Hijrah dalam Al-Qur’an

B. Hijrah dalam Al-Qur’an

Menurut informasi yang diberikan oleh Muhammad Fu’âd ‘Abd al-Bâqî di dalam kitab “ al-Mu’jam al-Mufahras li Alfâdz al-Qur’ân al-Karîm” , kata yang

terambil dari susunan huruf-huruf ha, ja dan ra ini (h-j-r), dengan berbagai derivasinya, terulang dalam al-Qur’an sebanyak 32 kali, dalam 15 surah, di 27 ayat. 18

Ayat-ayat hijrah yang mengandung maksud meninggalkan (migrasi atau hijrah secara fisik) sebanyak 21 ayat, terletak dalam surat-surat sebagai berikut: al- Baqarah [2]: 218, Ali ‘Imrân [3]: 195, al-Anfâl [8]: 72, 74, 75, al-Taubah [9]: 20, an- Nahl [16]: 41, al-Nisâ’ [4]: 34, 89, 97, 100, al-Muzzammil [73]: 10, al-Furqân [25], al-‘Ankabût [29]: 26, al-Mumtahanah [60]: 10, al-Mu’minûn [23]: 67, Maryam [19]:

46, al-Muddatsir [74]: 5, al-Hasyr [59]: 8, 9, al-Ahzâb [33]: 6, 50, an-Nûr [24]: 22. Sedangkan ayat-ayat hijrah yang berkaitan dengan makna secara non fisik terdapat di

6 ayat, di antaranya: al-Nisâ’ [4]: 34, Maryam [19]: 46, al-Mu’minûn [23]: 67, al- Furqân [25]: 20, al-Muzzammil [73]: 10, al-Muddatsir [74]: 5.

17 Muhammad Sa’îd Ramadhân al-Bûtyi, Fiqh Sîrah, (Jakarta: Rabbani Press, 2002), h. 103. 18 Muhammad Fu’âd ‘Abd al-Bâqi, Al-Mu ’ jam Mufahras li Alfâdz al-Qur ’ ân al-Karîm,

(Indonesia: Maktab Dahlân, t.th), h. 900-901.

Dari semua ayat-ayat yang tercantum, maka dapatlah disimpulkan bahwa kata hijrah dikategorikan menjadi dua bagian yaitu: hijrah secara fisik dan hijrah non fisik.

a. Hijrah secara fisik adalah pindah dari suatu tempat ke tempat yang lain yang bersifat fisik, atau disebut juga sisi hissî atau haraki. Yaitu makna hijrah yang berkaitan langsung dengan definisi hijrah yang sesungguhnya yaitu berpindah dari

suatu daerah ke daerah yang lain (yaitu secara fisik) serta sesuai dengan petunjuk Rasulullah saw. 19 Adapun ayat-ayat yang terdapat dalam bagian ini terdapat di dua

puluh satu ayat yang menyangkut tentang hijrah serta berbagai derivasinya. Dari ayat-ayat tersebut mengandung unsur hukum serta makna yang meliputi beberapa point yaitu:

1) Ayat yang mengandung unsur hijrah, iman dan jihad Ketika diamati dan ditelusuri ayat yang berkaitan hijrah dan jihad, maka terdapat beberapa ayat di dalam al-Qur’an yang menunjukkan bahwa kedua kata itu

saling bergandengan dan memiliki arti yang besar dan hikmah yang agung. 20 Dari beberapa ayat yang menyangkut masalah hijrah dan jihad di ketengahkan

satu ayat yang mewakili beberapa ayat yang lain, sebagaimana firman Allah swt.:

19 Muhammad Ibrâhîm ‘Abd Rahmân, al-Hijrah wa al-Muhâjirun fî al-Qur ’ ân wa al-Sunnah , t.th.), h. 43.

20 Adapun ayat-ayat yang bergandengan antara hijrah dan jihad di antaranya: Q.S. al Baqarah [2]: 218, Q.S. al-Anfâl [8]: 72, 74,75, Q.S. at-Taubah [9]: 20, Q.S. an-Nahl [16]: 41.

