Pengaruh Hijrah terhadap Tingkat Keimanan dalam al-Qur’an

B. Pengaruh Hijrah terhadap Tingkat Keimanan dalam al-Qur’an

Hijrah memiliki derajat yang sangat penting dalam al-Qur’an. Sama halnya dengan iman yang juga memiliki posisi yang sama. Hijrah dan iman tidak dapat dipisahlan karena keduanya saling melengkapi untuk meraih nilai dan derajat yang

20 Jâd al-Mawlâ, Qishash al-Qur ’ an, (Mesir: Maktab Tijârah Kubrâ bi Mishr, 1952), h. 68.

tertinggi dan dijanjikan oleh Allah swt., yaitu kemenangan dan ampunan dari seluruh dosa serta nikmat surga.

Syarat pertama yang harus dipenuhi oleh orang-orang yang mau melakukan hijrah yaitu beriman kepada Allah swt. Pasalnya, keimanan adalah modal utama dalam melakukan hijrah. Tanpa didasari oleh hal tersebut, mustahil hijrah akan terlaksana. Al-Qur’an merupakan kitab iman, yaitu kitab tauhid yang berarti al-

Qur’an menjelaskan tauhid kepada Allah swt. serta mengemukakan tujuan penciptaan manusia yang sesungguhnya yakni mengabdi kepada-Nya. Allah berfirman:

Artinya: Tidaklah aku jadikan jin dan manusia kecuali untuk menyembah kepadaku. (Q.S. adz-Dzâriyât [51]: 56)

Dengan tujuan dasar ini, manusia menemukan jati dirinya yang sesungguhnya. Manusia bebas untuk mampu mengeluarkan dirinya dari alam kegelapan yaitu kegelapan khurafat dan angan-angan, sikap dan taqlid dari berbagai keraguan yang menghantui. Ia akan mampu keluar dari alam itu menuju alam yang memberikan cahaya yang menyinari kegelapan, mengungkap alam perasaan ke dalam dunia

pemikiran kemudian mengungkapnya di dalam realitas kehidupan 21 hanya melalui iman yang sesungguhnya kepada Allah swt.

a. Hubungan Hijrah dan Iman dalam Al-Qur’an

Sebagaimana yang telah dikemukakan sebelumnya bahwa hubungan hijrah dan iman tidak dapat dipisahkan sebab antara satu sama lain saling melengkapi. Hijrah tidak akan dapat terlaksana dengan baik tanpa didasari oleh keimanan yang

21 Sayyid Quthub, Fî Zhilâl …., Juz V, h. 2985.

benar dan kuat. Keimanan merupakan sendi utama dalam melakukan hijrah di jalan Allah swt. Sebagaimana firman-Nya:

Artinya: Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang yang berhijrah dan berjihad di jalan Allah, mereka itu mengharapkan rahmat Allah, dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Q.S. al-Baqarah [2]: 217)

Imam Abu Su’ûd menyebutkan bahwa penyebutan ulang isim maushûl pada ayat ini yaitu (alladzîna âmanû wa alladzîna hâjarû) adalah sama dari segi makna dan tujuannya yaitu keagungan dan kebesaran. Kedua makna tersebut sama-sama menginginkan harapan dari Allah swt. yaitu (yarjûna rahmatallâh). Mereka adalah umat-umat pilihan yang menjadikan mereka ahlu rajâ’. Sesungguhnya barang siapa yang mengharap, maka akan memohon. Dan barang siapa takut, maka akan melarikan

diri (jauh dari rahmat Allah swt). 22 Pada ayat lain, Allah swt. memberikan penghargaan yang sangat besar kepada

para Muhajirin yang dengan senang hati dan memiliki keimanan teguh hijrah kepada Allah swt. Saksi atas mereka adalah kemenangan dan lepas dari berbagai fitnah atas iman mereka lalu disertai dengan janji Allah swt:

22 Abû as-Su’ûd, Irsyâd al- ‘ Aql as-Salîm ila Mazâyâ al-Qur ’ ân al-Karîm , (Beirut: Dâr Ihyâ’ al-Turâts al-Arabiyyah, t.th), Juz I, h. 218.

