WBbxKgz0zm pelaksanaan otonomi daerah unsrat

(1)

LAPORAN

PENELITIAN STUDI HUBUNGAN PUSAT DAN DAERAH KERJASAMA DPD-RI DENGAN PERGURUAN TINGGI DI DAERAH

Judul :

PELAKSANAAN OTONOMI DAERAH

Oleh : Tim Peneliti Fakultas Hukum Unsrat

UNIVERSITAS SAM RATULANGI

MANADO


(2)

DAFTAR ISI

 

DAFTAR ISI... ii

BAB I PENDAHULUAN ...1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ...7

A. Ko nse p Ne g a ra Hukum ...7

B. O to no m i Da e ra h d a n De se ntra lisa si...10

1. Ko nse p O to no m i Da e ra h d a n De se ntra lisa si Pe m e rinta ha n ...10

2. Hub ung a n De se ntra lisa si De ng a n O to no m i...22

3. Be b e ra p a Je nis Siste m O to no m i...24

C . De se ntra lisa si d a n Ke w e na ng a n ...30

1. Ke w e na ng a n d a n Urusa n ...30

2. Sum b e r-sum b e r Ke w e na ng a n ...33

3. Ke w e na ng a n Da e ra h m e nurut UU No m o r 32 Ta hun 2004...35

D. Dina m ika Ke ta ta ne g a ra a n d a n Ke ha d ira n DPD RI...35

1. Pe rub a ha n UUD 1945 ...35

2. Dua Ka m a r a ta u Sa tu Ka m a r...37

E. Fung si d a n Pe ra n DPD RI se b a g a i Ala t Ke le ng ka p a n Ne g a ra ...39

1. Ke a ng g o ta a n DPD – RI...39

2. Fung si, Tug a s d a n We w e na ng DPD – RI...39

3. Ha k d a n Ke w a jib a n Ang g o ta DPD – RI...40

4. Ala t Ke le ng ka p a n DPD RI...41

5. Pe nye ra p a n Asp ira si Ma sya ra ka t...43

6. Pro se s Pe nya lura n Asp ira si Ma sya ra ka t...43

BAB III. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN ...45

BAB IV METO DE PENELITIAN ...46

A. Pe nd e ka ta n Pe ne litia n ...46

B. Ba ha n Pe ne litia n ...47

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN...48

A. Ko nd isi Hub ung a n Pusa t d a n Da e ra h te rka it Pe ra n d a n Fung si DPD RI....48


(3)

B. DPD RI d a la m m e nja la nka n fung sinya se b a g a i le m b a g a le g isla tif b a ru d i

Ind o ne sia . ...50

C . Pe nting nya Ke b e ra d a a n DPD-RI Se b a g a i Re p re se nta si Da e ra h Di Ting ka t Pusa t ...53

E. Dina m ika Tuntuta n Pe m e ra ta a n Pe m b a ng una n (Ke se ja hte ra a n Ma sya ra ka t) ...54

G . DPD d a n Ha ra p a n Ma sya ra ka t d i Da e ra h ...54

G . Re ka m a n Be b e ra p a Usula n te rha d a p Ke b e ra d a a n DPD-RI...58

BAB VI PENUTUP ...74

A. KESIMPULAN...74

B. SARAN ...75

DAFTAR PUSTAKA ...77

.


(4)

BAB I

PENDAHULUAN

Perubahan sistem pemerintahan daerah melalui pemberlakuan Undang-undang Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, menggantikan Undang-undang Nomor 5 tahun 1974 tentang Pemerintahan di Daerah, telah memberikan kewenangan kepada daerah berupa kekuasaan penyelenggaraan otonomi daerah yang sangat luas, khususnya kepada Daerah Kabupaten dan Daerah Kota.

Dalam implementasinya ternyata memunculkan banyak permasalahan dari aspek kewenangan, kelembagaan, keuangan, kepegawaian, hubungan antar pusat, propinsi dan kabupaten/kota, dikarenakan munculnya eforia otonomi daerah yang berkonotasi federal dan memunculkan etnosentrisme dalam pemekaran wilayah yang lebih bersifat politis dari pada tehnis serta adanya kemampuan daerah-daerah yang variatif dan juga penafsiran hukum yang berbeda sehingga dipandang perlu pengenalan/pemetaan dan kajian lebih jauh bagaimana sebaiknya masalah-masalah itu dilihat dari aspek penyelenggaraan otonomi daerah dalam kerangka bentuk Negara Kesatuan

Sejak awal reformasi dalam pembahasan perubahan UUD 1945 telah disepakati bahwa bentuk negara Indonesia adalah negara kesatuan dan tidak perlu dirubah lagi. Prinsip utama bentuk negara kesatuan adalah semua kekuasaan ada pada pemerintah pusat sedangkan daerah-daerah mendapatkan kekuasaan melalui peraturan perundang-undangan. Dengan adanya UU Nomor 22 Tahun 1999 karena berkonotasi federal memunculkan berbagai persoalan sebagaimana telah disebutkan diatas. Dalam hal kewenangan persoalan yang muncul adalah munculnya eforia kewenangan pemerintah daerah, tumpang tindih antara kewenangan yang diatur dalam UU pemerintahan daerah dan UU sektoral seperti pertanahan dan kehutanan serta munculnya berbagai peraturan daerah yang menghambat investasi. Oleh karena itu UU tersebut digantikan dengan UU 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang mempertegas pengawasan pemerintah pusat kepada daerah seperti terhadap pengesahan peraturan daerah dan khususnya tentang APBD, yang dikesankan terjadi


(5)

resentralisasi. Tetapi belum menyelesaikan persoalan kewenangan antar tingkatan dan hubungan pemerintah pusat dengan pemerintah propinsi serta dengan pemerintah Kabupaten/Kota serta persoalan kewenangan pengelolaan sumber daya alam dan kepentingan masyarakat adat.

Selain itu, persoalan berikutnya berkaitan dengan fakta bahwa hubungan antara pusat dengan daerah bukanlah identik dengan hubungan antara kawasan dominan dengan kawasan satelit sebagaimana dikritik oleh Dos Santos (1973;1976) dalam struktur ketergantungannya yang menggambarkan hubungan yang tidak adil dan tidak seimbang (unfair and unbalanced relationship) pada tingkat internasional, antara negara Kapitalis Barat dengan negara Dunia Ketiga, dan pada tingkat nasional, antara Pusat dengan Daerah, yang menciptakan ketergantungan struktural. Juga masalah lainnya dalam pelaksanaan otonomi daerah secara luas dan nyata adalah otonomi daerah bukan hanya otonomi bagi Pemerintah daerah tetapi juga otonomi bagi rakyat didaerah sehingga ada komitmen dari Pemerintah pusat dan Pemerintah daerah untuk mensejahterakan rakyat di daerah dan pengakuan serta pengertian dari Pemerintah pusat tentang keberagaman kelompok etnis dan kelompok sosial lainnya serta keberagaman budaya.

Sebagaimana yang ditulis dalam Business News, Senin, 29 Agustus 2005; Di depan Sidang Paripurna Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengakui kelemahan pelaksanaan otonomi daerah secara terus terang. Untuk mencapai bentuk otonomi daerah yang ideal dikatakannya masih diperlukan jalan yang panjang. Pengakuan dari kepala pemerintah ini sangat penting karena sampai sekarang ini masalah mencapai bentuk otonomi daerah yang "ideal" masih mendominasi permasalahan pemerintah, sedangkan jalan keluar yang terbaik juga belum ada.

Dalam tulisan itu Presiden mengakui bahwa proses desentralisasi dan otonomi daerah yang telah berjalan beberapa tahun itu, pada awalnya diliputi keraguan dan kekhawatiran akan berpotensi menimbulkan disintegrasi bangsa, karena desentralisasi dilakukan secara progresip, terlalu cepat, bahkan tanpa melalui masa transisi. Penyakit korupsi, kolusi dan nepotisme dari pusat merebak ke daerah-daerah. Unsur-unsur masyarakat madani (civic society) yang harus menjalankan checks-and balances pada proses demokrasi politik di daerah


(6)

belum berkembang secara efektif. Mental aparat pemerintah belum sepenuhnya berubah.

Sebagaimana contoh, sejak lama dua provinsi yang kaya SDA tidak merasa keuntungannya sebagai bagian dari NKRI sehingga memunculkan gerakan separatisme. Sentralisme dalam urusan pemerintahan juga menyebabkan bahwa kekayaan alam dari daerah tersedot ke pusat, dan Jawa mendapat bagian yang jauh lebih besar daripada hasil penerimaannya ketimbang daerah penghasil seperti Riau dan Kalimantan Timur. Riau adalah provinsi yang terkaya akan tetapi tingkat kemiskinan penduduk (asli) cukup besar, demikian juga di Papua dengan penghasilan dari pertambangan (Free Port).

Beberapa karakteristik legal yang tampaknya perlu dipahami oleh masyarakat luas dengan adanya otonomi daerah antara lain adalah : (Desi Fernanda, 2002)

1. Meletakkan otonomi daerah sebagai wujud pengakuan kedaulatan rakyat

sebagai kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas daerah tertentu dan memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat berdasarkan prakarsa sendiri sesuai dengan aspirasi masyarakat setempat.

2. Daerah Otonom Kabupaten dan Kota tidak lagi merangkap sebagai wilayah

administrasi pusat, sehingga tidak lagi ada perangkapan jabatan Kepala Daerah dan sekaligus Kepala Wilayah.

3. Menempatkan seluruh kewenangan pemerintahan pada Daerah Kabupaten

dan Kota yang lebih dekat dengan masyarakat, kecuali kewenangan-kewenangan tertentu yang ditetapkan sebagai kewenangan-kewenangan Propinsi dan kewenangan Pusat. Kewenangan Propinsi terbatas pada bidang-bidang yang bersifat lintas Daerah Kabupatan/Kota, atau kewenangan yang belum dapat dilaksanakan oleh Daerah/Kota. Kewenangan Pusat antara lain meliputi lima bidang strategis, yaitu politik luar negeri, agama, ekonomi moneter, pertahanan dan keamanan, dan hukum/peradilan .

4. Tidak ada hubungan hirearki antara daerah otonom Kabupaten dan Kota

dengan daerah otonom Propinsi. Jadi Daerah otonom Kabupaten/Kota bukanlah bawahan daerah otonom Propinsi.


(7)

5. Kepala Daerah ditetapkan oleh DPRD setempat. Artinya Kepala Daerah wajib mempertanggungjawabkan pelaksanaan tugasnya kepada DPRD pada setiap akhir tahun anggaran, dan akhir masa jabatan.

6. Kedudukan keuangan daerah otonom menjadi lebih kuat dengan adanya

desentralisasi fiskal, di mana daerah tidak lagi mendasarkan pengelolaan keuangannya kepada ketentuan alokasi dari Pusat, melainkan memilki otonomi penuh untuk mengelola keuangan daerah, dengan kewajiban melaporkannya kepada DPRD, sebagai bentuk akuntabilitas.

7. Struktur perangkat pemerintahan daerah tidak lagi seragam, melainkan boleh bervariasi sesuai dengan potensi dan keanekaragaman daerah. Sedangkan Kecamatan dan Kelurahan tidak lagi merupakan perangkat pemerintahan wilayah tetapi menjadi perangkat daerah otonom.

8. Pengawasan oleh Pusat lebih bersifat preventif daripada represif, sehingga terdapat keleluasaan bagi daerah untuk melaksanakan otonominya tanpa campur tangan Pusat, kecuali jika ternyata terdapat kebijakan daerah yang bertentangan dengan kebijakan nasional atau yang lebih tinggi.

Berdasarkan laporan-laporan tertulis maupun lisan, ternyata semangat reformasi yang di dalamnya adalah juga pelaksanaan otonomi daerah, masih belum sepenuhnya bisa diterjemahkan menjadi tindakan yang harmonis antara pusat dan daerah. Dalam salah satu laporannya Ahmad Subagya (2002) salah satu anggota Dewan Konsultasi Otonomi Daerah Kabupaten Bantul mengemukakan beberapa kendala pelaksanaan otonomi daerah, yang antara lain adalah :

1. Partisipasi masyarakat rendah.

Sebagian besar masyarakat kabupaten/kota mempunyai persepsi bahwa otonomi daerah merupakan persoalan pemerintah daerah. Kondisi seperti ini berakibat pada rendahnya partisipasi masyarakat terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah daerah menjadi rendah. Salah satu akibatnya adalah, dalam perencanaan dan persiapan lainnya pemerintah kabupaten sibuk sendirian, dan kurang mendapat dukungan atau kontrol dari masyarakat. Masyarakat tidak perduli pemerintah siap atau tidak, cenderung menunggu dan melihat apa yang akan dilakukan oleh pemerintah daerah. Bagi


(8)

masyarakat, yang penting ada perubahan pada kinerja pemerintah sehingga masyarakat memperoleh pelayanan yang lebih baik dan murah. Sikap menunggu ini akan sangat mengganggu pelaksanaan otonomi daerah karena sesungguhnya pelaksanaan otonomi daerah akan sangat diuntungkan dengan adanya partisipasi masyarakat.

