D.1. Manfaat Teoritis

II.2.3. Perempuan dalam budaya Tionghoa di Indonesia

Paradigma perempuan dalam budaya Tionghoa di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari konteks sosial, politik dan budaya yang melingkupinya. Pengalaman warga keturunan Tionghoa selama lebih dari tiga puluh dua tahun di masa Orde Baru yang dibedakan menyebabkan penghayatan ke-Indonesiaan yang berbeda dibandingkan dengan etnis lainnya di Indonesia (Tan, 2008). Analisis Mely G. Tan terhadap Wang dalam Tan (2008) mengungkapkan adanya kompleksitas sekaligus pengalaman kontradiktif bagi warga keturunan Tionghoa Paradigma perempuan dalam budaya Tionghoa di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari konteks sosial, politik dan budaya yang melingkupinya. Pengalaman warga keturunan Tionghoa selama lebih dari tiga puluh dua tahun di masa Orde Baru yang dibedakan menyebabkan penghayatan ke-Indonesiaan yang berbeda dibandingkan dengan etnis lainnya di Indonesia (Tan, 2008). Analisis Mely G. Tan terhadap Wang dalam Tan (2008) mengungkapkan adanya kompleksitas sekaligus pengalaman kontradiktif bagi warga keturunan Tionghoa

Denpasar, Bali pada wawancara dengan Mely G. Tan dalam Tan (2008) berkata seperti ini “We are Indonesian of Chinese origin; but we also know we are not

Balinese, but then we are not real Chinese either”. Pengalaman perempuan sebagai ‘yang lain’ ( the other ) seperti yang dipopulerkan oleh Simone de

Beauvoir dalam The Second Sex ( 1949) tampaknya terjadi berlapis dua kali pada perempuan keturunan Tionghoa di Indonesia. Pada lapisan pertama, ia menjadi ‘yang lain’ karena jenis kelaminnya dan pada lapisan kedua ia menjadi ‘yang lain’

karena keetnisitasannya.

Perlu disadari bahwa kelompok Indonesia Tionghoa merupakan suatu komunitas yang tinggi tingkat keanekaragamannya. Namun sampai saat ini masyarakat awam cenderung memperlakukan mereka sebagai etnik yang bercorak tunggal (monolitik) (Dawis, 2009). Menurut Tan (2008), terdapat kontinum yang luas di dalam kelompok Indonesia Tionghoa. Di satu sisi kontinum terdapat orang Indonesia Tionghoa yang sudah berakulturasi secara penuh dengan budaya dan komunitas lokal dan di sisi konitum lain masih ada mereka yang secara kultural berorientasi Cina. Sebagian besar di antara mereka adalah para pengusaha papan atas Indonesia.

Di tengah-tengah dua kontinum ini mayoritas Indonesia Tionghoa termasuk dalam kelompok peranakan, yaitu mereka yang secara kultural lebih berorientasi Indonesia. Mereka menggunakan bahasa Indonesia atau bahasa lokal di rumah, tidak lagi berbicara dalam bahasa Cina dan memiliki pengetahuan yang minim tentang agama dan tradisi Tionghoa (Tan, 2008). Kelompok Indonesia Tionghoa seperti ini dapat ditemui di kota-kota besar. Mereka tidak meragukan kewarganegaraan Indonesia mereka namun masih menyadari darah Cina di dalam diri mereka. Bagaimana mereka menghayati identitas diri mereka di tengah keadaan de jure bahwa mereka warga negara Indonesia tapi secara de facto masih mengalami perlakuan dan pandangan yang berbeda dipengaruhi kuat oleh ajaran dan pendidikan di dalam keluarga (Dawis, 2009).

Pada penelitian untuk disertasinya, Dawis melakukan focus group discussion (FGD) pada orang Indonesia Tionghoa yang berasal dari lima belas kota berbeda di Indonesia. Ia menemukan keragaman jawaban dari para respondennya terkait pandangan dan rasa suka ( likeness) bergaul dengan orang bukan Tionghoa, pribumi dan hubungan Tionghoa-pribumi. Menurut Dawis (2009) kesadaran mereka sebagai orang Tionghoa juga berbeda-beda tergantung pada tempat di mana mereka dibesarkan dan agama yang dipeluk. Di sisi lain, ada nilai budaya, tradisi dan adat tertentu yang juga menyatukan orang Indonesia Tionghoa. Salah satu faktor penting yang menyatukan respondennya adalah keluarga mereka.

