Sejarah dan Peristiwa Timbulnya Hijrah Nabi Muhammad saw.

C. Sejarah dan Peristiwa Timbulnya Hijrah Nabi Muhammad saw.

1. Latar Belakang Hijrah Rasulullah Suatu perencanaan yang akan dilakukan mestinya dilandasi motif-motif serta perencanaan tertentu yang dapat merangsang lahirnya suatu perbuatan serta tindakan yang akurat dan tepat agar dapat mengantarkan pada gerbang keberhasilan. Apalagi dikaitkan dengan tindakan Rasulullah dengan memperbolehkan kaum Muslimin untuk hijrah, pasti ada alasan yang melatarbelakangi tindakan tersebut.

46 Ibn Hajar al-‘Asqalânî, Juz I, h. 106. 47 Ibid. , h. 107.

Sejarah dan peristiwa hijrah Rasulullah saw. merupakan suatu momen yang begitu penting dalam perkembangan ajaran agama Islam. Terbukti dengan tercatatnya dalam lembaran sejarah sehingga dijadikan sebagai peristiwa yang mengawali masa kejayaan Islam. Suatu fase kebangkitan dan kejayaan terhadap perkembangan misi dan dakwah ajaran ini.

Dalam sejarah perkembangan agama Islam, hijrah yang dilakukan oleh

Rasulullah saw. terjadi beberapa kali, yaitu hijrah ke negeri Habasy dan hijrah ke Madinah.

Pada mulanya, Rasulullah menyebarkan ajarannya secara sembunyi- sembunyi, hanya kepada keluarga terdekat saja (Dâr Arqam Ibn Abi Arqam). Hal ini berlangsung selama tiga tahun. Kemudian Allah swt. memerintahkan beliau untuk berdakwah secara terang-terangan, sebagaimana yang termaktub dalam ayat al- Qur’an:

Artinya: ” Maka sampaikanlah olehmu secara terang-terangan segala apa yang diperintahkan (kepadamu) dan berpalinglah dari oarng-orang yang

musyrik” . (Q.S. al-Hijr [15]: 94) Setelah perintah ini datang, maka beliau dengan penuh keyakinan keluar ke

tengah masyarakat untuk mengajak mereka ke dalam Islam. 48 Seruannya ini mendapatkan sambutan baik terutama dari golongan budak. Hal ini karena Islam

tidak membedakan kedudukan manusia berdasarkan ras dan keturunan.

48 Muhammad Farîd Wajdî, Al-Sîrah al-Muhammadiyah tahta Dhaw ’ i al-Ilmi wa al-Falsafah, (Cairo: Dâr al-Mashriyah al-Lubnâniyyah, 1993), Cet I, h. 112.

Perkembangan dakwah Islam semakin mengalami peningkatan yang mengakibatkan kaum kafir Quraisy mengalami kekhawatiran yang besar; takut kalau- kalau agama nenek moyang mereka terancam dengan datangnya Islam. Sedangkan Nabi dalam menyampaikan dakwahnya selalu memberikan kesadaran kepada kafir Quraisy akan kelemahan sesembahan mereka berupa berhala-berhala yang sama

sekali tidak mampu memberikan manfaat dan menolak mudharat. 49

Penyiaran Islam terus berlanjut ke seluruh kota Mekkah. Dalam menghadapi penyiaran Islam ini, kaum Quraisy tidak dapat menahan kemarahannya kepada Nabi. Namun, mereka tidak berani menyakiti Nabi karena segan terhadap pamannya, Abu Thalib, salah seorang pemuka kaum Quraisy. Karena itu mereka datang menghadap Abu Thalib dengan harapan agar ia mencegah Muhammad dari kegiatan

dakwahnya. 50 Akan tetapi, mereka mengalami kekecewaan karena permintaan tersebut ditolak oleh Abu Thalib. Meskipun kaum kafir Quraisy telah berkali-kali

memohon kepada Abu Thalib untuk mencegah Nabi dari dakwahnya, namun kegiatan dakwah tersebut sedikitpun tidak berkurang. Kian hari kaum Muslimin semakin bertambah jumlahnya, karena itu mereka tidak dapat berbuat banyak selain mengadakan tekanan terhadap kaum Muslimin. Mereka melontarkan ejekan,

49 At-Thabari, Târîkh al-Umam wa al-Mulûk, (Beirut: Dâr al-Fikr, t.th), Jilid II, h. 402. Lihat juga: Ibnu Sa’ad, Thabaqât al-Kubrâ, h. 199.

50 Abu Thalib menyampaikan keluhan para kafir Quraisy kepada Rasulullah saw. agar menghentikan dakwah dan ajakan beliau tentang ajaran agama Allah swt. dengan mengatakan, “ Hai

anak saudaraku, ketahuilah bahwa kaummu telah mendatangiku dan mengancam dan mereka meminta untuk kau hentikan (dakwahmu) ini demi keselamatan dirimu. Janganlah engkau bebankan sesuatu urusan yang tidak dapat aku memikulnya (hentikanlah seruanmu). Dengan tegas Nabi menjawab, Hai pamanku, Demi Allah, seandainya matahari diletakkan di tangan kananku dan bulan di tangan kiriku untuk meninggalkan seruan ini (agama ini), maka aku tidak akan meninggalkannya . Farîd Wajdî, Al- Sirah al-Muhammadiyyah …..,

h. 119.

mendustakan ajaran Islam, mengadakan perlawanan, bahkan sampai bersifat penyiksaan fisik.

