Hikmah Hijrah

D. Hikmah Hijrah

a. Momentum Hijrah

Setiap perbuatan pasti dilandasi motif-motif tertentu yang mendorong lahirnya perbuatan tersebut. Terdapat banyak alasan yang akhirnya mewujudkan niat dalam tindakan. Apalagi bila dikaitkan tindakan Rasulullah memperbolehkan kaum Muslimin berhijrah, pasti ada alasan yang melatarbelakangi tindakan tersebut.

Ancaman, siksaan dan cemohan yang diterima kaum Muslimin Mekkah setiap hari tidak membuat keimanan mereka luntur, malah semakin kuat, keras dan kokoh keimanan dan keyakinan mereka tentang Islam. Sebagian orang memprediksikan bahwa hijrah adalah manifestasi ketidakmampuan kaum Muslimin Mekkah menghadapi ancaman dan tekanan kaum kafir Quraisy. Pemboikotan tekanan baik secara fisik maupun mental dan materi bertubi-tubi dilancarkan kepada kaum Muslimin, Hal ini dipandang sebagai satu-satunya alasan yang melatarbelakangi peristiwa hijrah dari Mekkah ke Madinah.

Anggapan lain disinyalir oleh Muhammad Abdullah al-Khatib dalam bukunya “ Makna Hijrah Dulu dan Sekarang” bahwa orang-orang yang menganut aliran

materialisme menyangka bahwa hijrah dilandasi alasan mencari keuntungan materi. 91 Peristiwa hijrah ini selain didasari oleh suatu tekanan terhadap kebebasan

melaksanakan dan mengaplikasikan ajaran yang dibawa oleh Rasulullah, juga memiliki hikmah yang terselubung di balik peristiwa itu, apalagi dikaitkan dengan

91 Muhammad Abdullah al-Khatib, Makna Hijrah Dulu dan Sekarang, (Jakarta: Gema Insani Press, 1995 ), Cet I, h. 46.

ayat–ayat yang turun dalam kurun waktu dua periode yang berbeda yaitu dari periode Makkiyah dan periode Madaniyah.

1. Hikmah Periode Makkiyah dan Turunnya Ayat-Ayat Aqidah Berdakwah kepada Allah di dalam masyarakat Mekkah sangatlah penting dan

sulit. Para missionaris agama Masehi dan negaranya telah berusaha sekuat tenaga selama bertahun-tahun untuk menjauhkan bangsa Arab dari Ka’bah. Lalu mereka

mendirikan sebuah gereja yang sangat besar di kota Yaman untuk menandingi kedudukan al-Haram. Disusul kemudian oleh Abrahah yang bergerak bersama bala tentara gajahnya untuk menghancurkan Bait al-‘Atiq. Namun, Allah menggagalkan usahanya beberapa jengkal sebelum tiba di kota Mekkah, hingga upayanya berakhir dengan sia-sia. Dengan adanya peristiwa tersebut, kesucian Ka’bah semakin bertambah. Demikian pula kedudukan orang-orang Quraisy di dalam jiwa bangsa Arab.

Negara Arab sebelumnya belum pernah memiliki kesiapan menerima berbagai petunjuk agama, kesatuan politik ataupun kebangkitan nasionalisme. Di sana tidak pernah terdapat sesuatu pun yang merasa mampu mempersiapkan negeri itu untuk menerima berbagai upaya bantuan yang ditransfer dari negeri Mesir dan Syiria. Pasalnya, yang menjadi dasar bangsa Arab pada saat itu adalah berhala yang sangat mendalam yang memancangkan kedua kakinya sepanjang lintasan tahun dan berdiri kokoh tanpa tergoyahkan oleh sesuatu pun.

