi antara marka dengan karakter fenotipe yang diukur. Marka yang secara signifikan memiliki asosiasi dengan karakter yang diukur diidentifikasi melalui pendekatan general linear model GLM dan mixed linear model MLM. Marka-marka dianggap memiliki asosiasi yang signifikan apabila berdasarkan analisis GLM atau MLM memiliki p-value lebih kecil dari 0,001. HASIL DAN PEMBAHASAN Filtering Kualitas Snps Terbaik Dari total data genotipe yang diperoleh tidak semuanya dapat diikutsertakan dalam analisis. Beberapa tahapan seleksi filtering secara bertahap dilakukan menggunakan beberapa program. Seleksi pertama dilakukan menggunakan program ALCHEMY dengan parameter koefisien inbreeding inbreeding coefficient 0.9 dan batas kepercayaan seleksi confidence cut off threshold 0.80. Selanjutnya filtering dilakukan menggunakan program PowerMarker untuk mendapatkan informasi skor minor allele frequency MAF dan dipilih marka SNP yang memiliki nilai MAF ≥ 0,7. Hal ini menunjukkan bahwa marka-marka ini memiliki kemampuan membedakan polimorfis diantara aksesi-aksesi plasma nutfah yang dianalisis. Struktur populasi dan keragaman genetik Analisis struktur populasi menggunakan program STRUCTURE dengan nilai variasi K=5 Gambar 3A menunjukkan adanya 5 subpopulation utama, yaitu : I. Temperate Japonica Japonica; II.Tropical Japonica Javanica; III. Aromatic, IV.Kelompok introgresi luas dan V. Indica. Introgresi dari subpopulation Indica warna biru tampak menyebar paling luas lintas subpopulasi yang lain, seperti Temperate Japonica, Tropical Japonica dan bahkan introgres ke spesies padi liar Oryza rufipogon. Hasil ini sesuai dengan fakta bahwa sebagian besar varietas padi komersial di Indonesia released varieties dirakit menggunakan latar belakang genetik Indica . Diantara Introgresi luas antara Indica dengan O. rufipogon telah menghasilkan 2 varietas yang dilepas yaitu: Inpari-Blas SK No:3920KptsSR.12032013 dan Inpari-HDB SK No :3916KptsSR.12032013. Gambar 1. Keragaman struktur populasi dan dendrogram keragaman genetik dari 467 aksesi plasma nutfah padi. Dendrogram keragaman genetik tergambar adanya hubungan kekerabatan antar kelompok subspecies plasma nutfah padi. Beberapa aksesi spesies padi liar terlihat menyebar pada kelompok-kelompok yang terpisah. Spesies padi liar diyakini sebagai ancestor dari padi budidaya O.sativa. Melalui beragam proses domestikasi yang dipengaruhi oleh cara budidaya manusia di areal geographical yang berbeda-beda, terbentuklah padi budidaya dari spesies padi liar Londo,et al, 2006. Dendrogram keragaman genetik dapat memberikan informasi kedekatan genetic satu aksesi plasma nutfah dengan aksesi atau kelompok genetic yang lain. Sidik Jari DNA sebagai penciri plasma nutfah Untuk tujuan mengidentifikasi penciri genetik suatu aksesinutfah maka teknologi sidik jari DNA menggunakan marka-marka SNP terpilih memungkinkan untuk mendapatkan penciri genetik yang bersifat unik yang dapat diaplikasikan pada sejumlah genotype tertentu. Disain marka SNP spesifik untuk setiap subspesies padi yang berbeda IndicaJaponicaTropical Japonica dapat berperan penting dalam deteksi identitas varietas dan kemurnian benih. Gambar 2. Profil genotype plasma nutfah padi berdasarkan beberapa marka SNP yang tersebar di kromosom 1. 252 Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional IV, Tahun 2014 Profil genotype ini sebagai data mentah untuk mendapatkan penciri unik dari setiap varietas. Pemetaan QTL dan GWAS Genome Wide Association Mapping 1. Pemetaan QTL ketahanan blas pada padi lokal Penggunaan 1536 atau 384 SNP lebih efektif dan efisien untuk menentukan polimorfisme diantara genepool yang berbeda. Oleh karena itu untuk tujuan pemetaan gen QTL tertentu harus diperhatikan beberapa marka SNP yang polimorfis untuk kedua tetua persilangan. Gambar 3. Seleksi populasi dilakukan menggunakan marka SNP yang bersifat polimorfis untuk kedua tetua persilangan, yaitu : Padai EmasUS2; GampaiUS2 dan GrogolUS2. 2. Pemetaan asosiasi GWAS untuk karakter umur genjah dan komponen hasil unggul padi. Pendekatan GWAS dilakukan untuk mendapatkan asosiasi antara data genotipe dan fenotipe pada sejumlah besar aksesi plasma nutfah. Beberapa karakter penting yang menjadi target penelitian GWAS diantaranya adalah umur genjah dan komponen hasil unggul. Gambar 4. Manhattan Quantile-Quantile Plot Q- Q plots, hasil analisis GWAS untuk karakter unggul. X axis : sebaran SNP per kromosom dan Y axis : –log P-value sebagai skor asosiasi. 3. GWAS untuk sifat toleran keracunan Al Pendekatan GWAS juga telah diaplikasikan pada sejumlah aksesi hasil persilangan beragam untuk mendapatkan alel potensial yang berperan dalam membentuk sifat toleran keracunan Al pada padi. Berdasarkan profil genotipe akan diketahui alelQTL mana yang berperan dalam membentuk sifat toleran terhadap keracunan Al dari galur-galur terpilih. Gambar 5. Diantara hasil analisis profile genotipe yang memiliki karakter kontras untuk sifat toleran keracunan Al. Alel potensial dapat dilacak dengan membandingkan profile genotype toleran dengan yang peka. Pengembangan Marka untuk Proses Seleksi Marker Assisted SelectionMas Sebagai langkah untuk validasi hasil GWAS maka perlu dilakukan analisis kandidat gen terkait karakter target umur genjah dan komponen hasil. Pengembangan dari hasil analisis asosiasi di atas adalah analisis kandidat gen, yaitu dengan menelusuri genlokus yang terkait dengan karakter target berdasarkan posisi genetik dari marka SNP yang signifikan tersebut. Sebagai contoh salah satu marka SNP signifikan adalah TBGI068738 dan kandidat gen yang terdeteksi adalah LOC-Os01g72220, yang terpetakan di kromosom 1 pada posisis genetik: 41,837,949-41,880,601, yaitu gen WD domain, G- beta repeat domain . Gen ini berfungsi dalam pengaturan waktu pembungaan sampai pemasakan fase generatif lanjut Ouyang et al, 2012. Untuk mengidentifikasi gen ini maka dilakukan disain primer dan digunakan untuk analisis PCR pada sampel yang memiliki karakter kontras. Primer ini ditujukan sebagai marker yang dapat diaplikasikan dalam proses seleksi galur- galur hasil pemuliaan sebagai marka MAS Molecular Assited Selection . 