legislasi hanya menunjang, DPD tidak mempunyai kekuasaan untuk memutuskan atau berperan dalam proses pengambilan
keputusan. Hal ini sama sekali tidak sebanding dengan persyaratan dukungan untuk menjadi anggota DPD, dengan kata
lain kualitas legitimasi anggota DPD tidak diimbangi secara sepadan oleh kualitas kewenangannya. Kedudukan DPD sebagai
auxiliary body semakin diperkuat dengan adanya pasal 20 ayat 1 dan pasal 20A ayat 1 yang menyebutkan secara eksplisit
bahwa DPR memegang kekuasaan membentuk undang - undang serta memiliki fungsi legislasi, anggaran, dan fungsi pengawasan
sedangkan dalam UUD tidak ada satupun pasal yang menyebutkan bahwa DPD mempunyai kewenangan, sebab dalam
konteks politik “KEWENANGAN” berarti dapat mengambil keputusan politik. Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie S.H. menyebut
DPD sebagai co-legislator dan Dr. Kuntana Magnar S.H. M.H dalam tulisannya yang dipaparkan dalam Focus Group
Discussion menyebutkan secara tegas bahwa DPD termasuk dalam kategori “lembaga Negara yang melayani”. Selain itu DPD
juga sering disebut - sebut sebagai lembaga Negara dengan wewenang terbatas, namun sebagaimana diungkapkan oleh
Bivitri Susanti; “adalah tidak tepat mengatakan” DPD dengan wewenang terbatas “sebab sebenarnya DPD tidak mempunyai
wewenang apapun, sebab dalam konteks politik, kewenangan selalu diartikan sebagai wewenang dalam mengambil keputusan
politik”.
G. Rekaman Beberapa Usulan terhadap Keberadaan DPD-RI
Berikut ini beberapa rekaman tim peneliti dalam kegiatan Focus Group Discussion FGD :
1. Bpk. Victor MailangkayAnggota DPRD Provinsi Sulawesi Utara selama 5 periode berturut-turut
Mencermati UUD yang mengatur tentang DPR RI, dimana salah satu pasalnya menyebutkan bahwa jumlah anggota DPR RI setiap provinsi sama dan
tidak lebih dari 13 jumlah anggota DPR. Dalam UU tentang susunan kedudukan dimana anggota DPR RI itu hanya 550 anggota DPR RI atau 33x4 hanya sekitar
134. Bila kita bandingkan dengan DPD RI yang maksimalnya 13 maka jumlahnya ini masih terlalu rendah bahkan ¼ dibandingkan UU yang baru
menyebutkan, UU Pemilu DPR RI jumlahnya bertambah 10 menjadi 560 sementara DPD RI tetap 4 setiap provinsi. Kami ingin menyampaikan bahwa
kalau boleh jumlahnya minimal 5-lah setiap provinsi. Kalau toh 5 cuma 165
58
itupun belum mencapai 13 dari jumlah DPR RI, dalam catatan kecil kami mengenai jumlahnya.
Yang kedua tentang eksistensi DPD RI, tapi jika dilihat bahwa eksistensi DPD perlu kita kaji secara cermat. Saya menawarkan 3 opsi tentang eksistensi
DPD RI: 1.
Kalau disebutkan DPD mempunyai fungsi legislasi, pertimbangan dan pengawasan, sesungguhnya DPD RI ini hanya ada fungsi pertimbangan.