Artinya: Dan orang-orang yang beriman sesudah itu, kemudian berhijrah dan berjihad bersamamu maka orang-orang itu termasuk golonganmu (juga). Orang-orang yang mempunyai hubungan itu sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya (daripada yang kerabat) di dalam kitab Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. (Q.S. al-Anfal [8]:

Begitupula Allah swt. menjelaskan pengorbanan Muhajirin yang memiliki keimanan yang benar, sebagaimana firman-Nya:

Artinya: Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad dengan harta dan jiwanya pada jalan Allah dan orang-orang yang

memberikan tempat kediaman dan pertolongan (kepada orang-orang Muhajirin), mereka itu satu sama lain lindung-melindungi. Dan (terhadap) orang-orang yang beriman, tetapi belum berhijrah, maka tidak ada kewajiban sedikitpun atasmu melindungi mereka, sebelum mereka berhijrah. (Akan tetapi) jika mereka meminta pertolongan kepadamu dalam (urusan pembelaan) agama, maka kamu wajib memberikan pertolongan kecuali terhadap kaum yang telah ada perjanjian antara kamu dengan mereka. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan . (Q.S. al-Anfâl [8]: 72).

Adapun mengenai ayat-ayat hijrah yang berhubungan dengan iman di dalam al-Qur’an sebagaimana firman-Nya:

Artinya: Nabi itu (hendaknya) lebih utama bagi orang-orang mukmin dari diri

mereka sendiri dan isteri-isterinya adalah ibu-ibu mereka. Dan orang- orang yang mempunyai hubungan darah satu sama lain lebih berhak (waris mewarisi) di dalam Kitab Allah daripada orang-orang mukmin dan orang- orang Muhajirin, kecuali kalau kamu mau berbuat baik kepada saudara- saudaramu (seagama). Adalah yang demikian itu telah tertulis di dalam Kitab (Allah). (Q.S. al-Ahzab [33]: 6).

- Firman Allah swt:

ِ Artinya: Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu

perempuan-perempuan yang beriman, maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka; maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. Mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka. Dan berikanlah kepada (suami-suami) mereka mahar yang telah mereka bayar. Dan tiada dosa atasmu mengawini mereka apabila kamu bayar kepada mereka maharnya. Dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali (perkawinan) dengan perempuan-perempuan kafir; dan hendaklah kamu minta mahar yang telah kamu bayar; dan hendaklah mereka meminta mahar yang telah mereka bayar. (Q.S. al-Mumtahanah [60]: 10)

Pada ayat ini, Allah swt. memberikan penegasan bahwa hijrah memiliki pengaruh yang besar terhadap iman, sebagaimana dalam firman-Nya: (fa imtahinû hunna). Ibn Abbas mengatakan bahwa ayat ini menunjukkan ujian atas mereka dengan memberikan kesaksian bahwa sesungguhnya tiada tuhan selain Allah dan

Muhammad adalah rasul-Nya. Jika mereka telah membuktikan keyakinannya tentang hal itu, maka janganlah engkau mengembalikan mereka kepada orang-orang kafir serta menyerahkan mereka kepadanya, dan kembalikanlah kepada kaum kafir mahar- mahar mereka yang ia telah serahkan kepada wanita yang telah beriman, dan wanita- wanita tersebut halal bagi orang-orang beriman jika engkau menyerahkan mahar

kepadanya. 23

Kedua ayat ini meyebutkan tentang kemuliaan yang dimiliki oleh wanita yang hijrah bersama dengan Rasulullah saw. jika dibandingkan dengan wanita yang tidak melakukanya. Imam Zamakhsyari menyebutkan riwayat yang datangnya dari Ummi Hani binti Abi Thalib bahwa Rasulullah saw. melamarku, maka aku pun menolaknya dan beliau menerima penolakanku. Kemudian turunlah ayat ini dan saya tidak halal bagi Rasulullah karena tidak termasuk hijrah di jalan Allah swt., yaitu hijrah dari

Mekkah ke Madinah 24 Para wanita yang hijrah di jalan Allah swt. yaitu mereka yang hijrah

meninggalkan suami dan keluarga demi menyelamatkan keyakinannya. Kebersamaan mereka dengan Nabi terbilang wanita yang mulia pada masanya (dibandingkan dengan wanita lain yang tidak hijrah di jalan Allah swt.). Ayat ini mengecualikan bagi wanita yang masuk pada bagian yang tidak hijrah karena termasuk wanita- wanita ditalak yang masuk Islam pada Fathu Mekkah. Ayat ini juga dialamatkan kepada Rasulullah akan dihalalkannya pada beliau anak dari saudara laki-laki bapaknya, anak dari saudara perempuan bapaknya, anak dari saudara laki-laki ibunya,

23 As-Syaukânî, Fath al-Qadîr, Juz V, h. 217. 24 Az-Zamakhsyari, Al-Kassyaf, (Beirut: Maktabah Dâr al-Ma’rifah, t.th), Juz III, h. 242.

anak dari saudara perempuan ibunya serta wanita-wanita yang ikut hijrah bersamanya, bukan wanita yang tidak melakukan hijrah. 25

Imam as-Syaukâni menjelaskan kandungan ayat di atas, yaitu menunjukkan kemuliaan hijrah, kemuliaan bagi siapa yang hijrah. Yang dimaksud bersama di sini

yaitu yang ikut serta dalam hijrah, bukan bersama dalam arti sahabat. 26 Kemudian disebutkan bahwa mereka para wanita tidak halal bagi Rasulullah yang tidak

melakukan hijrah sebagaimana firman Allah swt.:

Tujuan dan maksud dari ayat ini, sebagaimana firman Allah swt.:

Ayat ini menjelaskan tentang tidak boleh mengikuti Rasulullah dalam masalah ini. Alasannya, beliau dikhususkan oleh Allah swt. sebagai keleluasaan dan kehormatan baginya yang tidak diberikan kepada yang lain. Seorang mukmin tidak boleh kawin melebihi empat wanita dan mesti dibarengi dengan mahar, jelas, dan memiliki wali, akan tetapi pada ayat ini beliau diperbolehkan kawin tanpa syarat

tersebut (takrîman lah wa ‘uluwwan li qadarih). 27 Kekhususan yang diberikan kepada wanita yang hijrah bersama Rasulullah

yaitu bahwa mereka itu bisa dinikahi oleh beliau, sedangkan wanita yang tidak ikut serta dalam hijrah tidak halal untuk dikawininya. Hal ini seperti yang dialami oleh

25 Ahmad Musthafâ al-Marâghî, Tafsir al-Marâghî, (Cairo: Thaba’ Musthafâ al-Bâbî Halabî, t.th), h. 23.

26 As-Syaukani, Fath al-Qadir, Juz IV, h. 291. 27 As-Syaukani, Fath al-Qadir, Juz IV, h. 192.

Ummu Hâni binti Abi Thalib yang dilarang untuk dinikahi sebab tidak termasuk wanita yang hijrah (muhâjirât). Ini menandakan bahwa wanita yang hijrah telah teruji keimanan mereka sehingga dapat mempertahankan keimanannya .

Begitu pula wanita yang telah dinikahi oleh Rasulullah dilarang untuk dinikahi orang lain. Ini menandakan bahwa wanita-wanita tersebut adalah wanita

pilihan Allah dan Rasul-Nya. 28

Pada ayat yang pertama ini menjelaskan tentang hukum-hukum sebagaimana yang disebutkan di atas yang penyebutannya merupakan kekhususan bagi Rasulullah saw. terhadap wanita-wanita yang hijrah di jalan Allah swt.

Adapun pada ayat selanjutnya dalam surat al-Mumtahanah, an-Naisaburi menyebutkan sebagaimana yang disebutkan dari riwayat Ibn Abbas bahwa sesungguhnya kaum musyrikin Mekkah mengadakan perjanjian perdamaian dengan Rasulullah saw. di tahun Hudaibiyah. Adapun perjanjiannya antara lain “Barang siapa dari golongan kafir Quraisy menyeberang kepada kaum Muslimin, maka akan dikembalikan. Dan barang siapa dari kelompok kaum muslimin menyeberang kepada Quraisy tidak akan dikembalikan. Atas dasar itu, ditulislah perjanjian tersebut dan setelah berakhir penulisannya, maka datanglah seorang wanita Sabiah binti Hârits, seorang Muslimah. Selanjutnya Rasulullah menyerahkannya kepada suaminya yang

kafir, lalu turunlah ayat ini. 29 Dengan demikian, ayat ini merupakan teguran kepada beliau untuk tidak menyerahkan wanita tersebut kepada suaminya yang kafir.

28 As-Syaukani, Fath al-Qadir, Juz IV, h. 296. 29 Al-Wâhidî, Asbâb an-Nuzûl al-Qur ’ ân , (Beirut: Maktab Dâr al-Kutub al-Ilmiyyah, 2001),

h. 455.

Dalam keterangan lain disebutkan bahwa Rasulullah mengadakan perdamaiaan dengan Quraisy pada tahun Hudaibiyah. Pada waktu itu, apabila orang kafir masuk ke wilayah muslim, maka tanpa seizin walinya ia akan dikembalikan. Ketika para wanita melakukan hijrah dari Mekkah ke Madinah, maka beliau enggan menyerahkan kepada suami-suami mereka yang masih kafir. Jika mereka telah teruji keimanannya dengan berhijrah di jalan Allah swt. dan mengatakan bahwa mereka

datang dengan membawa keimanannya yang didasari dengan cinta atas Islam dan jika ia dikembalikan kepada keluarga dan suaminya yang masih kafir, mereka akan dianiaya. Atas dasar kebijaksanaan Allah swt. maka Rasulullah menolak suami

mereka untuk mengambil istri mereka yang sudah hijrah. 30 Imam as-Syaukani menjelaskan tentang ujian atas wanita yang berhijrah yaitu

memerintahkan bersumpah atas nama Allah dengan mengatakan kami keluar bukan didasari oleh tekanan kemarahan suami dan bukan atas kecintaan kami dari satu daerah ke daerah yang lain dan bukan pula atas iming-iming dan kenikmatan dunia, akan tetapi kami berhijrah di jalan Allah disebabkan oleh kecintaan kami kepada Allah dan Rasul-Nya. Jika mereka bersumpah demikian, maka Nabi menyerahkan mahar kepada suaminya yang telah ia berikan kepada istrinya dan tidak mengembalikan istri mereka kepada suami-suaminya yang masih kafir kepada Allah swt., Disebutkan pula bahwa ujian (imtihân) ada dengan bersaksi bahwa tiada tuhan

selain Allah swt. dan Muhammad sebagai rasul-Nya. 31

30 Al-Wâhidî, Asbâb an-Nuzûl al-Qur ’ ân , h. 218.

31 As-Syaukani, Fath al-Qadir, Juz V, h. 215.

Ayat ini juga menjelaskan tentang alasan (‘illat) dilarangnya mengembalikan

wanita-wanita tersebut sebagaimana firman Allah swt.: ﻦﻬَﻟ ﻥﻮﱡﻠِﺤﻳ ﻢﻫ ﺎَﻟﻭ ﻢﻬﱠﻟ ﱞﻞِﺣ ﻦﻫ ﺎَﻟ

Artinya: Wanita-wanita tersebut halal bagi kamu dan tidak tidak halal bagi mereka (kafir) . (Q.S. al-Mumtahanah [60]: 10)

Ayat ini mengindikasikan keharaman wanita muslimah (yang hijrah) kepada suami mereka yang masih kafir. Alasannya, islamnnya seorang wanita akan menjadi

wajib hukumnya memisahkannya dengan suaminya. Ketentuan ini berlaku secara umum bukan terbatas pada hijrahnya saja. Begitupula penetapan dan penegasan keharamannya serta akan memberikan kesan bahwa makna pertama berarti batalnya pernikahan dan yang kedua menjelaskan dilarangnya untuk nikah kembali. Tidak ada dosa atas orang-orang mukmin yang ingin menjadikannya sebagai istri mereka disebabkan mereka telah merubah keyakinannya menjadi sama dengan keyakinanmu (masuk ke dalam ajaran Islam), tetapi dengan syarat memberikan mahar kepadanya

setelah lepas masa iddahnya. 32 Hadist yang diriwayatkan Bukhari melalui jalur Musawwir Ibn Mahramah dan

Marwan Ibn Hakâm bahwasanya Rasulullah saw. ketika mengadakan perjanjian dengan kafir Quraisy di Hudaibiyah lalu datang seorang wanita muslimah. Atas

kejadian itu, Allah swt. kemudian menurunkan ayat: ٍﺕﺍﺮِﺟﺎﻬﻣ ﺕﺎﻨِﻣﺆﻤْﻟﺍ ﻢُﻛﺀﺎﺟ ﺍَﺫِﺇ ﺍﻮﻨﻣﺁ ﻦﻳِﺬﱠﻟﺍ ﺎﻬﻳَﺃ ﺎﻳ

Artinya: Hai orang-orang yang beriman jika datang kepadamu wanita-wanita yang sedang berhijrah . (Q.S. al-Mumtahanah [60]: 10)

32 As-Syaukani, Fath al-Qadir, Juz V, h. 217.

Sampai dengan firman Allah swt: ِﺮِﻓﺍﻮَﻜْﻟﺍ ِﻢﺼِﻌِﺑ ﺍﻮُﻜِﺴ ﻤُﺗ َﻻﻭ

Artinya: dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali (perkawinan) dengan

perempuan-perempuan kafir . (Q.S. al-Mumtahanah [60]: 10)

Lalu Umar Ibn Khatthab langsung menceraikan istrinya yang keduanya masih dalam keadaan kafir. 33

Dalam jalur lain dari Abu Daud yang diriwayatkan dari Urwa Ibn Zubair dari Musawwar Ibn Mahramah, ”Kami tidak didatangi seorang lelaki dari kaummu

kecuali kami serahkan kepadamu setelah selesai perjanjian ini maka berkatalah Nabi kepada sahabatnya, “ berdirilah, bertebarlah dan ikutilah!” . Kemudian datanglah wanita muslimah lalu turunlah ayat lantas Allah swt. melarang kaum muslimin untuk menyerahkan wanita tersebut kepada suaminya dan menyerahkan mahar yang telah diberikan suaminya kepada wanita tersebut. Para wanita muslimah datang kepada Rasulullah dalam beberapa saat (setelah diadakan perjanjian), maka Allah swt. melarang menyerahkan mereka kepada suaminya yang masih kafir guna menghapus

segala syarat perjanjian karena syarat tersebut dikhususkan bagi kaum lelaki. 34 Ayat inilah yang dijadikan dalil oleh Abu Hanifah bahwa wanita muslimah

yang melakukan hijrah dalam mempertahankan keyakinannya kepada Allah swt. boleh menikahinya tanpa adanya iddah (masa menunggu), kecuali ia dalam keadaan

hamil. 35

33 As-Syaukani, Fath al-Qadir, Juz V, h. 217. 34 As-Syaukani, Fath al-Qadir, Juz VII, h. 450. 35 As-Syaukani, Fath al-Qadir, h. 78.

Menurut hemat penulis, hijrah yang dilakukan dengan dasar keimanan kepada Allah swt. yang benar akan menghasilkan suatu nilai yang tinggi juga akan mendapatkan jaminan dari Allah swt.

b. Hijrah sebagai Bukti Keimanan

Muhajir yang melaksanakan hijrah kepada Allah swt yaitu berusaha menyelamatkan aqidah dan keyakinannya dan membebaskan diri dari belenggu fitnah

yang berkepanjangan. Dengan demikian, atas dasar iman dan keyakinan yang dimilikinya menjadi bukti bahwa mereka itu orang-orang yang kuat dalam mempertahankan dan menegakkan panji-panji Allah di muka bumi ini. Allah berfirman:

Artinya: Dan orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad pada jalan Allah, dan orang-orang yang memberi tempat kediaman dan memberi

pertolongan (kepada orang-orang Muhajirin), mereka itulah orang-orang yang benar-benar beriman. Mereka memperoleh ampunan dan rezki (ni`mat) yang mulia. (Q.S. al-Anfâl [8]: 74).

Ayat ini memberikan gambaran tentang iman yang sesungguhnya yaitu lahir dan ada secara haqiqi. Ia lahir didasari oleh kandungan nilai agama yang benar. Keimanan yang benar tidak dapat dirasakan hanya dengan pengakuan lidah atau dengan kaidah dan teori atau sekedar atraksi, akan tetapi diaktualisasikan dengan menggabungkannya dengan tindakan dan gerakan. Alasannya, dengan bentuk aqidah dan keyakinan yang terbatas pada keberadaan hukum saja (wujûd al-hukm). Ini pun Ayat ini memberikan gambaran tentang iman yang sesungguhnya yaitu lahir dan ada secara haqiqi. Ia lahir didasari oleh kandungan nilai agama yang benar. Keimanan yang benar tidak dapat dirasakan hanya dengan pengakuan lidah atau dengan kaidah dan teori atau sekedar atraksi, akan tetapi diaktualisasikan dengan menggabungkannya dengan tindakan dan gerakan. Alasannya, dengan bentuk aqidah dan keyakinan yang terbatas pada keberadaan hukum saja (wujûd al-hukm). Ini pun

Sayyid Quthub mengatakan bahwa bukti keimanan yang benar adalah dengan melihat kepada kesungguhan dalam melaksanakan kewajiban, tidak merasa senang jika belum nampak apa yang diucapkan oleh lidah, di hadapannya telah terbukti kesaksian yang nyata, serta mampu merealisasikan agama ini dengan bentuk ibadah

kepada Allah swt secara kasatmata. Terlebih lagi pada golongan mukminin yang berusaha kembali menghidupkan agama ini pada realitas kehidupan di dunia. 36

Sedangkan Imam Ibn Katsir mengatakan, sebagaimana yang dikatakan oleh Ali Ibn Abi Thalib dari Ibn Abbas dalam firman Allah:

Artinya: Dan orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad di jalan Allah, dan orang-orang yang memberi tempat kediaman dan memberi pertolongan

(kepada orang Muhajirin), mereka itulah orang yang benar-benar beriman. Mereka memperoleh ampunan dan rezeki (nikmat) yang mulia. (Q.S. al- Anfâl [8]: 74).

Kata al-munâfiqûn berarti tak ada sesuatu pun yang masuk dalam hatinya jika disebut nama Allah dalam melaksanakan kewajiban. Dia tidak beriman sedikit pun terhadap ayat-ayat Allah dan tidak bertawakkal. Mereka tidak melaksanakan shalat dan tidak menunaikan kewajiban zakatnya, maka Allah swt. memberitakan bahwa

36 Sayyid Quthub, Fî Zhilâl ……, Juz III, h. 1560.

mereka bukan orang-orang mukmin yang benar. Kemudian Allah swt. mensifati orang-orang mukmin dengan firman-Nya:

Artinya: Sesungguhnya orang-orang yang beriman adalah apabila disebut nama Allah maka bergetarlah hatinya. (Q.S. al-Anfâl [8]: 8)

Maka mereka langsung melaksanakan kewajibannya.

Artinya: jikalau dibacakan atas mereka ayat-ayat Allah maka bertambah keimanannya . (Q.S. al-Anfâl [8]: 8) Yaitu bertambah keyakinannya

Artinya: kepada tuhannyalah mereka bertawakkal, yaitu tidak mengharapkan

sesuatu kepada selainya. (Q.S. al-Anfâl [8]: 8)

Bentuk iman yang haqiqi pada diri para Muhajirin seperti apa yang dilakukan oleh Ummu Salamah ra. ketika melakukan hijrah meninggalkan tanah Mekkah terjadi suatu ketegangan antara dia dan kafir Quraisy (keluarga yang masih kafir). Kala itu terjadi tarik-menarik terhadap anak yang ada dipangkuannya sehingga anak tersebut meninggal, dia pun sabar akan kejadian itu dan Allah swt. mempertemukan dengan suaminya. Sewaktu suaminya wafat, Rasulullah menjadikannya sebagai Ummul Mukminin. Ini merupakan bukti tentang kekuatan iman yang dimiliki oleh sahabat yang rela memperjuangkan segala apa yang dimilikinya demi menyelamatkan agama dan menegakkan panji-panji Allah di muka bumi ini.

Masih banyak sahabat Rasulullah yang melakukan tindakan yang sama disebabkan kokohnya keimanan dan keyakinannya seperti Ummu Habibah, Umar, Abu Bakar, dan sebagainya.

Iman yang hikiki tidak begitu saja ada dalam kehidupan seorang muslim. Kekuatan hikmah dan buah dari keimanan yang hakiki melahirkan suatu pengaruh yang sangat besar dalam mengobati dan menyelamatkan jiwa manusia serta

menghindarkannya dari berbagai hal yang merugikan. Adapun pengaruh dan buah dari iman yang hakiki tersebut sebagai berikut: - Iman yang hakiki akan memberikan nilai hidup pada diri manusia. - Iman yang hakiki akan melahirkan jiwa yang memiliki kekuatan kepercayaan dan

keimanan kepada Allah swt. dan ketenangan disisi-Nya. - Iman yang hakiki akan memunculkan pada diri manusia kekuatan untuk berjihad, berkorban, bersabar, bersungguh-sungguh dalam berbuat baik serta meninggalkan segala larangan Allah swt.

- Iman yang hakiki akan melahirkan kasih sayang dan cinta sesama muslim dan menghindari segala pertentangan dan perselisihan.

c. Hijrah sebagai Fitnah atau Cobaan di Jalan Allah

Perjalanan panjang yang dialami oleh Rasulullah bersama sahabatnya ketika melaksanakan hijrah dari Mekkah ke Madinah merupakan bagian dari cobaan yang diberikan Allah kepada umatnya, Cobaan merupakan ukuran atas kadar keimanan yang dimiliki oleh seorang hamba. Tanpa adanya faktor itu, maka seorang hamba tidak dapat meraih satu tahapan menuju keberhasilan yang hakiki.

Hijrah merupakan salah satu sarana yang membawa kepada suatu kesuksesan, keberhasilan dan kejayaan. Hijrah merupakan cobaan di jalan Allah swt. untuk mengukur sejauh mana kemampuan seorang yang melakukan hijrah dalam mengemban suatu amanah dari Allah. Mereka tidak cuma sekedar mengatakan “ kami beriman” , akan tetapi mereka realisasikan keimanan itu melalui tindakan secara fisik di tengah-tengah masyarakat dan mensosialisasikan kebenaran itu di hadapan Allah

swt. sebagaimana firman-Nya:

Artinya: Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: "Kami telah beriman", sedang mereka tidak diuji lagi? (Q.S. al-‘Ankabût [29]: 2)

Imam az-Zamakhsyari mengatakan bahwa kata fitnah dalam ayat ini berarti ujian berupa perintah meninggalkan daerah dan berjihad melawan musuh, merealisasikan ketaqwaan kepada Allah swt., meninggalkan segala kesenangan syahwat melalui berbagai penderitaan seperti kefakiran serta berbagai bencana terhadap diri dan harta benda dan bersabar terhadap cobaan dan penindasan yang

dilakukan oleh orang kafir. 37 Hijrah adalah cobaan berat yang diberikan oleh Allah swt. kepada umat Islam

yang memiliki kemampuan guna merealisasikan panggilan. Cobaan ini adalah berkaitan dengan kelangsungan keimanan mereka karena standar keimanan yang benar adalah merespon segala kewajiban dari Allah swt., termasuk dalam hal hijrah. Setelah mereka melaksanakan hijrah, maka Allah berkewajiban memberikan

37 Az-Zamakhsyari, Al-Kassyâf, Juz III, h. 195.

perlindungan kepada mereka, melalui jaminan yang diberikan kepadanya atas usaha dan perjuangannya sebagaimana firman-Nya:

Artinya: Dan sesungguhnya Tuhanmu (pelindung) bagi orang-orang yang berhijrah sesudah menderita cobaan, kemudian mereka berjihad dan

sabar; sesungguhnya Tuhanmu sesudah itu benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.(Q.S. an-Nahl [16]: 110).

Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa ‘Ammâr bin Yasîr disiksa hingga tidak tahu apa yang mesti dikatakannya. Demikian juga Suhaib, Abu Fukhairah, Bilâl, Ammâr bin Fukhairah, dan kaum Muslimin lainya. Ayat ini turun berkenaan dengan mereka yang telah diselamatkan oleh Allah swt. Dalam keterangan lain dikemukakan bahwa ayat ini turun untuk penduduk Mekkah yang telah menyakini Islam sebagai agamanya. Ketika kewajiban hijrah diberlakukan, maka keislaman mereka tidak diakui sebelum mereka hijrah di jalan Allah swt. Ketika mereka berangkat hijrah, para kaum musyrikin mengikutinya. Sebagian ada yang dibunuh dan sebagian lagi

ada yang selamat. Lalu Allah swt. menurunkan ayat tersebut di atas. 38 Ibn Katsir mengatakan bahwa Allah swt. harus memberikan cobaan kepada

hambanya yang beriman sesuai dengan kadar keimanannya dan menguji keimanannya (dengan memerintahkan hijrah), serta mengharap ridha-Nya. 39