253 Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional IV, Tahun 2014 Gambar 6. Hasil amplifikasi menggunakan primer D-2 pada sampel B BMIP22 dan I IRBL2 dan primer D-6 pada sampel I IRBLTa2 dan B Bio110. Dirunning pada 2 TAE agarose gel pada 100V selama 3 jam. Hasil pada Gambar 6 di atas menunjukkan bahwa primer D-2 terindikasi sebagai marka MAS karena bersifat polimorfis pada sampel yang memiliki umur yang berbeda. Demikian juga untuk primer D-6 karena bersifat polimorfia pada sampel yang memiliki jumlah gabah isi yang berbeda. Pengembangan ’Database Variasi Genetis Plasma Nutfah Padi’ Pembuatan dan pengembangan database padi ditujukan untuk mendokumentasikan sekaligus mempublikasikan hasil penelitian genom padi sehingga dapat dimanfaatkan secara lebih optimal bagi para stakeholder padi di Indonesia. Secara bertahap Database Genom-Padi ini ditampilkan dalam bentuk WebSite sehingga dapat diakses secaa terbuka. PENUTUP Pengembangan teknologi high-throughput genotyping menggunakan 1536 atau 384 SNP chip dapat mengungkap gen-gen penting yang dimiliki sejumlah besar plasma nutfah padi sehingga dapat mempercepat proses pemuliaan yang selanjutnya dapat mendukung ketahanan pangan nasional. Namun demikian teknologi ini perlu didukung dengan pengembangan sistem kerjasama dalam bentuk konsorsium nasional mengingat besarnya dukungan dana yang diperlukan. UCAPAN TERIMA KASIH Penelitian ini terlaksana atas dukungan dan koordinasi antara tim genom padi dan tim penelitian lain. Penelitian genom padi didanai oleh DIPA BBIOGEN-Badan Litbang Pertanian, Kementerian Pertanian, tahun anggaran 2010- 2014. DAFTAR PUSTAKA Bovenhuis, H., Meuwissen,T. 1996. Detection and mapping of quantitative trait loci. Animal Genetics and Breeding Unit. UNE. Armidale. Australia. ISBN1863893237. Bradbury P.J., Z.Zhang, D.E.Kroon, T.M.Casstevens, Y Ramdos, E.D.Buckler. 2007. Tassel : software for association mapping of complex traits in diverse samples. Bioinformatics Appl. Note. Vol23, No19 : 2633-2635. Crowder, L.V. 1997. Genetika Tumbuhan. Gadjah Mada University Press. Flint-Garcia, S.A., Thornsberry, J.M., Buckler, E.S. 2003. Structure of linkage disequilibrium in plants. J. Annu.Rev. Plant.Biol. 54:357-374. Kerry, B. 2007. Cause of evolution. Teach Evalution and Make It Relevant. National Science Foundation http:www.evolved.orglessonsspeciation.ht m. Diakses tanggal 30 Desember 20012 McNally, K.L.,Childs,K.L.,Bohert, R.,Davidson, R.M.,Zhao, K., Ulat, B.J., Zeller, G.G., Clark, R.M., Hoen, D.R., Bureau, T.E. 2009. Genome-wide SNP variation reveals relationships among landraces and modern varieties of rice. Proc. Natl. Acad. Sci. USA 106:12273 –12278. Morton, N.E. 2005. Linkage disequilibrium and association pemetaan. J. Clin. Invest. 115:1425-1430. Ouyang, Y., Huang, X., Lu, Z.,Yao, J. 2012. Genomic survey, expression profile and co- expression network analysis of OsWD40 family in rice. BMC Genomics 2012, 13:100.http:www.biomedcentral.com1471- 216413100. Tyagi, A., J.P. Khurana, P. Khurana, S. Raghuvanski, A. Gaur, A. Kapur, V. Gupta, D. Kumar, V. Ravi, S.Viji, P. Khurana, and S. Sharma. 2004. Structural Functional analysis of rice genome. J. Genetics : 83, 79- 99. Yamamoto, T., J. Yonemaru, and M. Yano. 2009. Towards the understanding of complex traits in Rice: substantially or superficially. J DNA Research: 16, 141-154 Yu, J. and E.S. Buckler. 2006. Genetic association mapping and genome organization of maize. Curr.Opin. Biotechnol, 17:155-160. 254 Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional IV, Tahun 2014 Zhao, K., Wright, M., Kimball, K.J., G. Eizenga, A. McClung, M. Kovach, W. Tyagi, L. Ali, C.-W. Tung, A. Reynolds et al. 2010 Genomic diversity and introgression in O. sativa reveal the impact of domestication and breeding on the rice genome. PLOS One 5: e10780. Zhu, C., Gore, M., Buckler, E.S., Yu, J. 2008. Status and prospects of association mapping in plants. The Plant Genome, 1: 5-20. 255 Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional IV, Tahun 2014 Penilaian Karakter Kinerja Pengguna IPTEKMAS Pada Inovasi Alat Pancing Gurita No.Paten ID S0001010 Appraisal for Character of IPTEKMAS An Octopus Fisherman Performance on The Octopus Selective Fishing Gear Innovation Paten Granded : ID S000101 Agus Cahyadi 1 1 Loka Perekayasaan Teknologi Kelautan,Jl.Ir.Soekarno Km.18 Wangi-wangi, Kabupaten Wakatobi, 93791 I N F O A R T I K E L A B S T R A C T Keywords: Selective Fishing Gear Performance Octopus Balanced Scorecard Kata Kunci: Selektif Alat tangkap Kinerja Gurita Balanced scorecard The octopus hook of ACAH or Atractor for Daily Cephalopoda is a selectivity fishing gear to capture of an octopus around coral holes . This gear is made based on naturally mimetic approach when an octopus feed or territorial defence from an other octopus population. Its technically hooked is entered to colum water of a coral holes inside when they seem an octopus high season . Commonly a number of an octopus high season is reached after last wet season. Size of average wight of an octopus is 1 to 2 kg that captured by that a gear. User of that a gear is fisherman who become a member of IPTEKMAS empowerment program have many characters regarding to consist of location, a gear setting, colum deep water and time baited. Research aims is to appraises the octopus hook of ACAH user by high and low scoring approach from the group users. By balanced scorecard method can be scored for the key performance indicators KPI based on standard of procedure, technically requirement, result quality, technically improvement and environ requirement. There are 5 five location IPTEKMAS applied which choisen regarding to feasilibilty study, an octopus captured, and sampling wight. KPI for Kaur fisherman is higest ranking and KPI for Sukabumi fisherman is lowest rangking. The result is shown that fisherman who has skill in the field to be ability to understand many parameters that determined by balanced scorecard