Permasalahan ini juga ditemukan oleh penelitian yang dilakukan oleh SMERU, yang antara lain berbunyi :“The implementation of regional autonomy must include the involvement of wider circle of participation outside the boundary of government and the bureaucracy. The responsibility of local communities in each autonomous region must also taken into account, so that government and the community share responsibility for successful implementation of regional autonomy. This implies that the implementation of regional autonomy will be a long-term process, which must be widely understood not only by local government but also by civil society”

2. Sikap dan mentalitas aparatur Pemerintah Daerah

Sikap mentalitas aparatur pemerintahan daerah merupakan salah satu kunci penting keberhasilan pelaksanaan kebijakan otonomi daerah, karena merekalah ujung tombak dan eksekutor program tersebut. Ada gejala cukup menonjol pada hampir semua pemerintah kabupaten bahwa sikap dan mentalitas aparatur baik eksekutif maupun legislatif masih menyisakan pengaruh pemerintah yang sentralistik, sehingga mereka lebih baik menunggu dan kurang berani mengambil inisiatif dan prakarsa untuk melaksanakan fungsi keotonomian daerahnya. Kondisi ini sudah tentu tidak menguntungkan pelaksanaan otonomi daerah, karena kepeloporan aparatur pemerintahan daerah mutlak diperlukan.

Di samping itu, ada dua pandangan lain yang tampaknya juga mendukung dua hasil penelitian tersebut di atas, yang datangnya dari Muadim Bisri, SH, Sag. Dalam makalahnya yang berjudul “Melacak Problematika Otda”. Pertama, otonomi daerah dicurigai sebagai proses transformasi kolusi, korupsi, dan nepotisme ke tingkat daerah, ini juga ternyata terbukti. Banyaknya anggaran belanja daerah yang tidak jelas serta melimpahnya permintaan fasilitas


(9)

kesejahteraan para eksekutif maupun legislatif tingkat daerah merupakan bukti yang nyata. Kedua, kendala yang muncul berikutnya adalah rendahnya kualitas dan kuantitas Sumber Daya Manusia (SDM). Perda-perda yang ditelorkan sebagai konsekuensi dari perubahan pola anggaran proyek dan program telah menimbulkan kekhawatiran baru, karena ternyata di daerah tingkat I dan II masih minim staf akhli di bidang keuangan dan manajemen yang diperlukan (Bisri, 2002)

Mencermati permasalahan di atas, maka apa yang sekiranya harus dilakukan oleh daerah dalam menghadapi otonomi ini. Adhitya Wardono dan Asep Mulyana dalam makalah yang disampaikan di Frankrut, berjudul “Sumberdaya Padat Otak dan Otonomi Daerah” mengutip buah pikiran seorang ekonom Friedrich List yang mengemukakan konsep Pendekatan Tenaga Produktif. Rekomendasinya adalah kemakmuran suatu daerah (bangsa) bukan disebabkan oleh akumulasi harta dan kekayaan, melainkan dengan cara membangun lebih banyak tenaga yang produktif. Dengan pendekatan ini akan terjadi kekuatan swadaya setempat yang mampu menunjang kemakmuran ekonomi suatu daerah atau bangsa. Yang dimaksud oleh Friedrich List dengan Tenaga Produktif adalah karya kreatif, inovatif, pemahaman atas kekuasaan dan hukum, hak dan kewajiban masyarakat, efektivitas penyelenggaraan pemerintah, ilmu dan kebudayaan, dan sikap terhadap hak asasi manusia serta mentaati norma agama. (Wardono dan Mulyana, 2001).


(10)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Negara Hukum

Konsep negara hukum, pertama dikemukakan oleh Plato dan kemudian dikembangkan dan dipertegas oleh Aristoteles. Dalam buku Plato berjudul Politea, dikemukakan betapa penguasa di masa itu, masa Plato hidup (429 SM – 346 SM) penguasa sangatlah tirani, haus dan gila akan kekuasaan serta sewenang-wenang dan sama sekali tidak memperdulikan nasib rakyatnya. Dalam uraiannya di buku tersebut, Plato dengan gamblang menyampaikan pesan moral, agar penguasa berbuat adil, menjunjung tinggi nilai kesusilaan dan kebijaksanaan dan senantiasa memperhatikan kepentingan/nasib rakyatnya.

Demikian pula halnya dalam bukunya yang berjudul Politicos, Plato memaparkan suatu konsep agar suatu negara dikelola dan dijalankan atas dasar hukum (rule of the game), demi warga negara yang bresangkutan.Sedangkan buku ketiga dari Plato yang berjudul Nomoi, lebih menekankan pada para penyelenggara negara agar senantiasa diatur dan dibatasi kewenangannya dengan hukum agar tidak bertindak sekehendak hatinya.

Kemudian meuncullah Aristoteles dengan karya bukunya, Politica.Di dalam buku tersebut Aristoteles mengemukakan gagasannya, bahwa suatu negara yang baik adalah negara yang diperintah/dikelolah atas dasar suatu konstitusi sehingga didalam negara tersebut hukumlah yang berdaulan (Sobirin Malian, 2001).Dalam perkembangannya kemudian mulai abad ke 19, dikenal konsep negara hukum yakni suatu konsep negara yang kemudian diidentifikasi sebagai konsep negara hukum Eropa Kontinental (rechtstaat) dan konsep negara hukum Ango Saxon (rule of law).

Konsep-konsep tersebut muncul tidak terlepas dari adanya beberapa bentuk sistem hukum di dunia. Menurut Satjipto Rahardjo, (2000), bahwa di dunia ini tidak dijumpai satu sistem hukum saja, melainkan terdapat lebih dari satu bentuk sistem hukum. Dalam kaitan itulah dikenal sistem hukum Eropa Kontinental (sistem hukum Romawi – Jerman, civil law system) dan sistem


(11)

hukum Inggris (common law). Selanjutnya sebaga akibat negara kita, Indonesia pernah menjadi koloni Belanda, maka dengan serta merta pula sistem hukum yang berlaku di Indonesia adalah sistem hukum yang sama berlaku di negara Belanda yang kebetulan berada di Benua Eropa yang dikenal dengan sistem hukum Etopa Kontinental atau Civil Law System.

Dalam kaitan dengan konsep negara hukum tersebut, Freidrich Julius

Stahl (Ridwan. HR, 2002), menegaskan, bahwa unsur-unsur negara hukum

Eropa Kontinental (rechtstaat)yaitu :

a. Adanya perlindungan hak-hak asasi manusia;

b. Adanya pemisahan atau pembagian kekuasaan untuk menjamin hak-hak itu;

c. Adanya pemerintahan berdasarkan perundang-undangan, dan; d. Adanya peradilan administrasi dalam perselisihan.

Teori Negara Hukum menurut Hirsch Ballin (Bovens, 1987); a. Penguasa harus terikat pada hukum;

b. Negara harus menghormati hak-hak mengenyam kebebasan; c. Setiap kebijakan pemerintah harus berdasarkan undang-undang; d. Mengupayakan terwujudnya keadilan sosial;

e. Hukum harus jelas dan stabil.

Teori Negara Hukum menurut Reuters (Bovens, 1987): a. Pemisahan kekuasaan (separation of power);

b. Kebijakan negara yang bersifat strategis harus dputuskan dalam lembaga perwakilan rakyat (DPR).

Teori Negara Hukum menurut C.J.M. Schuyt (1983): a. Menganut asas legalitas;

b. Perlindungan hukum bagai warga; c. Pemerintah harus tunduk pada hukum; d. Adanya akuntabilitas publik.

Teori Negara Hukum menurut Rosenthal )Bovens, 1987): a. Desentralisasi kekuasaan;

b. Primat dalam politik;

c. Keterbukaaan pemerintahan;


(12)

d. Pertimbangan yang cermat tentang kepentingan rakyat dalam setiap keputusan pemerintah.

Pada saat yang hampir bersamaan, muncul pula suatu konsep negara hukum (rule of law) dari A.V. Dicey, yang secara kebetulan juga konsep tersebut lahir di bawah bayang-bayang sistem hukum Anglo Saxon.

Unsur-unsur negara hukum (rule of law) menurut A.V Dicey dalam bukunya berjudul An Introducion to the Study of the Law of the Constitution, (1973) adalah :

a. Supremasi aturan-aturan hukum (supremacy of the law), tidak adanya kekuasaan sewenang-wenang (absence of orbitary power), bahwa seseorang hanya boleh dihukum kalau terbukti melanggar atura hukum yang ada.

b. Kedudukan yang sama dalam menghadapi hukum (equality before the law)

c. Terjaminnya hak-hak manusia oleh Undang-Undang serta keputusan-keputusan pengadilan.

Teori Negara Hukum menurut Berman (Bovens, 1987):

Rule of Law, yaitu mengadakan pengaturan dengan hukum atau menetapan

hukum secara teratur;

Rule under law, yaitu mengadakan pengaturan di bawah kewenangan hukum

atau mengadakan perubahan sebagaimana yang diatur hukum;

Rule of Law, yang mencakup separation of power, checks and balances, dan

equality before the law.

Teori Fungsi Negara menurut L.A. Geelhoed (1983): a. Fungsi membuat peraturan (de regulende);

b. Fungsi menyelenggarakan layanan publik (de presterende); c. Fungsi mengendalikan aktivitas warga (de stuurende). d. Fungsi menyelesaikan sengketa (de arbiterende).

Kedua konsep tersebut, rule of law dan rechtstaat, oleh (Philipus M. Hadjon, 1987), dijelaskan bahwa konsep reschtstaat bertumpu pada sistem hukum Eropa Kontinental yang disebut dengan Civil Law System. Sedangkan


(13)

konsep rule of law bertumpu atas sistem hukum yang disebut Common Law System.

Sehubungan dengan hal tersebut di atas, maka sistem hukum Romawi-Jerman berjalan dan bertumbuh atas dasar peraturan perundang-undangan. Sedangkan Common Law System, tidak dikembangkan dalam universitas atau melalui penulisan doktrinal, melainkan oleh para praktisi dan proseduralis. Keadaan ini kemudian menjelaskan mengapa sistem common law tidak dimulai dengan prinsip—prinsip hukum, melainkan langsung mengenai kaidah-kaidah untuk kasus-kasus konkrit (Sutjipto Rahardjo, 2000).

Karakteristik Civil Law adalah administratif, sedangkan karakteristik Common Law adalah judicial.Perbedaan karakteristik yang demikian, disebabkan lebih karena latar belakang kekuasaan raja.Pada zaman Romawi, kekuasaan yang menonjol dari seorang raja adalah membuat peraturan melalui dekrit.Kekuasaan tersebut kemudian, didelegasikan kepada pejabat-pejabat administratif yang membuat pengarahan-pengarahan yang dalam bentuk tertulis bagi hakim tentang bagaimana memutus atau menyelesaikan suatu sengketa. Begitu besarnya peranan administrasi, sehingga tidaklah mengherankan apabila dalam sistem kontinental pada mula pertama muncul cabang hukum baru yang disebut “droit administrative” dan inti dari droit administrative adalah hubungan antara administrasi dengan rakyat.

B. Otonomi Daerah dan Desentralisasi

1. Konsep Otonomi Daerah dan Desentralisasi Pemerintahan

Masalah otonomi daerah merupakan hal yang hidup dan berkembang sepanjang masa sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan masyarakat. Lagi pula tuntutan global menempatkan isu demokrasi dalam pemerintahan, menempatkan rakyat pada kedudukan yang penting dan strategis, karena itu lembaga pemerintahan harus mencari cara terbaik untuk memberikan pelayanan publik yang optimal kepada masyarakat. Oleh karena itu masalah otonomi daerah senantiasa menjadi perhatian untuk dibicarakan baik dikalangan akademik, para praktisi maupun para pengamat.