Di dalam keluarga Indonesia Tionghoa terdapat nilai-nilai Konfusius yang masih dianut dan diwariskan kepada anak-cucu. Di antaranya adalah nilai Di dalam keluarga Indonesia Tionghoa terdapat nilai-nilai Konfusius yang masih dianut dan diwariskan kepada anak-cucu. Di antaranya adalah nilai

Budaya patriarki di dalam keluarga Tionghoa menempatkan perempuan sebagai liyan (Meij, 2009). Tradisi dan budaya memberikan hak istimewa pada laki-laki untuk membawa nama dan kehormatan keluarga padahal perempuan berperan besar untuk meneruskan dan mempertahankan tradisi keluarga. Melalui perempuan nilai-nilai dalam tradisi keluarga diinternalisasikan terutama pada anak perempuan. Terkait dengan nilai penghormatan terhadap orang tua, keputusan- keputusan hidup anak perempuan di keluarga Tionghoa masih sangat dipengaruhi oleh orang tuanya. Misalnya saja dalam memilih jodoh. Orang tua tidak pernah berkeberatan jika anak perempuannya berteman dengan pribumi tapi tidak memperkenankan anaknya menikah dengan pribumi. Agama menjadi salah satu faktor yang menghalangi anak perempuan di keluarga Tionghoa menikah dengan pribumi (Dawis, 2009). Orang tua pun lebih mengharapkan anak perempuannya menikah dengan laki-laki Tionghoa sehingga nilai budaya dan tradisi dapat dipertahankan.

Paham Konfusius memunculkan paham mengenai wanita yang sempurna bagi orang Tionghoa, yaitu mengikuti aturan kepatuhan dalam ajaran Konghucu. Menurut Sidharta (1987) sebagai gadis yang belum menikah, ia harus patuh kepada ayahnya dan kakak lelaki tertuanya; kalau sudah menikah ia harus patuh pada suaminya; dan kalau ia janda patuh kepada anak lelakinya. Tuntutan terhadap perempuan di keluarga Tionghoa amatlah tinggi namun mereka tidak diberikan akses dan kesempatan yang sama dengan anak laki-laki untuk membuat keputusan di dalam hidupnya (Meij, 2009). Pada konteks ini, identitas diri mereka sebagai perempuan di keluarga Indonesia Tionghoa pun mengalami pergumulan sekaligus pertumbuhkembangan. Padahal di saat yang bersamaan mereka masih mempertanyakan pula identitas mereka sebagai bagian dari warga negara Indonesia. Proses pergumulan identitas mereka pun menjadi berlapis-lapis disertai pengalaman menjadi liyan atau the other berlapis ganda. Penelitian ini ingin melihat proses pembentukan identitas perempuan di keluarga Tionghoa terkait dengan konteks dan situasi yang mereka hadapi.

II.2. 3.1.Terbentuknya Identitas Diri pada Perempuan di Keluarga Tionghoa

Salah satu tokoh yang berjasa dalam perkembangan teori kepribadian adalah Erik Erikson. Menurut Feist (2006) Erikson menekankan pengaruh dari lingkungan dan masyarakat ( society influence ) dalam perkembangan kepribadian seseorang. Menurutnya, kapasitas seorang anak yang baru lahir memang penting terhadap perkembangan kepribadiannya. Namun, kemunculan ego paling banyak dibentuk dari lingkungan ( society) . Bahkan menurut Hall (1992) mengenai teori Erikson, sejak lahir sampai kematiannya manusia dibentuk dan dipengaruhi oleh Salah satu tokoh yang berjasa dalam perkembangan teori kepribadian adalah Erik Erikson. Menurut Feist (2006) Erikson menekankan pengaruh dari lingkungan dan masyarakat ( society influence ) dalam perkembangan kepribadian seseorang. Menurutnya, kapasitas seorang anak yang baru lahir memang penting terhadap perkembangan kepribadiannya. Namun, kemunculan ego paling banyak dibentuk dari lingkungan ( society) . Bahkan menurut Hall (1992) mengenai teori Erikson, sejak lahir sampai kematiannya manusia dibentuk dan dipengaruhi oleh

Pada anak perempuan di keluarga Tionghoa, terdapat berbagai nilai dan ajaran utama Konfusius yang mempengaruhi bagaimana perempuan diasuh, dididik dan dipersiapkan untuk memenuhi pandangan mengenai perempuan tersebut (Meij, 2009). Pada ajaran Konfusianisme sendiri menurut Meij (2009), identitas diri seseorang merupakan hasil relasinya dengan orang lain sehingga tidak ada diri yang berdiri sendiri. Dengan demikian, semua tindakan individu harus berada dalam sebuah bentuk interaksi antara manusia dengan manusia lainnya. Di dalam ajaran Konfusianisme secara khusus, fungsi dan peran perempuan adalah subordinat laki-laki.

