Dinamika Pendidikan Masa Kini

A. Dinamika Pendidikan Masa Kini

Dalam abad ke-21 penggunaan teknologi baru dapat diharapkan menghasilkan pengaruh besar atas kehidupan sosial. Pendidikan tidak akan dan tidak mungkin kebal dari perubahan ini. Saat ini banyak ditemukan implikasi teknologi informasi baru bagi profesi pengajaran (Delors, 1998:281)”. Secara faktual, teknologi informasi dan komunikasi dalam pendidikan saat ini sudah menjadi kecenderungan dan isu global, regional dan nasional. Itu artinya, kemajuan teknologi informasi dan komunikasi yang sudah mulai diadopsi dalam dunia pendidikan sejatinya merupakan suatu keniscayaan yang tak dapat dihindari. Maka secara akademik, kemampuan guru perlu ditingkatkan dalam mengadopsi perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, khususnya pengintegrasian pedagogik dengan teknologi informasi dan komunikasi.

Apalagi dalam konteks profesi guru yang eksistensinya sangat menentukan tingkat mobilitas masyarakat dan bangsa dalam pentas kebudayaan global, maka para pemegang profesi guru juga harus dinamis merespon dan mengantisipasi dinamika eksternal. Kehadiran UU Guru dan Dosen nomor 14 tahun 2005, yang mengharuskan kualifikasi pendidikan guru minimal strata satu (S1) dengan menguasai empat kompetensi inti, perlu semakin dimantapkan. Standar kualifikasi akademik dan kompetensi guru nampak semakin diperhatikan. Sebagai pemegang jabatan profesional, maka seorang guru profesional harus memiliki kom- petensi pedagogik, kepribadian, sosial, dan kompetensi sosial (Kep- mendiknas, nomor 16/2007)”.

Sertifikasi guru merupakan kebijakan strategis bagi memajukan pendidikan nasional. Di satu sisi, sertifikasi merupakan standarisasi guru dari segi standarisasi kualifikasi akademik, sekaligus menilai kemampuan profesional dan peningkatan kualitas kompetensi guru sesuai dengan tuntutan. Bahkan dengan memperoleh sertifikat pendidik profesional, maka guru akan mendapatkan tunjangan profesi yang berimplikasi pada peningkatan kesejahteraan guru. Sejatinya, pendidikan nasional sudah jauh tertinggal dalam hal kebijakan peningkatan kualitas dan pemberdayaan guru. Padahal bagi negara-negara maju seperti USA, Inggris, Jepang, dan Korea Selatan, sertifikasi bukanlah hal baru.

Menurut Danim (2006:189) apresiasi guru terhadap profesinya dan peningkatan citra masyarakat terhadap guru dan profesi yang disandangnya tidak akan lepas dari fungsi perbaikan taraf hidup mereka. Karenanya, adalah tugas para pembuat keputusan juga untuk membenahi kesejahteraan guru, antara lain dengan menaikkan gaji atau tunjangan jabatan pendidikannya. Agenda kerja pejabat pemerintah atau pimpinan yayasan untuk mengupayakan peningkatan kesejahteraan guru melalui perbaikan atas penghasilan mereka adalah wajar adanya, oleh karena kebutuhan hidup keluarga gurupun makin meningkat sejalan dengan pergeseran nilai uang. Sudah selayaknya para pendidik anak-anak Indonesia tidak terlalu dibebani masalah-masalah kebutuhan hidup primer keseharian. Tidak mungkin mereka dapat bekerja dengan baik, tanpa gizi, kesehatan dan rumah yang wajar untuk ukuran guru.

Dunia pendidikan sedang diguncang oleh berbagai perubahan sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan masyarakat, serta ditantang untuk dapat menjawab berbagai permasalahan lokal dan perubahan global yang terjadi begitu pesat. Perubahan dan permasalahan tersebut mencakup social change, turbulence, complexity, and chaos; seperti pasar bebas (free trade), tenaga kerja bebas (free labour), perkembangan masyarakat informasi, serta perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, seni, dan budaya yang sangat dahsyat. Bersamaan dengan itu, bangsa Indonesia sedang dihadapkan pada fenomena yang sangat dramatis, yakni rendahnya daya saing sebagai indikator bahwa pendidikan belum mampu meng- hasilkan sumber daya manusia (SDM) berkualitas. Human Development Index (HDI) yang dikeluarkan oleh UNDP melaporkan bahwa Indonesia berada pada rangking 108 tahun 1998, rangking 109 pada tahun 1999, Dunia pendidikan sedang diguncang oleh berbagai perubahan sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan masyarakat, serta ditantang untuk dapat menjawab berbagai permasalahan lokal dan perubahan global yang terjadi begitu pesat. Perubahan dan permasalahan tersebut mencakup social change, turbulence, complexity, and chaos; seperti pasar bebas (free trade), tenaga kerja bebas (free labour), perkembangan masyarakat informasi, serta perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, seni, dan budaya yang sangat dahsyat. Bersamaan dengan itu, bangsa Indonesia sedang dihadapkan pada fenomena yang sangat dramatis, yakni rendahnya daya saing sebagai indikator bahwa pendidikan belum mampu meng- hasilkan sumber daya manusia (SDM) berkualitas. Human Development Index (HDI) yang dikeluarkan oleh UNDP melaporkan bahwa Indonesia berada pada rangking 108 tahun 1998, rangking 109 pada tahun 1999,

Peningkatan kemampuan profesional guru dapat diartikan sebagai upaya membantu guru yang belum matang menjadi matang, yang tidak mampu mengelola sendiri menjadi mampu mengelola sendiri, yang belum memenuhi kualifikasi menjadi memenuhi kualifikasi, yang belum terakreditasi menjadi terakreditasi. Kemampuan, kematangan mengelola sendiri, pemenuhan kualifikasi, merupakan ciri-ciri profesional. Oleh karena itu, peningkatan kemampuan profesional guru dapat juga diartikan sebagai upaya membantu guru yang belum profesional menjadi profesional (Bafadal, 2004:66).