Hampir semua bangsa di duania ini menghendaki adanya otonomi, yaitu hak untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Hal itu sesuai


(14)

dengan arti kata otonomi itu sendiri yang secara etimologis berasal dari bahasa latin ‘auto’ yang berarti sendiri dan ‘nomein’ yang berarti peraturan atau undang-undang. Menurut Winarsa Surya Adisubrata, (2003), otonomi berarti “mengatur sendiri atau memerintah sendiri, atau dalam arti luas adalah hak untuk mengatur dan mengurus rumah tangga daerah sendiri”

Dalam literatur Belanda yang dikutip S.H. Sarundayang (1999) otonomi berarti ‘pemerintahan sendiri (zelfregering) yang oleh Van Vollenhoeven dibagi atas zelwegeving (membuat undang-undang sendiri), zelfuitvoering (melaksanakan sendiri), zelfrehtspraak (mengadili sendiri) dan selfpolitie (menindaki sendiri). Menurut Winarsa Surya Adisubrata (2003), otonomi daerah itu mencakup 3 pengertian yaitu : Pertama, Hak untuk mengatur dan mengurus rumah tangga sendiri; Kedua, Wewenang untuk mengatur daerah sendiri; Ketiga, Kewajiban untuk mengatur rumah tangga sendiri.

Logeman (dalam Sunindhia, 1987), mengatakan “bahwa istilah otonomi mempunyai makna kebebasan atau kemandirian tetapi bukan kemerdekaan.Namun kebebasan yang terbatas atau kemandirian itu adalah wujud pemberian kesempatan yang harus dipertanggungjawabkan”.Hal senada juga disampaikan Wajong (1975) yang mengatakan otonomi adalah “kebebasan untuk memelihara dan memajukan kepentingan khusus daerah, dengan keuangan sendiri, menentukan hukum sendiri dan pemerintahan sendiri”.

Jadi otonomi merupakan pemberian kebebasan untuk mengurus rumah tangga sendiri, tanpa mengabaikan kedudukan pemerintah Daerah sebagai aparat Pemerintah Pusat untuk menyelenggarakan tugas-tugas yang ditugaskan kepadanya.Dengan demikian kebutuhan otonomi dalam pemerintah daerah dimaksudkan untuk memperbesar keawenangan mengatur dan mengurus rumah tangga sendiri dan memperkecil intervensi pemerintah Pusat dalam urusan rumah tangga daerah.

Pemberian otonomi kepada daerah adalah mengutamakan kepentingan rakyat di daerah tetapi juga memperhatikan kepentinga seluruh rakyat dan Negara Kesatuan Republik Indonesia.Jadi pemberian otonomi daerah bertujuan untuk pengembangan daerah berupa peningkatan kesejahteraan rakyat di daerah dalam rangka pembangunan kesejahteraan rakyat seluruh Indonesia. Dari


(15)

pemahaman otonomi daerah tersebut maka pada kahikatnya otonomi daerah adalah :

a. Hak mengurus rumah tangga sendiri bagi suatu daerah otonomi. Hak tersebut bersumber dari wewenang pangkal dan urusan-urusan pemerintah yang diserahkan kepada daerah.

b. Dalam kebebasan menjalankan hak mengurus dan mengatur rumah tangga sendiri, daerah tidak dapat menjalankan hak dan wewenang otonominya itu di luar batas-batas wilayah daerahnya.

c. Daerah tidak boleh mencampuri hak mengatur dan mengurus rumah tangga daerah lain sesuai dengan wewenang pangkal dan urusan yang diserahkan kepadanya.

d. Otonomi tidak membawahi otonomi daerah lain, hak mengatur dan megurus rumah tangga sendiri bukan merupakan sub ordinasi hak mengatur dan mengurus rumah tangga daerah lain.

Dalam negara kesatuan (unitarisme) otonomi daerah itu diberikan oleh Pemerintah Pusat (central government), sedangkan Pemerintah Daerah hanya menerima penyerahan dari Pemerintah Pusat.Hal ini berbeda dengan otonomi daerah di negara federal dimana otonomi daerah telah melekat pada negara-negara bagian, sehingga utusan yang dimiliki pemerintah federal pada hakikatnya adalah urusan yang diserahkan oleh negara bagian.Konstelasi tersebut menunjukkan bahwa dalam negara kesatuan kecenderungan kewenangan yang besar berada di Pemerintah Pusat, sedangkan dalam negara federal kecenderungan kewenangan yang besar berada pada Pemerintah Daerah/pemerintah federal.Hal ini menyebabkan Pemerintah Daerah dalam negara kesatuan seperti Indonesia lebih banyak menggantungkan onotominya pada political will Pemerintah Pusat yaitu sampai sejauh mana Pemerintah Pusat mempunyai niat baik untuk memberdayakan Pemerintah Daerah melalui pemberian kewenangan yang lebih besar.

Indonesia sebagai negara kesatuan yang memiliki wilayah demikian luas dengan keanekaragaman yang sangat kompleks, pemberian otonomi kepada daerah merupakan sesuatu yang mutlak. Kesadaran akan mutlaknya otonomi daerah tersebut dimulai oleh para pendiri dan pembentuk Republik ini


(16)

sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 18 UUD 1945 yang kemudian diikuti dengan berbagai undang-undang yang sesuai dengan perkembangan situasi dan kondisi masyarakat / negara pada waktu tersebut.

Sebagaimana dikemukakan Soepomo (dalam Winarsa Surya Adisubrata : 2003), bahwa “otonomi daerah sebagai prinsip berarti menghormati kehidupan regional menurut riwayat, adat, sifat-sifat sendiri-sendiri dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Oleh karenanya pemerintah harus menjauhkan segala urusan yang bermaksud menyeragamkan seluruh daerah menurut satu model”.

Oleh karena itu pengertian otonomi daerah menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 adalah “hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan”.Sedangkan daerah otonom yang selanjutnya disebut daerah adalah “Kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-baatas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setepmat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistemm Negara Kesatuan Republik Indonesia”.

Dari konsep otonomi yang dikemukakan di atas maka dapat dikemukakan bahwa tujuan pemberian otonomi kepada daerah setidaknya meliputi empat aspek sebagai berikut :

a. Dari segi politik adalah untuk mengikutsertakan, menyalurkan inspirasi dan aspirasi masyarakat, baik untuk kepentingan daerah sendiri maupun untuk mendukung politik dan kebijaksanaan nasional dalam rangka pembangunan proses demokrasi di lapisan bawah.

b. Dari segi manajemen pemerintahan, adalah untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna penyelenggaraan pemerintahan terutama dalam memberikan pelayanan terhadap masyarakat dengan memperluas jenis-jenis pelayanan dalam berbagai bidang kebutuhan masyarakat.

c. Dari segi kemasyarakatan, untuk meningkatkan partisipasi serta menumbuhkan kemandirian masyarakat sehingga makin mandiri dan tidak terlalu banyak tergantung pada pemberian pemerintah serta memiliki daya saing yang kuat dalam proses pertumbuhannya.


(17)

d. Dari segi ekonomi pembangunan adalah untuk melancarkan pelaksanaan program pembangunan guna tercapainya kesejahteraan rakyat yang semakin meningkat.

Otonomi merupakan peberian kebebasan untuk mengurus rumah tangga sendiri, tanpa mengabaikan kedudukan Pemerintah Daerah sebagai aparat Pemerintah Pusat untuk menyelenggarakan tugas-tugas yang ditugaskan kepadanya.Oleh sebab itu usaha membangun keseimbangan harus diperhatikan dalam konteks hubungan kekuasaan antara pusat dan daerah.Oleh sebab itu usaha membangun keseimbangan harus diperhatikan dalam konteks hubungan kekuasaan antara pusat dan daerah.Artinya daerah harus dipandang dalam dua kedudukan, yaitu sebagai organ daerah untuk melaksanakan tugas-tugas otonomi dan sebagai agen pemerinta Pusat untuk menyelenggarakan urusan pusat di daerah.

Otonomi Daerah sebagai bentuk desentralisasi pemerintahan pada hakekatnya ditujukan untuk memenuhi kepentingan bangsa secara keseluruhan. Dengan dekimian pemberian otnomi mempunyai sifat mendorong atau memberi stimulasi untuk berusaha mengembangkan kemampuan sendiri yang dapat membangkitkan oto aktivitas dan mempertinggi rasa harga diri dalam arti yang sebaik-baiknya.

Desentralisasi sebagai suatu sistem yang dipakai dalam bidang pemerintahan merupakan kebalikan dari sentralisasi. Menurut Inu Kencana Syafie (2002) bahwa :

“Desentralisasi adalah lawan kata dari Sentralisasi karena pemakaian kata “de” dimaksudkan untuk menolak kata sebelumnya.Desentralisasi adalah penyerahan segala urusan, baik pengaturan dalam arti pembuatan peraturan perundang-undangan maupun penyelenggaraan pemerintahan itu sendiri, dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah, untuk selanjutnya menjadi urusan rumah tangga Pemerintah Daerah tersebut”.

Pengertian tersebut adalah sesuai etimologis asal kata desentralisasi dari bahasa Latin, de berarti lepas dan centrum berarti pusat.Oleh karena itu, menurut Dharma Setyawan Salam (2004) desentralisasi berarti “melepaskan dari pusat”.


(18)

Sementara itu, Koswara (1996) mengemukakan bahwa pengertian desentralisasi pada dasarnya mempunyai makna bahwa melalui proses desentralisasi urusan-urusan pemrintahan yang semula termasuk wewenang dan tanggung jawab Pemerintah Pusat sebagian diserahkan kepada badan/lembaga Pemerintah Daerah agar menjadi urusan rumah tangganya sehingga urusan tersebut beralih kepada dan menjadi wewenang dan tanggung jawab Pemerintah Daerah. Prakarsa untuk menentukan prioritas, memilih alternatif dan mengambil keputusan yang menyangkut kepentingan daerahnya, baik dalam hal menentukan kebihaksanaan, perencanaan maupun pelaksanaan sepenuhnya diserahkan kepada daerah.Demikian pula hak yang menyangkut pembiayaan dan perangka pelaksanaannya, baik personel maupun alat perlengkapan sepenuhnya menjadi kewenangan dan tanggungjawab daerah yang bersangkutan.

Cohen and Petterson (1999) melihat formulasi dan pelaksanaan reformasi dan progam desentralisasi melalui tiga fase:

“In the early 1960s proponents of decentralization focused on using the intervention to assist colonies in beginning a transition to independence, achieving political ewuity, and responding to rising demand for public goods and services. The second phase in decentralization occurred form the mind – 1970s to the early 1980s. aid agencies urged government of both long independent and newly emerging countries introduce decentralization reforms and programs in order to promote development objectives, such as improved management and sustainability of funded programs and projects, egable distribution og ecenomic growth, and facilitation of grassroots participation in development processes. Finally, since the mid-1980s aid agencire have use structure adjustment coonditionalities to pressure government to adopt administrative decentralization reform and program. In part, this is being done to promote the emergence of civil societie, to support the growth of democratic institutions, and to respond to ethnic, religious, or nationalist demands for regional self gobernment and greater autonomy”. (pada awal 1960-an pendukung desentralisasi memusatkan perhatian untuk membantu negara jajahan menuju kemerdekaan, keberhasilan hak-hak politis, dan menangani masalah meningkatnya permintaan untuk barang-barang public dan jasa. Tahap yang kedua, desentralisasi terjadi dari pertengahan 1970-an sampai awal 1980-an. Para pendukung menghimbau pemerintah yang mandiri dengan memperkenalkan negara-negara desentralisasi dengan reformasi dan programnya dalam rangka memproomosikan hasil pembangunan, seperti peningkatan dan


(19)

kelanjutan dari proogram biaya dan proyek, kesamaan kemampuan, distribusi pertumbuhan ekonomi, dan pemberian kemudahan masyarakat untuk berpartisipasi dalam proses pembangunan. Terkahir, sejak pertengahan 1980-an, bantuan para pendukung menggunakan penyesuaian keadaan struktur dengan memaksa pemerintah untuk mengadopsi perubahan dan program desentralisasi administratif.Pada tahap ini adalah mempromosikan kemunculan masyarakat sipil, untuk mendukung pertumbuhan lembaga demokrasi, dan merespon terhadap adanya berbagai hal yang berkaitan dengan kesukuan, keagamaan, kebangsaan atau tuntutan swapraja dan otonomi yang lebih besar).

Dari phase-phase yang diungkapkan oleh Cohen dan Paterson tadi memberikan pembuktian bahwa perjuangan untuk mengembangkan konsep atau teori desentralisasi sampai ke tingkat yang sempurna membutuhkan waktu yang cukup lama dan dilengkapi dengan penataan struktur dan manajemen.Selain itu tidak diragukan lagi bahwa desentralisasi merupakan salah satu bentuk strategi dalam rangka memperkuat lembaga demokrasi yang berbasis pada adanya heterogenitas suku, agama dan lain sebagainya.

Begitu pula keberadaan dan pelaksanaan desentralisasi di Indonesia mejadi penting ketika kekuasaan pusat menyadari semakin sulit untuk mengendalikan sebuah negara secara penuh dan efektif, ataupun dipandang terlalu mencampuri urusan-urusan lokal.Dalam kedua hal tersebut, desentralisasi menjadi penting untuk pemerintahan yang bertanggungjawab dan efektif.

Berdasarkan pendapat yang telah dikemukakan di atas, maka strategi menerapkan desentralisasi sebagai sendi negara kesatuan Republik Indonesia merupakan kebutuhan primer untuk menjawab dan menyelesaikan berbagai masalah yang akan timbul. Namun pengembangan dan pelaksanaannya tetap disesuaikan dengan ideologi dan sistem perundang-undangan yang berlaku.

Sebagai konsekuensi pelaksanaan asas desentralisasi menciptakan “local self government” atau fielf administration”.(Brian C. Smith, 1967). Pentingnya “local government”, Dilys M. Hill, (1974) mencontohkan di Inggris “In England local government has long been defended as a vital and integral part of democracy, local self government is valued because it is just; it safeguard and enchances the siotizen’s right, and it is an important setting for political education”. (Di Inggris pemerintahan daerah telah lama dianggap sebagai hal


(20)

yang pokok dan bagian yang tak terpisahkan dari demokrasi, pemerintahan daerah otonomi mempunyai makna yang penting karena dapat melindungi dana memperjuangkan hak-hak warga negara dan juga dalam membangun pendidikan warga negara).

Bagi bangsa Indonesia sendiri keperluan atas Pemerintah Daerah seperti, Provinsi, Kabupaten, dan Kota setidaknya untuk meningkatkan akuntabilitas. Pemerintahan lokal secara global semakin dilihat sebagai suatu agen pembangunan yang penting, dan seharusnya juga diketahui bahwa tingkat ini merupakan yang paling penting bagi partisipasi “akar rumput” karena ia yang paling dapat menanggapi kondisi dan kebutuhan setempat. Dalam alur pikir yang tidak jauh berbeda, Ateng Syafrudin, (1982) menegaskan, “zelfgovernment”atau“zelfbestuur”di daerah adalah merupakan suatu keharusan, yakni bagi suatu daerah yang telah mendapatkan otonomi.

Dalam kontek demokrasi, keberadaan government menurut B.C. Smith (1985) :

“Mainly two categories; there are that claim local government is good for national democracy; and there are those where the major concern is with the benefits to the locality of local democracy. Each can be futher subdivided into three sets of interrelated values. At the national lebel these balues relate to political education, training in leadership and political stability. At the local level the relevant values are equality, Liberty and responsiveness. (ada dua kategori yang penting dalam pemerintahan daerah, Pertama, untuk membangun demokrasi di tingkat nasional, kedua, memberikan keuntungan untuk demokrasi pada tingkat lokal atau daerah. Setiap tingkat selanjutnya dibagi ke dalam tiga hal yang saling berkaitan.Pada tingkat nasional hal-hal tersebut berkaitan dengan pendidikan politik, pelatihan kepemimpinan, dan stabilitas politik.Pada tingkat lokal atau daerah berkaitan dengan kesamaan, kemerdekaan dan tanggungjawab).

Mengingat betapa pentingnya Pemerintah Daerah tersebut dalam suatu negara, maka tidak heran hal itu dianggap menjadi suatu kebutuhan dan keharusan bagi setiap negara dengan tidak melihat bentuk negara apakah negara federal atau negara kesatuan. Hal itu telah dikemukakan oleh Rod Haque dan Martin Harrop (2001):

“Local government is universal, found in federal and unitary states alike. It is the lowest level of elected teritorial


(21)

organization within the state. Variously called communes, municipalities or parishes, local government is constitutionally subordionate to provincial authority (in federations) or national government (in unitary states)”.(Pemerintah Daerah adalah hal yang universal, karena dapat ditemukan baik pada negara berbentuk federal maupun negara kesatuan.Beragam sebutannya Kota Besar, Kotapraja, atau Daerah, pemerintahan daerah secara konstitusional di bawah kewenangan Provinsi (dalam negara federasi) atau dibawah pemerintahan nasional (dalam negara kesatuan))”.

Pendapat dari Rondinelli dan Cheema (1992) merumuskan definisi desentralisasi dengan lebih merujuk pada perspektif yang lebih luas namun tergolong perspektif administrasis, bahwa desentralisasi :

“the transfer of planning, decisions – making, or administrative authoritu form central goernment to its field organizations, local administrative units, semu autonomous and parastatal organizations, local government, or non government organizations (perpindahan perencanaa, pengambilan keputusan, atau kewenangan administratif dari Pemerintah Pusat ke organisasi bidangnya, unit administratif daerah, semi otonomi dan organisasi parastatal, Pemerintah Daerah, atau organisasi – organisasi non pemerintah).

Definisi Rondinelli dan Cheema terlihat lebih luas daripada definisi Parson dan Mawhood, karena definisi tersebut tidak saja mencakup penyerahan dan pendelegasian wewenang di dalam struktur pemerintahan, tetapi juga telah mengakomodasi pendelegasian wewenang kepada organisasi non pemerintah, atau organisasi swasta. Bahkan Rondenelli dan Cheema membagi empat tipe desentralisassi, yaitu :deconcentration, delegation, devolution, danprivatization. (Lihat S.S. Menaksisundaran, dalam S. N. Jha and P. C. Mathur, 1999). Lengkapnya dapat dikemukakan sebagai berikut : Pertama, dekonsentrasi diartikan distribusi wewenang administrasi di dalam struktur pemerintahan; Kedua, delegasi adalah pendelegasian otoritas manajemen dan pengambilan keputusan atas fungsi-fungsi tertentu yang sangat spesifik, kepada organisasi-organisasi yang secara langsung tidak dibawah kontrol pemerintah; Ketiga, devolusi adalah penyerahan fungsi dan otoritas dari Pemerintah Pusat kepada daerah otonom; Keempat, swaastanisasi adalah penyerahan beberapa otoritas


(22)

dalam perencanaan dan tanggung jawab adinistrasi tertentu kepada organisasi swasta.

Di kalangan sarjana Indonesia Amrah Muslimin (1982) membedakan desentralisasi menjadi desentralisasi politik, desentralisasi fungsional dan desentralisasi kebudayaan.Desentralisasi politik adalah pelimpahan kewenangan dari Pemerintah Pusat, yang menimbulkan hak mengurus kepentingan rumah tangga sendiri bagi badan-badan politik di daerah-daerah, yang dipilih oleh rakyat dalam daerah-daerah tertentu.Desentralisasi fungsional adalah pemberian hak dan kewenangan pada golongan-golongan mengurus suatu macam atau golongan kepentingan dalam masyarakat, baik terikat ataupun tidak pada suatu daeah tertenu, umpama mengurus kepentingan irigasi bagi golongan tani dalam suatu atau beberapa daerah tertentu (waterschap; subak Bali).

Desentralisasi kebudayaan (cultured decentralization) memberikan hak pada golonga-golongan kecil dalam masyarakat (minoritas) untuk menyelenggarakan kebudayaannya sendiri (mengatur pendidikan, agama). Irawan Soejito (1990) membagi bentuk desentralisasi ke tiga macam, yaitu desentralisasi territorial, desentralisasi fungsional termasuk desentralisasi menurut dinas atau kepentingan, dan desentralisasi administratif atau lazim disebut dekonsentrasi.

Dekonsentrasi adalah pelimpahan sebagian kewenangan Pemerintah Pusat kepada alat perlengkapan atau organnya sendiri di daerah, sedangkan yang dimaksud dengan desentralisasi territorial adalah desentralisasi kewenangan yang dilakukan oleh pemerintah kepada suatu badan umum (openbaar lichaam) seperti persektutuan yang berpemerintahan sendiri.Desentralisasi fungsional, yaitu pemberian kewenangan dari fungsi pemerintahan negara atau daerah untuk diselenggarakan atau dijalankan oleh suatu organ atau badan ahli yang khusus dibentuk untuk itu.Tresna (dalam Irawan Soejito, 1990) mengikuti penggolongan desentralisasi menjadi ambtelijke decentralisatie atau deconcentratie dan staatkundige decentralisatie, yang dibedakan menjadi territoriale decentralisatie dan funtionale decentralisatie.

Amtelijke decentralisatie (dekonsentrasi) diartikan sebagai “pemberian (pemasrahan) kekuasaan dari atas ke bawah di dalam rangka kepegawaian, guna kelancaran pekerjaan semata-mata”.Staakundige decantralisatie diartikan


(23)

sebagai “pemberian (pemasrahan) kekuasaan mengatur kepada daerah-daearh di dalam lingkungannya, guna mewejudkan asas demokrasi di dalam pemerintahan negara”. Mengenai pengertian territoriale decentralisatie danfunctionale decentralisatie tidak berbeda dengan pengertian yang diajukan di muka. Lebih lanjut Tresna mengemukakan bahwa desentralisasi mempunyai dua wajah yaitu autonomie dan medebewind atau zelfbestuur.

Desentralisasi ketatanegaraan menurut RDH Koeseomahatmadja, (1979) dapat dibagi lagi dalam 2 macam :

a. Desentralisasi territorial (territorial decentralisatie), yaitu pelimpahan kekuasaan untuk mengatur dan mengurus rumah tangga daerah masing-masing (otonomi)

b. Desentralisasi fungsional (functionale decentralisatie), yaitu pelimpahan kekuasaan untuk mengatur dan mengurus sesuatu atau beberapa kepentingan tertentu. Di dalam desentralisasi semacam ini dikehendaki agar kepentingan-kepentingan tertentu tadi diselenggarakan oleh golongan-golongan yang bersangkutan itu sendiri.

The Liang Gie (1993) mengemukakan alasan dianutnya desentralisasi adalah sebagai berikut :

a. Dilihat dari sudut politik sebagai permainan kekuasaan, desentralisasi dimaksudkan untuk mencegah pemupukan kekuasaan pada satu pihak saja yang pada akhirnya dapat menimbulkan tirani.

b. Dalam bidang poilitik penyelenggaraan desentralisasi dianggap sebagai tindakan pendemokrasian untuk menarik rakyat ikut serta dalam pemerintahan dan melatih diri dalam mempergunakan hak-hak demokrasi c. Dari sudut teknik organisatoris, alasan mengadakan pemerintahan daerah

(desentralisasi) adalah semata-mata untuk mencapai suatu pemerintahan yang efisien. Apa yang dianggap lebih utama untuk diurus oleh pemerintah setempat pengurusannya diserahkan kepada daera. Hal-hal yang lebih tepat ditangani pusat tetap diurus oleh Pemerintah Pusat.

d. Dari sudut kultural desentralisasi [perlu didadakan suapaya perhatian dapat sepenuhnya ditumphkan pada kekhususan suatu daerah, seperti geografi, keadaan penduduk, kegiatan ekonomi, watak kebudayaan, atau latar belakang sejarahnya.


(24)

e. Dari sudut kepentingan pembangunan ekonomi desentralisasi diperlukan karena Pemerintah Daerah dapat lebih banyak dan secara langsung membantu pembangunan tersebut.

Secara terminology terdapat beberapa pengertian dan deginisi dari desentralisasi yang dapa disimpulkan oleh Dharma Setyawan Salam (2004), yaitu :

a. Pelimpahan wewenang dari pusat kepada satuan-satuan organisasi pemerintahan untuk menyelenggarakan segenap kepentingan setempat dari sekelompok penduduk yang mendiami suatu wilayah.

b. Secara administratif diartikan sebagai pemindahan beberapa kekuasaan administratif departemen Pemerintah Pusat ke daeah dan dikenal dengan nama “dekonsentrasi”

c. Secara politik diartikan sebagai pemberian wewenang pembuatan keputusan dan kontrol terhadap sumber-sumber daya kepada pejabat regional dan lokal dikenal dengan nama “devolusi”.

d. Ditinjau dari segi privatisasi diartikan sebagai pemindahan tugas-tugas yang bersifat mencari untuk ataupun tidak kepada organisasi sukarela.

e. Dipahami sebagai delegasi diartikan pemindahan tanggungjawab manajerial untuk tugas-tugas tertentu kepada organisasi-organisasi yang berada di luar struktur Pemerintah Pusat dan hanya secara tidak langsung dikontrol oleh Pemerintah Pusat.

f. Ditinjau dari jabatan diartikan sebagai pemencaran kekuasaan dari atasan kepada bawahan sehubungan dengan kepegawaian atau jabatan dengan maksud untuk meningkatkan kelancaran kerja dan termasuk dalam dekonsentrasi juga.

g. Ditinjau dari kenegaraan diartikan sebagai penyerahan untuk mengatur daerah dalam lingkungannya sebagai usaha untuk mewujudkan rasa demokrasi dalam pemerintahan negara. Desentralisasi ini ada dua macam yaitu desentralisasi territorial (penyerahan kekuasaan untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri) dan desentralisasi fungsional (pelimpahan kekuasaan untuk mengatur dan mengurus fungsi tertentu).

h. Penyerahan urusan pemerintah dari pemerintah atau daerah tingkat atasnya kepada daerah menjadi urusan rumah tangganya.


(25)

2. Hubungan Desentralisasi Dengan Otonomi

Penyelenggaraan pemerintahan daerah melalui sistem desentralisasi yang berinti pokok atau bertumpu pada otonomi sangat mutlak di dalam negara demokrasi. Dalam bahasa yang lebih tegas lagi, menurut Bagir Manan (2001) dapat dikatakan bahwa desentralisasi bukan sekedar pemencaran kewenangan (spreiding can bevoedheid) tetapi mengandung juga pembagian kekuasaan (sceiding van machten) untuk mengatur dan mengurus penyelenggaraan pemerintah negara antara Pemerintah Pusaat dan satuan-satuan pemerintah tingkatan lebih rendah. Hal ini dikarenakan desentralisasi senantiasa berkaitan dengan status mandiri atau otonom, maka setiap pembicaraan mengenai desentralisasi akan selalu dipersamakan atau dengan sendirinya berarti membicarakan otonomi.

Desentralisasi merupakan pengotonomian, yakni proses memberikan otonomi kepada masyarakat dalam wilayah tertentu. Kaitan desentralisasi dan otonomi daerah seperti itu terlukis dalam pernyataan Gerald S. Maryanow (2003), menurut pakar ini, desentraliasi dan otonomi daerah merupakan dua sisi dari satu mata uang.

Istilah otonomi atau “autonomy” secara etimologis berasal dari kata Yunani “áutos” yang berarti sendiri dan “nomous” yang berarti hukum atau peraturan. Menurut Encyclopedia of Social Science, bahwa otonomi dalam pengertian orisinil adalah the legal self sufficiency of social body and its actual independence.Jadi ada dua ciri hakekat dari otonomi, yakni legal self sufficiency dan actual independence.Dalam kaitan dengan politik atau pemerintahan, otonomi daerah berarti self government atau condition of living under one’s own laws.Dengan demikian otonomi daerah, yang memiliki legal self sufficiency yang bersifat self government yang diatur dan diurus oleh own laws.Koesoemahatmadja berpendapat bahwa menurut perkembangan sejarah di Indonesia, otonomi selain mengandung arti perundangan (regeling) juga mengandung arti pemerintah (bestuur).

Dalam literatur Belanda otonomi berarti pemerintah sendiri (zelfregering) yang oleh Van Vollenhoven dibagi atas zelfwetgeving (membuat undang-undang sendiri), zelfuitvoering (melaksanakan sendiri), zelfrechtspraak (mengadili sendiri) dan zelfpolitie (menindaki sendiri.(Sarundayang,


(26)

1999).Menurut Bagir Manan (2001) otonomi bukan sekedar pemencaran penyelenggaraan pemerintahan untuk mencapai efisiensi dan efektivitas pemerintahan.Otonomi adalah sebuah tatanan ketatanegaraan (staatsrechtelijk), bukan haya tatanan administrasi negara (administratiefrechtelijk).Sebagai tatanan ketatanegaraan otonomi berkaitan dengan dasar-dasar bernegara dan susunan organisasi negara.

Menurut Rasyid (2000), desentralisasi dan otonomi daerah mempunyai tempatnya masing-masing. Istilah otonomi lebih pada political aspect (aspek politik-kekuasaan negara), sedangkan desentralisasi lebih cenderung pada administrative aspect (aspek administrasi negara).Namun jika dilihat dari konteks sharing of power (berbagi kekuasaan), kedua istilah tersebut mempunyai keterkaitan yang erat dan tidak dapat dipisahkan.

Istilah otonomi mempunyai makna kebebasan atau kemandirian (zelfstanddigheid) tetapi bukan kemerdekaan (onafhankelijkheid).Kebebasan yang terbatas atau kemandirian itu adalah wujud pemberian kesempatan yang harus dipertanggungjawabkan. Dalam pemberian tanggungjawab, menurut Ateng Syafrudin (1982) terkandung dua unsur yaitu :

1. Pemberian tugas dalam arti sejumlah pekerjaan yang harus diselesaikan serta kewenangan untuk melaksanakannya;

2. Pemberian kepercayaan berupa kewenangan untukmemikirkan dan menetapkan sendiri bagaimana menyelesaikan tugas itu.

Pada bagian lain Bagir Manan (1993) menyatakan,otonomi adalah kebebasan dan kemandirian (vrijheid dan zelfsatndigheid) satuan pemerintahan lebih rendah untuk mengatur dan mengurus sebagian urusan pemerintahan. Urusan pemerintahan yang boleh diatur dan diurus secara bebas dan mandiri itu menjadi atau merupakan urusan rumah tangga satuan pemerintahan yang lebih rendah tersebut.Kebebasan dan kemandirian merupakan hakikat isi otonomi.

Kebebasan dan kemandirian dalam otonomi bukan kemerdekaan (onafhankelijkheid), independency).Kebebasan dan kemandirian itu adalah kebebasan dan kemandirian dalam ikatan kesatuan yang lebih besar.Otonomi sekedar subsistem dari sistem kesatuan yang lebih besar. Dari segi hukum tata negara khususnya teori bentuk negara, otonomi adalah subsistem dari negara kesatuan (unitary state, ennheidstaat). Otonomi adalah fenomena negara


(27)

kesatuan.Segala pengertian (begriip) dan isi (materiel) otonomi adalah pengertian dan isi negara kesatuan.Negara kesatuan merupakan landasan atas dari pengertian dan isi otonomi.

Sementara Bhenyamin Hoessein (1993), mengartikan otonomi hampir paralel dengan pengertian “demokrasi”, yaitu pemerintahan dari, oleh, dan untuk rakyat di bagian wilayah nasional suatu negara melalui lembaga-lembaga pemerintahan yang secara formal berada di luar Pemerintah Pusat. Bahkan otonomi dapat diberi arti luas atau dalam arti sempit.Dalam arti luas, otonomi mencakup pula tugas pembantuan sama-sama mengandung kebebasan dan kemandirian. Pada otonomi, kebebasan dan kemandirian itu penuh meliputi baik asas maupun cara menjalankannya, sedangkan pada tugas pembanguan, kebebasan dan kemandirian hanya terbatas pada cara menjalankan. Dari pengertian tersebut terlihat antara otono I dan demokrasi merupakan satu kesatuan semangat sebagai bentuk pemerintahan yang menempatkan rakyat sebagai penentu yang utama dalam negara.

Ditinjau dari mekanisme pemberian otonomi dalam negara kesatuan (unitarisme) otonomi diberikan oleh Pemerintah Pusat (central government), sedangkan Pemerintah Daerah hanya menerima penyerahan dari Pemerintah Pusat.Berbeda halnya dengan otonomi daerah di negara federal, dimana otonomi daerah telah melekat pada negara-negara bagian, sehingga urusan yang dimiliki oleh pemerintah federal pada hakikatnya adalah urusan yang diserahkan oleh negara bagian.

Konstelasi tersebut menunjukkan bahwa dalam negara kesatuan kecenderungan kewenangan yang besar berada di central government, sedangkan dalam negara federal kecenderungan kewenangan yang besar pada local government. Hal ini menyebabkan Pemerintah Daerah dalam negara kesatuan seperti Indonesia lebih banyak menggantungkan otonominya pada political will Pemerintah Pusat, yaitu sampai sejauh mana Pemerintah Pusat mempunyai niat baik untuk memberdayakan local government melalui pemberian wewenang yang lebih besar.

3. Beberapa Jenis Sistem Otonomi

Dalam pelakanaan penyelenggaraan pemerintahan daerah di setiap negara, terdapat berbagai urusan di daerah, dimana suatu urusan tetap menjadi


(28)

urusan Pemerintah Pusat dan urusan lain menjadi urusan tumah tangga daerah sendiri, sehingga harus ada pembagian yang jelas. Dalam rangka melaksanakan cara pembagian urusan dikenal adanya sistem otonomi yang dikenal sejak dulu, yakni cara pengisian rumah tangga daerah atau sistem rumah tangga daerah.

Sistem rumah tangga daerah adalah tatanan yang bersangkutan dengan cara membegi wewenang, tugas dan tanggung jawab mengatur dan mengurus urusan pemerintahan antara Pusat dan Daerah. Salah satu penjelmaan pembagian tersebut adalah bahwa daerah-daerah akan memiliki sejumlah urusan pemerintahan baik atas dasar penyerahan atau pengakuan maupun yang dibiarkan sebagai urusan rumah tangga daerah.

Bila otonomi diartikan sebagai segala tugas yang ada pada daerah atau dengan kata lain apa yang harus dikerjakan oleh Pemerintah Daerah, maka di dalamnya melekat kewenangan yang meliputi kekuasaan (macht; bevoegdheiden), hak (recht) atau kewajiban (plicht) yang diberikan kepada daerah dalam menjalankan tugasnya. Masalahnya kewenangan mana yang diatur oleh Pemerintah Pusat dan kewenangan mana yang diatur Pemerintah Daerah. Sehubungan dengan itu, secara teoretik dan praktik menurut Sarundayang (1999) dijumpai lima jenis sistem otonomi atau sistem rumah tangga yaitu :

a. Otonomi organis (rumah tangga organik) b. Otonomi formal (rumah tangga formal)

c. Otonomi material (rumah tangga materiil/substantif) d. Otonomi riil (rumah tangga riil)

e. Otonomi nyata, bertanggung jawab dan dinamis.

Kelima jenis otonomi (rumah tangga) tersebut diuraikan satu persatu oleh Sarundayang (1999), sebagai berikut :

Pertama, otonomi organik atau rumah tangga organik; otonomi bentuk ini pada dasarnya menentukan bahwa urusan—urusan yang menyangkut kepentingan daerah diibaratkan sebagai orgran-organ kehidupan yang merupakan suatu sistem yang menentukan mati hidupnya manusia, misalnya jantung, paru-paru, ginjal, dan sebagainya. Tanpa kewenangan untuk mengurus berbagai urusan vital, akan berakibat tidak berdayanya atau matinya daerah;

Kedua, otonomi formal atau rumah tangga formal; otonomi bentuk ini adalah apa yang menjadi urusan otonomi tidak dibatasi secara positif.


(29)

satunya pembatasan adalah daerah otonom yang bersangkutan tidak boleh mengatur apa yang telah diatur oleh perundangan yang lebih tinggi tingkatannya. Dengan demikian daerah otonom lebih bebas mengatur urusan rumah tangganya, sepanjang tidak memasuki “area” urusan Pemerintah Pusat.Otonomi seperti ini merupakan hasil dari pemberian otonomi berdasarkan teori sisa, dimana Pemerintah Pusat lebih dulu menetapkan urusan-urusan yang dipandang lebih layak diurus pusat, sedangkan sisanya diserahkan kepada Pemerintah Daerah.

Ketiga, otonomi materiil atau rumah tangga materiil; dalam otonomi bentuk ini kewenangan daerah otonom dibatasi secara positif yaitu dengan menyebutkan secara limitatif dan terinci atau secara tegas apa saja yang berhak diatur dan diurusnya. Dalam otonomi materiil ini ditegaskan bahwa untuk mengetahui apakah suatu urusan menjadi rumah tangga sendiri, harus dilihat pada substansinya. Artinya bila suatu urusan secara substansial dinilai dapat menjadi urusan Pemerintah Pusat, maka pemerintah lokal yang mengurus rumah tangga sendiri pada hakekatnya tidak akan mampu menyelenggarakan urusan tersebut. Sebaliknya apabila suatu urusan secara substansial merupakan urusan daerah, maka Pemerintah Pusat meskipun dilakukan oleh wakil-wakilnya yang berada di daerah (Pemerintah Pusat di daerah), tidak akan mampu menyelenggarakannya. Kemudian untuk penyelenggaraan rumah tangga itu objek tugas yang dikuasakan wewenang satu demi satu atau dirinci secara enumeratif;

Keempat, otonomi riil atau rumah tangga riil; otonomi bentuk ini merupakan gabungan antara otonomi formal dengan otonomi materiil. Dalam Undang-undang pembentukan otonomi, kepada Pemerintah Daerah diberikan wewenang sebagai wewenang pangkal dan kemudian dapat ditambah dengan wewenang lain secara bertahap, dan tidak boleh bertentangan dengan peraturan-perundangan yang lebih tinggi tingkatannya. Atau dengan kata lain, otonomi riil ini pada prinsipnya menentukan bahwa pengalihan atau penyerahan wewenang urusan tersebut didasarkan pada kebutuhan dan keadaan serta kemampuan daerah yang menyelenggarakannya;

Kelima, otonomi nyata, bertanggungjawab, dan dinamis, artinya : nyata, artinya pemberian urusan pemerintahan di bidang tertentu kepada Pemerintah


(30)

Daerah memang harus disesuaikan dengan faktor-faktor tertentu yang hidup dan berkembang secara objektif di daerah. Hal tersebut harus senantiasa disesuaikan dalam arti diperhitungkan secara cermat dengan kebijaksanaan dan tindakan-tindakan, sehingga diperoleh suatu jaminan bahwa daerah itu secara nyata mampu mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Dalam praktik bahwa isi otonomi antara daerah yang satu dengan daerah lainnya tidaklah sama, baik mengenai jumlah maupun jenisnya. Hal itu wajar karena setiap daerah memiliki perbedaan baik letak geografis, kondisi geologis, maupun budaya, adat istiadat, serta potensi yang dimilikinya.