method in other that to increase their the seaweed productivity. S A R I K A R A N G A N Alat pancing gurita ACAH atau Atraktor Cephalopoda Harian adalah alat pancing yang bersifat selektif untuk menangkap gurita di lubang-lubang karang. Alat pancing ini dibuat berdasarkan pendekatan di alam saat gurita memangsa makanan atau mempertahankan wilayahnya dari populasi gurita yang berbeda. Secara teknik pancing ditenggelamkan dalam air laut di sekitar lubang-lubang karang saat musim gurita tiba. Pada umumnya musim gurita terbanyak diperoleh setelah musim hujan berakhir. Ukuran berat antara 1-2 kg gurita yang tertangkap oleh pancing ini. Pengguna dari pancing gurita ini adalah nelayan yang dijadikan sebagai nelayan binaan IPTEKMAS ilmu dan teknologi untuk masyarakat dengan berbagai karakter yang didasarkan pada parameter lokasi, penyetelan, kedalaman dan waktu pemancingan. Tujuan dari penelitian ini adalah menilai pengguna pancing gurita melalui pendekatan pemberian skor tertinggi dan terendah dari masing-masing kelompok pengguna alat pancing gurita ACAH. Metode balanced scorecard dapat dinilai dari indikator kinerja utama IKU yang didasarkan pada prosedur standar, persyaratan teknis, kualitas hasil, perbaikan teknis dan persyaratan lingkungan, Sebanyak 5 lima lokasi penerapan IPTEKMAS yang dipilih berdasarkan studi kelayakan, hasil tangkapan gurita dan sampling berat gurita. IKU untuk nelayan Kaur menempati rangking tertinggi dan IKU untuk nelayan Sukabumi menempati rangking terendah. Hasil penelitian menunjukan bahwa nelayan yang mempunyai keterampilan di laut mampu mengerti parameter yang ditentukan oleh metode balanced scorecard sehingga hasil tangkapan gurita lebih optimal . .  Corresponding author : e-mail address: acahteklagmail.com 256 Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional IV, Tahun 2014 PENDAHULUAN Perikanan gurita merupakan bisnis baru dalam dunia perikanan Indonesia. Permintaan gurita atau cephalopoda sebagai sumber pangan kaya protein bagi masyarakat Indonesia mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Hal ini ditandai adanya tingkat pengetahuan dan daya beli di kalangan masyarakat tentang informasi gurita sebagai sumber protein dan berguna untuk mencerdaskan generasi suatu bangsa. Tingginya protein dan rendahnya kolesterol merupakan keunggulan komparatif yang terkandung pada hewan ini. Kecenderungan yang terjadi sekarang ini adalah masyarakat akan memilih dan membiasakan untuk mengkonsumsi ikan laut sebagai produk unggulan mereka. Jenis gurita mendominasi nilai ekspor dalam kurun waktu dua tahun terakhir ini. Hal ini dimungkinkan dikarenakan ketersediaan bahan bakunya mudah diperoleh oleh nelayan lokal juga harga di pasaran dunia masih cukup tinggi jika dibandingkan dengan harga ikan cakalang maupun tuna. Negara yang paling menyukai gurita produk Indonesia adalah Amerika dan Jepang. Permintaan gurita ke Jepang diekspor dalam bentuk bahan baku mentah belum diolah sementara permintaan pasar Amerika harus direbus terlebih dahulu kemudian dikemas packing dalam ukuran tertentu mulai dari 0,5 kg, 1 kg hingga ada yang mencapai 5 kg. Selain itu juga ada permintaan gurita negara-negara Eropa seperti Italia dan Spanyol. Eurofish- Octopus, 2008. Gurita adalah hewan moluska dari kelas Cephalopoda kaki hewan terletak di kepala, ordo Octopoda yang mendiami habitat karang. Gurita di dunia terdiri dari 289 spesies yang mencakup sepertiga dari total spesies kelas Cephalopoda Ladich dan Popper, 2004. Gurita dalam bahasa Inggris nama internasional disebut Octopus dan sering mengacu pada hewan dari genus Octopus. Gurita sangat cerdas dan kemungkinan merupakan hewan paling cerdas di antara semua hewan invertebtara. Kecerdasan gurita sering menjadi bahan perdebatan di kalangan ahli biologi Hamilton, G. 2008. Gurita memiliki penglihatan yang baik. Pupil gurita berbentuk seperti lubang celengan seolah-olah seperti kelainan refraksi berupa astigmat, tapi ternyata tidak. Meskipun pencahayaan yang masuk ke sistem penglihatan berkurang, namun gurita sangat gesit untuk menangkap hewan buruannya Fay dan Popper, 2000. Pada umumnya operasi penangkapan gurita dilakukan secara sengaja maupun tidak sengaja. Operasi penangkapan gurita dengan tidak sengaja ini diperoleh dari tertangkapnya gurita oleh alat tangkap ikan jaring, terperangkap atau terpancing pada alat tersebut, dan dikenal istilah hasil tangkapan sampinganby catch. Seperti alat tangkap pukat tarik udang ganda double rig shrimp trawl , pukat tarik ikan fish net, dogol termasuk lampara dasar, cantrang demersal danish seine , pukat cincin purse seine, pancing ulur hand lines, sero termasuk kelong guiding barrier, perangkap lainnya other traps, dan pancing lainnya. Sedangkan secara sengaja dikhususkan untuk menangkap gurita sebagai tangkapan utama. Beberapa negara yang mengkhususkan menangkap gurita ada yang mengoperasikan kendi gurita octopus pot atau dikenal dengan clay pots kendi tanah liat, perangkap trap dan tombak. Masing- masing alat tangkap tersebut mempunyai mekanisme pengoperasian tersendiri berdasarkan armada, jumlah tangkapan, dan daerah penangkapan gurita DPG. Sebagian besar nelayan pancing gurita hanya melakukan pencariannya dengan teknik coba-coba trial and error dengan arah dan waktu yang tidak menentu. Hal ini membuat pemborosan bahan bakar minyak BBM, waktu penangkapan tidak efisien, dan hasil tangkapan yang tidak selektif. Hasil invensi yang telah dikembangkan sejak tahun 2006, alat pancing gurita ACAH atau disingkat Atraktor Cephalopoda Harian adalah teknologi alat tangkap yang dikhususkan untuk menangkap gurita dengan mudah dan cepat Cahyadi, 2008. Alat pancing gurita ACAH merupakan atraktor yang dirancang sebagai umpan buatan dan termasuk alat tangkap yang bersifat selektif selective fishing gear. Perpaduan motif dengan berbagai warna menarik perhatian gurita untuk mendekat ke alat tersebut. Alat tangkap ini membantu optimasi penangkapan gurita dan usaha membuka wawasan serta keinginan nelayan tradisional dalam menerima teknologi baru. Kinerja alat pancing