Sementara itu kaum Quraisy menganggap Ka’bah dan berhala sebagai sumber kekayaan, kenikmatan dan kekuasaannya. Karena kedua hal itulah yang memberikan Sementara itu kaum Quraisy menganggap Ka’bah dan berhala sebagai sumber kekayaan, kenikmatan dan kekuasaannya. Karena kedua hal itulah yang memberikan

hanif yang masih merupakan sempalan ajaran Ibrahim. Rasulullah saw. memulai dakwahnya dengan mendirikan shalat secara terang- terangan di dalam Ka’bah, mengajak kaum Quraisy untuk menyembah Allah dan membacakan ayat-ayat al-Qur’an yang telah diturunkan di kalangan sebagian para pemukanya. Di hari pertama, yang mempercayai dakwah beliau hanya terbatas pada orang-orang yang paling akrab dengannya, seperti istrinya, pengasuhnya dan sahabat- sahabatnya. Tidak seorang pun di antara mereka yang merasa ragu-ragu untuk mempercayainya dan mempercayai ajaran yang dibawanya, seakan-akan mereka kembali berada dalam suasana dakwah.

Pada saat itu, para pemuka Mekkah melihat bahwa apa yang terdapat di dalam dakwah dan al-Qur’an sangat membahayakan akidah, kedudukan dan martabat mereka. Karena itu mereka mulai menggalang perlawanan terhadap Rasulullah, menentang dakwah yang diserukannya dan menghalang-halangi jalan menuju Allah. Sejak semula mereka telah membatasi ruang gerak al-Qur’an sebagai manhaj dakwah dan da’i pada masa kini.

Landasan pertama yang dititikberatkan Rasulullah pada periode Mekkah adalah pembetukan aqidah. Persoalan aqidah merupakan pilar utama agama Islam yaitu: iman kepada Allah, iman kepada malaikat, kitab-kitab suci yang diturunkan Allah, para rasul utusan Allah dan percaya kepada hari kemudian (akhirat) serta iman

terhadap qadar baik dan buruk. 92 Setelah Rasulullah menerima wahyu pertama (6 Agustus 610 M) sebagai

lambang dari pelantikan menjadi rasul, beliau kemudian menjalankan dakwah Islamiyah secara diam-diam sebagai langkah perdana mempersiapkan umat Islam. Seluruh usaha yang dilakukan oleh Rasulullah tak luput dari berbagai rintangan yang berat, sehingga pada tahap pertama ini beliau melakukan persiapan dalam bidang mental dan moral. Beliau mengajak manusia untuk: 1) Mengesakan Allah, 2) Mensucikan dan membersihkan jiwa dan hati, 3) Menguatkan barisan serta

meleburkan kepentingan diri pribadi ke dalam kepentingan jamaah. 93 Orang yang mula-mula didakwai oleh beliau adalah keluarga dan para sahabat yang dipercayai.

“ Maka serahkanlah (Ya Muhammad) kepada-ku (urusan) orang-orang yang mendustakan perkataan ini (al-Qur’an). Nanti kami akan menarik mereka dengan berangsur-angsur (ke arah kebinasaan) dari arah yang tidak mereka ketahui, dan aku memberi tangguh kepada mereka. Sesungguhnya rencanaku amat teguh.”

Kendati para pemuka kaum sudah berusaha keras menggalang perlawanan terhadap dakwah dengan cara menyiksa dan menyakiti orang-orang yang beriman,

92 Muhammad Ibn Shâlih al-Utsaimin, ‘ Aqîdah Ahlu Sunnah wa al-Jamâ ’ ah , Departemen

Urusan Keislaman, Wakaf, Dakwah dan Bimbingan Islam alihbahasa Moeslim Aboud Ma’ani 2000), h. 9.

