E. Dinamika Tuntutan Pemerataan Pembangunan Kesejahteraan Masyarakat
Kita tidak sepenuhnya dapat menyalahkan Pemerintah Pusat dengan perkembangan sistim ketatanegaraan sekarang yang, karena ada beberapa hal
yang menghambat pembangunan selama ini, sehingga Indonesia tertinggal jauh dibandingkan dengan beberapa negara berkembang lainnya. Model yang
berkembang seiring dengan reformasi dimana diantaranya telah ada DPD RI merupakan lembaga negara yang telah ditetapkan dengan dasar negara. Hal ini
memberi peluang untuk mengatasi persoalan-persoalan yang selama ini belum terpecahkan khususnya ketertinggalan pembangunan yang berada di daera-
daerah tertentu. Kalau DPR belum secara spesifik di atur dalam UUD untuk
memperjuangkan daerah tetapi DPD memang spesifik untuk itu, kenapa dibentuk DPD karena keluhan yang kurang diperhatikan oleh daerah-daerah, dan
itu muncul dalam tuntutan-tuntutan pada rentetan sejarah reformasi. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Efektifitas dalam memperjuangkan selama
ini belum teratasi melalui DPR. Dalam pemilihan umum PEMILU warga memilih DPR menurut daerah pemilihan DAPIL, tetapi masih banyak DAPIL
yang belum merasakan pemerataan pembangunan. Oleh warga setempat bertanya bahwa sesunggunya DPR terpilih pada dapil itu apa yang sudah dibuat.
Hal ini memberi kesan sesungguhnya anggota DPR pada DAPIL tertinggal telah melakukan apa. Daerah sampel pulau-pulau bagian Utara Sulawesi masih sangat
tertinggal, kecenderungan kedekatan warga setempat bukan pada Indonesia tetapi pada negara tetangga. Kita dapat saja berkata bahwa di negara maju ada
juga daerah tertinggal, tetapi dinegara maju daerah tertinggal tidak terlintas untuk memisahkan diri. Perhatian Pemerintah Pusat sangat penting, diharapkan
DPD menjadi telingah, mata, hati untuk mendengar, melihat, merasakan dan memperjuangkan kebutuhan masyarakat di daerah pada pemerintah pusat.
G. DPD dan Harapan Masyarakat di Daerah
Sejak diperkenalkan kepada publik pada perubahan ketiga UUD 1945 tahun 2001, Dewan Perwakilan Daerah DPD sudah menjadi perdebatan publik
yang mengarah pada fungsi dan kewenangan DPD; sejauh mana DPD sebagai lembaga baru di dalam tubuh lembaga parlemen berperan dalam
54
mengartikulasikan suara-suara dari daerah di pusat dan seluas mana kewenangannya dalam pengambilan keputusan soal legislasi di parlemen
7
. Ada banyak harapan, terutama dari suara-suara daerah yang sekian lama
tenggelam di hadapan kepentingan pemerintah pusat, ketika lembaga DPD diciptakan. Dengan merombak struktur perwakilan Indonesia menjadi dua kamar
bikameral - dengan posisi DPD sebagai kamar kedua second chamber di tubuh parlemen Indonesia - dan meradikalisasi proses pemilihan anggota secara
langsung, lembaga DPD diharapkan lebih dari sekedar lembaga perwakilan “pura-pura”. Harapan lain dari kemunculan DPD, terlepas dari kuat atau
lemahnya fungsi yang diembannya, adalah kontribusinya dalam menstimulasi secara positif kemajuan demokrasi di Indonesia, terutama keterwakilan suara
daerah dalam kebijakan yang berpihak pada warga negara, yang lebih banyak berada di daerah.
Namun dalam perkembangannya, harapan yang diemban kepada para “senator” tidak bisa terwujud karena terbentur oleh berbagai yang diciptakan
oleh anggota lembaga perwakilan dari partai politik, yang “terkesan” oleh beberapa penulis tidak akan merelakan kewenangannya diambil begitu saja oleh
para wakil rakyat dari non partai ini. Ada Beberapa pasal dalam UUD yang tak memberi ruang gerak politik
bagi anggota DPD untuk memposisikan diri sebagai wakil rakyat secara sempurna. Pertama, pasal 22C UUD 1945, jumlah anggota DPD didesign tidak
bisa melebihi sepertiga jumlah anggota DPR. Dalam ketentuan UUD 1945, jumlah anggota DPR 550 orang, maka maksimal anggota DPD 183 orang.