ACAH yang mengandalkan kemampuan nelayan melalui keahlian mencari dan memancing merupakan teknik utama untuk mencari hewan berkaki delapan ini. Memancing gurita tidak hanya sekedar memancing tanpa memahami faktor oseanografi lokal. Kecepatan arus dan musim peralihan dari musim panas ke musim penghujan. Pada musim ini merupakan indikator bahwa kelimpahan gurita mencapai puncaknya. Apabila tidak memahami oseanografi lokal, maka usaha memancing akan mengalami kegagalan atau tidak berhasil. Seperti halnya 257 Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional IV, Tahun 2014 saat kuatnya arus atau besarnya gelombang laut tidak memungkinkan gurita keluar dari lubang karang. Renangnya gurita tidak seperti renangnya ikan yang mengandalkan sirip melainkan melainkan dengan cara merangkak National Resource Center for Cephalopods, 2008. Kuatnya arus mengakibatkan gurita akan mudah terbawa ke kolom air laut yang lebih dalam dengan salinitas lebih tinggi dibandingkan dengan salinitas di sekitar karang. Pengoperasian alat pancing gurita ACAH telah memperoleh paten No. ID S0001010. Selain itu keunggulan penggunaan alat pancing gurita ACAH lainnya dijabarkan sebagai berikut : 1. Jumlah hasil tangkapan lebih banyak. Dengan waktu operasi penangkapan yang sama, hasil tangkap menggunakan alat tradisional mendapat 2-3 ekor, sedangkan dengan pancing gurita ACAH rata-rata memperoleh 6-7 ekor. 2. Kualitas hasil tangkapan lebih baik dan nilai jualnya menjadi lebih tinggi. Hal ini dikarenakan alat pancing gurita ACAH hanya sedikit melukai di bagian tentakel gurita dan daging gurita tetap segar. Jika menggunakan alat tangkap tradisional seperti tombak, daging gurita akan rusak. 3. Alat pancing gurita tidak membutuhkan ruang yang luas di atas kapal seperti halnya alat tangkap perangkapbubu yang membutuhkan ruang yang luas di atas kapal. 4. Mudah pengoperasiannya sehingga nelayan tidak akan mengalami kesulitan dalam menggunakan alat ini. Mengacu pada persoalan di atas, pengukuran pada kinerja nelayan ditentukan berdasarkan kriteria-kriteria yang disesuaikan dengan kinerja nelayan pada umumnya. Gambar 1 . Spesifikasi alat pancing gurita ACAH KERANGKA TEORIKERANGKA KONSEP Konsep Balanced Scorecard yang dikembangkan oleh Kaplan dan David 2001 merupakan salah satu metode pengukuran kinerja dengan memasukkan empat aspekperspektif di dalamnya yaitu Kaplan, et al 2001: 1. Financial perspective perspektif keuangan 2. Customer perspective perspektif konsumen 3. Internal bisnis perspective perspektif proses bisnis internal dan 4. Learning and growth perspective perspektif pembelajaran dan pertumbuhan Balanced Scorecard merupakan strategi bisnis yang diterapkan agar dapat dilaksanakan dan dapat mengukur keberhasilan organisasi. Balanced Scorecard bukan hanya merupakan suatu sistem pengukuran kinerja yang bersifat operasional namun dapat digunakan sebagai sistem pengelolaan terpadu, yaitu mengelola beberapa faktor yang berpengaruh secara terpadu dalam jangka panjang. Metode balanced scorecard merupakan teknik penilaian yang menyeimbangkan aspek teknis dan aspek non- teknis. Aspek teknis terkait dengan pengukuran hukum penawaran dan permintaan antara konsumen dengan produsen. Aspek non-teknis tidak terkait dengan pengukuran hukum penawaran dan permintaan suatu barang atau jasa, namun pengukurannya dititikberatkan pada sistem informasi bagi semua pekerja. Peter dan Yossi, 2000 . Menurut Mulyadi dan Setiawan 1999 Balanced Scorecard merupakan suatu sistem manajemen, pengukuran, dan pengendalian yang secara cepat, tepat dan komprehensif yang dapat memberikan pemahaman kepada manajer tentang kinerja bisnis. Pengukuran kinerja tersebut memandang unit bisnis dari empat perspektif yaitu perspektif keuangan, perspektif pelanggan, perspektif proses bisnis internal dan perspektif pembelajaran dan pertumbuhan. Balanced Scorecard dinilai cocok untuk organisasi nirlaba karena Balanced Scorecard tidak hanya menekankan pada aspek kuantitatif- finansial, tetapi juga aspek kualitatif dan nonfinansial. Hal tersebut sesuai dengan jenis organisasi nirlaba yaitu tidak menempatkan laba sebagai ukuran kinerja utama, namun pelayanan yang bersifsat kualitatif dan non keuangan Widjaja. 2000. Apabila perspektif di atas disesuaikan dengan kinerja nelayan penangkap gurita yang menggunakan alat pancing gurita ACAH pada program pemberdayaan 258 Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional IV, Tahun 2014 IPTEKMAS ilmu dan teknologi untuk masyarakat kelautan dan perikanan, maka diperlukan penyesuaian perspektif yaitu perspektif pembeli, perspektif wirausaha internal, perspektif pembelajaran dan perspektif keuangan. METODE PENELITIAN Lokasi dan waktu penelitian Penelitian difokuskan di lima lokasi program pemberdayaan IPTEKMAS ilmu dan teknologi untuk masyarakat kelautan dan perikanan dalam penerapan alat pancing gurita pada rentang waktu selama 1 tahun 2012-2013. Koordinat lokasi IPTEKMAS alat pancing gurita ACAH diperlihatkan pada Tabel 1. Tabel 1. Koordinat lokasi penerapan alat pancing gurita ACAH No. Lokasi Koordinat KRL 1 Sukabumi S 0B0B 6°5932 S : 106°3207BT 2 Wakatobi W 5 o .38’93”S ; 123 o .59’64”BT 3 Buleleng B 8 o .68’70”S ; 115 o .45’93”BT 4 Lombok L 8 o .80’69”S ; 116 o .48’63”BT 5 Kaur K 1B1B 4°4746S ; 103°2119BT Bahan Kinerja yang diukur kepada kelompok pengguna alat pancing gurita ACAH adalah ketua kelompok nelayan yang dipilih sebagai sampling penilaian. Pengambilan data masing- masing ketua kelompok dari masing-masing lokasi harus memenuhi kriteria berdasarkan umur, lamanya berkerja dan pendapatan. Volume alat pancing gurita yang disebarkan di lima lokasi mempunyai volume yang sama. Pengambilan sampling lokasi di satu lokasi dengan volume tetap menjadi acuan menilai kinerja dari nelayan di lokasi yang berbeda. Tabel 2 menunjukkan sebaran lokasi pengguna ACAH dengan pengambilan 100 sampling. Tabel 2. Sebaran volume alat pancing gurita ACAH di lokasi IPTEKMAS No. Lokasi Vol KRL Sampling 1 Sukabumi S 500 unit 100 unit 2 Wakatobi W 500 unit 100 unit 3 Buleleng B 500 unit 100 unit 4 Lombok L 500 unit 100 unit 5 Kaur K 500 unit 100 unit Kelayakan lingkungan Kelayakan lingkungan merupakan hal yang penting untuk menangkap gurita di sekitar karang. Gurita yang keluar dari lubangnya untuk mencari makanan atau mengusir pengganggu yang mendekati wilayah teritorialnya merupakan tingkah laku gurita secara umum. Apabila lubang gurita ini di rusak atau dibongkar secara paksa, gurita akan meninggalkannya dan mencari lubang karang lainnya. Karena itu gurita adalah hewan lunak yang hidupnya soliter tergantung pada daerah sekitarnya dan mencari makannya tidak jauh dari rumahnya. 