Bertanggung jawab, artinya pemberian otonomi kepada Pemerintah Daerah senantiasa diupayakan supaya selaras atau sejalan dengan tujuannya yaitu melancarkan pembangunan yang tersebar di seluruh pelosok negara.Ini untuk menjamin hubungan antara pusat dan daerah dalam suasana yang harmonis dan lebih dari itu untuk menjamin perkembangan dan pembangunan antar daerah yang serasi sehingga laju pertumbuhan antar daerah dapat seimbang.

Dinamis, artinya otonomi ini menghendaki agar pelaksanaan otonomi senantiasa menjadi sarana untuk memberikan dorongan lebih baik dan maju atas segala kegiatan pemerintahan dalam rangka memberikan pelayanan yang semakin meningkat mutunya.Menurut Josep Riwu Kaho (1991) menyatakan bahwa prinsip ini merupakan salah satu variasi dari system otonomi riil.

Dari kelima jenis sistem otonimi itu, secara umum yang dipraktekkan hanya 3 (tiga) jenis, yaitu sistem rumah tangga formal, sistem rumah tangga materiil dan sistem rumah tangga nyata atau riil dengan beberapa varian.Sementara RDH Koesoematmadha (1979) menggunakan istilah ajaran rumah tangga (huishoudingsleer) terbagi tiga jenis yang terkenal yakni; pengertian rumah tangga secara materiil (materiele hushoudings bergrip), pengertian rumah tangga secara formil (formele hushoudings bergrip), pengertian rumah tangga secara riil (reele hushoudings bergrip).

Dalam peraturan perundang-undangan Republik Indonesia, beberapa jenis sistem otonomi atau sistem rumah tangga daerah yang disebutkan di atas mengalami perubahan dalam penerapannya.Oleh Caltin dalam bukunya “the Prinsiple of Politics” yang dikutip oleh Ateng Syarifudin (1983) hal itu disebut


(31)

dengan istilah “eksperimental”.Begitu pula yang terjadi sejak berdirinya negara RI memang bersifat eksperimental, kiranya dapat disimpulkan dari bergantinya perundang-undangan yang mengatur materi itu dengan berlandaskan asas otonomi yang berubah-udah pula.

Kesimpulan tersebut menurut RDH Koesoemaatmadja (1979) dapat diajukan dengan beberapa bukti, yakni; UU No. 1 Tahun 1945 cenderung menganut sistem otonomi formal, UU No. 22 Tahun 1948 menganut sistem rumah tangga materiil dengan pola keseragaman (uniformitas). Sementara dengan penafsiran yang aga berbeda, ada juga yang menyatakan bahwa UU No. 22 Tahun 1948 dan UU No. 44 Tahun 1950 menggunakan sistem campuran antara pengertian rumah tangga materiil dan pengertian rumah tangga formal.

Selanjutnya Penpres No. 6 Tahun 1959 dan Penpres No. 5 Tahun 1960 mengikuti dan mempertahankan sistem rumah tangga seluas-luasnya dan sistem rumah tangga daerah nyata sebagaimana yang dianut oleh UU No. 1 Tahun 1957. UU No. 18 Tahun 1965 yang dicurigai berbau komunis secara keseluruhan meneruskan politik otonomi yang diatur dalam Penpres No. 6 Tahun 1959 dan Penpres No. 5 Tahun 1960 yaitu menganut sistem otonomi seluas-luasnya dan sistem rumah tangga daerah nyata. Undang-Undang ini diperkuat dengan TAP MPRS No.XXI/MPRS/1996 tentang pemberian otonomi yang seluas-luasnya kepada daerah.Namun sebelum UU dan TAP MPRS itu dilaksanakan ada peristiwa.

Dari sistem otonomi di berbagai peraturan perundang-undangan pemerintah daerah di atas, ternyata semua jenis sistem rumah tangga daerah yang dikenal telah dicoba untuk diterapkan.Namun sistem otonomi nyata (riil) yang dianggap paling memadai. Sistem otonomi ini pertama kali dicantumkan dalam UU No. 1 Tahun 1957 sebagai pelaksana Pasal 131 dan Pasal 132 UUDS 1950 memuat beberapa asas otonomi antara lain pemberian otonomi seluas-luasnya. Asas pemberian otonomi seluas-luasnya tetap dipertahankan dalam UU No. 18 Tahun 1965 meskipun Undang-Undang ini dibuat setelah UUDS 1950 tidak berlaku lagi dan kembali ke UUD 1945.

Semboyan melaksanakan UUD 1945 secara murni dan konsekuen kehendak melaksanakan otonomi seluas-luasnya tetap dipertahankan pada masa orde baru, tetapi dasar politik otonomi tidak dipertahankan oleh UU No. 5 Tahun


(32)

1974 tentang Pemerintahan Daerah. Dalam penjelasan Undang-Undang tersebut dinyatakan bahwa pemberian otonomi seluas-luasnya “dapat menimbulkan kecenderungan pemikiran yang dapat membahayakan keutuhan negara kesatuan dan tidak serasi dengan maksud dan tujuan pemberian otonomi kepada daerah”.Dari penjelasan ini dapat ditangkap bahwa otonomi luas secara intrinsik mengandung ancaman tertentu terhadap keutuhan negara kesatuan. Namun demikian tidak perna ada kejelasan mengenai bagaimana sesungguhnya isi otonomi yang dikehendaki UUD 1945 (sebelum amandemen) dan apakah mungkin menyebut otonomi seluas-luasnya mengandung bahaya, sedangkan hal tersebut belum pernah dilaksanakan atauada pengalaman lain yang dapat dipergunakan sebagai petunjuk.

Dengan beragamnya sistem otonomi yang terdapat dalam beberapa UU Pemerintah Daerah yang bersumber pada UUD 1945 yang asli, maka UUD 1945 pasca amandemen telah menunjukkan kemajuan yang sangat berarti dalam menghadapi perkembangan otonomi di masa datang yaitu secara tegas merumuskan di dalam Pasal 18 ayat (5) “Pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh Undang-Undang ditentukan sebagai urusan Pemerintah Pusat”.

Dengan diletakkannya mengenai sistem otonomi di dalam UUD 1945, secara yuridis memberikan landasan dan pedoman yang kuat bagi Undang-Undang organik di bidang pemerintahan daerah dimasa mendatang.Pengaturan yang demikian ternyata telah diakomodir oleh TAP MPR RI No.XV/MPR/1998 dan Undnag-Undang Nomor 32 Tahun 2004.

Semangat untuk mewujudkan otonomi semacam itu tergambar tidak hanya di dalam konsiderannya, tetapi juga di dalam ketentuan-ketentuan Pasal dan Penjelasannya. Seperti, Pasal 10 yang pada intinya menyebutkan “urusan pemerintahan” adalah semua urusan pemerintahan kecuali urusan pertahanan keamanan, urusan politik luar negeri, urusan moneter dan fiskal, urusan agama dan peradilan. Juga Pasal 13 mengatur ada urusan (bidang) pemerintahan yang wajib dijalankan Provinsi yaitu pendidikan, kesehatan, lingkungan hidup, pekerjaan umum, perhubungan, dan lain-lain.Disamping itu ada urusan pilihan sektor unggulan. Untuk Provinsi ditemukan secara umum yaitu urusan (bidang) pemerintahan yang bersifat lintas kabupaten dan kota urusan pemerintahan


(33)

tertentu serta urusan (bidang) pemerintahan yang belum dapat dilaksanakan kabupaten dan kota. Berpedoman pada uraian-uraian di atas, terkandung suatu prinsip bahwa dalam pemberian otonomi harus disusuaikan dengan potensi daerah yang berbeda-besa. Oleh karena itu, menurut Bagir Manan (2001) dalam penentuan isi otonomi daerah minimal ada dua hal yang penting untuk diperhatikan yaitu :

1. Pemberian otonomi seluas-luasnya mengandung arti kemandirian daerah. Betapapun banyak urusan yang diserahkan, apabila daerah tidak mandiri tidak akan mewujudkan otonomi yang sebenarnya. 2. Penyelenggaraan otonomi riil (nyata) tidak menghendaki prinsip

uniformitas dalam penyerahan dengan kenyataan yang ada pada daerah tersebut.

C. Desentralisasi dan Kewenangan

1. Kewenangan dan Urusan

Salah satu permasalahan yang menonjol dalam konteks kebijakan desentralisasi adalah perbedaan persepsi mengenai pengertian “kewenangan” (authority) dan “urusan” (functions). Istilah “urusan pemerintahan” pada masa lalu banyak digunakan dalam pengaturan dan penyelenggaraan pemerintahan daerah seperti dalam UU Nomor 5 Tahun 1974, khsusnya dalam konteks pembagian tugas antara Pusat dan Daerah.Dewasa ini istilah tersebut tidak digunakan lagi dan diganti dengan istilah “kewenangan” dan “bidang pemerintahan”. UU Nomor 22 Tahun 1999 menggunakan istilah “kewenangan” dan UU Nomor 32 Tahun 2004 menggunakan istilah “urusan pemerintahan”.

Secara konseptual, istilah kewenangan tidak bisa disamakan dengan istilah urusan pemerintahan, karena kewenangan dapat diartikan sebagai hak dan atau kewajiban untuk menjalankan satu atau beberapa fungsi manajemen (pengaturan, perencanaan, pengorganisasian, pengurusan, pengawasan) atas suatu obyek tertentu yang ditangani oleh pemerintah. Cheema dan Rondinelli (1983), mengatakan bahwa kewenangan lebih tepat diartikan dengan authority, sedangkan Hans Antlov (1998) menggunakan istilah power, Peter A. Watt (dalam Aziz dan Arnold, 1996) berpendapat bahwa istilah urusan pemerintahan dapat disamakan dengan istilah bidang pemerintahan seperti government


(34)

taskataupun istilah government function. Dalam praktek secara internasinal penggunaan istilah tersebut belum seragam antara satu negara dengan negara lain ataupun antara satu ahli dan ahli lainnya.

Dari literatur tentang desentralisasi yang sudah dikemukakan terlihat bahwa istilah urusan pemerintahan lebih melekat kepada pengertian public functions. Namun dalam berbagai hal, istilah urusan pemerintahan sering digunakan secara bersamaan dengan istilah kewenangan. Dalam UU Nomor 22 Tahun 1999, konsep kewenangan digunakan untuk urusan pemerintahan yang pengertiannya mengarah kepada bidang/sektor, sedangkan UU Nomro 32 Tahun 2004, konsep urusan pemerintahanmerupakan pelaksanaan hubungan kewenangan antara Pemerintah dan Pemerintahan daerah Provinsi, kabupaten dan kota atau antar pemerintahan daerah yang saling terkait, tergantung dan sinergissebagai satu sistem pemerintahan, yang terdiri atas urusan wajib dan urusan pilihan.

Kewenangan merupakan salah satu konsepsi inti dalam Hukum Administrasi Negara.Prajudi, (1994) menyatakan bahwa pengertian kewenangan dan wewenang (competence, bevoegdheid) walaupun dalam praktek pembedaannya tidak selalu dirasakan perlu. Selanjutnya dikatakan adalah apa yang disebut kekuasaan formal, kekuasaan yang berasal darikekuasaan legislatif (diberikan oleh UU) atau dari kekuasaan eksekutif administratif.

Di dalam kewenangan terdapat wewenang-wewenang (rechtsbevoegdheven). Wewenang adalah kekuasaan untuk melakukan sesuatu tindakan hukum publik,misalnya wewenang menandatangani/menerbitkan surat-surat izin dari seorang pejabat atas nama menteri, sedangkan kewenangan tetap berada di tangan menteri (delegasi wewenang).