Kenyataannya, dengan 128 anggota DPD empat orang per provinsi, kekuatan suara DPD kurang dari seperempat anggota DPR. Secara kuantitatif, mereka
telah didesign untuk “kalah” secara politik dari DPR. Pertanyaannya adalah, apa filosofi politik yang berada di balik ketentuan
anggota DPD berjumlah 13 anggota DPR? Jika di masa depan ada penambahan jumlah provinsi di Indonesia, dengan asumsi tiap daerah diwakili 4 orang
anggota, masih berlakukah ketentuan 13 dari anggota DPR? Kedua, setiap anggota DPR dilengkapi dengan fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi
7
Muhammad Syihabuddin dalam http:syihabasfa.wordpress.comcategoryartikel
55
pengawasan sebagaimana diamanatkan pasal 20A UUD 1945. Untuk menjalankan fungsi-fungsi tersebut, DPR memiliki hak interpelasi, hak angket,
dan hak menyatakan pendapat, ditambah dengan hak mengajukan pertanyaan, menyampaikan usul dan pendapat, serta hak imunitas. Sedangkan DPD, ”hanya”
boleh mengajukan dan ikut membahas RUU yang relevan dengan urusan daerah dan dapat melaksanakan pengawasan atas pelaksanaan UU yang terkait dengan
daerah, seperti uraian pada pasal 22D UUD 1945. Kendati boleh mengajukan RUU untuk dibahas, sesuai dengan Pasal 43 UU 222003 tentang Susduk, DPD
tidak memiliki kekuasaan untuk mengawalnya hingga ke tingkat persetujuan. Ketiga, merujuk pasal 22D UUD 1945, masalah yang bisa ditangani DPD
dibatasi pada masalah daerah seperti otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan
sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah. Memang, untuk kegiatan
pengawasan, selain masalah daerah, cakupannya diperluas ke masalah pelaksanaan APBN, pajak, pendidikan, dan agama. Celakanya, hasil
pengawasan itu harus diteruskan kepada DPR sebagai bahan pertimbangan untuk ditindaklanjuti. Dari uraian pasal-pasal di atas, sangat layak diduga bahwa
DPD dari awal telah diformat sebagai lembaga yang secara politis tak bergigi menghadapi wakil-wakil dari partai politik. DPR adalah lembaga parlemen yang
memiliki wewenang lengkap, sementara DPD hanya diposisikan sebagai pendamping tugas konstitusional DPR. Dalam hal legislasi, fungsi DPD hanya
bersifat penunjang bagi DPR. DPD tidak dapat disebut sebagai legislator seutuhnya. Paling jauh DPD bisa disebut co-legislator. Atau bisa jadi malah
bukan co-legislator, karena sifat otonom, sebagai prasyarat menjalankan fungsi legislasi, juga tak dimiliki DPD.Dengan posisi politik yang tak berdaya itu,
wajar jika muncul satire bahwa DPD RI hanyalah “aksesori politik” semata di dalam parlemen Indonesia. Kewenangan politik yang berbanding terbalik antar
kedua lembaga perwakilan; kewenangan konstitusional yang begitu kuat dan luas di tangan DPR, sementara DPD RI tak memiliki bergaining politik sama
sekali, menggambarkan bahwa DPD tak berperan apa-apa di dalam proses legislasi di parlemen. Sering kita saksikan acara-acara DPD hanyalah seremoni
politik yang tak memiliki imbas apapun terhadap kualitas suatu produk
56
legislasi.Jika di awal sekali perancangan DPD dimaksudkan untuk memperkuat lembaga perwakilan dengan menerapkan sistem bikameral, maka dalam
perjalannya bisa dikatakan bahwa bikameralisme di Indonesia hanyalah bungkus semata. Kenyataan ini juga mengetengahkan bahwa adanya sebuah anomali
dalam sistem parlementariat Indonesia. Hal ini layak ditegaskan karena Indonesia merupakan satu-satunya negara di mana lembaga ”semacam” senatnya