Pe-nomor-duaan perempuan merupakan sesuatu yang normal dalam tradisi keluarga Tionghoa. Perempuan pada umumnya tidak dipandang sebagai anggota keluarga yang berharga bila dibandingkan dengan laki-laki. Budaya patriarki dalam tradisi keluarga Tionghoa menempatkan perempuan sebagai “liyan” (Meij, 2009). Walaupun tradisi dan budaya Tionghoa memberikan hak istimewa kepada laki-laki sebagai pembawa nama dan kehormatan keluarga. Namun sebenarnya perempuanlah yang meneruskan dan mempertahankan tradisi keluarga. Melalui perempuan, tradisi keluarga dan dipertahankan dan nilai-nilai dalam tradisi keluarga diinternalisasikan terutama pada anak perempuan.

Hal ini sesuai dengan apa yang dikatakan Chodorow (197 8) dalam “The Reproduction of Mothering”. Hubungan ibu dan anak perempuannya memiliki

kontinuitas antar generasi yang lebih besar dibandingkan ayah dengan anak laki- lakinya. Untuk menjaga kontinuitas ini, maka anak perempuan di dalam keluarga Tionghoa sejak kecil dipersiapkan untuk menghadapi pernikahan serta tunduk pada otoritas ayahnya dan kemudian pada suaminya ketika sudah menikah (Sidharta, 1987). Walaupun keluarga Tionghoa di Indonesia pada saat ini sudah lebih modern daripada masa beberapa puluh tahun yang lalu, namun fokus terhadap peran tradisional sebagai anak perempuan, istri maupun ibu masih terus berlanjut sampai sekarang (Sidharta, 1987).

Di masa modern ini, peran tradisional perempuan sebagai anak, istri maupun ibu di keluarga Tionghoa pun masih tidak dapat dilepaskan dari ajaran Konfusius. Sikap patuh ( obedient) masih dijunjung tinggi dan diharapkan dimiliki oleh anak perempuan. Oleh karena itu, sikap ini pula yang disosialisasikan pada anak perempuan dengan harapan akan terinternalisasi di dalam dirinya. Pada proses sosialisasi dan internalisasi ini, setiap perempuan akan mengacu pada pengalamannya sebagai anak yang tidak dapat dilepaskan dari peran ibu dalam mendidiknya. Menurut Chodorow (1978) hubungan antara ibu dan anak perempuan dapat dideskripsikan sebagai berikut, “the mother experience of her child and the child’s experience of its mother”

Oleh karena itu, di dalam hal ini ada hubungan interdependensi antara ibu dengan anak perempuannya. Ibu menganggap anak perempuannya sebagai satu kesatuan ( oneness) dengan dirinya sekaligus perpanjangan ( extension) dari dirinya

(Chodorow, 1978). Penghayatan seperti ini tentunya akan mempengaruhi fondasi awal perkembangan psikososial anak yang di dalam teori Erikson disebut sebagai tahap basic trust vs basic mistrust (Cobb, 1992) . Di tahap ini anak sedang belajar membuat basis atau landasan dari identitas psikososialnya. Melalui relasi dengan anak perempuan belajar mendefinisikan diri melalui relasi dengan ibunya (Chodorow, 1978). Bahkan menurut Chodorow (1978) sepanjang kehidupan anak perempuan nantinya, ia akan terus berusaha menciptakan pengalaman kedekatan awal dan kebersatuan dengan ibunya. Kualitas dari relasi ibu dengan anak perempuannya juga akan menjadi penentu sekaligus berinteraksi dengan seluruh relasi anak perempuan di seluruh tahap perkembangan hidupnya. Chodorow mengutip kalimat Fairbarn dalam Chodorow (1978) mengenai relasi anak dengan ibunya sebagai berikut, “the foundation upon which all his/her future relationships with love objec ts are based”.