Perlawanan kaum kafir Quraisy Mekkah dalam menghadapi dakwah Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad tidak berhenti sampai di situ. Bahkan kian hari semakin bertambah terutama sekali terhadap pribadi Nabi. Karena menurut mereka, ia adalah penyebab utama perpecahan di kalangan bangsa Arab. Untuk itulah, mereka

selalu berusaha mencari cara menyakiti dan menghentikan dakwah Nabi yang senantiasa mendapat kemajuan. Dalam melancarkan aksinya, kaum musyrikin tidak lagi memandang pada tali kekerabatan yang ada pada mereka dengan Nabi, mereka berani melakukan segala macam kekerasan asalkan Islam lenyap dari persada mereka.

Ketika kaum kafir Quraisy melihat perkembangan agama Islam, ‘Utbah bin Rabi’ah meminta izin kepada mereka untuk berdialog dengan Nabi. Dia ingin menanyakan secara langsung apa yang dimaksud Nabi dengan dakwahnya dan apa

tujuannya. Usulan ‘Utbah bin Rabi’ah ini disepakati oleh kaumnya. 51 Utbah menawarkan kepada Nabi kedudukan, harta, dan wanita. Namun, Nabi

hanya menjawab dengan membacakan ayat-ayat al-Qur’an:

51 Ibn Hisyam, As-Sîrah an-Nabawiyah al-Ma ’ rûf bi Sîrah Ibn Hisyâm , (Cairo: Tahqiq Jamâl Tsâbit dan Muhammad Mahmûd, 1996), Juz I, Cet I, h. 241.

Artinya: Hâ mîm, diturunkan dari tuhan yang maha pemurah lagi maha penyayang. Kitab yang dijelaskan ayat-ayatnya yakni bacaan dalam bahasa Arab untuk kaum yang mengetahui, yang membawa berita gembira dan yang membawa peringatan, tetapi kebanyakan mereka berpaling (darinya), maka mereka tidak mau mendengarkan. Mereka berkata: “ Hati kami berada dalam tutupan (yang menutupi) apa yang kamu seru kami kepadanya dan ditelinga kami ada sumbatan dan antara kami dan kamu ada dinding, maka bekerjalah kamu, sesungguhnya kami bekerja (pula)” . (Q.S. Fusshilat [41]: 1-5)

Setelah mendengarkan ayat-ayat al-Qur’an yang artinya sebagaimana tersebut di atas, ‘Utbah kembali pada sahabat-sahabatnya dan mengatakan kepada mereka bahwa ia baru saja mendengarkan suatu bacaan yang belum pernah ia dengarkan sebelumnya. Bacaan itu tidak serupa dengan sya’ir atau sihir. Karena itu ia

mengimbau pada kaumnya untuk tidak menghalangi dakwah Nabi. 52 Ibn Ishâq mengatakan, “Setelah itu, Islam menyebar luas di Mekkah, di

kalangan orang-orang laki-laki dan perempuan di kabilah-kabilah Quraisy. Orang- orang kafir menahan siapa saja yang mampu mereka tahan dan menyiksa siapa saja yang mampu mereka siksa.

Selama empat pekan, tepatnya selama jangka waktu yang relatif singkat, ada empat kejadian besar di mata orang-orang musyrik yang meresahkan mereka, yaitu: masuk Islamnya Hamzah yang disusul oleh Umar Ibn Khatthab, dan peristiwa Nabi Muhammad saw. menolak tawaran mereka dan kesepakatan bersama yang dijalin

Bani Mutthalib dan Bani Hasyim untuk melindungi Nabi Muhammad saw. 53

52 Farîd Wajdî, Al-Sîrah al-Muhammadiyyah ….., h. 116. 53 Farîd Wajdî, Al-Sîrah al-Muhammadiyyah ….., h. 120

Kaum kafir Quraisy berkumpul di perkampungan Bani Kinanah untuk membuat kersepakatan bersama menghadapi Bani Hasyim dan Bani Mutthalib yang isinya: larangan menikah, berjual-beli, berteman, berkumpul, berbicara dan bertemu, dengan Bani Mutthalib dan Bani Hasyim kecuali mereka menyerahkan Nabi untuk dibunuh. Untuk keperluan ini, mereka melancarkan semacam program pemboikotan

menyeluruh yang ditempel di dinding Ka’bah. 54

Pemboikotan ini benar-benar ketat. Cadangan dan bahan makanan sudah habis, sehingga keadaan Bani Hasyim dan Bani Mutthalib benar-benar mengenaskan dan kelaparan. Untuk selama tiga tahun keadaan berjalan seperti itu. Pada bulan Muharram tahun kesepuluh kenabian, papan piagam tersebut sudah terkoyak dan isinya terhapus. Akhirnya papan piagam itu benar-benar robek dan dibatalkan.

Setelah sepuluh tahun Nabi menyeruh kepada Islam, ia kehilangan dua orang yang menjadi pendukung utamanya dalam berdakwah, yaitu: Abu Thalib dan Khadijah. Dengan meninggalnya dua orang tersebut, Nabi menghadapi berbagai macam bahaya dan cobaan yang dilancarkan oleh kaum kafir Quraisy. Penganiayaan Quraisy terhadap Nabi dan pengikut-pengikutnya semakin menjadi-jadi di luar norma kemanusiaan dan sopan santun. Beliau yakin bahwa kota Mekkah tidak aman lagi

untuk berdakwah. 55 Karena itu dibuat rencana untuk menjalankan seruan agama Islam keluar

Mekkah dengan harapan agar menemukan tempat lain yang sesuai untuk dijadikan

54 Madjid Ali Khan, Muhammad the Final Messenger, (Islamabad: International Islamic University, 1983), h. 89.

55 At-Thabarî, Jami ’ ul Bayân Ta ’ wil al-Qur ’ ân, (Beirut Libanon: Dar al-Fikr, t th), Juz II, h. 198.

pusat dakwah. Nabi mulai mengunjungi beberapa negeri sekitar Mekkah sambil memperkenalkan diri dan pokok-pokok ajaran agama baru itu kepada penduduk negeri-negeri tersebut.