Kalau legislasi, kuasi legislasi, seolah-olah mempunyai fungsi legislasi tapi sesungguhnya DPD RI tidak mempunyai fungsi legislasi. Sebagian tidak
membuat UU yang buat DPR RI, jadi kuasi seolah-olah mempunyai fungsi tapi sesungguhnya tidak, kemudian fungsi pengawasan juga, DPD RI ini
kuasi pengawasan, karena apa kalau suatu lembaga parlemen mempunyai fungsi pengawasan maka melekat padanya dua hak parlementer yaitu hak
interpelasi seperti ada pada DPR RI, mengoreksi kebijakan pemerintah dari hasil pengawasannya kalau ada yang tidak benar, atau hak angket jika terjadi
indikasi penyimpangan misalnya, tapi yang punya hak ini cuma DPR RI, DPD RI tidak punya hak interpelasi dan juga tidak punya angket. Jadi kuasi
pengawasan dia cuma mengawasi, menyerahkan kepada DPR RI, jadi bukan fungsi pengawasan, seolah-olah mengawasi tapi tidak punya kekuatan, kuasa
pengawasan, berbeda dengan DPR RI karena dia dilengkapi dengan hak interpelasi, kalau dia awasi dan ternyata kebijakan pemerintah ini keliru, itu
kuasanya, atau dia gunakan hak angket, jika ternyata kebijakan dan unsur pelanggarannya. Nah dalam kaitan dengan peran atau fungsi DPD RI ini
kami tawarkan 3 opsi untuk didiskusikan : 1
Dibubarkan saja DPD RI ini, karena sesungguhnya dia tidak menjalankan fungsi sebagai suatu lembaga parlemen, kalau kita lihat ini
dengan sistem bicameral sebetulnya historisnya kalau kita lihat, DPD RI ini pengembangan dan utusan daerah dalam MPR. Tetapi kalau kita
telesuri sejarah pembuatan UUD 1945, pemikiran dimasukkan dengan utusan daerah ini, kelompok-kelompok fungsional yang belum terkafer
dalam utusan DPR yang menjadi anggota MPR dari partai politik, mengapa? agar supaya ada pemikiran-pemikiran dalam dua hal,
pembuatan UUD dan perubahan bisa diakomodir dan kelompok non
59
partai politik dan yang kedua dalam pembuatan GBHN, karena dibanding partner kita menganut dalam UUD 1945 dan Pancasila sila ke-
4, indirect demokrasi dan direct demokrasi, nah ketika kita masuk pada indirect demokrasi, maka fungsi pembuatan GBHN tidak relevan lagi,
sehingga kalau tidak relevan lagi karena presiden dipilih langsung dan presiden bertanggung jawab kepada rakyat, di mana visi-misi presiden
itulah yang menjadi pedoman presiden dalam 5 tahun kedepan. Dalam DPD yang ada hanya fungsi pertimbangan, nah kalau
pertimbangan rakyat biasapun bisa memberikan pertimbangan, soal didengar dan tidak didengar oleh DPR RI itu soal lain, tapi torang pun
boleh memberikan pertimbangan, kirim ke DPR RI, soal di dengar atau tidak itu soal lain, yang penting sah.
2 Amandemen UUD 1945 kita jadikan DPD RI dalam sistem strong
bicameral system, jadi fungsi DPD RI membicarakan tentang kepentingan daerah, dia punya hak legislasi juga, dia punya hak
pengawasan, maka harus dilengkapi. 3
Yang sama-sama kita upayakan, yaitu mengoptimalkan peran DPD RI sesuai dengan UUD 1945 dan UU lainnya. Maka 3 opsi ini yang pas
untuk kita lakukan dari 3 pilihan ini, mungkin kita lebih cenderung mengambil langkah kompromi yaitu mengoptimalkan peran DPD RI
sesuai dengan UUD 1945 yang berlaku sekarang.