Jika ibu kurang memiliki kesadaran akan identifikasi diri anak perempuan sebagai entitas yang berbeda dari dirinya atau sebagai perpanjangan dari dirinya, maka anak pun akan mengalami kebingungan dan kesulitan untuk mengenali adanya perbedaan dirinya dengan ibunya (Chodorow, 1978). Ibu menjadi simbol dependensi bagi anak perempuan sehingga untuk dapat bertumbuhkembang menjadi wanita dewasa, anak perempuan perlu menciptakan diri yang berbeda dari ibunya. Pada tahapan perkembangan psikososial Erikson, kondisi seperti ini merupakan tahap dari autonomy vs shame and doubt (Cobb, 1992). Diperlukan kesadaran ibu untuk mengetahui kapan dan bagaimana ia akan memfasilitasi anak perempuannya untuk memiliki diri yang berbeda dari dirinya. Ibu harus Jika ibu kurang memiliki kesadaran akan identifikasi diri anak perempuan sebagai entitas yang berbeda dari dirinya atau sebagai perpanjangan dari dirinya, maka anak pun akan mengalami kebingungan dan kesulitan untuk mengenali adanya perbedaan dirinya dengan ibunya (Chodorow, 1978). Ibu menjadi simbol dependensi bagi anak perempuan sehingga untuk dapat bertumbuhkembang menjadi wanita dewasa, anak perempuan perlu menciptakan diri yang berbeda dari ibunya. Pada tahapan perkembangan psikososial Erikson, kondisi seperti ini merupakan tahap dari autonomy vs shame and doubt (Cobb, 1992). Diperlukan kesadaran ibu untuk mengetahui kapan dan bagaimana ia akan memfasilitasi anak perempuannya untuk memiliki diri yang berbeda dari dirinya. Ibu harus

Pada tahap-tahap perkembangan anak perempuan selanjutnya pun, ibu masih tetap berperan penting baginya. Sebab ibu harus peka dan tahu apa yang dibutuhkan oleh anak perempuannya sekaligus apa yang bisa diperoleh anak perempuan dari dirinya maupun relasi mereka (Chodorow, 1978). Ibu perlu mengetahui kapan anak perempuannya sudah siap untuk berjarak dengan dirinya dan mulai memiliki inisiatif untuk mengurus dirinya sendiri. Transisi pada masa ini dapat menjadi suatu tahap yang sulit dan membingungkan. Di mana menurut Erikson, pada tahapan ini anak sedang belajar mengenai initiative vs guilt. Inisiatif dan otonomi akan memberikan anak perempuan kesempatan untuk memiliki determinasi dan tujuan. Namun, tanpa memiliki pemahaman yang memadai tentang tujuan ( purpose) dari apa yang dilakukannya terlebih hanya dengan meniru apa yang dilakukan ibu sebagai perempuan dewasa anak perempuan akan terjebak dalam ritualisme (Cobb, 1992). Hal ini dapat berlanjut hingga usia dewasa di mana perempuan sebagai wanita dewasa berusaha menampilkan gambaran diri yang tidak sesuai dengan diri sejatinya ( real-self).

Pada tahapan selanjutnya, ibu dan anak perempuan masih terus mengembangkan hubungan yang saling melengkapi satu sama lain. Sebab perempuan memperoleh penghargaan dari lingkungannya serta memenuhi Pada tahapan selanjutnya, ibu dan anak perempuan masih terus mengembangkan hubungan yang saling melengkapi satu sama lain. Sebab perempuan memperoleh penghargaan dari lingkungannya serta memenuhi

Pada lingkungan keluarga Tionghoa yang mengharapkan ibu berperan penuh dan utama dalam mengasuh dan membesarkan anak, maka anak perempuan menjadi titik tolak keberhasilan ibu menjalani perannya. Demi penghargaan akan keberhasilan ini, mungkin saja ibu melakukan apa yang mestinya dilakukan anak sebagai dirinya sendiri bukan sebagai ekstensi dari diri ibu. Secara langsung maupun tidak langsung, hal ini akan mempengaruhi tahapan perkembangan psikososial anak perempuan di masa industry vs inferiority (Hall, 1992) .

Di saat yang bersamaan di mana anak perempuan seharusnya mengembangkan rasa mampu dan kompeten terhadap dirinya sendiri, ibu juga sedang berusaha untuk menunjukkan kemampuan dan kompetensinya sebagai ibu baik bagi dirinya sendiri maupun lingkungan sosialnya. Selain hubungan dengan anaknya, peran pengasuhan ibu juga dipengaruhi oleh hubungannya dengan suami, pengalaman memiliki ketergantungan finansial, harapan terhadap keseimbangan dalam perkawinan dan harapannya tentang peran gender itu sendiri (Chodorow, 1978).

Proses ini terus berlanjut sampai pada tahap di mana anak perempuan semakin berusaha untuk memantapkan identitas dirinya. Masa ini disebut oleh Erikson dalam tahapan psikososialnya sebagai identitiy vs identity confusion (Hall, 1992). Pada masa ini, anak perempuan semakin menyadari identitas dirinya Proses ini terus berlanjut sampai pada tahap di mana anak perempuan semakin berusaha untuk memantapkan identitas dirinya. Masa ini disebut oleh Erikson dalam tahapan psikososialnya sebagai identitiy vs identity confusion (Hall, 1992). Pada masa ini, anak perempuan semakin menyadari identitas dirinya