2. Hijrah ke Negeri Habasy (Etiopia) Di awal masa permulaan Islam, Rasulullah saw. berdakwah mengajarkan agama Islam. Banyak sekali yang menolak dan menentangnya terutama dari kaum

Quraisy Mekkah. Hanya beberapa belas orang saja yang mau menerima Islam. Oleh karena itu, penduduk Mekkah yang menolak ajaran Islam mengadakan tekanan, ancaman, dan siksaan kepada orang-orang yang mengikuti ajaran Rasulullah sebab mereka dianggap telah melanggar dan merusak agama nenek moyang mereka. Ancaman, tekanan dan siksaan penduduk Mekkah yang tidak menyukai agama Islam tersebut dirasakan sangat berat bagi kaum Muslimin. Atas beberapa usulan dan

pertimbangan, Rasulullah memerintahkan mereka hijrah ke tempat lain 56 yang lebih menjanjikan dan dapat menyelamatkan aqidah mereka serta dapat bebas dan leluasa

menjalankan rutinitasnya (shalat serta ibadah yang lain) sebagai seorang muslim dan muslimah. 57

Habasy adalah tempat dan tujuan pertama melakukan hijrah. 58 Hijrahnya sekelompok muslim ke Habasy ini merupakan bukti jelas tentang keimanan dan

kesungguhan hati. Dengan maksud menjauhi kejahatan dan kekejian orang Quraisy serta menginginkan suasana damai dalam menyembah Allah swt., mereka

56 Muhammad Isom Sumhudi, Hijrah Nabi, (Jakarta: Sociali, 1996), Cet. IV, h. 7-8. 57 Ali Muhammad, Sîrah an-Nabawiyyah Ardh Waqâ ’ i wa Tahlîl Ahdâts Durûs wa I ’ bar ,

(Cairo: Dar Fajr li-Turats, 2004), Juz I, h. 322. 58 Ahzami Samiun Jazuli, op.cit., h. 26.

memutuskan untuk meninggalkan Mekkah; meninggalkan harta, usaha, sanak dan kerabat. Akan tetapi, mereka belum tahu apa yang mesti dilakukan dan ke mana harus pergi karena mereka melihat kemusyrikan melanda seluruh jazirah Arab dan tak ada kesempatan untuk mengumandangkan asma Allah karena takut terhadap fitnah yang begitu besar. Karena itu, mereka menyerahkan masalahnya kepada Nabi saw. yang membawa agama tauhid yang berpondasikan keyakinan kepada Allah swt. Dialah

yang menghidupkan dan mematikan dan hanya kepadanya tempat bergantung dan berserah diri. 59

Nabi saw. menyadari kondisi dan keprihatinan kaum Muslimin. Ketika Rasulullah saw. melihat penderitaan yang dialami sahabat-sahabatnya, sementara beliau sendiri dalam keadaan segar-bugar karena kedudukannya di sisi Allah dan di sisi pamannya, Abu Thalib, namun ia tidak mampu melindungi mereka dari penderitaan yang dialami oleh berbagai tekanan dari para pemimpin Quraisy yang kebanyakan pengikut beliau adalah budak-budak wanita dan pria serta beberapa

orang yang tak terlindungi, 60 maka beliau bersabda kepada mereka, “Bagaimana kalau kalian berangkat ke negeri Habasyah, sebuah negeri yang damai lantaran

rajanya seorang yang kuat dan adil serta tidak mengizinkan seorang pun dianiaya di dalamnya.” Negeri tersebut adalah negeri yang benar hingga Allah memberi jalan

keluar bagi penderitaan yang kalian alami. 61

59 Ali Muhammad, Op.cit., h. 322.

60 Ja’far Subhânî, The Message, yang diterjemahkan oleh Muhammad Hasyi dan Meth Kieraha, Risalah Sejarah Kehidupan Rasulullah saw, (Jakarta: PT Lentera Basritama, 1996), Cet. II, h.

61 Abû Muhammad Ibn Hisyâm, Sîrah an-Nabawî li Ibni Hisyâm, Juz I, h. 321.

Tak ragu bahwa lingkungan yang bersih dan dipimpin oleh penguasa yang adil merupakan contoh surga. Satu-satunya tujuan para sahabat Nabi mendiami negeri seperti itu ialah untuk dapat menjalankan kewajiban agama dengan aman dan tenang. Kata-kata Nabi berdampak sangat luar biasa sehingga mereka yang benar-benar siap segera mengepak barang-barang menuju Jeddah pada malam hari dengan

menunggang unta maupun jalan kaki tanpa sepengetahuan musuh. 62

Keadaan kaum Muslimin yang disiksa oleh kaum Quraisy itu amat menyedihkan sekali. Mereka sangat menderita karena penderitaan ini. Terpikirlah oleh Rasulullah saw. untuk mengirim mereka ke negeri lain, supaya mereka terhindar dari siksaan kaum Quraisy. Ada beberapa sebab sehingga Habasy dipilih sebagai tempat hijrah yang pertama, sebagaimana yang di sebutkan oleh para sejarawan. Di

antara sebab itu adalah: 63

a. Untuk menyelamatkan agama Inilah sebab utama yang melatarbelakangi sehingga diadakan hijrah yaitu menyelamatkan keyakinan kepada Allah swt. Ibn Ishak menyebutkan bahwa keluarnya kaum Muslimin (para sahabat Rasulullah) melaksanakan hijrah ke daerah Habasy tak lain adalah karena takut akan fitnah (mukhâfah al-fitnah) dan lari kepada Allah dengan membawa dan mempertahankan agamanya (firâran ilâ Allâh bi

dînihim 64 ).

