Standarisasi dan Pendidikan

A. Standarisasi dan Pendidikan

Pendidikan yang mampu memberdayakan akan menjawab secara proaktif dinamika perubahan guna mempercepat kemajuan di masyarakat. Pendidikan yang antisipatif dan proaktif akan melahirkan manusia berkualitas tinggi untuk memajukan masyarakat menuju kehidupan masyarakat madani (civil society) .

Keberadaan masyarakat yang semakin maju memerlukan ter- penuhinya kebutuhan yang terukur dan perwujudannya dengan syarat berbagai kompetensi di dalam berbagai dimensi kehidupan. Menurut Tilaar (2006:34), masyarakat modern pada abad ke–21 yang merupakan abad ilmu pengetahuan, era informasi, menuntut kehidupan bermasyarakat yang terbuka dan efisien. Kehidupan bersama semakin dipermudah dengan adanya produk-produk industri secara massal sehingga lebih terjangkau oleh rakyat banyak. Demikian pula lahirnya konsumen yang semakin cerdas sehingga menuntut produk-produk serta pelayanan yang tepat dan cepat. Bahkan nilai-nilai dalam masyarakat semakin kompleks dalam masyarakat liberal yang semakin lama semakin komersialistik dan hedonistik.

Pendidikan untuk mengetahui, pendidikan untuk berbuat/bekerja, pendidikan untuk memiliki pribadi dan pendidikan untuk hidup bersama sebenarnya sejalan dengan tuntutan pemberdayaan manusia melalui pembinaan potensi setiap pribadi melalui respon terhadap sitimulus kurikulum yang disampaikan oleh guru. Keempat pilar pendidikan harus menjadi acuan pembaruan pendidikan yang mengakar pada empat Pendidikan untuk mengetahui, pendidikan untuk berbuat/bekerja, pendidikan untuk memiliki pribadi dan pendidikan untuk hidup bersama sebenarnya sejalan dengan tuntutan pemberdayaan manusia melalui pembinaan potensi setiap pribadi melalui respon terhadap sitimulus kurikulum yang disampaikan oleh guru. Keempat pilar pendidikan harus menjadi acuan pembaruan pendidikan yang mengakar pada empat

Menurut Irianto (2011:1) pembaharuan dan perkembangan zaman di mana pengetahuan dan keterampilan yang harus dipelajari bertambah dan berkembang semakin kompleks, kemudian upaya-upaya pembelajaran tersebut mulai diformalkan dalam bentuk apa yang sekarang dikenal dengan persekolahan. Proses pendidikan terjadi menunjukkan bahwa pendidikan mempunyai nilai-nilai yang hakiki tentang harkat dan martabat kemanusiaan.

Namun zaman terus berubah dengan segala manifestasi kebudayaan baru, sehingga diperlukan inovasi, pembaharuan, atau reformasi pendidikan menuju masyarakat yang lebih maju, sejahtera dan beradab. Reformasi pendidikan diorientasikan kepada respon proaktif terhadap perubahan eksternal yang disebabkan dinamika global. Dalam menghadapi masa depan, maka pendidikan perlu diarahkan dan menjawab empat pilar pendidikan sebagaimana ditawarkan UNESCO (1996). Adapun pilar pertama ialah belajar mengetahui (learning to know) yakni mendapatkan instrumen atau pemahaman, (2) belajar berbuat (learning to do) sehingga mampu bertindak kreatif di lingkungannya, (3) belajar hidup bersama (learning life together) yakni melalui pendidikan anak mampu berperanserta dan bekerjasama dengan orang lain di dalam semua kegiatan manusia dan, (4) belajar menjadi seseorang (learning to be) yakni suatu kemajuan penting yang merupakan kelanjutan dari ketiga sendi di atas (UNESCO, 1996:63). Keempat pilar tersebut merupakan satu kesatuan, karena banyak titik temu diantaranya dalam memberdayakan setiap pribadi anak yang tengah mengalami perkembangan dan mendapatkan bimbingan.

Di dalam belajar untuk mengetahui ditunjukkan bahwa arus informasi yang begitu cepat berubah dan semakin lama semakin banyak tidak mungkin lagi dikuasai oleh manusia karena kemampuan otaknya yang terbatas. Oleh sebab itu proses belajar mengajar seumur hidup ialah belajar bagaimana untuk berpikir (learning to think). Dengan sendirinya belajar yang hanya membeo tidak mempunyai tempat lagi dalam era globalisasi. Selanjutnya dunia abad ke-21 menuntut manusia Indoensia bukan hanya sekedar berpikir tetapi harus dapat berbuat (to do). Manusia berbuat adalah manusia yang ingin memperbaiki kualitas kehidupannya.