dipilih secara langsung, tetapi kewenangannya terbatasi. DPD RI merupakan potret paling relevan dari ketidaklaziman praktek bikameral karena memiliki
legitimasi tinggi namun dengan kewenangan yang terbatas. Sebuah lembaga parlementer disebut menganut sistem bikameral, apabila - ini merupakan ciri
fundamentalnya - kedua kamar perwakilan tersebut menjalankan fungsi legislasi yang seimbang. Dan hampir semua negara di dunia yang menerapkan sistem ini
memberi kewenangan yang hampir-hampir tak beda di setiap kamar di parlemen, atau bahkan kewenangan perwakilan daerah di parlemen lebih kuat,
seperti di Amerika Serikat. Jika diperhatikan di Indonesia, DPD RI sama sekali tidak mempunyai wewenang legislasi yang penuh dan otonom. DPD hanya
memberikan pertimbangan, usul, ataupun saran, dan DPR tetap memegang kendali pengambilan keputusan. Karena itu, posisi DPD yang bersanding dengan
DPR tidak dapat disebut sebagai bikameralisme dalam arti yang wajar. Secara teoritik, sifat bikameralisme terbagi menjadi dua, ‘strong bicameralism’, jika
keberadaan dua kamar perwakilan itu relatif sama kuat, dan ‘soft atau weak bicameralism’, jika keduanya tidak sama kuat.
Fristian Humalanggi menulis dengan Judul “Eksistensi Dewan Perwakilan Daerah dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia” menyatakan
8
: Dewan Perwakilan Daerah atau DPD yang sering diplesetkan
menjadi “Dewan Penasehat DPR”, atau “Dewan Pertimbangan DPR”. Betapa tidak, lembaga ini seolah - olah adalah subordinasi
DPR jika dipandang dari segi kewenangan yang dimilikinya. Dalam perancangan suatu produk hukumundang - undang DPD
hanya memberikan pertimbangan, dapat mengajukan dan ikut membahas, serta melakukan pengawasan atas undang - undang
tertentu, dengan demikian dapatkah DPD dikatakan memiliki wewenang?. Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie S.H. dalam buku ”
Bikameral bukan Federal ” menyebut Dewan Perwakilan Daerah sebagai ” auxiliary agency “ oleh karena sifat tugasnya di bidang
8
http:revitriyoso.multiply.comjournal
57
legislasi hanya menunjang, DPD tidak mempunyai kekuasaan untuk memutuskan atau berperan dalam proses pengambilan
keputusan. Hal ini sama sekali tidak sebanding dengan persyaratan dukungan untuk menjadi anggota DPD, dengan kata
lain kualitas legitimasi anggota DPD tidak diimbangi secara sepadan oleh kualitas kewenangannya. Kedudukan DPD sebagai
auxiliary body semakin diperkuat dengan adanya pasal 20 ayat 1 dan pasal 20A ayat 1 yang menyebutkan secara eksplisit
bahwa DPR memegang kekuasaan membentuk undang - undang serta memiliki fungsi legislasi, anggaran, dan fungsi pengawasan
sedangkan dalam UUD tidak ada satupun pasal yang menyebutkan bahwa DPD mempunyai kewenangan, sebab dalam
konteks politik “KEWENANGAN” berarti dapat mengambil keputusan politik. Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie S.H. menyebut
DPD sebagai co-legislator dan Dr. Kuntana Magnar S.H. M.H dalam tulisannya yang dipaparkan dalam Focus Group
Discussion menyebutkan secara tegas bahwa DPD termasuk dalam kategori “lembaga Negara yang melayani”. Selain itu DPD
juga sering disebut - sebut sebagai lembaga Negara dengan wewenang terbatas, namun sebagaimana diungkapkan oleh
Bivitri Susanti; “adalah tidak tepat mengatakan” DPD dengan wewenang terbatas “sebab sebenarnya DPD tidak mempunyai
wewenang apapun, sebab dalam konteks politik, kewenangan selalu diartikan sebagai wewenang dalam mengambil keputusan
politik”.
G. Rekaman Beberapa Usulan terhadap Keberadaan DPD-RI