93 A. Hasjmi, Sejarah Kebudayaan Islam, (Jakarta: Penerbit PT. Bulan Bintang, t.th), Cet. V, h. 47.

namun tidak berpengaruh besar terhadap al-Qur’an dan kepribadian Rasulullah saw. Hikmahnya tidak menyusup ke dalam rumah-rumah mereka, menyebar luas di antara mereka dan hamba sahayanya. Hal ini tentu saja merupakan pukulan yang keras bagi kegelisahan yang selama ini dideritanya dan mereka berharap bisa menjalin kesepakatan dengan beliau hingga dapat mendekatkan beliau kepada mereka dan mulai mengadakan tawar-menawar. Namun, al-Qur’an memperingatkan beliau agar

bersikap waspada terhadap berbagai upaya yang mereka lakukan. “ Maka janganlah kamu ikuti orang-orang yang mendustakan (ayat-ayat Allah). Mereka menginginkan supaya kamu bersikap lunak lalu mereka bersikap lunak (pula kepadamu)” .

Ketika Rasulullah sedang bertawaf di sekitar Ka’bah, al-Aswad ibn al- Mutthalib, al-Walid Ibn Mughîrah, Umayyah Ibn Khalaf dan al-Âsh Ibn Wail, yang merupakan orang-orang yang memiliki pengaruh besar di kalangan kaumnya, memberikan penawaran kepada beliau.

“ Wahai Muhammad, kemarilah! Kami akan menyembah apa yang kamu sembah dan engkau menyembah apa yang kami sembah. Kami akan ikut serta bersamamu dalam berbagai macam persoalan. Jika apa yang kamu sembah memang lebih baik dari apa yang kami sembah, berarti kami telah mengambil (melaksanakan) nasib kami darinya. Jika apa yang kami sembah lebih baik dari apa yang kamu sembah, berarti engkau telah mengambil (melaksanakan) nasibmu darinya , “ ujar mereka.

2. Hikmah Periode Madaniyah dan Turunnya Ayat-Ayat Hukum, Sosial dan Kemasyarakatan

Allah swt. memberikan hikmah yang sangat besar dengan dipilihnya Madinah sebagai tujuan hijrah Nabi serta markas dakwah. Madinah adalah yang telah dipersiapkan oleh Allah swt. penduduknya sangat mulia, serta berbagai rahasia di

dalamnya yang tak ada yang dapat mengetahui kecuali Allah swt. 94 Periode Madaniyah sangat berbeda dengan masa Makkiyah. Masa Madaniyah

yang notabene merupakan masa kecemerlangan dan kejayaan umat Islam dimulai

ketika hijrahnya Rasulullah saw. dari Mekkah ke Madinah dengan membawa harapan baru terhadap ajaran Islam, yaitu setelah melalui perjuangan yang sangat panjang sehingga Rasulullah berhasil membangun suatu komunitas masyarakat muslim dan membentuk negara Islam yang di dalamnya diatur oleh undang-undang yang bernuansa serta berasaskan Islam.

Setelah terbentuk jamaah yang beriman kepada Allah, malaikat, kitab dan rasulnya, kepada hari akhir dan qadar baik dan buruknya, serta aqidah, mereka telah diuji oleh Allah swt. dengan berbagai cobaan dari orang musyrik dan ternyata dapat mempertahankan aqidah dan keyakinannya. Dengan agamanya itu, mereka berhijrah karena lebih mengutamakan apa yang ada di sisi Allah dari pada kesenangan hidup duniawi. Dari itu nampaklah ayat-ayat Madaniyah yang panjang-panjang membicarakan hukum-hukum Islam serta ketentuan-ketentuannya mengajak berijtihad dan berkorban di jalan Allah kemudian menjelaskan dasar-dasar perundang-undangan, meletakkan kaidah-kaidah kemasyarakatan, menentukan hubungan pribadi, hubungan internasional dan antar bangsa. Juga menyingkap aib

94 Shallabi, Sîrah an-Nabawiyyah, h. 432.

dan isi hati orang-orang munafik, berdialog dengan ahli kitab dan membungkam mulut mereka. Inilah ciri-ciri umum ayat-ayat al-Qur’an yang Madaniyah. 95

Di sisi lain, keberadaan Rasulullah di Madinah dalam mengatur dan mengaktualisasikan hukum dan undang-undang Allah dilaksanakan dengan bebas dan mudah tanpa adanya suatu hambatan dan tekanan. Terbukti dengan adanya perdamaian antara suku-suku yang bertikai sejak lama di Madinah antara Aus dan

Khazraj, diadakanya persaudaraan di kalangan Muslimin serta memberikan jaminan kebebasan beragama terhadap agama lain baik Yahudi maupun Nasrani, 96 serta

persahabatan Rasulullah dengan pihak Yahudi. Husein Haekal menambahkan bahwa dengan adanya langakah-langkah tersebut, Rasulullah merasa tenteram. Ini merupakan langkah politik yang bijaksana dan sekaligus menunjukkan adanya suatu perhitungan serta pandangan yang jauh. Baru nampak tentang arti semua ini bila dilihat segala daya upaya kaum munafik yang hendak menjerumuskan kaum Muslimin ke dalam peperangan antara Aus dan Khazraj dan antara Muhajirin dan Anshar. Akan tetapi, suatu operasi politik yang begitu tinggi dan yang menunjukkan adanya kemampuan luar biasa ialah apa yang telah dicapai oleh Muhammad dengan mewujudkan persatuan Yatsrib dan meletakkan dasar organisasi politiknya dengan mengadakan persetujuan dengan pihak Yahudi atas landasan kebebasan dan

persekutuan yang amat kuat. 97

95 Mannâ’ Khalîl al-Qatthân, Mabâhits fî ‘ Ulûm al-Qur ’ an , diterjemahkan oleh Drs. Mudzakir AS, dengan judul Studi Ilmu-Ilmu al-Qur ’ an , (Jakarta: Pustaka Litera Antar Nusa, 2001), Cet VI, h.

71. 96 Husein Haekal, Hayât Muhammad, h. 193.

97 Husein Haekal, Hayât Muhammad, h. 198.

Penggunaan istilah ayat Madani dalam al-Qur’an tidak terlepas dari kerja keras para ulama dalam menelusuri pengistilahan tersebut. Sehubungan dengan hal tersebut, Syaikh al-Zarqani mengatakan pengistilahan tersebut tidak terlepas dari upaya para ulama dalam mengangkat perihal Madaniyah sebagai hal yang urgen dalam kajian ilmu-ilmu al-Qur’an. Sebagian ulama mengistilahkan ayat Madaniyah sebagai ayat-ayat yang turun di Madinah, di sisi lain ada yang berpendapat bahwa

khitabnya hanya kepada penduduk Madinah. Adapun pendapat yang berbeda menyebutkan bahwa Madaniyah adalah ayat-ayat yang turun setelah hijrahnya

Rasulullah ke Madinah; baik itu turunnya di Mekkah ataupun di Madinah. 98 Ayat-ayat Madani memiliki ciri khas yang lebih menonjolkan ciri-ciri sosial

kemasyarakatan dan penerapan undang-undang Islam sebagaimana yang disebutkan oleh Mannâ’ al-Khalîl al-Qatthân bahwa ketentuan, ciri khas dan temanya meliputi:

1. Setiap surah yang berisi kewajiban atau had (sanksi) tergolong Madaniyah.

2. Surat yang di dalamnya disebutkan orang-orang munafiq adalah madani kecuali surat al-‘Ankabût yang terbilang Makkiyah.

3. 99 Surat yang terdapat di dalamnya dialog dengan ahli kitab adalah Madaniyah. Beliau menambahkan selain ketentuan di atas terdapat pula ciri khas tema dan

gaya bahasa dapatlah diringkaskan sebagai berikut:

98 Muhammad al-Zarqânî, Manâhil al- ‘ Irfân fî ‘ Ulûm al-Qur ’ an , (Beirut: Maktabah al- Ashriyyah, 1422 H/2001 M), Juz I, h. 181.