Apa yang ia inginkan di masa saat ini maupun di masa yang akan datang, tidak terlepas dari sejarah dirinya, relasi dirinya dengan ibunya, sejarah ibunya sendiri maupun sejarah keluarga sebagai bagian dari suatu kelompok kolektif. Persinggungan dari berbagai elemen ini dapat memunculkan suatu kebingungan mengenai peran maupun identitas (Hall, 1992). Mudah sekali muncul perasaan terisolasi, kosong, cemas dan tak berkeputusan terlebih jika ia menuruti dan menghayati sikap kepatuhan yang disosialisasikan kepadanya sejak ia kecil. Bahkan terkadang lingkungan sosial terasa menekan mereka untuk membuat keputusan disertai dengan pertimbangan bagaimana orang lain memandang diri mereka.

Muncul kemungkinan bahwa krisis identitas dialami oleh perempuan dalam keluarga Tionghoa seumur hidupnya dalam proses tarik ulur antara diri ideal dengan diri sejati dan dalam relasinya dengan orang lain. Kebutuhan untuk mendefinisikan identitas dirinya, berangkat dari kebutuhan manusia untuk merasa Muncul kemungkinan bahwa krisis identitas dialami oleh perempuan dalam keluarga Tionghoa seumur hidupnya dalam proses tarik ulur antara diri ideal dengan diri sejati dan dalam relasinya dengan orang lain. Kebutuhan untuk mendefinisikan identitas dirinya, berangkat dari kebutuhan manusia untuk merasa

Penelitian ini ingin menelaah secara eksploratif mengenai proses pembentukan identitas termasuk krisis identitas yang dialami perempuan di keluarga Tionghoa Indonesia sebagai ibu maupun anak perempuan yang mengalami perilaku berbeda secara ganda, pertama karena keperempuanannya di dalam budaya patriarki Tionghoa dan kedua karena ke-Tionghoan-nya di dalam konteks kehidupan di Indonesia.

II. B. Kerangka Penelitian

Alur berpikir dan dinamika teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.

Social learning theory dan psikodinamika ibu-anak

perempuan (Chodorow, 1978)

Gambar II.B.1. Dinamika Teori Penelitian

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

III.A. Jenis Penelitian

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui bagaimana pola asuh membentuk identitas gender ibu-anak perempuan di keluarga Tionghoa. Gambaran pola asuh antara ibu-anak perempuan merupakan konteks dari pengalaman hidup ibu sebagai perempuan yang memunculkan identitas gender sebagai salah satu hasil dari pola asuh tersebut. Pengalaman hidup yang diimplementasikan dalam pola asuh akan terus berulang dan terjadi terus menerus di dalam keluarga dan masyarakat yang bersumber dari pengalaman hidup individu.

Penelitian ini ingin melihat bagaimana pemaknaan ibu dan anak perempuan di keluarga Tionghoa terhadap identitas gendernya yang ditransmisikan melalui interaksi di dalam pola asuh. Penelitian ini menggunakan keluarga Tionghoa sebagai konteks sosial budaya yang mempengaruhi paradigma identitas gender di kelompok masyarakat tersebut. Proses pola asuh dan pembentukan identitas gender dilihat sebagai suatu proses yang berkesinambungan dari ibu ke anak perempuan secara turun temurun dengan berbagai aspek yang meliputi mereka sehingga diperlukan cara berpikir holistik untuk dapat menangkap kekayaan dan keragaman data.

Berdasarkan penjelasan di atas mengenai penelitian yang ingin melihat makna di dalam konteks dan cara berpikir holistik, maka penelitian ini termasuk dalam jenis penelitian kualitatif. Menurut Poerwandari (2008), penelitian kualitatif memungkinkan munculnya pemahaman mengenai kompleksitas perilaku dan penghayatan manusia sebab di dalam penelitian kualitatif, peneliti memperlakukan manusia secara empatis sebagai makhluk yang memiliki kesadaran dan pemahaman mengenai hidupnya sendiri. Menurut Creswell (2009) penelitian kualitatif mengandung pengertian adanya penggalian dan pemahaman makna terhadap apa yang terjadi pada individu maupun kelompok.

Selain itu, ciri-ciri dari penelitian kualitatif yang dipaparkan oleh Poerwandari (2008) sesuai dengan karakteristik dan tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini. Ciri-ciri penelitian kualitatif antara lain mendasarkan diri pada kekuatan narasi, melakukan studi dalam situasi alamiah, analisis bersifat induktif karena berorientasi pada eksplorasi, penemuan dan logika induktif sehingga pada akhirnya ditemukan pola hubungan dari kategori yang ada (Patton dalam Poerwandari, 2008). Penelitian kualitatif juga bertujuan untuk memperoleh pemahaman menyeluruh dan utuh mengenai fenomena yang diteliti dengan mengasumsikan bahwa keseluruhan fenomena adalah suatu sistem yang kompleks.