Artinya: Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang yang berhijrah dan berjihad di jalan Allah, mereka itu mengharapkan rahmat Allah, dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Q.S. al-Baqarah [2]: 217)

Sayyid Quthub mengetengahkan maksud, tujuan hakikat dari (hijrah dan jihad) dengan mengatakan, “tujuan dan hikmah, tidak akan ditemukan hanya dengan teori, dan tidak pula hanya dengan menegakkan syi’ar-syi’ar agama di dalamnya. Akan tetapi, agama merupakan metode kehidupan (manhaj hayât) yang tidak dapat

terlaksana dengan perbuatan tanpa disertai oleh pelaksanaan dan gerakan oleh seluruh anggota tubuh, seperti dalam bentuk aqidah dan keyakinan yang eksistensinya tidak dapat nampak dengan benar tanpa diaktualisasikan dengan reaksi dan gerakan yang

nyata.” 21 Adapun Musthafâ al-Marâghî mengatakan bahwa orang-orang yang beriman

dan konsisten dalam keimanannya kepada Allah, mereka hijrah bersama Rasulullah dan memperjuangkan serta menolong agama Allah, lalu berjuang menghadapi kaum kafir demi kekuatan kaum Muslimin. Mereka itulah orang-orang yang mengharap rahmat dan kebaikan Allah. Mereka adalah manusia yang begitu pantas mendapatkan

rahmat dan kebaikan Allah. 22

2) Mengandung pahala orang-orang berhijrah Banyak ayat yang berbicara tentang balasan bagi para Muhajirin yang melaksanakan hijrah dengan syarat berada dalam panji Islam serta bertujuan menyelamatkan agama Allah guna li î’lâi kalimah Allah. Maka para Muhajirin tersebut berhak mendapatkan pahala dan balasan dari Allah baik laki-laki maupun

21 Sayyid Quthub, Fî Zhilâl al-Qur ’ ân , Jilid I, h. 1560. 22 Ahmad Musthafâ al-Marâghi, Tafsir al-Marâghi, (Beirut: Dâr al-Fikr an-Nasyr wa- al-

Tawzi’, t.th), h. 137.

wanita pahalanya sama di hadapan Allah swt. dan mereka masing-masing mendapatnya tanpa ada perbedaan. 23 Sebagaimana yang disebutkan oleh an-Naisaburi

dari Ummi Salamah yang berkata kepada Rasulullah saw., “Wahai Rasulullah, saya tidak mendengar firman Allah bagi wanita tentang hijrah”. Atas dasar peristiwa itu,

maka turunlah ayat untuk menjawab keraguan dari Ummi Salamah. 24 Allah swt. berfirman:

Artinya: Maka Tuhan mereka memperkenankan permohonannya (dengan berfirman), "Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal di antara kamu, baik laki-laki atau perempuan, (karena) sebagian kamu adalah turunan dari sebagian yang lain. Maka orang-orang yang berhijrah, yang diusir dari kampung halamannya, yang disakiti pada jalan- Ku, yang berperang dan yang dibunuh, pastilah akan Kuhapuskan kesalahan-kesalahan mereka dan pastilah Aku masukkan mereka ke dalam surga yang mengalir sungai-sungai di bawahnya sebagai pahala di sisi Allah. Dan Allah pada sisi-Nya pahala yang baik." (Q.S. Âli ‘Imrân [3]: 195)

Ayat ini mengisyaratkan tentang keistimewaan yang diberikan kepada orang- orang yang melaksanakan hijrah di jalan Allah swt. yaitu balasan yang layak di sisi- Nya. Syaikh Muhammad Musthafâ al-Marâghî memberikan ringkasan tentang

23 Ibid ., h. 47. 24 Abû Hasan ‘Ali Ibn Ahmad al-Wâhidi, Asbâb an-Nuzûl Qur ’ ân , ditahqiq oleh Kamâl

Basyûnî Saglûl, (Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyyah, 2001), h. 143.

balasan orang-orang yang berhijrah di jalan Allah swt. sebagaimana yang ada dalam ayat ini dengan tiga keistimewaan:

§ Mengampuni dosanya serta menghapus segala kesalahannya, sebagaimana tertera dalam ayat ”la ukaffiranna ‘anhum sayyiâtihim”. Hal ini sesuai dengan permintaan mereka dengan mengatakan “ Ampunilah dosa-dosa kami dan hilangkanlah segala kesalahan kami” .