99 Al-Qatthân, Mabahits …., h. 87.

a. 100 Surat Madaniyah menjelaskan ibadah, muamalah, hudud, kekeluargaan, warisan, jihad, 101 hubungan sosial, hubungan internasional; baik di waktu damai dan perang, kaidah hukum dan masalah perundang-undangan.

b. Seruan terhadap ahli kitab dari kalangan Yahudi dan Nasrani serta ajakan kepada mereka untuk masuk Islam, penjelasan mengenai penyimpangan mereka terhadap kitab-kitab Allah, permusuhan mereka terhadap kebenaran

dan perselisihan mereka setelah ilmu datang kepada mereka karena rasa dengki di antara sesama mereka.

4. Menyingkap perilaku orang munafik, menganalisa kejiwaannya, membuka kedoknya dan menjelaskan bahwa ia berbahaya bagi agama.

5. Suku kata dan ayatnya panjang-panjang dan dengan gaya bahasa yang memantapkan syariat serta menjelaskan tujuan dan sasarannya. 102

Dari berbagai ciri khas tema di atas dapatlah disimpulkan bahwa surat Madaniyah secara global meliputi hukum sosial dan kemasyarakatan, yang intinya penerapan undang-undang Islam, mu’amalah, sanksi, dan selainnya terbukti dengan terciptanya stabilitas dalam periode Madinah.

Mengamati kedua hikmah periode tersebut di atas merupakan hal yang sangat cocok untuk direnungkan, diamalkan dan diaktualisasikan dalam kehidupan pribadi, bermasyarakat dalam kehidupan berbangsa. Adapun point-point tersebut antara lain:

100 Al-Zarqânî, Manahil ….., h. 185. 101 Al-Zarqânî, Manahil ….., h. 186. 102 Al-Qatthân, Mabâhits ….., h. 88.

1. Rasulullah saw. tidak pernah putus asa dan pesimis dalam menemukan jalan keluar dari berbagai kesulitan. Tekanan fisik, psikis, hambatan ekonomi dan sebagainya dihadapinya dengan sikap tabah, tawakkal serta siap berkorban. Tabah dan tawakkal kepada Allah swt. sangat penting artinya ketika sedang berjuang membangun kembali infra struktur sosial dan akhlak bangsa untuk keluar dari berbagai kesulitan di pelbagai bidang.

2. Ketika Rasulullah saw. mulai membangun masyarakat baru, ia telah mendamaikan dua kelompok masyarakat yang sedang bermusuhan di Madinah. Melalui pencerahan dan penyadaran yang dilakukan Rasulullah saw., kedua kelompok masyarakat itu berhasil didamaikan dan seterusnya menjalin persaudaraan yang kuat. Masyarakat menjadi bersatu, kokoh berhasil didayagunakan untuk mewujudkan masyarakat madani. Insan cinta persaudaraan dan persatuan tersebut amat relevan jika ditilik dari dimensi kekinian. Tanpa ikatan persaudaraan yang kuat dan persatuan yang kokoh, dapat dipastikan umat Islam tidak akan mampu maju ke depan.

3. Masyarakat yang dibangun oleh Rasulullah saw. merupakan masyarakat majemuk yang terdiri dari berbagai suku bangsa dan keyakinan agama. Untuk itu, langkah yang ditempuh Rasulullah saw. dalam membangun kerukunan antar umat beragama dituangkan dalam naskah kesepakatan bersama hingga kini yang dikenal dengan piagam Madinah. Keteladanan Rasulullah saw ini sangat patut di contoh dan dikembangkan untuk mengantisipasi disintegrasi sosial yang mengancam persatuan dan kesatuan bangsa.

4. Setelah kekuatan dan kekuasaan berada di bawah kendali Rasulullah saw, beliau mengampuni orang-orang yang meminta maaf atas kesalahannya kendati telah berusaha membunuhnya serta mengancam dan telah merancang strategi menghancurkan Islam.