Berdasarkan pemaparan masalah di bagian latar belakang dan perumusan masalah, dapat terlihat bahwa proses sosialisasi peran gender ini merupakan suatu hal yang kompleks karena terjadi di berbagai tingkatan dan aspek kehidupan antara ibu dengan anak maupun sebaliknya. Atas dasar kompleksitas inilah Berdasarkan pemaparan masalah di bagian latar belakang dan perumusan masalah, dapat terlihat bahwa proses sosialisasi peran gender ini merupakan suatu hal yang kompleks karena terjadi di berbagai tingkatan dan aspek kehidupan antara ibu dengan anak maupun sebaliknya. Atas dasar kompleksitas inilah

Penelitian dengan topik ini belum pernah dilakukan sebelumnya di Indonesia sehingga pertanyaan-pertanyaan khas pendekatan kualitaitf yang terbuka ( open- ended) diharapkan dapat menampung kekayaan dan kedalaman informasi yang diperoleh dari para narasumber untuk diteruskan pada penelitian-penelitian selanjutnya.

Penelitian kualitatif ini akan menggunakan paradigma kritikal sebab peneliti menyadari bahwa berbagai kondisi sosial ekonomi mempengaruhi kehidupan perempuan dalam usahanya untuk menghayati proses kehidupannya. Pada paradigma ini, manusia dilihat memiliki kemampuan untuk memberikan (menciptakan) arti terhadap kehidupan yang dialami, bahkan mampu mengubah arti tersebut (Poerwandari, 2008). Dengan demikian, peneliti menyadari bahwa ilmu tidak dapat dipisahkan dari nilai yang hidup di dalam masyarakat. Menurut Poerwandari (2008), paradigma kritikal merupakan pendekatan yang cocok digunakan untuk penelitian tentang perempuan.

Berdasarkan tujuannya, penelitian ini merupakan penelitian deskriptif (Kumar, 1999). Sebab penelitian ini bertujuan untuk menghasilkan suatu deskripsi atau gambaran mengenai proses sosialisasi gender dari ibu kepada anak remaja perempuannya sehingga pada akhirnya ditemukan suatu siklus proses sosialisasi yang berguna untuk memahami proses sosialisasi peran gender. Di dalam penelitian deskriptif ini, tidak ada hipotesis awal yang digunakan.

III.B. Instrumen Penelitian

Berdasarkan jenis dan metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini, maka pengumpulan data untuk penelitian ini akan menggunakan wawancara dengan pedoman terstandar terbuka. Menurut Patton (dalam Poerwandari, 2008), wawancara dengan pedoman terstandar terbuka adalah wawancara yang ditulis rinci lengkap dengan set pertanyaan. Peneliti melaksanakan wawancara sesuai sekuensi yang tercantum dan menanyakan dengan cara yang sama pada responden yang berbeda. Namun untuk menggali jawaban yang terbatas digunakan keluwesan peneliti untuk menggali data lebih dalam sesuai dengan karakteristik responden. Hal ini bertujuan untuk memperoleh gambaran pemahaman dan penghayatan subyek terhadap tema-tema yang terkait dengan penelitian ini.

Selain wawancara terstandar terbuka, instrumen lain yang digunakan dalam penelitian ini adalah alat perekam. Alat perekam ini akan digunakan selama proses wawancara berlangsung dan akan digunakan sesuai dengan izin subjek. Sebelum dilakukan proses perekaman wawancara, subjek akan diminta untuk mengisi lembar informed consent sebagai pernyataan kesediaan berpartisipasi di dalam penelitian ini serta bersedia dilakukan proses perekaman terhadap pengambilan data menggunakan teknik wawancara ini.

Menggunakan pendekatan dan paradigma seperti ini, maka metodologi yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian yang berfokus pada pemahaman ( verstehen) daripada pengukuran (Poerwandari, 2008).

III.C. Subjek Penelitian

III. C.1. Karakteristik Subjek

Subjek di dalam penelitian ini adalah ibu dan anak perempuan dari keluarga Tionghoa Indonesia peranakan yang tinggal di Jakarta dengan kriteria sebagai berikut :

 Berbahasa Indonesia dalam interaksi sehari-hari antara ibu dan anak perempuan.

 Usia anak perempuan adalah dewasa muda ( early adulthood) yaitu antara 20-

25 tahun (Santrock, 2008). Pada usia dewasa muda, perempuan sedang memasuki tahap persiapan untuk menikah dan menjadi ibu. Selain itu, identitas gender yang terbentuk relatif sudah lebih kokoh dibandingkan remaja perempuan. Diharapkan hal ini membuat subjek dapat lebih merefleksikan hidupnya.