b. Menyebarkan ajaran Islam di luar kota Mekkah

62 Ja’far Subhânî, op cit., h. 202. 63 Ali Muhammad, Op.cit., Juz I, h. 322.

64 Ibn Hisyam, Sîrah an-Nabawiyyah…., Juz I, h. 398. Lihat juga: Ali Muhammad, Op.cit., h. 322.

Rasulullah saw. mencari lahan garapan yang lebih produktif dibanding kota Mekkah untuk mengembangkan ajaran agama Islam serta menyampaikan kepadanya inti yang sebenarnya dari ajaran ini. Sayyid Quthub menyebutkan bahwa Rasulullah mencari proyek lain selain dari Mekkah sebagai langkah awal terciptanya keuniversalan agama Islam sehingga dapat menjaga ajaran dan aqidah ini juga menjamin kebebasan dalam melaksanakan ajarannya, menemukan titik terang dari

kejumudan ajaran ini yang sudah berlangsung beberapa tahun di Mekkah yang tidak menemukan perkembangan. Hanya saja, yang dijumpai cuma penganiayaan,

penindasan dan intimidasi. 65 Gangguan terhadap kaum Muslimin makin menjadi-jadi hingga ada yang dibunuh dan disiksa sehingga beberapa kaum Muslimin berinisiatif

untuk hijrah melalui saran Rasulullah saw. agar mereka pergi dengan berpencar- pencar ke daerah Abesania (Habasy). 66

Peristiwa ini terjadi pada tahun kelima sesudah Nabi diutus menjadi rasul atau pada bulan Rajab tahun 615 M. Rombongan pertama yang berangkat ke negeri tersebut terdiri dari 12 orang pria dan 4 orang wanita. Mereka ini termasuk orang- orang yang mula-mula menerima ajaran Islam dan disebut sebagai Muslim Awal (as- sâbiqûn al-awwalûn ), yaitu: Utsmân Ibn Affân, Ruqayyah (istri Utsmân Ibn Affân), Abû Hudzaifah, Ummu Hudzaifah (istri Abu Hudzaifah), Abû Salamah, Ummu Salamah (istri Abû Salamah), Amair Ibn Rabi’ah, Lailah binti Abi Haitsamah (istri Amir Ibn Rabi’), Zubair Ibn Awwâm, Abdullah Ibn Mas’ud, Mush’ab Ibn Umair,

65 Sayyid Quthub, Tafsir fi Dzilal al-Qur ’ an, Juz I, h. 29. 66 Husein Haekal, Hayat Muhammad, (Diindonesiakan oleh Ali Audah dengan judul Sejarah

Hidup Muhammad , (Bogor: PT Pustaka Lintera Antar Nusa, 2003), Cet. XXIX, h. 105.

Abdurrahman Ibn Auf, Abû Sabrah bin Abî Ruhm, Abû Hâtik Ibn Amr, Suhail bin Baida’, Utsman Ibn Madz’um (selaku kepala rombongan). 67

Menurut para sejarawan, Rasulullah sebelum mengutus ke negeri Habasy, terlebih dahulu mempelajari situasi negeri tersebut kemudian mengirim sebagian kaum Muslimin. Menurut mereka, hijrah ke Habasy mempunyai tujuan yang sangat banyak, di antaranya; lari dari fitnah dan tekanan serta menyelamatkan aqidah dan

keyakinan kepada Allah swt. Setelah Muhajirin pertama berhasil, Muhajirin kedua menyusul yang dipimpin oleh Ja’far Ibn Abî Thalib. Migrasi ini berjalan aman. Beberapa pengungsi malah berhasil membawa perempuan dan anak-anak mereka. Kini jumlah kaum muslim di Habasy mencapai 83 orang. Bila kita masukkan pula anak-anak yang dibawa atau lahir di sana, jumlahnya tentu akan lebih banyak.

Sebagaimana yang digambarkan Nabi, kaum Muslimin mendapatkan bahwa Habasy memang negeri makmur, aman dan bebas. Ummu Salamah, istri Abu Salamah, yang kemudian kawin dengan Nabi mengatakan tentang negeri Habasy, “ Ketika kami berdiam di negeri itu, kami berada dalam perlindungan terbaik, kami tidak menemukan kesukaran apapun atau mendengar kata buruk siapa pun.

Sebagaimana tertera dalam untaian bait syair-syairnya. 68 Keadaan yang dialami oleh kaum Muhajirin di Habasy tidak luput dari

berbagai rongrongan dan campur tangan dari suku Quraisy yang tidak mau melihat

67 Bidayah wa an-Nihayah, Juz III, h. 96-97, Sirah Ibn Hisyam Juz I, h. 344-352, Sirah an- Nabawiyyah Ardh Waqâi’ wa Tahlil Ahdats Durûs wa I’bâr oleh Ali Muhammad, Juz I, h. 328.

68 Ibn Hisyâm, Sîrah Ibnu Hisyâm, Juz I, h. 245.

kaum Muhajirin hidup dalam keadaan damai dan tenang. Mereka mencari jalan untuk mengembalikan mereka ke tanah Mekkah serta kembali menekannya sehingga dapat melakukan penindasan dan penyiksaan.