1. Laju pasang surut rerata Hal yang paling menghambat dalam pertumbuhan gurita adalah kuatnya arus pasang surut yang masuk dan mengalir ke dalam lubang gurita. Gurita akan mempertahankan diri dan tidak akan mencari makannya sebelum arus pasang surut mereda atau melambat. Perhitungan laju rata-rata pasang surut adalah satuan jarak dari perahu atau kapal ke arah lubang karang dibagi dengan waktu arus yang datang atau surut saat meninggalkan ACAH. Dalam satu hari, perhitungan laju pasang surut ditentukan oleh alat pengukur portable current di delapan arah mata angin dan dihitung rerataya dalam satuan mdetik. Perhitungan laju rerata pasang surut sebagai berikut : � = ∑ �= dimana ; L r : laju rerata mdet , s : jarak titik ke ACAH m, t : waktu tempuh aliran ke pancing ACAH 2. Perhitungan berat ACAH Perhitungan berat gurita secara total dihitung berat rerata dari 100 ACAH di 5 lima lokasi IPTEKMAS. Tujuan dari perhitungan berat ini adalah mengetahui hubungan secara linear bahwa hasil tangkapan gurita barbanding lurus dengan jumlah pancing ACAH per hari. Apabila hasil tangkapan gurita selama waktu tertentu tidak terpancing oleh alat tangkap gurita secara signifikan, maka keberadaan gurita di dalam lubang karang tidak ada atau terdapat perubahan lingkungan secara alami. Untuk menghitung total berat per jumlah alat pancing gurita ACAH selama 1 satu trip 8 jam pemancingan sebagai berikut : � = ∑ � �= dimana ; W r : berat rerata gr , w : total berat gurita 259 Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional IV, Tahun 2014 3. Kedalaman surut rerata Kedalaman surut rerata adalah tinggi air yang tergenang saat surut pada periode pasang- surut dalam satuan meter di lokasi pemancingan gurita. Setiap lokasi pemancingan mempunyai kedalaman berbeda, namun penentuan kedalaman didasarkan atas kondisi umum dimana nelayan mengetahui sebaran lubang karang. 4. Rendemen rerata Rendemen gurita adalah faktor yang menentukan kadar air pada gurita segar saat proses penanganan gurita di atas kapal yang dihitung dalam satuan persentase. Perhitungan rendemen rerata ini dilakukan dengan cara mengambil sampling 100 gram per gurita lalu dikeringkan pada suhu kamar dalam waktu tertentu. Berikut perhitungan rendemen rerata dalam satuan persentase : = ∑ � - � �= × dimana ; R r : rendemen rerata , w1 : berat pada suhu kamar gr, w2 : berat hasil tangkapan gr Bobot Perspektif ACAH Teknik pembobotan digunakan untuk mengetahui tingkat kepentingan dan peranan dari tiap indikator kinerja utama IKU yang didasarkan atas perspektif alat pancing gurita ACAH, meliputi 1 persyaratan teknis, 2 persyaratan lingkungan, 3 prosedur pengguna, 4 perbaikan teknis dan 5 kualitas tangkapan gurita. Pengukuran Kinerja Balanced Scorecard Setelah melakukan perhitungan untuk tiap IKU pada empat perspektif Balanced Scorecard, maka analisis terhadap masing-masing perspektif beserta IKU untuk mengukur kinerja bisa dilakukan. Pengukuran dimulai dengan penilaian kinerja dari masing-masing IKU pada tiap perspektif Balanced Scorecard. Pengukuran dilakukan dengan memberikan skor kepada tiap IKU sesuai dengan rancangan pengukuran Balanced Scorecard yang telah dibuat sebelumnya. Bobot tiap IKU juga disertakan untuk mengukur kinerja perspektifnya dengan cara mengalikan skor dan bobot dan mencari jumlah skor terbobotnya. Hirarki Kinerja Penentuan hirarki kinerja pada pengguna alat pancing gurita ACAH di lokasi IPTEKMAS mempersyaratkan beban hirarki meliputi kelayakan lingkungan, kesesuaian metode ACAH, prosedur ACAH, penerapan ACAH, kuantifikasi hasil ACAH dan penilaian. Kesemua persyaratan hirarki kinerja tersebut harus berjalan searah untuk memastikan bahwa aliran yang diberikan beban di atas berjalan secara optimal. Berikut diagram hirarki kinerja pengguna ACAH : Gambar 2 . Diagram metode proses penilaian kinerja IPTEKMAS alat pancing gurita ACAH HASIL DAN PEMBAHASAN Kriteria untuk menentukan kinerja penggunaan alat pancing ACAH di lokasi IPTEKMAS dijelaskan sebagai berikut :

1. Persyaratan teknis

Persyaratan teknis adalah kinerja untuk melakukan penyetelan alat pancing gurita di daerah penangkapan gurita DPG yang meliputi handline, longline dan perangkap trap. Persyaratan teknis harus mengacu kepada fungsi alat pancing gurita sebagai berikut:  Subjek pengguna alat pancing gurita ACAH adalah perorangan. Peorangan yang dimaksud adalah nelayan yang mengoperasikan alat pancing gurita ACAH di atas kapal.  Penentuan daerah penangkapan yang banyak disukai gurita di lubang karang. Alat ACAH tidak direkomendasikan lebih dekat sekitar lubang karang. Hal ini dikarenakan dapat tersangkut di lubang karang dan dengan sendirinya gurita berusaha melepaskan diri dari alat ACAH ini. Jika terjadi hal demikian, maka alat ini akan tersangkut di karang dan akhirnya salah satu bagian dari alat ini rusak. Oleh karenanya jarak jangkuan yang direkomendasikan adalah 20 meter dari daerah karang. Penerapan ACAH Kelayakan lingkungan Kesesuaian metode ACAH Kuantifikasi hasil ACAH Penilaian SOP ACAH 260 Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional IV, Tahun 2014 Metode pengoperasian alat pancing gurita ACAH dengan cara menenggelamkannya secara perlahan dan tidak menyentuh subtrat dasar laut. Alat pancing gurita ACAH dapat juga dioperasikan secara hanyut drift dengan menambatkan pada pelampung dan dibiarkan hanyut mengikuti arus laut. Apabila pelampungnya berhenti dan terlihat turun naik, menandakan pancing ACAH terkena gurita.