Standar dipahami sebagai satu ukuran. Produk-produk yang dihasilkan mesin atau industri memiliki standar yang diharapkan. Demikian pula dengan penghasil jasa juga menetapkan standar bagi manusia. Sejatinya kehidupan masyarakat yang demikian mengakomodir adanya standar dan kompetensi merupakan tuntutan-tuntutan yang mutlak. Selanjutnya Tilaar (2006:34) menjelaskan bahwa masyarakat konsumen menuntut produksi dan pelayan yang menyenangkan dengan kualitas tertentu yang semakin lama semakin meningkat karena persangingan dalam perdagangan bebas. Siapa yang tidak dapat bersaing, yang tidak secara terus-menerus meningkatkan mutu produksinya atau pelayanannya akan kalah dan mati karena tidak dihargai oleh konsumennya. Di dalam masyarakat demikian, diperlukan standar yang semakin lama semakin disempurnakan, demikian pula kemampuan- kemampuan dari para manajer serta pekerja di dalam produksi dan pelayanan, dituntut semakin terampil dan canggih agar supaya dapat menghasilkan barang-barang produksi dan layanan (service) dengan lebih efisien, cepat, memenuhi selera konsumen dan memenuhi harapan serta kemampuan daya beli masyarakat.

Teknologi menjadi instrumen penting dalam memudahkan kehidupan dan meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat. Kemudian Uno (2010:98) menjelaskan bahwa teknologi merupakan suatu kawasan yang dapat membantu memecahkan masalah kehidupan umat manusia dari masa ke masa secara efektif dan efisien. Dalam kehidupan sehari- hari, peserta didik banyak dihadapkan pada aneka ragam jenis dan produk teknologi baik yang dijumpai, dimanfaatkan, dialami, maupun yang dinikmati. Tegasnya, mutu pelayanan dan produk yang dihasilkan dan mengiringi teknologi menjadi penting di dalam mengantisipasi dinamika perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan budaya secara komprehensif.

Dengan tegas Tilaar (2006:35) berpendapat bahwa dalam rangka menghasilkan produk-produk yang tinggi mutunya dan sesuai dengan selera konsumen diperlukan standar-standar yang disepakati bersama. Standar-standar tersebut bukan hanya berlaku untuk memenuhi tuntutan pabrik tetapi juga pada berbagai pemasok yang memberikan bahan- bahan yang akan diolah lebih lanjut oleh pabrik. Maka lahirlah kesepakatan-kesepakatan internasional yang diatur di dalam Inter- Dengan tegas Tilaar (2006:35) berpendapat bahwa dalam rangka menghasilkan produk-produk yang tinggi mutunya dan sesuai dengan selera konsumen diperlukan standar-standar yang disepakati bersama. Standar-standar tersebut bukan hanya berlaku untuk memenuhi tuntutan pabrik tetapi juga pada berbagai pemasok yang memberikan bahan- bahan yang akan diolah lebih lanjut oleh pabrik. Maka lahirlah kesepakatan-kesepakatan internasional yang diatur di dalam Inter-

Lebih jauh dijelaskan Tilaar (2006:35) lahirnya standarisasi dalam dunia industri merupakan suatu kebutuhan yang tidak dapat dielakkan. Standar akan memudahkan proses produksi demikian pula dalam distribusi serta layanan purna jual dari suatu produk. Dalam dunia industri kebutuhan standarisasi pertama-tama diterapkan didalam pabrik mobil Ford pada permulaan abad ke-20. Adalah Henry ford yang pertama-tama menerapkan standarisasi ini di dalam produksi mobil Ford model T yang sangat populer pada permulaan abad ke-

20 yang telah menyebabkan industri mobil berkembang dengan sangat pesat. Prinsip ban berjalan dari Hendry Ford telah menyebabkan produksi mobil secara masal, uniform, cepat dan harga mobil yang terjangkau sehingga para buruh sendiri dapat memiliki hasil produksinya.