Menjawab tuntutan menjadi Guru profesional di era teknologi informasi boleh jadi merupakan perubahan guru yang mendesak. Ketika saat ini kemajuan teknologi informasi dan komunikasi begitu mempengaruhi tatanan kehidupan secara lebih imperatif. Maka di satu sisi era teknologi informasi memberikan peluang bagi guru untuk mempersiapkan dan mengembangkan kemampuan diri dalam meman- faatkan kemajuan teknologi informasi dalam memudahkan pembelajaran di sekolah. Itu artinya, adalah suatu keniscayaan bahwa guru perlu melakukan penambahan pengetahuan dan keterampilan melalui layanan in-service training atau in-service education. Diperlukan berbarengan dengan penyelanggaraan peningkatan kualifikasi pendidikan para guru yang belum berstandar S1, maka perlu ada gerakan melek komputer bagi para guru, baik bagi guru yang sudah tersertifikasi, maupun yang belum S1. Karena itu, makna pendidikan sepanjang hayat (PSH) memang harus dijalankan oleh para guru sebagai ujung tombak pendidikan nasional dalam merespon pengembangan ilmu pengetahuan yang sangat pesat berkenaan dengan pekerjaan mengajar. Jangan sampai ada guru yang sudah tersertifikasi berada dalam kebingungan, atau tidak mau tahu karena tidak mampu lagi melejitkan kemampuannya sesuai tuntutan era informasi.

Selain itu, tentu saja pemerintah juga berkewajiban menyediakan iklim pembelajaran yang kondusif bagi penyediaan pelatihan guru dan penyediaan sarana pembelajaran modern bagi percepatan pembelajaran bermakna sehingga dapat memaksimalkan potensi anak dengan meman- Selain itu, tentu saja pemerintah juga berkewajiban menyediakan iklim pembelajaran yang kondusif bagi penyediaan pelatihan guru dan penyediaan sarana pembelajaran modern bagi percepatan pembelajaran bermakna sehingga dapat memaksimalkan potensi anak dengan meman-

Untuk itu diperlukan penataran guru besar-besaran oleh pemerintah, dan lembaga terkait membumikan idealisme mempercepat guru profesional sesuai era informasi. Jadi tidak sekedar impian, atau profesional semu. Setidaknya dengan pelaksanaan sertifikasi guru yang dibarengi peningkatan penghargaan dengan perbaikan kesejahteraan segera sepenuhnya berjalan, maka program penataran TIK bagi guru, dan strategi-strategi baru pembelajaran berbasis Teknologi informasi dan Komunikasi/ ICT, menjadi kebutuhan layanan profesional mendesak bagi para guru kita. Bagaimanapun, lahirnya n-generation menuntut komunitas guru yang berkualitas dan menguasai bahasa digital (Tilaar, 143).

Di sisi lain, pembangunan Indonesia sedang berfokus pada otonomi, dengan menyerahkan sebagian wewenang pusat kepada daerah melalui mekanisme otonomi daerah. Otonomi daerah-pun, dalam pelaksanaanya telah memunculkan berbagai isu sentral, seperti diidentifikasi Kuncoro ( 2004) sebagai berikut.

1) Bergesernya egoisme sektoral menjadi fanatisme daerah. Sehingga pelaku pembangunan lebih mengutamakan putra daerah, yang terkadang mengabaikan kualitas.

2) Adanya tendensi masing-masing daerah mementingkan daerahnya sendiri dan bahkan bersaing satu sama lain dalam berbagai hal, terutama mengumpulkan PAD (Pendapatan Asli Daerah);

3) Lemahnya kordinasi antar sektor dan antar daerah,paradigma dari sentralisasi menjadi desentralisasi, dari budaya petunjuk menjadi penekanan prinsip demokrasi, prakarsa, dan aspirasi masyarakat daerah.

Dalam konteks ini, guru merupakan komponen paling menentukan dalam sistem pendidikan secara keseluruhan, yang harus mendapat perhatian sentral, pertama, dan utama. Figur yang satu ini akan senantiasa menjadi sorotan strategis ketika berbicara masalah pendidikan, karena guru selalu terkait dengan komponen manapun dalam sistem pendidikan. Guru memegang peran utama dalam pembangunan pendidikan, khususnya yang diseleng-garakan secara formal di sekolah. Guru juga sangat menentukan keber-hasilan peserta didik, terutama dalam kaitannya dengan proses belajar mengajar. Guru merupakan komponen yang paling berpengaruh terhadap terciptanya proses dan hasil pendidikan yang berkualitas. Oleh karena itu, upaya perbaikan apapun yang dilakukan untuk meningkatkan kualitas pendidikan tidak akan memberikan sumbangan yang signifikan tanpa didukung oleh guru yang profesional dan berkualitas. Dengan kata lain, perbaikan kualitas pendidikan harus berpangkal dari guru dan berujung pada guru pula.