2. Persyaratan lingkungan

Persyaratan lingkungan adalah kinerja untuk memperlakukan penyetelan alat pancing gurita ACAH yang didasarkan atas faktor kuat arus di sekitar lubang karang dan musim. Pengguna yang dinilai adalah nelayan dengan ketentuan umur, lama bekerja dan pendapatan rata-rata dari perjualan berat gurita. Batasan umur merupakan hal yang mempengaruhi kinerja dalam menentukan kematangan berpikir, bertindak dan kemampuan mengeksekusi suatu masalah di daerah penangkapan gurita DPG. Batasan umur petani di atas 19 sampai 40 tahun. Lama bekerja di bidangnya minimal satu tahun untuk memahami faktor teknis, non-teknis maupun faktor lingkungan yang mempengaruhi terhadap hasil tangkapan gurita. Dikarenakan musim di Indonesia mengalami dua musim, yaitu musim barat dan musim timur dalam satu tahun, maka musim gurita terjadi pada musim peralihan dalam satu tahun, yaitu pergantian dari musim kemarau masuk ke musim penghujan. Musim ini terjadi puncaknya di pertengahan bulan Oktober sampai dengan Desember. Fenomena yang terjadi bahwa nelayan memahami persoalan menyangkut waktu pemijahan bertelur, pembesaran dan pascapanen gurita. Penjualan gurita segar dengan alat pancing gurita ACAH dikemas dalam plastik untuk membantu meningkatkan nilai jual gurita. Pemahaman analisis pembiayaan meliputi operasional, pemeliharaan dan keuntungan usaha. Namun sebelum dilakukan pengukuran kinerja nelayan gurita sebelum menangkap gurita dengan cara dipancing, terlebih dahulu dilakukan survei kelayakan lingkungan. Hal ini bertujuan untuk mengeliminir beberapa faktor bahwa penerapan teknologi tepat guna seperti alat pancing gurita ACAH ini harus mempertimbangan persoalan lingkungan laut. Hal ini bertujuan apabila terjadi kekurangan atau kegagalan hasil tangkapan gurita tidak dipermasalahkan semata-mata pada kesalahan teknologi alat pancing guritanya. Namun ada faktor lain yang mempengaruhi hasil tangkapan yang meliputi tiga hal, yaitu: 1. Lubang karang Lubang karang merupakan habitat dimana guria menetap yang terbentuk oleh proses pengikisan air laut, patahan karang akibat abrasi laut atau bekas pertumbuhan karang lunak yang meninggalkan sisa lubang bekas tumbuh. Lubang karang ini secara menjadi rumah bagi gurita yang mempunyai suhu ruang yang hangat antara 29-30 O C, volume yang cukup untuk melingkarkan kedelapan tentakel dan permukaan ruang dalam yang kasar untuk menempelkan telur-telurnya. 2. Aliran arus pasang surut Pasang surut mempunyai tiga tipe, yaitu diurnal, semidiurnal dan campuran. Dari kelima lokasi hanya terdapat satu tipe, yaitu semidiurnal dan sisanya diurnal. Pasang surut diurnal adalah tipe aliran air laut yang terjadi dalam satu hari 24 jam terjadi satu kali air naik saat pasang dan satu kali air saat surut. Dalam setiap tahunnya periode terjadi pergantian pasang dan surut baik tipe semidiurnal maupun diurnal yang mengikuti peredaran bulan. Pola pergantian air naik saat pasang mengikuti terbitnya bulan dan pola pergantian air turun saat surut mengikuti terbenamnya bulan. Selain itu pergantian saat air naikpasang maupun saat air surut juga dipengaruhi oleh dasar perairan dan topografi pantai. Semakin landai topografi pantainya maka pergantian air pasang-surut menghasilkan laju aliran air yang lambat, yaitu di bawah 0.1 mdet. Begitupun sebaliknya, semakin curam topografi pantai maka pergantian air pasang-surut menghasilkan laju aliran air yang cepat atau deras, yaitu di atas 0.1 mdet. Pergantian air pasang-surut untuk tipe diurnal dan semidiurnal mempengaruhi lamanya air yang menggenangi pantai. Pergantian air pasang-surut memasuki ke lubang-lubang karang dimana gurita tinggal. Sudah barang tentu tipe diurnal merupakan tipe pasang surut yang menggenangi air lebih lama saat pasang dan mengosongkan air laut lama saat surut. Untuk usaha tangkapan gurita, tipe diurnal sesuai dengan keberadaan gurita menetap. Berbeda dengan tipe semidiurnal yang pergantian air pasang-surut lebih pendek periodenya. Hal ini mengakibatkan lubang gurita lebih cepat kotor atau terisi oleh lumpur atau pasir lebih cepat karena aliran pasang-surut. 3. Penetrasi matahari Gurita merupakan hewan nokturnal, hewan air yang hidup pada malam hari ini atau menyukai kondisi gelap. Sinar matahari menjadi hambatan untuk keluar dari lubangnya dan cenderung untuk keluar saat posisi matahari sudah condong ke arah barat atau saat matahari 261 Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional IV, Tahun 2014 tertutup awan. Gurita tidak menyukai air laut yang suhunya naik secara fluktuatif. Saat matahari menembus perairan dimana gurita ke luar dari lubangnya, maka gurita akan menyesuaikan dengan lingkungan sekitarnya. Tingkah laku ini dinamakan kamuflase atau melakukan penyamaran terhadap kondisi sekitarnya. 3. Prosedur pengguna ACAH Prosedur penggunaan adalah kinerja untuk memperlakukan alat pancing ACAH sebagai alat tangkap ikan yang dioperasikan pada siang hari 8 jam pada musim gurita. Prosedur ini meliputi tahap pemeliharaan, pasca penanganan di darat dan upaya perbaikan alat pancing gurita ACAH setelah pemakaian. Prosedur pengguna ACAH harus memperhatikan empat kriteria sebagai berikut: 1. Pancing gurita ACAH digunakan untuk memancing gurita dalam kondisi hidup dan tidak merusak karang. 2. Gurita yang terpancing dapat dilepaskan kembali jika beratnya gurita di bawah 1 kilogram. Hal ini dimaksudkan agar gurita dapat tumbuh besar untuk siap dipancing kembali dan memenuhi berat standar pasar gurita. 3. Pancing gurita ACAH dioperasikan di sekitar lubang karang dengan kedalaman sekitar 5-15 meter. 4. Janganlah merusak lubang karang dimana gurita hidup. Lubang karang ini akan diisi kembali oleh gurita lain sehingga gurita dapat dipancing kembali.