Kemudian DPD RI ini, kami melihat dan membaca bahwa DPD RI hanya bersidang di ibukota negara, kalau dia tidak bersidang, kemana dia akan kembali
ke daerah? Kami usulkan tolong didiskusikan supaya DPD RI ini ada kantor di ibukota provinsi, nah mungkin kantor ini juga bersamaan juga ada semacam
bagian dari law center antara pusat dan daerah, provinsi ibukota provinsi untuk menerima berbagai aspirasi dari masyarakat. Gunanya untuk membantu suatu
rapat bersama dengan DPR provinsi secara periodik dengan DPRD kabupaten kota dengan gubernur dan dengan Bupati, walikota, dalam rangka menyerap dan
memperjuangkan aspirasi rakyat, kemudian keberadaan DPD RI dalam memperjuangkan aspirasi daerah ini, seperti kepada semangat besar tenaga
kurang, karena apa dia sampai saja memberikan pertimbangan. Barangkali
60
mengoptimalkan perjuangan dia untuk aspirasi daerah dalam hal anggaran, lewat APBN sehingga ada pertambahan, kalau sekarang cuma 25 dana APBN itu
didistribusikan menjadi belanja untuk provinsi dan kabupaten kota. Mungkin ke depan kita bisa memperjuangkan lewat DPD RI supaya dia dapat menambah
bukan cuma 25, bisa 30-35 dari pendapatan ini menjadi bagian dari belanja untuk provinsi dan kabupaten kota dalam bentuk DAU, disamping ada DAK dan
anggaran-anggaran tugas pembantuan dan anggaran dekonsentrasi. Bagaimana ini bisa diperjuangkan? Kita harapkan agar pertumbuhan-
pertumbuhan berkala periodik, antara DPD dan DPRD, DPD dan gubernur, juga wakil walikota dan DPRD kabupaten kota untuk menyerap aspirasi yang
diperjuangkan. Kemudian, dalam hal memperjuangkan pemanfaatan SDA, yang kita
rasakan selama ini bahwa pemanfaatan SDA, limbahnya ditampung oleh daerah, manfaatnya disedot ke pusat. Nah bagaimana kalau ini bisa diperjuangkan,
memang ada UU No. 33 tentang perimbangan, porsinya diperbesar, inipun diharapkan dapat diperjuangkan, hanya kalau ini diperjuangkan maka fungsi
DPD perlu ditingkatkan, pemberian pertimbangan DPD pada pembahasan APBN tidak saja pada pembahasan tahap I tapi kalau boleh sampai pada
pembahasan tahap II, tahap III, dan tahap IV supaya dia dapat mengawal terus apa yang diaspirasikan oleh daerah untuk diperjuangkan. Jika hanya sekedar ikut
dalam pembahasan tahap I, dia tidak tahu dalam pembahasan RAPBN tahap II, III bahkan tahap IV, satu masuk dua tercecer, akhirnya dia tidak bisa mengawal
perjuangan aspirasi daerah. Dalam kaitan dengan pembuatan UU yang berkaitan dengan fungsinya,
SDA, sumber daya ekonomi lainnya, UU otonomi daerah, berikutnya aspirasi- aspirasi pemekaran sebaiknya pandangan ini didiskusikan, jangan langsung ke
DPR RI Komisi 2, lewat DPD RI diberikan kajiannya, kalau DPRD, DPD RI merasa perlu bahwa itu dapat diteruskan ke DPR RI, yang terjadi sekarang
Pemekaran-pemekaran wilayah memang ada dampak positifnya, tapi sulit, ini hanya mengejar target-target politik, sementara pemekaran wilayahnya ini
diharapkan boleh memberikan percepatan, pelayanan yang lebih dekat dengan masyarakat, tentunya dengan pertumbuhan ekonomi di sana, tetapi jika kita lihat
PAD-PAD asli dari kota yang dimekarkan ternyata tidak naik secara signifikan,
61
mungkin daerah Pemekaran ini PAD-nya paling tinggi 15 dari seluruh pendapatan yang ada di kabupaten kota. Diharapkan dengan Pemekaran ini bisa
membuat ekonomi daerah lebih maju, lewat DPD ini. Yang terakhir tentang peran DPD dalam melakukan pengawasan, dalam
pelaksanaan aspirasi daerah. Jadi aspirasi daerah bisa disampaikan, tapi bagaimana dia mengawasi agar itu bermuara dalam bentuk UU itu menjadi
kewajiban dia. Nah pelaksanaan juga UU itu di daerah, DPD perlu mengawasi, pengawasan ini dalam pelaksanaannya kami ingin kalau boleh dilibatkan DPR di
provinsi, DPRD kabupaten kota, juga kepala daerah provinsi dan pemerintah kabupaten kota. Saya kira ini catatan kecil yang perlu disampaikan sehubungan
dengan peran DPD RI dalam memperjuangkan dan mengawasi daerah, baik dalam penerangan, pelaksanaan penerangan dan pengawasan. Demikian, terima
kasih.
2. Bpk. Prof. Dr. Drs. Madjid Abdullah, SH, MHMantan Wakil Gubernur