 Ibu dan anak perempuan tinggal bersama di dalam satu rumah dan dipastikan bahwa ibu merupakan pengasuh utama anak  Ibu dari anak perempuan tersebut merupakan ibu rumah tangga.

III.D. Prosedur Penelitian

III.D.1. Tahap Persiapan

Pada bulan Januari 2012, peneliti mulai membuat panduan wawancara berdasarkan kerangka teori yang telah dikumpulkan. Panduan wawancara memuat pertanyaan peneliti yang terdiri dari latar belakang kehidupan subjek dan pertanyaan-pertanyaan yang dibagi dalam empat aspek, yaitu gender, social- learning , psikodinamika dan relasi ibu-anak perempuan. Melalui uji coba pada Pada bulan Januari 2012, peneliti mulai membuat panduan wawancara berdasarkan kerangka teori yang telah dikumpulkan. Panduan wawancara memuat pertanyaan peneliti yang terdiri dari latar belakang kehidupan subjek dan pertanyaan-pertanyaan yang dibagi dalam empat aspek, yaitu gender, social- learning , psikodinamika dan relasi ibu-anak perempuan. Melalui uji coba pada

Akhir bulan Januari 2012 dihasilkan panduan wawancara yang telah diperbaharui. Panduan wawancara ini menggunakan tahapan atau fase kehidupan ( sequence of life) untuk menggali data dari subjek. Alur pertanyaan menjadi lebih kronologis dan mudah dipahami subjek. Panduan wawancara yang telah diperbaharui ini diuji-cobakan pada pasangan ibu dan anak perempuan yang sesuai dengan karakteristik penelitian ini.

Pencarian subjek penelitian telah dilakukan sejak bulan Desember 2012. Pada pertengahan bulan Februari hingga pertengahan bulan April 2012 dilakukan pengambilan data yang akhirnya menghasilkan data dari dua pasang ibu dan anak perempuan keluarga Tionghoa. Peneliti melakukan initial contact dengan para subjek penelitian dan menyiapkan informed consent sebagai bukti kesediaan subjek untuk berpartisipasi dalam penelitian ini serta menyiapkan alat perekam.

III.D. 2. Cara Memperoleh Subjek

Subjek yang terlibat dalam penelitian ini pada akhirnya adalah dua pasang ibu dan anak perempuan. Pencarian subjek dilakukan dengan bertanya pada orang-orang di sekitar peneliti yang terdiri dari ibu, keluarga dan teman-teman peneliti. Dari rekomendasi dan pertimbangan yang diberikan, peneliti melakukan initial contact dengan calon subjek. Peneliti mengalami kesulitan untuk mencari pasangan ibu dan anak perempuan yang bersedia untuk menjadi subjek penelitian.

Sebagian besar kendala ada pada ibu di mana mereka merasa keberatan untuk menjadi subjek penelitian, sementara anak perempuan mereka sudah bersedia untuk diwawancara. Ada juga ibu yang keberatan karena ia merasa sudah tidak terlalu lekat dengan budaya Tionghoa sehingga takut tidak merepresentasikan keluarga Tionghoa pada umumnya. Selain itu menentukan waktu untuk mewawancarai subjek juga menjadi kendala tersendiri. Akhirnya peneliti mengubah cara mencari subjek penelitian, yaitu dengan menghubungi para ibu terlebih dahulu.

Di tengah kesulitan mencari subjek penelitian, ibu peneliti berinisiatif melakukan rekomendasi dan initial contact pada orang-orang yang dirasa sesuai dengan karakteristik subjek penelitian. Selanjutnya peneliti yang melakukan initial contact dan membuat janji untuk mewawancarai. Peneliti menyadari ibu peneliti memberikan akses untuk membuat para subjek penelitian bersedia terlibat dalam penelitian ini. Hal ini bisa disebabkan karena kesamaan latar belakang etnis maupun hubungan interpersonal yang telah lebih lama terjalin.

Subjek pertama, Ibu Lely merupakan ibu dari teman kerja ibu peneliti yang kebetulan memiliki karakteristik sesuai dengan penelitian ini. Ibu Lely juga memiliki anak perempuan, Retha, sesuai dengan karakteristik usia anak perempuan dalam penelitian ini. Wawancara dilakukan terlebih dahulu pada Ibu Lely kemudian dengan Retha pada waktu dan tempat yang terpisah.

