B.1.1 Latar Belakang Ibu Subyek Pertama

IV.B.1.1 Latar Belakang Ibu Subyek Pertama

Ibu Lely merupakan anak ke-4 dari sebelas bersaudara keluarga Tionghoa generasi kedua bermarga Tjong di Indonesia dari garis ayahnya. Ibu dari Ibu Lely menghabiskan masa kecilnya di Cina daratan dan baru tinggal di Jakarta sejak usia 18 tahun. Ayahnya memenuhi kebutuhan keluarga dengan berjualan di warung dekat rumah sementara ibunya secara penuh menjalani peran sebagai ibu rumah tangga yang mengurus kesebelas anaknya (satu meninggal sewaktu bayi).

Ibu Lely menghabiskan masa kecil di daerah Jatinegara sampai sebelum ia menikah di usia 24 tahun. Saat masih remaja, Ibu Lely menilai ibunya sebagai orang yang terlalu keras karena terlalu banyak melarang, galak dan sering mengomel. Oleh ibunya, sejak masih usia sekolah Ibu Lely diharuskan mengerjakan pekerjaan rumah tangga mengurus dan membersihkan rumah bersama dengan saudara-saudara perempuannya yang lain. Sementara saudara laki-lakinya diperbolehkan tidak mengurus rumah dan bermain di luar rumah.

Ibu Lely sebenarnya ingin bisa bermain dan berkegiatan seperti itu, namun apa daya pekerjaan rumah yang banyak membuat Ibu Lely harus segera pulang ke rumah sehabis pulang sekolah. Ibu Lely menyadari betapa sibuk ibunya dalam mengurus rumah tangga dan sepuluh anak. Maka sebagai anak perempuan ia membantu membersihkan rumah dan mengurus kebutuhan rumah tangga.

Ibu Lely menuturkan bahwa dulu sehabis sekolah ia tidak diperkenankan mengikuti kegiatan apapun karena harus membantu di rumah. Ibu Lely pernah mengikuti latihan drum band di hari Minggu. Namun ia hanya bisa dua sampai tiga kali mengikuti latihan. Latihan-latihan selanjutnya tidak bisa ia ikuti karena latihan dilakukan di luar jam sekolah. Menurut Ibu Lely, sampai sekarang ia masih hafal memainkan sebaris nada yang pernah ia pelajari dahulu ketika mengikuti kegiatan drum band.

Ibu Lely menilai ibunya sebagai sosok yang kolot, kaku dan keras. Menurutnya hal ini dipengaruhi oleh latar belakang ibunya yang sejak kecil telah ditinggal oleh orang tuanya. Orang tua dari ibunya telah merantau terlebih dahulu ke Indonesia, baru kemudian pada saat berumur 18 tahun ibunya menyusul ke Jakarta. Ibu Lely merasa dirinya yang terbentuk hingga hari ini merupakan hasil didikan ibunya yang kaku. Saat ini ketika anak-anak dari Ibu Lely suka mengeluh ibu mereka kaku, ia menyadari kemungkinan disebabkan oleh didikan ibunya kepada Ibu Lely yang kaku.

Pada zaman Ibu Lely dididik oleh ibunya, banyak aturan-aturan yang kaku. Tidak ada tawar menawar untuk aturan yang sudah ditetapkan untuk anak- anak. Anak-anak pun tidak diperkenankan bertanya atau membantah apa yang sudah diperintahkan oleh orang tua. Bagi orang tua, yang penting anak-anak mematuhi dan menjalankan apa yang mereka perintahkan.

Sosok ayah digambarkan Ibu Lely sebagai orang yang lebih sabar dan tidak sekaku ibunya. Sewaktu kecil ia merasa ayahnya adalah ayah yang baik dan Sosok ayah digambarkan Ibu Lely sebagai orang yang lebih sabar dan tidak sekaku ibunya. Sewaktu kecil ia merasa ayahnya adalah ayah yang baik dan

Perubahan pandangan terhadap ibunya dirasakan Ibu Lely setelah ia menikah. Baru pada masa setelah menikah, ia dapat berterima kasih terhadap ajaran dan didikan ibunya. Ia menjadi lebih memahami kekhawatiran orang tua terutama ibunya. Hal-hal yang diajarkan oleh ibunya juga terasa berguna ketika ia sudah menikah. Bahkan muncul perasaan bersalah pada dirinya ketika ibunya meninggal terlalu cepat. Ibunya meninggal karena kanker payudara pada tahun 1997 tanpa sempat mengalami kebersamaan yang menyenangkan ketika anak- anaknya sudah mulai mapan dalam hal kehidupan dan finansial.

Ibu Lely bertemu dengan suaminya dalam kegiatan di gereja. Sebelum pernikahan ia dibaptis menjadi Katolik sekaligus mengalami naturalisasi kewarganegaraan dan pergantian nama. Status suaminya yang sudah Warga Negara Indonesia (WNI) memudahkan proses naturalisasi ini. Setelah menikah ia sempat mengikuti kursus tata buku (akuntansi) di YAI. Kursusnya ini tidak selesai karena ia hamil anak pertama dan sering mual-mual hebat sehingga akhirnya ia berhenti kursus. Selama setahun ia tinggal di daerah Gang Pedati di Jatinegara. Setahun kemudian ia menyusul suami yang bertugas di Cilacap. Anak pertamanya lahir pada tanggal 21 Januari 1984. Sedangkan anak kedua dan ketiga lahir pada tahun 9 April 1990 dan 12 November 1993.

Pada tahun 2002, di usia 44 tahun Ibu Lely berhenti bekerja dan memutuskan untuk mengambil kuliah D1 Bahasa Mandarin. Beliau menjadi lulusan terbaik bukan hanya untuk angkatannya saja, tapi untuk keseluruhan angkatan di sekolah tersebut. Kemampuan berbahasa Mandarin ini menjadi modal baginya untuk memberikan kursus Mandarin pada anak-anak di daerah tempat tinggalnya. Dari hari Senin sampai Sabtu Ibu Lely memberi kursus pada anak- anak dan uang yang terkumpul menjadi biaya untuk menghidupi keluarga terutama ketika suaminya terkena stroke. Sejak tahun 2009 sampai sekarang ia kembali bekerja di perusahaan. Berangur-angsur suaminya pun pulih dan dapat bekerja kembali.