§ Memberikan pahala yang besar di sisi-Nya, sebagaimana firman Allah swt.: Wa laudhilannahum jannâtin tajrî min tahtihâ al-anhâr . Hal ini sesuai dengan keinginan mereka dengan mengatakan “ Berikanlah kepada kami atas apa yang engkau janjikan kepada kami melalui Rasul-Mu” .

§ Pahala serta pemberiannya sesuai dengan kebesaran dan kemuliaannya, sesuai dengan firman Allah: min ‘indillah” sebagaimana dengan permintaan mereka “ Ya Allah, janganlah engkau rendahkan kami pada hari kiamat”. Oleh karena itu, pahala yang didapat oleh para Muhajirin yaitu balasan yang

sempurna dari Allah swt. 25

3) Mengandung standar keimanan yang benar. Allah swt. menjadikan hijrah sebagai standar dari beberapa standar keimanan yang benar (miqyâsan min maqâyis al-imân al-shâdiq) merupakan tonggak sejarah masa lalu. Sedangkan bagi orang-orang yang menolak akan kebenaran hijrah, maka Allah akan menjadikannya sebagi orang beriman yang tidak memiliki keimanan yang

25 Al-Marâghi, Tafsir al-Marâghî, Juz IV, h. 167.

benar dan kuat kepada Allah swt. 26 Maka Allah swt. mengisyaratkan tentang hal itu sebagaimana firman-Nya:

Artinya: Mereka ingin supaya kamu menjadi kafir sebagaimana mereka telah menjadi kafir, lalu kamu menjadi sama (dengan mereka). Maka janganlah

kamu jadikan di antara mereka penolong-penolong (mu), hingga mereka berhijrah pada jalan Allah. Maka jika mereka berpaling, tawan dan bunuhlah mereka di mana saja kamu menemuinya, dan janganlah kamu ambil seorangpun di antara mereka pelindung, dan jangan (pula) menjadi penolong, (Q.S. an-Nisâ’ [4]: 89)

Ayat ini memberikan isyarat terhadap orang-orang mukmin yang benar mengimani. Apabila diajak untuk hijrah mereka menyambut ajakan itu dengan keadaan ridha dan lapang dada, mereka rela mengorbankan segala apa yang mereka miliki demi kecintaan kepada Allah swt. dan rasul-Nya, rela meninggalkan harta benda dan kerabat demi memperjuangkan agama Allah swt. Di sisi lain, orang-orang yang menghiasi keimanannya dengan kekufuran, di waktu pagi dia beriman dan di waktu petang dia kafir kepada Allah, mereka itulah orang-orang yang tidak akan bisa menyambut ajakan hijrah, mereka lari dari panggilan Allah swt. Mereka adalah orang-orang munafik, ucapan mereka sangat berbeda dengan apa yang mereka sembunyikan dalam hati, sehingga Allah swt. mengungkapkan keadaan mereka, bahkan menjelaskan bahwa mereka menginginkan dan bercita-cita engkau kafir

26 As-Syawqâni, Muhammad Ibn Ali, Fath al-Qadîr, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1983), Juz I, h. 493.

kepada Allah swt, sebagai bukti kebencian dan permusuhan dari mereka agar engkau

hanyut dalam kesesatan. 27

4) Pemberlakuan hukum warisan dengan hijrah Pada awal datangnya Islam di masa Jahiliyah, seorang laki-laki mengadakan perjanjian dengan lelaki lain dengan mengatakan agamamu, maka hal itu merupakan kebiasaan pada masa Jahiliyah. Jika meninggal dan tidak dinamakan, maka ia

mengambil seperenamnya. Lalu turunlah ayat dari Allah swt.