4. Perbaikan teknis

Perbaikan teknis adalah kinerja yang dilakukan terhadap penyetelan pancing gurita ACAH manakala terjadi penyesuaian terhadap tingkah laku gurita. Kinerja yang harus dilakukan pada perbaikan teknis meliputi pemindahan lokasi, pengukuran lokasi dan modifikasi pancing ACAH baik secara total maupun sebagian dari konfigurasi pancing ACAH yang ada. Agar kinerja perbaikan teknis berkerja secara efektif, tahapan yang harus dilakukan meliputi: 1. Alat pancing gurita ACAH harus terikat kuat agar tidak terlepas saat gurita tertangkap hingga terkena mata pancing. Gunakan tali pancing berukuran lebih besar, biasanya digunakan untuk memancing ikan-ikan berukuran besar. 2. Saat akan memancing gurita di sekitar karang, pastikan terdapat lubang karang yaitu dengan melihat di atas kapal perbedaan warna air yang menunjukan perbedaan kedalaman. Atau terdapat tubir pantai yang landai maupun curam yang memungkinkan pancing gurita tidak dapat tersangkut pada karang saat menggerakannya untuk menarik perhatian gurita keluar dari lubang karang. 3. Pastikan arus laut tenang atau saat air laut kondisi pasang menggenangi sekitar karang. Adanya arus laut ini mempengaruhi cara pemancingan gurita yang berakibat pancing gurita dapat terlilit dengan tali pancing sehingga posisi mata pancing yang berfungsi untuk menjerat tidak dalam kondisi normal. Untuk mengatasi kondisi ini diusahakan berpindah lokasi atau menambahkan sejumlah pemberat pada pancing gurita. Caranya membuka klem pada badan pancing untuk diisikan pemberat berupa timah yang dipanaskan hingga keseluruhan bagian dalam bodi pancing terisi dengan timah. 4. Agar supaya awet dalam pemakaian pancing gurita, setelah memakainya bilas dengan air tawar atau merendamnya selama kurang lebih 15 menit. Hal ini diharapkan proses korosi pada komponen pancing gurita ACAH tidak mengalami kerusakan permanen. 5. Kualitas tangkapan Kualitas tangkapan gurita adalah kinerja dalam pemilihan hasil akhir dari penggunaan ACAH dengan melihat secara visual dan lolos dari seleksi penjualan di pasar gurita. Gambar 3. Program IPTEKMAS penerapan alat pancing gurita ACAH dengan metode handline 262 Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional IV, Tahun 2014 Gambar 4. Hasil tangkapan gurita dengan menggunakan alat pancing gurita ACAH Tabel 3. Penilaian kinerja IPTEKMAS pada nelayan pengguna alat pancing gurita ACAH No. Skor Kriteria Skor definitif = 5 Skor IKU skor maks = 3 skor min = 1 Bobot nilai mks = 15, nilai min = 5 1 Persyaratan teknis 5 handline 3, perangkap 3, longline 3 S= 5 W= 10 B=10 L=10 K=15 2 Persyaratan lingkungan, 5 Lubang karang 3, arus tenang 3, musim 3 S= 5 W= 10 B=10 L=5 K=15 3 Prosedur penggunaan 5 Waktu penggunaan 3, Pemeliharaan 3, perbaikan 3 S= 10 W= 10 B=10 L=10 K=10 4 Perbaikan teknis 5 Pemindahan lokasi 3, pengukuran lokasi 3, modifikasi 3 S= 5 W= 10 B=5 L=5 K=15 5 Kualitas tangkapan gurita 5 Berat 1 kg 3, daging gurita segar 30, 3 pasca penanganan 3 S= 5 W= 10 B=5 L=10 K=15 Tabel 4. Pengukuran rata-rata kecepatan arus pasang surut di 5 lima lokasi IPTEKMAS No. Lokasi Kec arus dan tipe pasut mdet 1 Sukabumi S 0.2 diurnal 2 Wakatobi W 0.2 semidiurnal 3 Buleleng B 0.2 diurnal 4 Lombok L 0.15 diurnal 5 Kaur K 0.1 diurnal Berdasarkan pengukuran balanced scorecard kinerja nelayan penangkap gurita dengan menggunakan pancing gurita ACAH yang memiliki skor tertinggi sampai dengan terendah diurutkan dari Kabupaten Sukabumi, Wakatobi, Buleleng, Lombok, dan Kaur. Penentuan penilaian kinerja nelayan dari lima lokasi, Kabupaten Kaur menempati skor teratas Kinerja nelayan Kaur mampu mengetahui dan memahami penerapan di metode handline, longline dan perangkap. Meskipun untuk metode perangkap tidak banyak dilakukan oleh nelayan daerah ini. Meskipun metode ini tidak memperoleh hasil tangkapan gurita, namun metode ini tetap dilaksanakan dengan baik. Sedangkan skor kinerja nelayan Sukabumi menempati nilai terendah, karena dalam persyaratan teknis hanya melakukan metode handline saja. Sedangkan kedua metode tidak dilakukan dengan alasan secara umum menyatakan tidak perlu. Persyaratan lingkungan untuk kinerja pancing gurita Kabupaten Kaur menempati skor tertinggi dengan alasan bahwa penentuan lokasi daerah penangkapan gurita DPG dilakukan di sekitar lubang karang dan aliran arus pasang- surutnya yang tenang. Sedangkan untuk kinerja nelayan Sukabumi menempati skor terendah. Operasi pemancingnya tidak berada di lubang karang dan aliran arus pasang surut sangat kuat. Selain itu kedalaman pemancingan tidak lebih dalam hingga penetrasi matahari mempengaruhi tidak keluarnya gurita dari lubang karang dikarenakan tingkah lakunya tidak menyukai cahaya matahari. Oleh karena itu, gurita juga tidak tertarik pada alat pancing gurita ACAH meskipun alat tersebut berjarak 1 meter dari lubang karang. 263 Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional IV, Tahun 2014 Prosedur penggunaan pancing ACAH baik yang dilakukan oleh kinerja nelayan Kaur maupun kinerja nelayan Sukabumi mempunyai kinerja yang sama. Hal ini dapat dimengerti bahwa pemahaman akan prosedur penggunaan pancing ACAH tidak terlalu rumit dan mudah untuk diterapkan. Perbaikan teknis untuk kinerja nelayan Kaur menempati skor tertinggi dengan alasan pemindahan lokasi dilakukan secara cepat tanpa ada perintah atau aturan yang mengikat sehingga pemancingan ulang dilakukan di derah pemancingan yang berbeda. Hal yang sama juga dilakukan apabila pancing ACAH mengalami kerusakan secara siginifikan, kinerja nelayan Kaur secara intens memperbaikinya. Sedangkan kinerja nelayan Sukabumi menempati skor terendah. Hal ini didasarkan kegiatan perbaikan teknis tidak dilakukan secara intensif sehingga mengakibatkan ada alat pancing gurita ACAH sudah tidak dapat digunakan kembali. Tabel 5. Matriks persyaratan lingkungan pancing gurita ACAH di lokasi IPTEKMAS Kualitas tangkapan gurita yang dihasilkan dari kinerja nelayan Kaur mempunyai skor tertinggi dan skor terendah dihasilkan dari kinerja nelayan Sukabumi. Hal ini dibuktikan dari rendemen rerata daging gurita 65. Dengan rendemen ini menunjukan bahwa perlakuan pada daging gurita oleh kinerja nelayan Kaur diperlakukan dengan baik dari mulai persyaratan teknis sampai perbaikan teknis dilakukan dengan baik dan benar. PENUTUP Saat ini alat untuk menangkap gurita yang umum digunakan adalah alat tangkap clay pots kendi tanah liat, tombak, dan trap perangkap. Clay pots dan trap tidak banyak digunakan oleh nelayan di Indonesia, dikarenakan kompleksitas di dalam operasi penangkapan. Alat tangkap tombak yang banyak digunakan. Namun kendalanya adalah harus menyelam dengan cara memasukan tombakpengait ke lubang-lubang karang sehingga tidak sedikit karang yang rusak. Pengembangan alat tangkap gurita berupa pancing belum pernah diujicoba. Oleh karena itu inovasi diarahkan kepada penemuan dan pengembangan alat pancing gurita ACAH dengan mengedepankan pendekatan fisiologi gurita melalui indera penglihatan dan respon akustik yang diinderanya Fay, 1988. Jumlah hasil tangkapan lebih banyak. Dengan waktu operasi penangkapan yang sama, jumlah hasil tangkap menggunakan alat tradisional mendapat 2-3 ekor, sedangkan dengan pancing gurita 6-7 ekor. Penerapan alat pancing gurita ACAH dipilih sebagai teknologi tepat guna untuk menangkap gurita di sekitar lubang karan agar cara-cara merusak dengan merusak karang dapat dihindari sehingga kelestarian sumberdaya karang terjaga. Pengukuran kinerja dengan metode balanced scorecard pada pengguna pancing gurita ACAH merupakan hal baru untuk mengukur kinerja yang sebelumnya hanya diberlakukan pada organisasi yang mempunyai kapasitas dan manajemen terstruktur. Oleh sebab itu metode ini dicobakan untuk mengukur kepada kinerja nelayan pengguna ACAH sebagai alat baru penangkapan ikan yang selektif dengan beberapa kriteria yang disesuaikan sehingga pengukurannya tidak berlebihan dan menjadi input untuk menilai suatu teknologi baru. Penyesuaian kriteria didefiniskan sebagai suatu upaya bahwa metode ini mampu diterapkan pada skala yang lebih tidak terstuktur secara organisasi maupun secara manajemen. Kriterianya meliputi persyaratan teknis, persyaratan lingkungan, prosedur pengguna, perbaikan teknis dan kualitas tangkapan gurita. Penentuan kriteria tidak selamanya dinilai secara subjektif, namun ada kriteria yang harus diukur melalui pendekatan data-data empiris hasil penelitian dan survei. Masing-masing kriteria melalui pendekatan tertentu diberikan skor dan bobot dengan tujuan memperoleh nilai secara kualitatif dan interpretasi kriteria dapat dijelaskan secara objektif. Dengan nilai kriteria dari lima lokasi yang dipilih, yaitu Kabupaten Sukabumi Pelabuhan Ratu, Wakatobi, Buleleng Bali, Lombok, dan Kabupaten Kaur Bengkulu pada program IPTEKMAS dapat menjadi acuan atau referensi dalam mengukur No. Lokasi Berat gr Laju pasut mdet kedalaman surut m Rendemen 1 2 3 4 1 Sukabumi S 500 0.2 3 47 2 Wakatobi W 720 0.2 2.5 53 3 Buleleng L 950 0.15 2 55 4 Lombok T 750 0.1 1.75 60 5 Kaur K 1500 0.1 1.5 65 264 Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional IV, Tahun 2014 kinerja nelayan terhadap teknologi tepat guna di Indonesia. UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terima kasih diberikan kepada kepala Dinas kelautan dan perikanan KP kabupaten Wakatobi, kepala Dinas KP kabupaten Lombok Timur, kepala Dinas KP kabupaten Buleleng Bali, kepala Dinas KP kabupaten Sukabumi Jawa Barat, dan kepala Dinas KP kabupaten Kaur, Bengkulu yang telah memfasilitasi dan aktif berpartisipasi mensukseskan program IPTEKMAS alat pancing gurita ACAH pada tahun 2012-2013. DAFTAR PUSTAKA Cahyadi, A. 2008. Alat Pancing Gurita. Dokumen Paten HKI Nomor ID.S0001010. Direktorat Paten, Kemhuham. Jakarta. Eurofish-Octopus. 2008. www.euro-fish.com diacu pada tanggal 1 Maret 2014. Fay, R. R. 1988. Hearing in Vertebrates, A Psychophysics Databook. Hill-Fay Assoc., Winnetka. New York. Fay, R. R. and Popper, A. N. 2000. Evolution of Hearing in Vertebrates: The Inner Ears and Processing. Springer- Verlag. New York. Hamilton, G. 2008. What is This Octopus Thinking ?www. fortunecity.com diacu tanggal 3 Maret 2014 Kaplan, R. S. and David P. N. 2001. Transforming the Balanced Scorecard from Performance Measurement to Strategic Management: Part I, Accounting Horizons. Ladich, F., and Popper, A. N. 2004. Parallel Evolution in Fish Hearing Organs. In Evolution of the Vertebrate Auditory System. Springer- Verlag. New York. Mulyadi dan Setiawan. 1999. Sistem Perencanaan Pengendalian Manajemen. Edisi Pertama. Aditya Media. Jakarta. National Resource Center for Cephalopods. 2008. diacu tanggal Maret 2014. Peter, R., and Yosi P. 2000. Balanced Scorecard : Menerapkan Strategi Menjadi Aksi. Penerbit Erlangga. Jakarta. Widjaja, A. T. 2000. Pengukuran Kinerja dengan Balanced Scorecard. Harvarindo Press. Jakarta.