2. Penanggalan Hijrah Suatu keputusan yang sangat luar biasa telah dilakukan oleh Umar Ibn Khattab sebagai khalifah. Di antara keputusan terpenting yang dilakukan beliau adalah penetapan penanggalan hijriyah sebagai perhitungan tahun Islam yang dipakai oleh seluruh penjuru dunia hingga sekarang. Hal ini dilakukan pada bulan Rabi’ul

Awal 16 Hijriyah. 103 Masalah tersebut terangkat ketika beliau mendapatkan surat

naskah dari seseorang. Beliau mendapatkan perkataan Sya’ban pada naskah tersebut, maka timbul pertanyaan pada diri beliau apakah Sya’ban yang dimaksud adalah

Sya’ban tahun ini atau tahun lalu. 104 Untuk menghilangkan keraguan itu, beliau mengundang majelis permusyawaratan untuk menetapkan penanggalan tahun baru

Islam serta mengumpulkan orang-orang dan bertanya kepada mereka tentang persolan tersebut. Dari hari apa kita menetapkannya? Berbagai usulan bermunculan di antaranya dengan menggunakan tahun Gajah sebagai awal perhitungan dalam sejarah

peperangan orang-orang Arab. 105 Ali yang hadir di situ mengusulkan agar penanggalan Islam dimulai pada saat hijrahnya Rasulullah saw. ke Yatsrib sewaktu

beliau meninggalkan tanah musyrik. Maksudnya tanah Mekkah dan kaum kafir di sana sebelum penaklukan kota Mekkah. 106 Waktu yang memberikan cahaya masa

depan Islam yang dapat lebih leluasa dalam menetapkan dan menjalankan perintah agama yang jauh dari penindasan dan tindakan semena-mena dari kaum kafir

‘Abd Hakîm Afifi, Mausû ’ ah Alf Hadast al-Islâmi, (Lebanon: Awraq Syarqiyyah, 1997) (Telah dialihbahasakan oleh Irwan Kurmawan,Seribu Peristiwa dalam Islam), (Jakarta: PT Pustaka Hidayah, 2002), Cet. I, h. 79.

104 Shibli Nu’mani al-Faruq, Life of Omar the Great Second Chalipt of Islam, yang diterjemah dengan judul Umar al-Khattab yang Agung, h. 394.

105 Husein Haekal, h. 642. 106 Abd Hakim Afifi, Mausuah ……, h. 79.

Quraisy, era yang memulai kejayaan Islam serta terbentuknya negara Islam. Umar pun menyambut usulan tersebut dan menetapkan bahwa tahun baru Islam dimulai pada saat hijrahnya Rasulullah ke Madinah. Kejadian ini terjadi setelah menaklukkan kota Baitul Maqdis dan membangun Mesjid al-Aqsha di Palestina. Keputusan ini tidak dilakukan oleh Umar tanpa melibatkan sahabat-sahabat yang lain. Beliau mengundang seluruh sahabat, dan para tokoh Islam untuk membicarakan

penanggalan tersebut sehingga dapatlah disimpulkan bahwa dengan tindakan yang dilakukannya mengindikasikan adanya sifat keterbukaan. Beliau menetapkan secara bersama atau musyawarah guna mendaptkan kata sepakat. Itulah salah satu ciri khas beliau dalam memimpin umat.

Kalau ditelaah secara mendalam, sesungguhnya penetapan hijrah Nabi (yang terjadi pada bulan Rabi’ul Awal) sebagai dasar penentuan tahun baru Islam sangatlah tepat. Mengingat dakwah Islam mengalami perkembangan sangat pesat setelah terjadinya peristiwa tersebut. Maka tidak mengherankan manakala peristiwa hijrah merupakan entri point dan tonggak penting sejarah perkembangan Islam.

Sayangnya, apresiasi umat Islam terhadap datangnya tahun baru Islam (hijriyah) tampak belum memadai dibandingkan dengan pergantian tahun Masehi yang disambut dengan gegap gempita. Sebagai tonggak penting dari perkembangan Islam, semestinya umat Islam menyambutnya dengan semarak dan semangat, sembari melakukan renungan (muhâsabah) atas apa yang telah dilakukannya selama kurun waktu satu tahun berlalu.