Ketika para sesepuh Mekkah mengetahui tentang kebebasan dan kehidupan mereka yang damai, api kebencian kembali berkobar. Mereka merasa terganggu oleh kehidupan bahagia kaum muslim. Mereka sangat khawatir kalau kaum Muslimin

berhubungan dengan Negus (penguasa Etiopia), lalu menariknya memeluk Islam dan kemudian mengatur invasi ke Jazirah Arab dengan pasukan yang dipersanjatai

dengan baik. 69 Secara cepat mereka mengadakan rapat darurat di Dâr an-Nadwa. Mereka

sepakat untuk mengirim wakil ke istana raja Etiopia dengan membawa hadiah untuk sang raja dan para menterinya sebagai pernyataan niat baik, dan kemudian menghembuskan tuduhan bahwa kaum Muslimin sebagai orang-orang dungu, jahil dan mengada-adakan agama baru. Kedua wakil yang diutus oleh kafir Quraisy adalah Amr Ibn ‘Ash dan Abdullah Ibn Rabi’ah, lalu keduanya menyampaikan pesan Quraisy, “Wahai penguasa Habasy yang mulia! Beberapa orang muda dungu kami menyiarkan agama yang tidak sejalan dengan agama resmi negara tuan maupun agama nenek moyang kami, mereka kini mengungsi di negeri Tuan dan memanfaatkan secara tak semestinya kebebasan negara ini. Para sesepuh Quraisy sangat mengharapkan agar yang mulia mengeluarkan surat pengusiran, supaya

mereka dapat kembali ke negeri mereka sendiri…” 70 Lalu sang raja berpaling ke

69 Ja’far Subhâni, The Message, h. 203. 70 Ibid., h. 204.

Ja’far (sebagai pimpinan delegasi kaum Muhâjirin), “ Mengapa kamu mengecam agama leluhurmu dan menganut agama yang tidak sejalan dengan agama kami dan agama leluhurmu?” Ja’far menjawab, “ Kami dahulunya musyrik, dan tidak

berpantang memakan bangkai hewan, selalu tenggelam dalam perbuatan aib dan tidak menghormati tetangga. Orang lemah dan tertindas ditekan oleh pihak yang

kuat. Kami bertikai dan berperang dengan sesama saudara 71 .

“ Sudah lama orang Quraisy hidup seperti itu, sampai seseorang dari kalangan kami sendiri, yang memiliki masa lalu cemerlang dan suci, bangkit dan mengajak kami sesuai dengan perintah Allah untuk menyembah yang esa dan satu- satunya Tuhan, dan menyatakan bahwa pemujaan berhala adalah perbuatan tercela. Ia juga memerintahkan untuk mengembalikan barang yang dipercayakan orang kepada kami, menghindari hal-hal yang haram, berlaku baik terhadap sesama kaum dan tetangga kami, dan menghentikan pertumpahan darah, hubungan haram, kesaksian palsu, perampasan hak-hak anak yatim, dan perlakuan buruk terhadap

wanita. Ia memerintahkan kami mendirikan salat, puasa, dan membayar zakat 72 . “Kami mempercayai, dan memuji dan menyembah Allah swt. yang maha esa. Apa yang dia katakan halal, kami pandang halal. Namun, orang Quraisy berlaku kejam pada kami. Mereka menyiksa kami siang dan malam supaya kami menolak agama kami, kembali menyembah batu dan berhala, serta melaksanakan berbagai perbuatan buruk. Kami melawan mereka selama beberapa waktu hingga kami

71 Lihat: Musnad Imam Ahmad, Juz I, h. 202-203 dan Sirah an-Nabawiyyah oleh Ali Muhammad, (Cairo: Dâr Fajt li-Turâts, 2004), Juz I, Cet. I, h. 328. dan Hayât Muhammad,

Muhammad Husein Haekal (terj. Ali Audah), h. 107-108. 72 Ali Muhammad, Sirah an-Nabawiyyah, h. 338 dan Husein Haekal, Hayât Muhammad, h.

107-108.

kehilangan daya. Kami kehilangan harapan hidup dan harta, lalu kami memutuskan mengungsi ke Habasy untuk menyelamatkan agama kami. Masyhurnya keadilan penguasa ini menggerakkan hati kami untuk hijrah ke tempat ini. Kini kami percaya

sepenuhnya terhadap keadilannya. 73 Itulah alasan Ja’far yang diungkapkannya di depan raja sehingga mereka yang meninggalkan negara tumpah darahnya itu

diperkenakan menetap di negeri Habasy dengan aman dan sentosa 74 .

3. Hijrah Rasulullah ke Madinah (Yatsrib) Hijrah Rasulullah saw. ke Madinah sudah didahului dengan persiapan dan

perencanaan yang matang serta sesuai dengan kehendak Allah. 75 Adapun bukti perencanaan dan elemen strategi yang dilakukan oleh Nabi sebelum melakukan hijrah

ke Madinah antara lain:

1. Mempelajari situasi. Pasalnya, mengetahui dan mempelajari situasi merupakan salah satu aspek yang harus diperhatikan dalam membuat perencanaan. Dengan mengetahui situasi yang ada, dapat memberikan gambaran serta mengenali unsur- unsur positif dan negatif sehingga dapat menyusun perencanaan yang tepat guna

mengoptimalkan unsur-unsur positif serta mewaspadai unsur–unsur negatif. 76 Dalam mempelajari situasi yang ada, dapat memprediksikan terwujudnya

keputusan hijrah sehingga dapat digambarkan beberapa elemen yang melatarbelakanginya, di antaranya:

73 Ja’far Subhânî, The Message, h. 205. 74 Ibn Hisyâm, Sirah Ibn Hisyâm, Juz I, h. 204, 262. 75 Muhammad ‘Ali Shallabi, Sirah an-Nabawiyyah…., h. 414. 76 Ahmad Abdul Adzim Muhammad, At-Takhtit al-Hijrah Mabâdî Ilmiyyah wa Ilhâmat, h.

a. Kota Madinah telah membuka pintunya lebar-lebar menyambut kedatangan Islam. Hal tersebut dapat dibuktikan dengan adanya belasan penduduk Madinah memeluk agama Islam dan membai’at Rasulullah saw. baik dalam

77 bai’at pertama 78 maupun baiaat kedua. Ini merupakan lampu hijau bagi Rasulullah untuk membuka dan menemukan lahan baru dalam merealisasikan

tugasnya sebagai hamba Allah yang diutus untuk menyampaikan risalahnya

kepada umat manusia. 79

b. Lain halnya dengan kondisi kota Mekkah yang begitu ganas dengan misi dan ajaran serta hijrah Nabi, mereka telah menggunakan sejuta cara untuk menggagalkannya. Sebagai buktinya, rasa cemas dan takut meliputi kafir Quraisy tatkala keberhasilan di tangan Islam yang akan menimbulkan kerugian di pihak Mekkah dan akan mengantarkan kehancuran perniagaan mereka ke negeri Syam. Di Dâr an-Nadwa sendiri sering dilakukan rapat darurat guna membahas penggagalan tersebut.

c. Jalur yang menghubungkan antara Mekkah dan Madinah terdapat sebuah jalan yang sulit dan penuh rintangan. Terbukti padang pasir yang bersimpang

77 Baiât secara etimologi berarti pernyataan dan sumpah setia yang diadakan di bukit Âqabah. Sedangkan secara terminologi mengikrarkan sumpah setia kepada Rasulullah saw. dengan berjanji

kepada Nabi (yang dikenal dengan nama Iqrar Aqabah Pertama), mereka mengikrarkan untuk tidak menyekutukan Allah swt., tidak mencuri, tidak berzinah, tidak membunuh anak laki-laki, tidak mengumpat dan memfitnah, baik di depan maupun di belakang. Jangan menolak berbuat kebaikan. Barang siapa mematuhi semua itu, ia mendapatkan surga, dan kalau ada yang mengecoh, maka soalnya kembali kepada tuhan. Tuhan berkuasa menyiksa, juga berkuasa mengampuni segala dosa. Bai’at pertama ini terjadi pada tahun 621 yang diikuti oleh sekitar 12 orang penduduk Yatsrib. Haikal, Hayât Muhammad,

h. 167. 78 Pada tahun 622 M, bai’at kedua ini jumlahnya praktis bertambah terdiri dari tujuh puluh

lima orang, tujuh puluh pria dan dua orang wanita, Ikrar ini lebih dikenal dengan Bai’at Aqabah Kedua. Lihat: Haikal, Hayât Muhammad, h. 169.

79 Adzîm Muhammad, At-Takhtit al-Hijrah ….., h. 54.

banyak dan belum dapat dipastikan ke mana arahnya, tempat yang sukar dilalui, serta kering dari air dan perbekalan. Masalah-masalah tersebut akan dapat menjadikan bumerang dalam tercapainya hijrah. Akan tetapi, Rasulullah saw. memandangnya sebagai variabel positif yang dapat disiasati dan mendatangkan keuntungan. Luasnya padang pasir, jalan yang penuh simpang, dan banyaknya tempat berguna dan membantu proses persembunyian.

Banyaknya jalan juga berguna untuk mengelabui musuh dan memperlemah semangat mereka dalam mengejar orang-orang yang berhijrah. 80

2. Mempelajari peluang. Peluang merupakan sarana pembuat langkah untuk mencapai tujuan. Perencanan yang baik akan berupaya beranjak dari situasi umum

menuju situasi terarah dengan memanfaatkan segenaf peluang. 81 Segenap potensi ini dapat kita bagi menjadi kelompok-kelompok kecil sebagai berikut:

a. Peluang khusus. Peluang khusus ini adalah seputar kelebihan yang dimiliki oleh Rasulullah saw. Hal ini merupakan salah satu indikator dalam keberhasilan strategi. Di antara kelebihan yang dimiliki oleh Rasulullah tersebut antara lain:

1. Berpikir realistis dan logis serta mempunyai rambu-rambu yang jelas dalam proses pengambilan keputusan.

2. Mampu melihat masalah secara menyeluruh, tanpa terpaku pada bagian tertentu.

3. Mampu mengolah pikiran ke dalam sebuah pola pikir yang jelas dan dapat dipahami orang lain.

80 Adzîm Muhammad, At-Takhtit al-Hijrah ….., h. 55. 81 Adzîm Muhammad, At-Takhtit al-Hijrah ….., h. 56.

4. Mampu menghadapi hal-hal yang rumit dan berpartisifasi aktif dalam situasi informasi yang kurang begitu akurat.

5. Memiliki semangat yang keras, teguh memegang prinsip, mau menderita, dan yakin terhadap pertolongan Allah. 82

Di sisi lain, Abbâs Muhammad al-‘Aqqâd menyinggung potensi-potensi khusus ini dalam bukunya ‘Abqariyât Muhammad dalam sub-judul ‘Abqariyât ad-

Dâ’î bahwa Muhammad dilengkapi dengan perangkat-perangkat yang sangat diperlukan dalam mewujudkan keberhasilan sebuah risalah agung dari sekian risalah yang mampu menghunjam dalam sejarah. Keterampilan berbahasa yang lancar dan jelas, kepiawaian merekatkan hati, sangat yakin dengan dakwahnya dan optimis

terhadap keberhasilan dakwahnya. 83 Rasulullah bukanlah orang yang pertama yang melakukan hijrah untuk

menegakkan dan menolong gerakan dakwahnya. Akan tetapi, hijrah merupakan perbuatan yang telah dilakukan oleh mayoritas para Nabi terdahulu. Perjalanan hijrah Rasulullah dari Mekkah ke Madinah penuh dengan tantangan. Terbukti dengan kendala yang dihadapi beliau ketika meninggalkan Mekkah menuju kota Madinah.

Pada tahun dimana Rasulullah saw. dan umatnya mengalami berbagai tekanan dan penindasan dari kaum Quraisy demi mempertahankan agama dan keyakinannya, mereka rela mati dan bertahan untuk melawan. Berbagai kejadian-kejadian sebelum hijrah ke Madinah di antaranya; tahun kesedihan, Isra dan Mi’raj, hijrah ke Thaif,

82 Adzîm Muhammad, At-Takhtit al-Hijrah ….., h. 56. 83 ‘Abbâs Mahmûd al-Aqqâd, ‘ Abqariyah Muhammad, yang disadur dari buku “ Strategi

Hijrah Prinsir-prinsip Ilmiah dan Ilham Tuhan ” oleh Ahmad Abdul Adzim Muhammad, (Solo: Tiga Serangkai, 2004), Cet. I, h. 37.

perjanjian aqabah pertama dan kedua. Baru pada tahun 622 M terpancar sinar yang cerah dalam pengembangan dakwah dimana lebih dari 70 Muslimin penduduk Yatsrib datang ke Mekkah untuk berhaji. Sesampainya di Mekkah, mereka menjalin hubungan dengan Nabi saw. Secara sembunyi-sembunyi mereka bertemu di bukit Aqabah dan melaksanakan bai’at aqabah kedua (al-Bai’ah al-Kubra).

Ketika Nabi telah menerima bai’at dari beberapa orang Anshar, beliau merasa

bahwa kaum Muslimin untuk segera berhijrah. Karena itu, ia memerintahkan kaum Muslimin untuk segera berhijrah. Untuk itu, beliau bersabda: “ Sesungguhnya Allah telah menyediakan buat kamu saudara (pelindung) dan tempat hijrah yang aman (Yatsrib)” . Ibn Ishaq berkata bahwa ketika Allah swt. telah mengizinkan Nabi berperang, kaum Anshar masuk ke dalam Islam.

Pada tahun ke-11 kenabian, persiapan untuk mengembangkan Islam di Yatsrib (sekarang Madinah) memasuki babak permulaan. Pada musim haji, ketika duduk di dekat Aqabah (bukit atau tugu antara Mina dan Mekkah), Nabi saw. bertemu dengan

enam orang dari suku Khazraj. 84 Rasulullah membacakan al-Qur’an kepada mereka. Setelah mendengarkan ajaran Rasulullah saw., mereka menyatakan dirinya masuk ke

dalam agama Islam. Perjanjian ini lebih dikenal dengan bai’at pertama (lebih dikenal dengan bai’at an-nisâ’). 85 Pada tahun selanjutnya, tepatnya tahun ke-12 kenabian,

84 Abû Muhammad ‘Abd Mâlik Ibn Hisyâm al-Maafiri, Sirah Ibn Hisyam, (Cairo: Muassasah Dâr-al-Hadîts, 1996), Cet I, Juz II, h. 39.

85 Bai’at tersebut dinamai baiat an-nisâ ’ karena baia’t tersebut berisi untuk tidak menyekutukan Allah, tidak mencuri, tidak berzina, tidak membunuh anak-anak, tidak mengumpat dan

memfitnah, baik di depan atau di belakang, dan jangan menolak berbuat kebaikan. Barang siapa yang mematuhi semua itu ia akan mendapatkan kebaikan serta pahala sorga, dan kalau ada yang mngecoh, maka soalnya kembali kepada tuhan. Tuhan berkuasa menyiksa, juga berkuasa mengampuni segala dosa. (Lihat: Muhammad Husein Haekal, Sejarah Hidup Muhammad, h. 168).

datang dua belas orang lainnya (10 orang dari suku Khazraj dan 2 orang dari suku Aus). Mereka itu bertemu dengan Nabi di Aqabah dan di tempat inilah mereka menyatakan ikrar atau berjanji kepada Nabi (yang dikenal dengan Iqrâr Aqabah).

Ketika para sejarawan mengamati peristiwa-peristiwa yang ada dalam sejarah kenabian, khususnya persoalan hijrah, maka dapat disimpulkan bahwa seluruh langkah beliau diawali oleh suatu perencanaan yang matang dan dengan sasaran yang

jelas. Abu Bakar jauh-jauh hari sudah ingin berangkat hijrah ke Madinah seperti kaum Muslimin yang lain. Tidak mengherankan kalau ia meminta izin kepada Rasulullah saw. tetapi beliau tidak memberi izin kepadanya dengan berkata kepada Abu Bakar, “Wahai Abu Bakar, tidak usahlah terburu-buru karena barangkali suatu

saat Allah memilihkan untukmu sahabat yang cocok”. 86 Rasulullah saw. dalam perencanaan hijrah ini tidak pernah berhenti berfikir

untuk menentukan kapan bisa berhijrah. Oleh karena itu, beliau senantiasa menanti izin dari Allah. Bbegitu perintah hijrah telah tiba, beliau langsung membuat semacam khitthah (garis perjuangan) dengan cermat kemudian melaksanakannya dengan seksama. Hal tersebut diawali dengan mendatangi Abu Bakar di rumahnya. Beliau juga mendapati kedua putrinya Aisyah dengan Asma. Beliau berkata kepada Abu Bakar tolong keluargamu suruh masuk sebentar! Abu Bakar menjawab “Ya Rasulullah, mereka bukan siapa-siapa, mereka adalah keluargamu sendiri!’ setelah itu beliau berkata, ”Sesungguhnya aku barusan mendapatkan izin dari Allah untuk

86 Muhammad ‘Abdul Qadîr Abû Fâris, Fî Zhilâl as-Sîrah Nabawiyyah, yang diterjemahkan oleh F.B. Marjan dengan judul Hijrah Nabawiyyah Menuju Komunitas Muslim, (t.tp: Citra Islami

Press, 1997), h. 51. Imaduddin Abû al-Fidâ Isma’îl Ibn ‘Umar Ibn Katsîr al-Quraisy ad-Dimasyqi, Al- Bidâyah wa an-Nihâyah, Juz II, h. 206.

berhijrah.” Abu Bakar bertanya, “ Apakah aku boleh menemanimu?, Beliau menjawab, “ Ya, boleh …!” . Setelah beliau membuat perencanaan bersama Abu

Bakar kemudian Rasulullah dan sahabatnya keluar menuju Gua Tsur 87 yang terletak di sebelah selatan kota Mekkah. Beliau dan Abu Bakar tinggal selama tiga hari di gua

tersebut. Pada perjalanan Nabi di malam keempat, Ali mengirim tiga ekor unta bersama

seorang pemandu jalan bernama Abdullah Ibn Uraiqat. Perjalanan yang harus ditempuh Nabi Muhammad saw. ± 400 km. Untuk menempuh jarak itu, di bawah terik musim panas, diperlukan rencana yang tepat. Lagipula mereka takut bertemu dengan orang yang mungkin akan melapor kepada kaum kafir Quraisy. Jadi, mereka

mengadakan perjalanan pada waktu malam hari dan istirahat pada waktu siang. 88 Selama dalam perjalanan, jejak mereka pernah tertangkap oleh Suraqah bin

Malik. Ia sangat tergiur untuk memperoleh hadiah 100 ekor unta. Karena berhasrat untuk mendapatkan hadiah menangkap Nabi bagi dirinya sendiri, ia mengatakan kepada kaum Quraisy bahwa yang dilihatnya itu adalah orang lain. Ia lalu pulang mempersenjatai diri dan mengejar Nabi hingga ke tempat istirahatnya.

87 Gua yang terlekak di dataran kota Mekkah, terletak di Jabal Tsûr, yaitu kira-kira 4 km sebelah selatan Masjid al-Haram. Tingginya dari permukaan air laut ialah 748 m, sedangkan dari

permukaan tanah sekitar 458 m. Adapun Gua Tsûr tingginya sekitar 1,5 m dengan panjang dan lebarnya berkisar 3,5 m X 3,5 m. Gua tersebut memiliki dua pintu, yaitu di sebelah barat dan satu lagi di sebelah timur. Pintu yang di sebelah barat itulah yang digunakan masuk oleh Nabi saw. yang tingginya kira-kira 1 m. Sedangkan pintu sebelah timur, walaupun lebih luas, sengaja dibuat untuk memudahkan orang keluar masuk gua. Untuk mendaki sampai ke puncak Jabal Tsûr ini diperlukan waktu sekitar 1,5 jam. Di tempat inilah Nabi dan Abu Bakar bersembunyi ketika hendak hijrah dari Mekkah dari Madinah. Gua tersebut sangat masyhur, dan goa tersebut diabadikan dalam al-Qur’an pada surat at-Taubah ayat 40. (Lihat: al-Mubârakfûrî, Târîkh Makkah al-Mukarramah, (t.tp.: Dâr-as- Salâm an-Nasyr wa al-Tawzi’, 2002), h. 96. Lihat juga: Muhammad Ilyâs ‘Abd al-Ghanî, Târîkh Makkah al-Mukarramah, (Madinah Munawwarah: t.p., 2003), h. 131-132.

88 Ibn Hisyâm, op.cit., h. 284.

Atas kuasa Allah, Suraqah terjatuh dari kuda dan menghempaskannya ke tanah. Suraqah sadar bahwa tangan Ilahi berperan dalam kejadian ini akibat dari niat jahatnya kepada Nabi. Karena itu, ia menghadap Nabi dan memohon maaf, dan bersedia memberikan apapun yang Nabi minta. Nabi hanya menjawab, “ Saya tidak menghendaki apa-apa dari anda” . Nabi mengatakan kepadanya, “ Kembalilah dan yakinkan kepada yang lain supaya tidak memburu kami” . Karena itu, kepada siapa

saja yang dijumpainya, Suraqah mengatakan bahwa tak ada jejak Muhammad di rute tersebut. 89

Masyarakat Yatsrib setelah mendengar lolosnya Nabi dari kota Mekkah, mereka menunggu kedatangan Nabi. Akhirnya, Nabi sampai di suatu tempat yang dikenal dengan nama Quba, kira-kira tiga mil dari Yatsrib.

Hampir seluruh sejarawan sependapat bahwa Nabi sampai di Quba pada hari Senin. Di sini ia tinggal beberapa hari sebelum melanjutkan perjalanan ke Yatsrib pada hari Jum’at. Namun mengenai tanggal masuk beliau ke Quba ini terdapat beberapa pendapat. Menurut sebagian sejarawan, Nabi Muhammad saw. sampai di Quba pada tanggal 12 Rabi’ul Awal. Tetapi menurut tabel perbandingan antara kalender Hijriyah dan Masehi, 12 Rabiul Awal jatuh pada hari Jum’at. Bila kita sependapat bahwa Nabi sampai di Quba pada hari Senin, maka hari tersebut bertepatan dengan tanggal 8 Rabiul Awal. Nabi Muhammad saw. tiba di Yatsrib pada

hari Jum’at, 12 Rabiul Awal tahun 1 H. 90

89 Ja’far Subhâni, The Message, h. 210. 90 Madjid ‘Ali Khân, Muhammad The Final Mesenger, h. 145.