Artinya: Dan orang-orang yang beriman sesudah itu, kemudian berhijrah dan berjihad bersamamu maka orang-orang itu termasuk golonganmu (juga). Orang-orang yang mempunyai hubungan itu sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya (daripada yang kerabat) di dalam kitab Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. (Q.S. al-Anfâl [8]: 75)

Setelah ayat ini turun, maka dihapuskanlah setiap transaksi perjanjian (tentang hak mewarisi dengan persaudaraan) yang terjadi di antara mereka pada masa

Jahiliyah 28

b. Hijrah yang ditinjau dari sisi maknawi Hijrah yang ditinjau dari non fisik sangat jauh berbeda dengan pengertian hijrah dalam bentuk fisik (yaitu berpindah dari satu daerah ke daerah yang lain) hijrah

27 Ibn Jazî, Kitâb Tashîl li Ulûmi al-Tanzîl, ditahqiq oleh Muhammad Abd Mun’im al-Yanûsi dan Ibrâhîm, (Cairo: Matba’ah al-Hasân wa an-Nasyr Dâr al-Kutub al-Hadîts, 1973), Juz I, h. 270.

28 Abu Qasim Hebatullah Ibn Salamah, al-Nasikh wa al-Mansûkh Bihâmis Asbâb an-Nuzûl li an-Naysabûrî , (Beirut: Alam Kutub, t.th.), h. 132.

berupa sifat, perilaku, serta segala kebiasaan jelek. Pada hijrah dari sisi ini terdapat dalam enam ayat, yang masing-masing ayat memiliki klasifikasi tersendiri sehingga dapat menghasilkan satu hukum.

1) Hijrah meniggalkan istri yang berbuat nusyuz Pada tema di atas mengetengahkan satu ayat dalam al-Qur’an mengenai proses yang dilaksanakan oleh suami jika istrinya berbuat nusyuz. Dalam ayat al-

Qur’an, Allah swt. berfirman:

Artinya: Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain

(wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang ta`at kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka menta`atimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar. (Q.S. an-Nisâ’ [4]: 34)

Ketika melirik sebab turunnya ayat ini, sebagaimana yang diutarakan oleh an- Naisaburi, beliau mengatakan bahwa ayat ini turun kepada Sa’ad Ibn Rabi’ (dia adalah seorang pengembara) dan istrinya bernama Habibah binti Sa’id Ibn Abi

Hurairah, keduanya dari golongan Anshar. Istrinya berbuat nusyuz (durhaka) kepadanya, maka ia menampar istrinya, lantas Habibah dan bapaknya bergegas menuju Rasulullah saw. dan menceritakan kejadian tersebut. Mendengar cerita kejadian tersebut, Rasulullah saw. bersabda, dia mesti di-qishas, dia pun bergegas untuk meng-qishas suaminya dan Nabi Muhammad saw. mengatakan telah datang kepadaku Jibril as. dan Allah menurunkan ayat ini kepadaku: Q.S. an-Nisâ’ [4]: 34.

Kemudian Rasulullah saw. berkata, kami menginginkan suatu keputusan, akan tetapi Allah lebih memiliki keputusan yang terbaik dan terangkatlah qishas. 29

Syaikh Mahmud Syaltut telah menjelaskan secara rinci tentang hukum-hukum yang berkenaan dengan nusyuz istri. Dalam sebuah bukunya yang berjudul Al-Islâm Aqîdah wa Syari’ah , al-Qur’an telah mengajarkan bahwa wanita-wanita itu adalah yang shalehah dan taat kepada Allah dengan mengerjakan segala hak-hak suami istri, mengikuti segala perintah suaminya, meletakkan suaminya pada proporsi yang benar yaitu sebagai pemimpin rumah tangga, menjaga rahasia-rahasia suami istri dan rumah tangganya, dimana kehidupan suami istri tidak akan baik kecuali dengan

menjaganya. 30

Sifat-sifat yang seperti ini tidak membutuhkan kekuasaan sang suami untuk memperbaikinya, firman Allah:

29 Al-Naysaburi, op.cit., h. 155. 30 Mahmûd Syaltût, Al-Islam Aqîdah wa Syari ’ ah, (Cairo: Dâr al-Qalam, 1966), Cet III, h.

Namun ada juga wanita-wanita yang tidak mau menjaga dan melaksanakan hak-hak suaminya. Mereka juga berupaya menentang dan melakukan nusyuz terhadap suaminya, sehingga mereka melakukan keinginannya sendiri. Maka untuk itulah mereka telah mengantarkan kehidupan keluarga kepada kehancuran dan kerusakan. Sehingga al-Qur’an telah memperbaiki dan mengembalikan mereka

pemenuhan hak-haknya. 31

2) Hijrah dalam waktu yang lama

Artinya: “ Berkata bapaknya: "Bencikah kamu kepada tuhan-tuhanku, hai Ibrahim? Jika kamu tidak berhenti, maka niscaya kamu akan kurajam, dan

tinggalkanlah aku buat waktu yang lama". (Q.S. Maryam [19]: 46) Pada ayat ini Allah swt. menceritakan jawaban yang diberikan oleh ayah

Ibrahim kepada anaknya. Terhadap seruan yang diarahkan kepadanya, bapaknya berkata, “ Bencikah kamu kepada tuhan-tuhanku hai Ibrahim?” . Yaitu jika kamu tidak mau menyembahnya dan tidak menyukainya, maka janganlah kamu mencacinya, jika tidak maka aku akan menuntut balas darimu dan mencacimu, hal ini diwujudkan dalam kata-katanya, “ Maka niscaya kamu akan kurajam” . Demikianlah

menurut penafsiran Ibn Abbas. 32 Wahjurnî maliyyâ (tinggalkanlah aku dalam waktu yang lama), yakni

tinggalkanlah aku untuk selama-lamanya sebelum aku menimpakan hukuman

31 Ibid ,. h. 153. 32 Wahbah al-Zuhaylî, Tafsir al-Munîr fî al-Aqidah wa al-Syari ’

ah wa al-Manhaj , (Beirut: t.p., 1991), Cet. I, Juz XVI, h. 107.

kepadamu. 33 Penafsiran ini dipilih oleh Ibn Jarir. Pada saat itulah Ibrahim berkata kepada bapaknya, ” Semoga keselamatan dilimpahkan kepadamu” . Ibrahim telah

memintakan ampun kepada bapaknya dalam waktu yang lama bahkan setelah beliau mendirikan Ka’bah dengan mengatakan, ” Ya Tuhanku, ampunilah aku dan kedua orang tuaku dan kaum mu’min pada saat dilaksanakan hisab” .

3) Hijrah meninggalkan al-Qur’an

Adapun ayat yang pertama sebagaimana firman Allah dalam surat al- Mu’minûn:

Artinya: Dengan menyombongkan diri terhadap al-Qur'an itu dan mengucapkan perkataan-perkataan keji terhadapnya di waktu kamu bercakap-cakap di malam hari . (Q.S. al-Mu’minûn [23]: 67)

Imam al-Qurthubi juga mengemukakan dalam tafsirnya sebagaimana apa yang diriwayatkan oleh Sa’id Ibn Jubair dari Ibn Abbas bahwa mereka para kafir Quraisy mengatakan kata-kata keji terhadap Nabi dan ketika itu ayat ini turun.

(Mustakbirîna bihi sâmiran tahjurûn), maksudnya adalah lalu Allah swt. mencela kaum yang mengatakan kata-kata keji yang jauh dari ketaatan kepada Allah

swt., baik berupa cacian maupun ejekan. 34 Sedangkan Imam al-Marâghî menjelaskan bahwa tafsir ayat ini bertujuan agar

mereka mendengarkan ayat-ayat Allah dibacakan. Mereka ingkar dan mereka membanggakan diri sebab mereka adalah pelayan-pelayan Baitullah. Mereka mencari

33 At-Thabarî, Juz XI, h. 111. 34 Perkataan ini dikutip oleh Muhammad Ibrâhîm ‘Abdur Rahman, Al-Hijrah wa al-

Muhajirun fî al-Qur ’ ân , h. 73.

jalan untuk mengotori al-Qur’an dan mengatakan hal itu tidak diliputi oleh kebenaran dan tidak pula dalam sisi kesucian (seluruhnya datang dari Muhammad, karena itu

adalah bagian dari puisi yang dibuat-buat). 35

Di sisi lain, Imam as-Syawkâni mengemukakan bahwa mereka itu adalah orang-orang musyrik yang menggunjingkan kata-kata keji di sisi Baitullah. Mereka pun meninggalkan Rasulullah (dan apa yang dibawanya) sebagaimana yang tertera

dalam hadist Rasulullah saw. yang diriwayatkan oleh Ibn Abi Saebah dan Ibn Munzir dan Ibn Abi Hatim dan Thabrani dan disahkan oleh Ibn Mardawaih, “Sesungguhnya Rasulullah saw. membacakan ayat (mustakbirina bihi sâmiran tahjurûn), ketika itu

para musyrikin hijrah kepada Rasulullah dan mengatakan kata-kata keji. 36 Dalam jalur lain juga dikemukakan bahwa Nabi mengharamkan kata-kata keji ketika ayat ini

turun. 37 Pada ayat selanjutnya tentang hijrah meninggalkan al-Qur’an sebagaimana

firman Allah dalam surat al-Furqân:

Artinya: Berkatalah Rasul: "Ya Tuhanku, sesungguhnya kaumku menjadikan al-

Qur'an ini suatu yang tidak diacuhkan" . (Q.S. al-Furqân [25]: 30) Makna dari ayat ini bahwa, ummat yang mengambil al-Qur’an ini serta didatangkan terhadap mereka, lalu kami perintahkan untuk disampaikan kepada yang lain.

35 Al-Marâghî, h. 37. 36 As-Syawkânî, Fath Qadîr, Juz III, h. 491. 37 Ibid ., h. 491.

Imam al-Alûsi menyebutkan bahwa ayat ini terkesan mengemukakan kesombongan terhadap apa yang mereka katakan mengenai al-Qur’an, yaitu sesuatu yang menyesatkan dan dongeng belaka menutupi kebenaran yang didatangkan al- Qur’an, padahal al-Qur’an adalah kitab suci yang meliputi dan mengandung di

dalamnya segala unsur kemaslahatan baik hidup di dunia maupun di akhirat. 38 Sebab dari hijrah mereka dari al-Qur’an adalah (jika mereka bertakwa dan

tertarik lalu mereka tidak memiliki hati yang berfikir, lalu mereka tidak memperhatikan dan tidak menelaah serta menghayati al-Qur’an agar dapat meraih kebenaran di dalamnya dan dapat hidayah dari cahaya-Nya, mereka tidak memperhatikan dan tidak dapat memperoleh aturan dalam kehidupannya. Sedangkan al-Qur’an datang sebagai metode dan tuntunan kehidupan yang berdiri kokoh

sepanjang jalan. 39 Mereka tidak mendengar ayat-ayat al-Qur’an dibacakan dan tidak pula menghayatinya. Oleh karena itu, al-Qur’an adalah merupakan kitab Allah tidak

akan mungkin sesuatu kesesatan datang dari depan dan belakangnya serta kanan dan kirinya, sehingga bagi yang meninggalkan al-Qur’an, mereka itulah orang-orang kafir

yang berhak mendapat azab di hari kiamat. 40

4) Hijrah dari perbuatan orang-orang musyrik Allah swt. memerintahkan kepada Rasulullah untuk meninggalkan orang- orang musyrik serta membuat pembatas terhadap mereka disebabkan kekotoran hatinya, juga menyampaikan dan memberi contoh kepadanya perihal keteladanan

38 Al-Alusî, Rûh al-Ma ’ ânî , h. 19. 39 Sayyid Quthub, h. 2560. 40 Muhammad Ibrâhîm ‘Abd Rahman, h. 75.

yang baik dan menghiasi diri dengan kesabaran terhadap apa yang mereka lakukan terhadap kalian dari kebodohan bersama kaumnya. 41 Makna ini terlukis pada kedua

firman Allah swt.: ﺎًﻠﻴِﻤﺟ ﺍﺮﺠﻫ ﻢﻫﺮﺠﻫﺍﻭ ﻥﻮُﻟﻮُﻘﻳ ﺎﻣ ﻰَﻠﻋ ﺮِﺒﺻﺍﻭ

Artinya: Dan bersabarlah terhadap apa yang mereka ucapkan dan jauhilah mereka dengan cara yang baik . (Q.S. al-Muzzammil [73]: 10)

Dan firman Allah swt.:

Artinya: dan perbuatan dosa (menyembah berhala) tinggalkanlah. (Q.S. al- Muddatsir [74]: 5)

Ayat ini memberikan kesan terhadap pentingnya kesabaran dalam menghadapi mereka terutama atas perkataaan-perkataan yang mereka lontarkan dan diperintahkan untuk meninggalkan mereka dengan perangai yang baik yang tidak menyakiti hati mereka, sebagaimana firman-Nya: (wa ishbir ‘alâ mâ yaqûlûn wa ihjurhum hajran jamîlâ ). Imam al-Marâghî mengomentari ayat ini bahwa dengan kesabaran hati dan meninggalkan perbuatan mereka dengan cara yang baik, meninggalkan kesalahan dan dosa mereka tanpa adanya hinaan dan cercaan atas

mereka 42 . Sedangkan Ibn Salâma mengemukakan bahwa ayat ini telah dinasakh dengan ayat (al-sayf). 43 Lain halnya dengan Ibn al-Jazî yang berkomentar bahwa

sesungguhnya yang dihapus (mansukh) adalah rekonsiliasi atau perdamaiaan (muhâdanah) yang terjadi, sebagaimana firman Allah (wa ihjurhum hajran jamîlâ).

41 Ibid., h. 76. 42 Al-Marâghî, Juz IX, h. 114. 43 Ibn Salamah Abu Qasim Habatullah, h. 317-318.

Adapun kesabaran adalah diperintahkan dalam setiap waktu dan keadaan apapun. 44 Sedangkan hajrun jamîl, (jauhilah mereka dengan cara yang baik) adalah

meninggalkan dengan nama Allah dibuktikan melalui firman Allah Swt, Q.S. al- An’am [6]: 68, dan telah menasakh firman Allah (fâ a’ridh ‘anhum) dengan firman- Nya (hatta yahûdu fî hadîtsin gayrih) dimana Nabi saw. memerintahkan untuk meninggalkan para orang-orang bodoh (sufahâ) dan membiarkan sanksi hukuman

kepada tuhan mereka sebagaimana dijelaskan dalam firman Allah swt: Q.S. al- Muzzammil [73]: 11.

Imam at-Thabari mengatakan bahwa makna kata ar-rijz adalah tuhan-tuhan yang mereka sembah, maka Allah swt. memerintahkan untuk meninggalkannya dan

tidak mendatangi dan mendekatinya. 45 Imam al-Marâghî mengomentari dengan menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan ar-rijz adalah azab (bencana) yang akan

mengantarkan kepada bencana di dunia dan di akhirat, sebagaimana firman Allah: Q.S. al-A’râf [7]: 134.

Di akhir pembahasan klarifikasi ini, Ibn Hajar memberikan keterangan tentang pembagian hijrah secara lahir dan batin (hissî dan ma’nawî) dengan mengatakan bahwa maksud dari hijrah yang sesungguhnya pada sisi pertama yaitu meninggalkan seluruh hal (tindakan maupun niat) yang membawa kepada ammâra bi as-sû’ dan syaitan, sedangkan yang kedua adalah lari dan pergi demi mempertahankan agama dari fitnah, seperti yang dilakukan oleh kaum Muhajirin ketika datang perintah, mereka rela untuk meninggalkan rumah dan tempat tinggal

44 Ibn al-Jazî, op.cit., Juz IV, h. 297. 45 At-Thabarî, Juz XII, h. 93.

(dan segala kesenangan dunia) untuk hijrah demi mempertahankan (agama dan keyakinan) serta sanggup melaksanakan segala perintah Allah swt. serta menjauhi larangan-Nya, dengan keadaan tenang dan damai. Bahkan hakikat hijrah yang sesungguhnya diraih oleh orang yang hijrah meninggalkan apa yang dilarang oleh

Allah. 46 Kemudian beliau memperjelas lagi dengan mengemukakan bahwa kedua

hijrah tersebut (hissî dan ma’nawî) saling melengkapi. Jika salah satu dari keduanya hilang, maka tidak akan memiliki arti sama sekali. Sesungguhnya hijrah yang didasari dengan meninggalkan keluarga, harta dan anak di jalan Allah swt. tidak akan memiliki kesempurnaan sampai seseorang juga hijrah meninggalkan seluruh apa yang dilarang oleh Allah swt. Oleh karena itu, hijrah yang dimaksud adalah dengan diri

dan ruh kepada Allah swt. 47