Untuk itu Ford memberikan gaji yang lumayan besarnya bagi para buruhnya sehingga penjualan mobil Ford menjadi sangat populer sampai ke masyarakat luas. Prinsip produksi mobil Ford seperti itu memerlukan standar-standar tertentu sehingga waktu dan tenaga yang diperlukan untuk membuat sebuat mobil sangat dipersingkat. Efisiensi- efisiensi dalam proses produksi mobil Ford tersebut terkenal dengan Fordisme yang dipopulerkan oleh Antonio Gramsci. Fordisme merupakan anak dari revolusi industri abad ke 21 yang bukan saja melahirkan produk-produk murah dan bermutu dengan serba cepat dan efisien, tetapi juga telah melahirkan kelompok kaum buruh yang ternyata dapat diberdayakan untuk meningkatkan taraf hidup sendiri.

Fordisme telah lahir dari pandangan perlu adanya efisiensi dalam manajemen produksi. Konsep ini dilahirkan oleh ahli manajemen F. W. Taylor dengan scientific management-nya. Padangan scientific modern pada akhirnya bukan hanya diberlakukan di dalam dunia industri tetapi juga dalam bidang-bidang kehidupan lainnya termasuk dalam pengelolaan sistem pendidikan. Di dalam scientific management bukan hanya memerlukan pengolahan yang berdasarkan pada ilmu penge- tahuan, tetapi juga memerlukan pengetahuan serta keterampilan yang khusus dari para pengelola.

Menurut Kunandar (2007:11) pemicu perubahan dalam lingkungan pendidikan dan respons atas perubahan dapat diidentifikasi sebagai berikut:

1. Globalisasi menyebabkan informasi bergerak amat cepat dan tanpa batas. Materi pembelajaran yang selama ini menjadi otoritas dan penguasaan guru kini dapat diakses siapa saja termasuk para siswa melalui internet. Sumber belajar pun tersedia amat luas tidak hanya terbatas pada buku teks. Hal ini menuntut peningkatan kemampuan kompetensi sumberdaya pendidikan.

2. Kemajuan iptek yang sangat cepat dan massif menuntut kemam- puan sumberdaya pendidikan melakukan penyesuaian yang sangat signifikan.

3. Mobilitas tenaga kerja baik yang profesional maupun pekerja teknis pada tataran internasional yang gerakannya melintasi batas-batas negara menuntut pendidikan semakin dikelola secara bermutu.

4. Krisis multidimensional mendorong dunia pendidikan untuk dapat semakin memperkuat diri, dikelola secara lebih baik dan efisien dengan akuntabilitas tinggi sehingga dapat mening- katkan harkat dan martabat bangsa dengan mendorong terbuka- nya mobilitas vertikal SDM.

5. Desentralisasi pendidikan sebagai konsekuensi logis dari pelak- sanaan otonomi daerah membawa perubahan mendesak dalam pengelolaan pendidikan. Hal ini menuntut peningkatan kemam- puan manajerial dan kemampuan komunikasi kepala sekolah 5. Desentralisasi pendidikan sebagai konsekuensi logis dari pelak- sanaan otonomi daerah membawa perubahan mendesak dalam pengelolaan pendidikan. Hal ini menuntut peningkatan kemam- puan manajerial dan kemampuan komunikasi kepala sekolah

6. Pendanaan dan komitmen peningkatan anggaran pendidikan dari pemerintah yang masih rendah, demikian pula partisipasi masyarakat terhadap pendidikan yang masih belum memadai mendorong warga sekolah tak henti-hentinya mengupayakan lahirnya kreativitas dan inovasi dalam ketercapaian program- program sekolah yang terus berkembang.

7. Etos kerja tenaga kependidikan masih rendah sehingga meng- hambat percepatan penguasaan kompetensi yang dibutuhkan tenaga kependidikan sesuai dengan tuntutan perkembangan iptek dan kurikulum baru.

8. Prestasi belajar siswa masih rendah dengan indikator nilai UN dan kemampuan masuk perguruan tinggi masih rendah.

Dengan perkembangan tersebut, maka penetapan standarisasi pendidikan dan kompetensi guru merupakan kebijakan pendidikan nasional. Dengan kebijakan 8 standar nasional pendidikan, berarti pendidikan nasional sudah memperhatikan secara manajerial tentang pentingnya pendidikan bermutu dalam konteks eksistensi bangsa Indo- nesia yang memiliki keunggulan pada masa yang akan datang.

Standar nasional pendidikan adalah pernyataan mengenai kualitas hasil dan komponen-komponen sistem yang berkenaan dengan penyeleng- garaan pendidikan di seluruh wilayah hukum RI. Pada jenjang, jenis atau jalur pendidikan tertentu (Hamalik, 2008:91).