Dengan demikian kewenangan tidak bisa didelegasikan kepada orang lain, sedangkan wewenang-wewenang tersebut semuanya dapat didelegasikan kepada orang lain. Semua urusan pemerintahan yang termasuk dalam bidang perguruan tinggi, adalah kewenangan Menteri Pendidikan Naisonal. Jika di dalam kementerian terdapat sub ordinat tertentu seperti urusan kepegawaian, kesejahteraan, dan lain-lain, maka wewenang itu dapat didelegasikan kepada pejabat bawahannya,termasukkepada satuan pemerintahan yang lebih rendah di daerah.


(35)

Pemberian kewenangan kepada administrasi negara untuk bertindak atas inisiatif sendiri itu dikenal dengan istilah freies Ermessen atau discretionari power; yaitu suatu istilah yang di dalamnya mengandung kewajiban dan kekuasaan yang luas.Nata Saputra (dalam Ridwan HR, 2006), mengartikan freies Ermessen sebagai suatu kebebasan yang diberikan kepada alat administrasi, yaitu kebebasan yang pada asasnya memperkenalkan alat administrasi negara mengutamakan keefektifan tercapainya suatu tujuan dari pada berpegang teguh kepada ketentuan hukum.Atau kewenangan untuk turut campur dalam kegiatan sosial guna melaksanakan tugas-tugas untuk mewujudkan kepentingan umum dan kesejahteraan sosial atau warga negara.Pemberian freies Ermessen kepada pemerintah atau administrasi negara mempunyai konsekuensi tertentu dalam bidang legislasi.Dengan bersandar pada freies Ermessen, administrasi negara memiliki kewenangan yangcukup untuk melakukan berbagai tindakan hukum dalam rangka melayani kepentingan masyarakat atau mewujudkan kesejahteraan umum, dan untuk melakukan tindakan itu diperlukan istrumen hukum. Artinya, bersaman dengan pemberian kewenangan yang luas untuk bertindak diberikan pula kewenangan untuk membuat instrumen hukumnya. Pembentukan organisasi perangkat daerah, juga merupakan diskresi dariPemerintah Daerah.Diskresi untuk menjaga fleksibilitas Pemerintah Daerah dalam menentukan organisasi perangkat daerah.

Wewenang menurut Stout (Ridwan, 2000) adalah pengertian yang berasal dari hukum organisasi pemerintahan, yang dapat dijelaskan sebagai keseluruhan aturan-aturan yang berkenaan dengan perolehan dan penggunaan wewenang pemerintahan oleh subyek hukum publik di dalam hubungan hukum publik.

Toonaer (Ridwan, 2000) pula mengemukakan bahwa kewenangan pemerintahan adalah kemampuan untuk melaksanakan hukum positif, sehingga dengan demikian dapat diciptakan hubungan hukum antara pemerintah dengan warga negara.

Menurut Bagir Manan dalam Ridwan, (2000), wewenang dalam bahasa hukum tidak sama dengan kekuasaan (macht). Kekuasaan hanya menggambarkan hak untuk berbuat atau tidak berbuat.Dalam hukum, wewenang sekaligus berarti hak dan kewajiban (rechten en pelichten).Dalam kaitan dengan


(36)

otonomi daerah, hak mengandung pengertian kekuasan untuk mengatur sendiri (zelfregelen) dan mengelola sendiri (Zelfbesturen). Sedangkan kewajiban terdiri kewajiban horisontal dan kewajiban vertikal.

Kewajiban secara horisontal berarti kekuasaan untuk menyelenggarakan pemerintahan sebagaimana pemerintahan dalam satu tertib ikatan pemerintahan negara secara keseluruhan.Dalam negara hukum, wewenang pemerintahan berasal dari peraturan perundang-undangan yang berlaku.

2. Sumber-sumber Kewenangan

Menurut Suwoto Mulyosudarmo, (1997), pada dasarnya pemberian kekuasaan dapat dibedakan mejadi dua macam :

a. Perolehan secara atributif;

b. Perolehan secara derivatif (delegasi dan mandat)

Perolehan kekuasaan secara atributif, menyebabkan terjadinya pembentukan kekuasaan, karena berasal dari keadaan yang belum ada menjadi ada.Kekuasaan yang timbul karena pembentukan secara atributif bersifat asli dan menyebabkan adanya kekuasaan yang baru. Perolehan kekuasaan secara derivatif adalah pelimpahan kuasa, karena dari kekuasaan yang telah ada dialihkan kepada pihak lain. Dengan demikian, pelimpahan kekuasaan ini adalah pelimpahan kekuasaanyang diturunkan.

Sementara itu, menurut HD van Wijk dan Willen Konijnenbelt dalam Marcus Lukman, (1997), terdapat 3 (tiga) model penyerahan wewenang, yaitu secara atribusi, delegasi, dan mandat. Atribusi adalah pemberian wewenang pemerintahan oleh pembuat undang-undang kepada organ pemerintahan (toekenning van een bestuursbevoegheid door een wetgever aan een bestuursorgaan).Kewenangan yang diperoleh secara atribusi bersifat asli yang berasal dari pembentukan undang-undang orisinil.Pada model ini, pemberian dan penerimaan wewenang dapat menciptakan wewenang baru atau memperluas wewenang yang ada.

Tanggung jawab intern dan ekstern pelaksanaan wewenang yang didistribusikan sepenuhnya berada pada penerima wewenang.Pertanggungjawaban internal diwujudkan dalam bentuk laporan pelaksanaan kekuasaan, sedangkan aspek eksternal adalah pertanggungjawaban


(37)

terhadap pihak ketiga apabila dalam melaksanakan kekuasaan melahirkan derita atau kerugian.

Sedangkan kewenangan delegasi adalahpelimpahan wewenang pemerintahan dari satu organ pemerintahan kepada organ pemerintahan lainnya (Delegatie; overdracht van een bevagheid van het ene bestuurorgan aan een ander). Pada konsep delegasi, tidak ada penciptaan wewenang dari pejabat yang satu kepada yang lainnya, atau dari badan administrasiyang satu pada yang lainnya.Penyerahan wewenang harus dilakukan dengan bentuk peraturan hukum tertentu.Pihak yang menyerahkan wewenang disebut “delegans”, sedangkan pihak yang menerima wewenang disebut “delegataris”.Setelah delegans menyerahkan wewenang kepada delegataris,maka tanggung jawab inern dan ekstern pelaksanaan wewenang, sepenuhnya berada pada delegataris.

Dengan demikian, menurut Suwoto, (1997), pendelegasian kekuasaan, delegataris adalah melaksanakan kekuasaan atas nama sendiri dan dengan tanggung jawab sendiri. Oleh sebab itu, pelimpahan itu disebut pelimpahan kekuasaan dan tanggungjawab. Sementara mandat terjadi ketika organ pemerintahanmengizinkan kewenangannya dijalankan oleh organ lain atas namanya (mandaat; een bestuursorgaan hat zijn bevogheid namens hem uitoefenen door een ander). Pada konsep mandat, mandataris hanya bertindak untuk dan atas nama pemberi mandat, sehingga tanggung jawab akhir dari keputusan yang diambil mandataris tetap berada pada pemberi mandat.

Adanya pembagian wewenang secara vertikal dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah baik dalam bentuk atribut maupun delegasi dimaksudkan agar pemerintah daerah dapat mengurus sendiri rumah tangganya berdasarkan kewenangan yang sudah dimilikinya.

Dengan demikian daerah otonom pada negara kesatuan, kewenangannya diperoleh melalui cara delegasi, yaitu kewenangan yang dimiliki oleh organ pusat didelegasikan kepada daerah untuk mengurus urusan rumah tangganya sendiri.

Berdasarkan uraian di atas maka prinsip utama negara hukum yaitu asas legalitas (wetmatigheid van bestuur) yang menyatakan secara tegas adanya suatu wewenang pemerintahan yang bersumber dari peraturan perundang-undangan, yang perolehannya melalui tiga cara, yaitu atribusi, delegasi dan mandat.


(38)

3. Kewenangan Daerah menurut UU Nomor32 Tahun 2004

Konsep otonomi daerah di Indonesia, yaitu otonomi dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), maka dapat dikemukakan pendapat dari Strong (2004), yang mengatakan bahwa dalam negara kesatuan (Unitaris), kedaulatan negara tidak dibagi-bagi, karena itu dalam negara kesatuan, pendistribusian kewenangan merupakan suatu hal yang sangat penting yang harus dilakukan secara cermat dan didasarkan pada asas desentralisasi, asas dekonsentrasi, dan asas pembantuan (medebewind).

Dari perspektif hubungan struktur kelembagaan, implikasi politik dari kewenangan urusan pemerintahan adalah adanya divergensi atau pembagian urusan, yang kemudian urusan yang dibagi ini menjadi kewenangan dari setiap struktur pemerintahan.Filosofi yang mendasari diperlukan adanya pembagian atau pemencaran urusan pemerintahan adalah karena wilayah negara terlalu luas untuk diurus olehPemerintah Pusat saja; oleh karena itu diperlukan desentralisasi dengan pembentukan daerah otonom dan pembagian urusan.

Penerapan konsep pendistribusian kewenangan seperti yang dikemukakan Strong, juga terlihat dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan republik Indonesia, yang secara vertikal memberikan kewenangankepada daerah baik pada daerah Provinsi, maupun Kabupaten/Kota. Pada prinsipnya kewenangan yang diberikan tersebut bukan dalam bentuk kewenangan untuk membentuk daerah berdaulat, melainkan otonomi daerah dalam kerangka NKRI. D. Dinamika Ketatanegaraan dan Kehadiran DPD RI

1. Perubahan UUD 1945

Reformasi yang terjadi di Indonesia pada tahun 1999 telah menyebabkan banyak perubahan di negeri ini, tidak terkecuali terhadap sistem dan praktik ketatanegaraan kita. Setiap gagasan akan perubahan tersebut sudah dituangkan dalam Amandemen pertama sampai keempat dari UUD’45. Apabila dilihat ke belakang, setidaknya ada empat gagasan fundamental berkaitan dengan proses amandemen di atas, yaitu Pertama, anutan prinsip pemisahan kekuasaan (separation of power) dengan segala implikasinya sebagai ganti dari prinsip pembagian kekuasaan (distribution of power). Kedua, diterapkannya kebijakan nasional yang menyangkut penyelenggaraan otonomi daerah yang


(39)

luasnya. Ketiga, gagasan pemilihan Presiden secara langsung, dan Keempat, gagasan pembentukan DPD yang akan melengkapi keberadaan DPR selama ini.1

Jika melihat ketentuan dalam Ketetapan MPR Nomor IV/MPR/1983 dan dijabarkan dalam UU Nomor 5 Tahun 1985 tentang Referendum membuat upaya perubahan UUD 1945 hampir mustahil dilakukan. Wacana perubahan UUD 1945 baru muncul setelah memasuki era reformasi.Bermula dari krisis moneter yang melanda Indonesia pada tahun 1997 yang tidak berhasil diatasi, bangsa Indonesia terjerembab ke dalam krisis multidimensional.Ketidakmampuan pemerintah mengatasi krisis dinilai oleh banyak kalangan sebagai akibat dari penerapan sistem sosial, politik, dan ekonomi yang tidak sesuai dengan perkembangan dan kebutuhan rakyat.Akibatnya, pada tahun 1998 terjadi gejolak politik, saat itu Presiden Soeharto didesak untuk mundur karena sebagian besar rakyat Indonesia menghendaki dilakukannya reformasi secara total.

Pada 21 Mei 1998 Presiden Soeharto mengundurkan diri dan digantikan oleh B.J. Habibie yang semula menjabat Wakil Presiden.

Kemudian disusul dengan dinamika ketatanegaraan sampai pada momentum memungkinkan perubahan UUD 1945 yang dilakukan pada waktu yang tepat saat hampir seluruh elemen masyarakat menghendaki adanya perubahan mendasar dalam kehidupan berbangsa dan bernegara2.

Terdapat beberapa materi strategis/pokok yang telah disempurnakan MPR pada saat melakukan perubahan UUD 1945, antara lain aturan keempat, aturan dasar mengenai penyelenggaraan negara secara demokratis dan modern, antara lain melalui pembagian kekuasaan yang lebih tegas, sistem saling mengawasi dan mengimbangi (checks and balances) yang lebih ketat dan transparan, serta pembentukan lembaga-lembaga negara baru untuk mengakomodasi perkembangan kebutuhan bangsa dan tantangan zaman3.

1

Asshiddiqie, Jimly, Format Kelembagaan Negara dan Pergeseran Kekuasaan Dalam UUD 1945, UII Press, 2005, h. 160, 161, 162.

2

Mahkamah Konstitusi RI, (2008), Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Buku I, Latar Belakang, Proses, dan Hasil Perubahan UUD 1945, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Jakarta. – hal 545. 3

Ibid


(40)

Dalam tahapan perubahan, penegasan mengenai pelaksanaan otonomi daerah seluas-luasnya dilakukan pada perubahan kedua, khususnya terdapat pada perubahan pada Pasal 18 ayat (5).

Tapi sebelumnya isu penting dalam proses perubahan salah satunya adalah terjadi satu-satunya pemungutan suara untuk memutuskan Pasal 2 ayat (1) UUD 1945 yang pada akhirnya menghapus eksistensi Utusan Golongan dan Utusan Daerah di dalam keanggotaan MPR sehingga anggota MPR terdiri atas anggota DPR dan anggota DPD yang dipilih melalui pemilu.

Perubahan ketiga tahun 2001, Pasal 22 UUD 1945 ditambah dua Bab yaitu Bab VIIA tentang Dewan Perwakilan Daerah yang terdiri dari 2 (dua) pasal dan Bab VIIB tentang Pemilihan Umum.

2. Dua Kamar atau Satu Kamar

Jika ditelusuri secala kelembagaan sulit untuk dipahami, karena tampak seperti ada dua lembaga perwakilan rakyat (MPR dan DPR).Padahal sesungguhnya lembaga perwakilah rakyat seperti ini tidak dapat disebut sebaggai sistem perwakilan rakyat dua kamar, dan sebaliknya, tidak pula dengan mudah disebut sebagai lembaga perwakilan rakyat satu kamar.Hal ini disebabkan oleh keberadaan masing-masing lembaga pada posisi yang tidak sejajar.4

Begitu pula dengan DPR dan DPD, dengan dilakukan Amandemen keempat UUD 1945 memberi kesan terhadap DPR dan DPD dua kamar, walaupun jumlahnya beda, lingkup tugas dan kewenangan beda. Padahal kenyataannya DPR lebih besar dalam kewenangan, sedangkan DPD terkesan kewenangannya terbatas dengan kekuatan kewenangan yang melekat pada DPR, sehingga beberapa pendapat mengatakan DPD hanya sebagai pelengkap, bahkan dalam penelusuran proses penelitian ini ada beberapa responden yang mengatakan sebaiknya DPD ditutup saja.

Kelahiran DPD bukan sama seperti model bicameral system dalam sistim politik negara federal tetapi karena pengalaman Indonesia sendiri selama tahun 1945 (model Indonesia sesuai dinamika yang dialaminya).

4

Dr. Eddy Purnama, SH.,MH., (2007), Negara Kedaulatan Rakyat; Analisis terhadap Sistem Pemerintahan Indonesia dan Perbandingannya dengan Negara-Negara Lain.


(1)

Jawaban: Bpk. Elly Lasut

Soal kerjasama pendidikan nanti akan diupayakan, satu hal keinginan saya yaitu ingin menjadi mahasiswa fak. Hukum, nanti akan diupayakan untuk pegawai dapat belajar di fak. hukum.

Kerjasama untuk kuliah di Australia, dimana 20 orang yang ingin belajar di sana, ketika selesai kuliah harus menetap dan membangun pulau Miangas.

Salah satu langkah yang diambil yaitu informasi korupsi yang berbau menyudutkan pemerintah daerah yakni dengan korupsi, namun kami sebagai pemerintah akan berusaha untuk dapat berbuat lebih banyak agar tercipta pemerintahan yang baik, bersih dan jujur.


(2)

BAB VI

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Indonesia sebagai negara kesatuan yang memiliki wilayah demikian luas dengan keanekaragaman yang sangat kompleks, pemberian otonomi kepada daerah merupakan sesuatu yang mutlak. Kesadaran akan mutlaknya otonomi daerah tersebut dimulai oleh para pendiri dan pembentuk Republik ini sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 18 UUD 1945 yang kemudian diikuti dengan berbagai undang-undang yang sesuai dengan perkembangan situasi dan kondisi masyarakat / negara pada waktu tersebut.

Dengan diletakkannya mengenai sistem otonomi di dalam UUD 1945, secara yuridis memberikan landasan dan pedoman yang kuat bagi Undang-Undang organik di bidang pemerintahan daerah dimasa mendatang.Pengaturan yang demikian telah diakomodir oleh TAP MPR RI No.XV/MPR/1998 dan Undnag-Undang Nomor 32 Tahun 2004.

Semangat untuk mewujudkan otonomi semacam itu tergambar tidak hanya di dalam konsiderannya, tetapi juga di dalam ketentuan-ketentuan Pasal dan Penjelasannya. Seperti, Pasal 10 yang pada intinya menyebutkan “urusan pemerintahan” adalah semua urusan pemerintahan kecuali urusan pertahanan keamanan, urusan politik luar negeri, urusan moneter dan fiskal, urusan agama dan peradilan. Juga Pasal 13 mengatur ada urusan (bidang) pemerintahan yang wajib dijalankan Provinsi yaitu pendidikan, kesehatan, lingkungan hidup, pekerjaan umum, perhubungan, dan lain-lain.Disamping itu ada urusan pilihan sektor unggulan. Untuk Provinsi ditemukan secara umum yaitu urusan (bidang) pemerintahan yang bersifat lintas kabupaten dan kota urusan pemerintahan tertentu serta urusan (bidang) pemerintahan yang belum dapat dilaksanakan kabupaten dan kota. Berpedoman pada uraian-uraian di atas, terkandung suatu prinsip bahwa dalam pemberian otonomi harus disusuaikan dengan potensi daerah yang berbeda-beda.


(3)

Dalam analisis hasil penelitian “dapat saja” dikatakan bahwa ketertinggalan pembangunan di daerah-daerah salah satu indikatornya yang sangat berpengaruh yang tidak disadari selama ini adalah karena para pengambil kebijakan/penentu; tidak tinggal dan hidup di daerah (tertinggal) tapi (lebih ber-kecenderungan) hidup dan tinggal di pusat ibukota (jiwanya ada di pusat ibu kota), sehingga secara psikologis, insting kepekaan batinia untuk membangun daerah (membangun rumah sendiri) tidak ada, kalaupun ada hanya karena tuntutan atas dorongan formalitas jabatannya saja, bukan timbul dari dorongan kepekaan bathin, sehingga gaungnya timbul sekedar retorika dan yang dihasilkan adalah berbagai macam konsep-konsepan ‘membangun’ dan tidak teraktualisasi karena hanya dokemen ‘laporan’ sebagai pemenuhan syarat administrasi semata sebagai wakil rakyat.

Kalau DPR konsentrasi kehidupannya di ibukota negara, seharusnya DPD harus memili lebih banyak hidup dan bergaul di daerah utusannya.Anggota DPD dengan kehidupannya sehari-hari di daerah dapat langsung merekam keberadaan daerah tersebut dan dibawah dalam sidang DPD tanpa melalui mekanisme tawar menawar dan untung rugi partai politik seperti yang terjadi lewat perwakilan partai politik.

Dalam penelitian ini, gambaran yang dapat diungkapkan mengenai keberadaan DPD RI sehubungan dengan pelaksanaan otonomi daerah adalah bahwa dengan kehadiran DPR RI, hubungan pusat dan daerah secara struktur kelembagaan dipandang dapat menjangkau semua aspirasi dan kebutuhan seluruh daerah di wilayah NKRI. Tetapi menjadi kendala adalah egoisme/egosentris kelembagaan yang sesungguhnya hal itu datang dari kesadaran personal (mentalitas SDM) internal DPD itu sendiri dan lembaga lain yang menganggap DPD hanya sebagai pelengkap tuntutan reformasi tanpa fungsi (pemeran “figuran”).

B.SARAN

DPD harus diadvokasi dan “diberdayakan” di dalam tubuh parlemen. Harus ada advokasi dari semua komponen untuk menghentikan pengebirian terhadap fungsi dan kewenangan DPD dan mewacanakan kepada publik bahwa realitas politik ini jangan sampai dianggap sebagai sesuatu yang wajar.


(4)

Advokasi ini juga harus pada level aksi mendorong secara kuat terjadinya perubahan di level perundangan yang mengatur fungsi dan kewenangan DPD dalam kerangka penguatan DPD RI. DPD RI yang kokoh akan berarti memperkuat legitimasi lembaga perwakilan di hdapan publik.

Memperkuat DPD adalah pilihan paling masuk akal, bahkan suatu kelaziman agar lembaga perwakilan kita bisa sesuai dengan napas dan gerak demokrasi di negeri ini.

Setidaknya ada beberapa alasan mengapa DPD harus diperkuat. Pertama, persoalan fundamental dalam berbangsa dan bernegara, integrasi bangsa. Hampir semua negara yang memiliki wilayah begitu luas, dengan jumlah penduduk besar, serta di dalamnya terdapat dinamika dari aneka suku dan agama, lembaga perwakilannya menganut sistem dua kamar. Apakah Negara tersebut bentuk kesatuan atau federal, dengan sistem pemerintahan presidensial atau parlementer, itu bukan soal utama. Bikameralisme tidak melulu dipakai oleh negara berbentuk federal, tetapi negara kesatuan yang menerapkan desentralisasi, seperti Indonesia, juga sangat penting menerapkannya. Bikameralisme harus dimaknai sebagai instrumen untuk memperkuat kesatuan negara.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

Amrah Muslimin, Aspek-aspek Hukum Otonomi Daerah, Alumni, Bandung, 1982.

Arief Muljadi, Landasan dan Prinsip Otonomi Daerah dalam Negara Kesatuan RI, Pustaka, Jakarta, 2005.

Ateng Syafrudin, Memantapkan Pemerintahan Yang Bersih, Kuat dan Berwibawah, Tarsito, Bandung, 1982.

---. Pemerintahan di Daerah dan Pelaksanaannya, Tarsito, Bandung, 1982.

Baban Sobandi, dkk, Desentralisasi dan Tuntutan Penataan Kelembagaan Daerah, Humaniora, Bandung, 2005.

Bagir Manan., Menyongsong Fajar Otonomi Daerah, Pusat Studi Hukum Fakultas Hukum UII, Yogyakarta, 2001.

Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2005.

Bhenjamin Hoessein, Perspektif Jangka Panjang Desentralisasi dan Otonomi Daerah, Makalah Bappenas, Jakarta.

Deddy Supriady Bratakusuma dan Dandang Solichin, Otonomi Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2003.

Dharma Setyawan Salam, Otonomi Daerah dalam Perspektif Lingkungan, Nilai dan Sumber Daya, Djambatan, Jakarta, 2004.

Filler, Ewal (ed), Children in Touble United Nations Expert Group Meeting, Austrian Federal Manistry For Youth and Family, Austria, 1995.

Gautama, C, Konvensi Hak Anak Panduan Bagi Jurnalis, Lembaga Studi Pers dan Pembangunan, Bekerjasama Dengan The Asia Foundation, Jakarta, 2000.

Gosita Arif, MasalahPerlindunganAnak, AkademikaPresindo, Jakarta, 1983. Irwanto, Perlindungan Anak, prinsip dan Persoalan Mendasar, Makalah pada

Seminar Kondisi dan Penaggulangan Anak Jermal, LAAI, 1997.

Katjasungkana, Nursahbani, LembagaPerlindunganAnak, Prospek dan Permasalahan, Plan Indonesia, Edisi No. 9. Jakarta, 1996.

Krisnawati Emeliana, AspekHukumPerlindunganAnak, CV. Utomo, Bandung, 2005.

Levin Leah Hak Asasi Anak-Anak, Dalam Hak Asasi Manusia (Human Rights) (Penterjemah) A. RahmanZainudin (Penyunting) dan PeterDavies, YayasanOborIndonesia, Jakarta, 1994.

Mohammad, J, AspekHukumPerlindunganAnak, CitraAdityaBakti, Jakarta, 1999.


(6)

Salam FaisalMoch, Pengadilan HAM Di Indonesia, Pustaka, Bandung, 2002. St. Sularto, SeandainyaAkuBukanAnakmu, PT.Kompas, Jakarta, 2002.

Suseno FranzMagnis, Kuasa & Moral, PT. GramediaPustakaUtama, Jakarta. 2001.

Syamsuddin, M.S, NormaPerlindunganDalamHubungan Industrial, Sarana Bhakti Persada, Jakarta, 2004.

Wahyono Agung, Tinjauan tentang Peradilan Anakdi Indonesia, SinarGrafika, Jakarta, 1993.

Sumber-sumber lain

Undang-undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang KesejahteraanAnak Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang PerlindunganAnak Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HakAsasiManusia Undang-undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang KesejahteraanAnak Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Web Site :

http://revitriyoso.multiply.com/journal/

http://syihabasfa.wordpress.com/category/artikel/ http://www.kabarindonesia.com/berita