Subjek kedua, Ibu Olga merupakan kerabat jauh dari peneliti yang memiliki karakteristik sesuai dengan penelitian ini. Ia juga memiliki anak Subjek kedua, Ibu Olga merupakan kerabat jauh dari peneliti yang memiliki karakteristik sesuai dengan penelitian ini. Ia juga memiliki anak

III.D.3. Tahap Pelaksanaan

Setelah subjek menyatakan kesediaannya untuk diwawancarai, peneliti dan subjek membuat janji untuk melakukan wawancara sesuai dengan waktu dan tempat yang disepakati. Sebelum wawancara, peneliti melakukan konfirmasi kembali mengenai janji wawancara. Peneliti juga menyiapkan alat perekam, informed consent dan panduan wawancara. Saat bertemu subjek, peneliti menjalin rapport terlebih dahulu, meminta izin menggunakan alat perekam selama wawancara lalu memulai wawancara menggunakan panduan yang telah dibuat sebelumnya.

Adapun pelaksanaan wawancara adalah sebagai berikut : Subjek

Durasi Ibu Lely

Hari/Tanggal

Tempat

96 menit 2012

Sabtu, 25 Februari Foodcourt ITC

Kuningan, Jakarta (10. 55-11.51 WIB) Selatan.

Kamis, 8 Maret

18.30-20.00 2012

Rumah Duka

Husada, Jakarta

(mengobrol di luar

Barat

wawancara saat menunggu Retha, anak perempuannya selesai bertugas memotret pada acara pemakaman wawancara saat menunggu Retha, anak perempuannya selesai bertugas memotret pada acara pemakaman

60 menit 2012

Rumah anak

pertama Ibu Lely (09.48-10.48 WIB) di Bekasi, Jakarta Timur

Retha Kamis, 8 Maret

45 menit 2012

Rumah Duka

Husada, Jakarta

(20.56-21.41 WIB

Barat

Minggu, 15 April

60 menit 2012

Rumah anak

pertama Ibu Lely (11.00-12.00 WIB) (kakak Retha) di Bekasi, Jakarta Timur

Ibu Olga Minggu, 18 Maret Rumah Ibu Olga

60 menit 2012

di Kelapa Gading, (16.48-17.48) Jakarta Utara

Minggu, 8 April

60 menit 2012

Rumah Ibu Olga

di Kelapa Gading, (11.16-12.16) Jakarta Utara

Shinta Minggu, 18 Maret Rumah Ibu Olga

60 menit 2012

di Kelapa Gading, (18.00-19.00) Jakarta Utara

Minggu, 8 April

45 menit 2012

Rumah Ibu Olga

di Kelapa Gading, (12.30-13.15) Jakarta Utara

Pada wawancara terakhir dengan Ibu Lely dan Retha, peneliti menghabiskan setengah hari berinteraksi dengan keluarga mereka di rumah anak pertama Ibu Lely. Peneliti bermain dengan cucu Ibu Lely dan berbincang-bincang Pada wawancara terakhir dengan Ibu Lely dan Retha, peneliti menghabiskan setengah hari berinteraksi dengan keluarga mereka di rumah anak pertama Ibu Lely. Peneliti bermain dengan cucu Ibu Lely dan berbincang-bincang

III.E. Metode Analisis Data

Tahap analisis dan interpretasi data dilakukan dengan membuat transkrip verbatim dari rekaman wawancara. Data verbatim ini berguna untuk mengolah data lebih lanjut. Selain membuat verbatim, peneliti juga membuat timeline kehidupan para subjek sehingga dapat mengetahui urutan kronologis peristiwa hidup subjek. Setelah semua rekaman wawancara selesai dibuat dalam bentuk verbatim, peneliti mengelompokkan dan membuat coding dari data yang ada. Coding ini menghasilkan tema-tema sesuai dengan teori.

Lalu data verbatim ibu-anak perempuan dikelompokkan dan dibandingkan dalam satu tabel berdasarkan kesamaan tema. Melalui cara seperti ini dapat terlihat bagaimana dinamika ibu-anak perempuan dalam memahami dan menghayati suatu tema yang sama. Dari pembuatan tabel perbandingan ini, peneliti dapat memetakan bagian mana yang masih belum lengkap sehingga dilakukan wawancara kedua untuk melengkapi data. Tabel perbandingan antar subjek ini digunakan untuk membuat analisa dan interpretasi terhadap hasil penelitian.

BAB IV HASIL PENELITIAN

IV.A. Deskripsi Latar Belakang Subyek

Berdasarkan kode etik penelitian, maka identitas subyek ibu dan anak perempuan dalam penelitian ini dirahasiakan dan ditulis menggunakan nama samaran. Secara umum, gambaran karakteristik subyek dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :