a. Anak yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan ada di bawah kekuasaan orang tuanya
selama mereka tidak dicabut dari kekuasaannya. b. Orang tua mewakili anak tersebut mengenai perbuatan hukum di
dalam dan di luar pengadilan.
2. Menurut Undang-ndang Nomor 4 Tahun 1979 Tentang kesejahteraan Anak
Menurut Pasal 9 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan anak, menyebutkan bahwa orang tua adalah yang pertama-
tama bertanggung jawab atas terwujudnya kesejahteraan anak baik secara rohani, jasmani maupun sosial. Sedangkan dalam penjelasan Pasal 9 ini,
bahwa : “Tanggung jawab orang tua atas kesejahteraan anak mengandung
kewajiban memelihara dan mendidik anak sedemikian rupa, sehingga anak dapat tumbuh dan berkembang menjadi orang yang cerdas, sehat, berbakti
kepada orang tua, berbudi pekerti luhur, bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berkemauan serta berkemampuan untuk meneruskan cita-
cita bangsa berdasarkan Pancasila”.
112
3. Menurut Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
. Dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
perlindungan anak dalam pasal 26 mengatur tentang kewajiban orang tua yaitu :
112
Pasal 9 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak
Universitas Sumatera Utara
Orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk : 1. Mengasuh, memelihara, mendididk dan melindungi anak.
2. Menumbuh, kembangkan anak sesuai dengan kemampuan.
Jadi dengan adanya perceraian, hadhanah bagi anak yang belum mumayyiz dilaksanakan oleh ibunya, sedangkan biaya pemeliharaan
tersebut tetap dipikulkan kepada ayahnya. Tanggungjawab itu tidak hilang walaupun telah terjadi perceraian. Sebab ibu diutamakan dalam
pemeliharaan anak, ialah “karena dialah yang berhak untuk melakukan hadhanah dan menyusui, karena ia lebih mengetahui dan lebih nampu
untuk mendidiknya, juga karena ibu mempunyai rasa kesabaran untuk melakukan tugas ini yang tidak dipunyai oleh bapak, juga ibu lebih punya
waktu untuk mengasuh anaknya daripada bapak”.
113
Pemeliharaan terhadap anak mempunyai dua sisi yang berbeda yaitu apabila pemeliharaan itu dilihit dari sisi kepentingan anak, maka
pemeliharaan anak itu menjadi kewajiban atas orang tua. Tetapi apabila pemeliharaan anak itu dilihat dari sisi kepentingan atas orang tua, maka
pemeliharaan anak itu menjadi hak dari orang tua. Pemeliharaan anak di dalam suatu perkawinan dilihat dari sisi kepentingan orang tua menjadi
hak kedua orang tua.
114
Dalam perlindungan anak pasca perceraian tidak hanya sebatas telah terpenuhinya ketentuan Undang-Undang. Sepanjang orang tua yang
telah bercerai dengan sadar dan beritikad baik mau menjalankan kewajibannya sesuai dengan ketentuan yang ada, masalah yang
113
Pasal 26 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
114
Berdasarkan hasil wawancara dengan hakim Pengadilan Agama Medan kelas IA, Haspar Pulungan pada tanggal 30 Mei 2013
Universitas Sumatera Utara
ditimbulkan oleh perceraian, terutama masalah anak, akan dapat diminimalkan. Mungkin ada anggapan bahwa dengan telah terpenuhinya
kebutuhan fisik anak maka masalah perlindungan anak sudah selesai. Tetapi tidak sesederhana itu, sebab dalam kenyataannya walaupun telah
ada putusan yang mewajibkan ayah membiayai pemeliharaan anaknya dibelakang hari ayah tersebut tidak perduli lagi dengan kewajibannya.
Oleh sebab itu perlu dipikirkan bagaimana upaya untuk mengoptimalkan perlindungan anak pasca perceraian orang tua, yang terutama sekali
dengan mengadakan peninjauan kembali terhadap konsep kekuasaan orang tua yang bersifat tunggal, serta menegaskan sanksi bagi pihak yang
melalaikan kewajiban pemeliharaan anaknya. Kalau ibu yang telah diserahi hak pemeliharaan anak ternyata
melalaikan kewajibannya maka hukuman baginya adalah mencabut hak pemeliharaan anak atau hak perwalian tersebut melalui permohonan dari
pihak yang merasa keberatan dengan tindakan ibu tersebut kepada Pengadilan Agama.
115
Sesuai dengan makna dan rumusan Undang-Undang, bahwa untuk menentukan hak perwalian, hak pemeliharaan anak yang harus
diperhatikan adalah demi kepentingan hukum anaknya. Jadi hakim harus benar-benar memperhatikan apabila anak tersebut dipelihara oleh ibunya
atau bapaknya mempunyai jaminan kehidupan sosial dan kesejahteraan
115
Berdasarkan hasil wawancara dengan Hakim Pengadilan Agama, Haspar Pulungan, pada tanggal 30 Mei 2013.
Universitas Sumatera Utara
yang lebih baik.
116
Dalam menyelesaikan suatu perkara, seorang hakim tidak boleh berdalih, dengan alasan tidak ada hukum yang mengatur tentang hal itu.
Oleh karena itulah seorang hakim harus menemukan dan menentukan hukumnya. Kaedah-kaedah hukum yang diatur dalam Undang-Undang
perkawinan ini disaring, mana yang dapat dijadikan suatu hukum yang hidup dan harus dilaksanakan.
C. Karakteristik Orang tua Ideal Bagi Anak Berdasarkan Fiqh Islam
Orang tua biasanya mendambakan anak-anak yang cerdas, sehat dan berupaya agar anak-anaknya lebih meningkat di segi kehidupan dari dirinya.
Tetapi dambaan itu tidak mungkin akan tercapai jika orang tua sendiri tidak memenuhi persyaratan-persyaratan kepribadian yang perlu. Di antara persyaratan
itu adalah :
117
1. Bertaqwa kepada Allah Dalam usahanya mendidik anak setiap orang tua harus berkepribadian
muttaqin, bertaqwa kepada Allah Swt agar diteladani oleh anak-anaknya. Yang dimaksud dengan taqwa, sebagaimana ditafsirkan oleh para ulama
adalah: Bahwa Allah tidak melihat anda melakukan segala yang dia larang, dan bahwa anda tidak meninggalkan segala yang Dia perintah.
2. Ikhlas Orang tua, dalam upayanya mendidik anaknya, harus berniat dan berbuat
116
Ibid.
117
Wawancara dengan Ulama Ahmad Zuchri, Ketua Komisi Fatwa dari Majelis Ulama Indonesia di Kota Medan pada tanggal 5 juli 2013
Universitas Sumatera Utara
dengan ikhlas. Yang dimaksud dengan ikhlas adalah bahwa segala amal dan upaya, termasuk mendidik anak, dilakukan dengan niat semata-mata lillahi
taala karena Allah saja dan taqarub mendekatkan diri kepada-Nya, tidak dengan niat mendapatkan sesuatu pamrih atau balas jasa. Seorang yang ikhlas
dalam melakukan sesuatu perbuatan hanya mengharapkan keridhaan Allah dan hasil-hasil positif untuk kepentingan duniawi dan ukhrawi, baik bagi
dirinya maupun keluarganya serta masyarakat pada umumnya. 3. Berakhlak mulia
Orang tua senantiasa menjadi contoh tauladan yang akan ditiru oleh anaknya, haruslah selalu berakhlak mulia. Yang dimaksud dengan akhlak
mulia adalah kelakuan atau tingkah laku yang sepenuhya berpola kepada akhlak Rasul Allah Saw.
Setiap orang tua, dalam upayanya mendidik anak, tentukan bertujuan agar anaknya itu berakhlak mulia dan berbudi luhur. Tetapi tujuan itu mustahil
akan tercapai jika mereka sendiri berkelakuan jahat. Orang tua yang berakhlak sebagai pencuri tidak mungkin berhasil mendidik anaknya kecuali untuk
menjadi pencuri atau malah lebih, misalnya menjadi perampok atau pembunuh.
4. Bersikap dan Berkata Benar. Dalam usahanya mendidik anak dalam rumah tangga juga diluar rumah
tangga, terutama dalam masa-masa anak masih terikat erat kepadanya, setiap orang tua harus bersifat dan bersikap benar. Orang tua yang pembohong tidak
usah mengharapkan kecuali bahwa anaknya akan bersifat pembohong pula.
Universitas Sumatera Utara
Selain itu sikap bohong orang tua akan membuat anaknya menderita gangguan batin jiwa, seperti halnya anak-anak yang tidak mendapatkan kasih sayang
orang tua. 5. Bersikap Adil.
Orang tua yang ingin berhasil dalam upayanya mendidik anaknya, haruslah bersikap adil dalam melayani, mengasuh, memberikan kasih sayang sampai
kepada sikap memarahi dan menghukum anak-anaknya menghukum anak- anaknya.
Yang dimaksud adil adalah tidak berat sebelah, menyamakan, atau tidak berlaku diskriminatif, dalam pelayanan, perlakuan, pengasuhan, perhatian,
pendidikan dan sebagainya antara semua anak 6. Bersikap Sopan
Mendidik anak, terutama jika sudah banyak, lebih kurang sama dengan seorang guru mendidik murid atau seorang pemimpin mendidik rakyat. Maka
orang tua harus selalu memulai upayanya mendidik anaknya dengan cara yang sopan lembut. Bahkan dalam menghukum anak, jika memang sudah perlu
misalnya dengan cara memukulnya maka pelaksanaannya harus pula denga sopan. Yang dimaksud dengan sopan disini adalah mengendalikan diri agar
tidak marah atau emosi dalam mendidik anak, termasuk dalam melakukan hukuman.
Sopan mendidik anak mencakup sopan lembut dalam perkataan, sikap dan perbuatan sepanjang berkaitan dengan kegiatan mendidiknya. Sikap
tersebut akan membuahkan hasil positif, antara lain: anak akan menirunya
Universitas Sumatera Utara
sehingga dapat diharapkan bahwa diapun akan bersikap sopan, baik terhadap orang tuanya maupun terhadap orang lain.
Universitas Sumatera Utara
Keberhasilan rasul Allah SAW dalam mendidik umatnya sebagian terbesar tergantung kepada sopan santun dan kelembutannya menghadapi mereka,
seperti diabadikan Allah dengan firmannya : “Maka dengan rahmat daripada Allah engkau telah berlaku lembut
kepada mereka. Sekirannya hatimu keras dan sikapmu kasar niscaya mereka berlarian dari sekelilingmu. Oleh karena itu, maafkan1ah mereka
dan mohonlah ampun untuk mereka serta bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Dan jika engkau telah memutuskan maka
laksanakanlah dan serahkanlah dirimu kepada Allah. Sesungguhnya Allah senang kepada mereka yang menyerahkan diri kepadaNya”. Q.S.
Ali ‘imron: 159.
118
7. Setiap manusia, termasuk orang tua dalam upayanya mendidik anak harus
senantiasa berlaku sabar. Sifat sabar tidak pernah boleh terpisah dari orang yang ingin agar berhasil dalam usahanya mencapai cita-citanya.
Bersikap Sabar
Yang dimaksud dengan sabar, secara umum,
Dalam kaitannya dengan anak, maka setiap orang tua harus senantiasa berlaku sabar. Artinya, jika ia ingin berhasil baik dalam upayanya mendidik
anaknya maka ia harus tahan menderita, tidak lekas marah, tidak lekas patah hati, tidak lekas putus asa dan tidak terburu nafsu atau jika dipinjam contoh
yang diungkapkan oleh Alghazali, orang tua harus seperti sepasukan militer yang tahan melawan musuhnya, dalam hal ini kebodohan anaknya sampai
berhasil mengalahkan kebodohan itu. adalah tahan menderita, tidak lekas
marah, tidak lekas patah hati, tidak lekas putus asa serta tenang dan tidak terburu nafsu dalam berusaha.
118
M.Hasballah Thaib dan Zamakshsyah Hasballah, Op.Cit hal 30
Universitas Sumatera Utara
8. Anak tidak akan bernama anak lagi jika ia sudah berperilaku seperti orang
dewasa atau tua, anak yang bertingkah laku seperti anak-anak karena ia belum berakal, dan mempunyai pertimbangan-pertimbangan. Oleh karena itu, dalam
menghadapinya dan terutama dalam mendidiknya, setiap orang tua harus memperlakukannya sebagai anak, bukan sebagai manusia dewasa atau tua.
Bersifat Pemaaf
Abdu Al Aziz Al Qashi menjelaskan bahwa kita merasa berhak mendidik anak berdasarkan pemikiran bahwa kita telah memahaminya sepenuhnya, baik
mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi jiwanya maupun jenis-jenis pengaruh itu dan sebagainya. Padahal penelitian telah memperlihatkan bahwa
betapun luas dan dalamnya pemahaman kita tentang anak ternyata pemahaman tersebut masih sangat jauh dari memadai. Sebenarnya
pengetahuan kita tentang anak masih amat sedikit hal ini disebabkan oleh, antara lain, karena kita tidak menempatkan diri kita di tempat anak, atau tidak
memahami anak sebagaimana ia memahaminya dirinya.
119
9. Memenuhi kebutuhan anak Pendidikan anak akan berhasil jika semua persyaratan yang lazim untuk
itu, baik yang tersebut duluan maupun yang akan disebutkan belakangan, terpenuhi secara wajar. Pada dasamya kebutuhan anak dapat dibagi ke dalam
dua belahan besar, yaitu kebutuhan jasmani dan kebutuhan jiwa rohani. Pembahasan selanjutnya dititikberatkan lebih kepada kebutuhan jiwa karena
segi ini tampak masih kurang mendapat perhatian, maka kebutuhan anak
119
Abdu Al-Aziz Al-Qashi, Al-Takayyuf Al-Ijtima’I li Al-Atfal, Mesir, Maktabah Al- Nadhah Al-Misriyyah, tt. hal.7
Universitas Sumatera Utara
dapat dibagi yaitu :
120
a. Kebutuhan jasmani Kebutuhan-kebutuhan jasmani, seperti makanan, pakaian,
perumahan perlindungan, kesehatan dan sebagainya termasuk kebutuhan primer yang menjamin kelestarian eksistensi manusia di permukaan bumi.
Hal ini segera dapat dipahami oleh setiap manusia, betapapun primitifnya, sehingga dalam realitas kehidupan manusiawi kebutuhan jasmani telah
menduduki skala perioritas yang pertama dan diutamakan. Kebutuhan jasmani tersebut dirasakan sedemikian pentingnya sehingga kebutuhan
jiwa anak yang malah berperan sangat dominan dalam pembinaan keutuhan kepribadiannya, kurang mendapat perhatian.
b. Kebutuhan jiwa
121
Studi dibidang perawatan jiwa anak telah memperlihatkan bahwa meskipun instinct naluri dapat menafsirkan tingkah laku anak-anak,
tetapi senantiasa ditemukan kesulitan untuk memahami intensitasnya. Para ahli jiwa di bidang ini mengemukakan 6 enam kebutuhan
jiwa. Dari segi operasionalisasi dan penerapan, penemuan mereka ini tampak lebih jelas aplikatif. Kebutuhan-kebutuhan tersebut adalah:
1 Al Haajah li al amni the need of security, yaitu kebutuhan akan rasa aman.
2 Al Haajah li al mahabbah the need of affection, yaitu kebutuhan akan rasa kasih sayang atau dicintai.
120
M.Hasballah Thaib zamaksyah hasballah Op.Cit, hal 44
121
Ibid hal 45
Universitas Sumatera Utara
3 Al haajah li al taqdiir the need of recognition, yaitu kebutuhan akan rasa dihargai.
4 Al Haajah li al hurriyyah the need of freedom, yaitu kebutuhan akan kebebasan.
5 Al Haajah ilaa al najaah the need of success, yaitu kebutuhan akan rasa berhasil keberhasilan.
6 Al Haajah ilaa sulthatin dhabitah aw muwajjihah the need of control, yaitu kebutuhan akan rasa terpimpin atau kekuatan yang
mengontrol
10. Berdedikasi Mendidik dan Bertanggungjawab Setiap orang tua yang bermaksud agar berhasil dalam upayanya mendidik
anaknya tidak saja harus memiliki persyaratan, seperti kepribadian yang baik, kemampuan memenuhi kebutuhan jasmani dan jiwa serta kemauan membina
kreativitas anak dan lain-lainnya, melainkan juga harus memiliki dedikasi dan tanggung jawab cukup tinggi. Yang dimaksud dengan dedikasi adalah
kesediaan berbakti, berjuang dan berkorban tanpa pamrih pribadi.
122
Hakim Pengadilan Agama juga mempertimbangkan hadhanah berdasarkan karakteristik orang tua yang ideal bagi anak sama seperti
pendapat ulama diatas yang dipertimbangkan berdasarkan keterangan para saksi bahwa orang tua tersebut bertanggungjawab dalam mendidik anaknya
dan tabah menghadapi segala realitas atas masalah yang timbul sebagai akibat dari kegiatan mendidik. Ia tidak mengelak dari tanggung jawab memenuhi
segala kebutuhan yang berkaitan dengan keperluan pendidikan anaknya.
123
122
WJS. Purwadarminta, Kamus Umum Bahahasa Indonesia, Jakarta: PN Balai Pustaka, 1976, hal. 235.
123
Berdasarkan hasil wawancara dengan Hakim Pengadilan Agama Kelas IA, Haspar Pulungan, pada tanggal 30 Mei 2013.
Universitas Sumatera Utara
D. Hak-Hak Anak Berdasarkan Hukum Islam dan Peraturan PerUndang- Undangan