B.2.5. Sosialisasi Identitas Gender pada Anak Perempuan
IV.B.2.5. Sosialisasi Identitas Gender pada Anak Perempuan
Ibu Olga mendidik anak-anak perempuannya untuk memiliki sikap menghormati, terutama pada yang lebih tua serta menjaga rasa kekeluargaan.
...cuma kalo yang saya tetep terapin adalah menghormati. Bagaimana menghormati orang yang lebih tua dari kita. Bagaimana kita tetep menjaga rasa kekeluargaan. Bagaimana yang muda ke yang tua harus memanggil menurut tingkatannya. Soalnya, pada saat dia panggil orang dengan tingkatannya, tidak dengan nama, itu secara tidak langsung membuat orang tersebut sadar bahwa dia levelnya di mana.
Ibu Olga juga berusaha mengajarkan dan menanamkan nilai kerja keras pada anak-anaknya dengan menceritakan kisah hidupnya yang penuh perjuangan pada anak-anaknya. Hal ini dibenarkan oleh penuturan Shinta, anaknya.
Iya, dia sering banget kok nyeritain tentang pengalaman hidupnya, dulu Oma bagaimana gitu...
Menurut ibu Olga dengan perubahan zaman dan kondisi, ia sangat yakin bahwa anak-anaknya tidak akan sekuat dirinya. Oleh karena itu, ia merasa dengan menceritakan kisah hidupnya, paling tidak anak-anaknya dapat mempelajari falsafah hidupnya.
Namun bagi Shinta sendiri, ia merasa ada beban dan harapan lebih yang diberikan padanya sebagai anak pertama di dalam keluarga. Sejak ia kecil, ia selalu harus bertanggung jawab untuk kesalahan yang dilakukan oleh adiknya.
...aku sih ngerasanya karena anak pertama, rasanya tuh lebih beban...jadi kayak dari dulu dari kecil, kalo misalnya adiknya kenapa gitu...padahal bukan salah aku, tapi aku pasti diomelin...Katanya aku paling gede gitu...jadi harus kasih contoh yang baik untuk adiknya, jadi adiknya nggak seperti itu...gitu...jadi satu salah, semua kena...
Shinta merasa segala perilakunya harus menjadi contoh yang baik untuk adik-adiknya. Menurutnya, ibu Olga sangat menekankan ini kepadanya.
...misalnya masalah pulang malem gitu, diomelin...dibilangnya itu bukan contoh yang bener buat adiknya, pasti adiknya nanti ngikutin. Kalo nanti dia udah gede, pasti dia nanya...kalo Cici boleh begitu, kenapa dia nggak. Jadi dari dulu tuh ditanemin untuk jadi contoh yang baik untuk adiknya karena anak paling besar.
Perlakuan seperti ini yang diterima Shinta sejak kecil lama kelamaan membentuk proses berpikir, yang pada akhirnya mempengaruhi bagaimana Shinta berperilaku. Ia terbiasa memikirkan dampak dari perilaku yang dilakukannya bagi adik-adiknya.
Sampe sekarang sih masih terbebani gitu, cuma udah terbiasa...Jadi kayak berjalannya waktu, udah jadi kebiasaan gitu...Setiap kali apa, mikir...entar adiknya gimana yaa...harus gimana gitu... Jadi udah terbiasa, apa ya...udah jadi kebiasaan idup aja gitu (tertawa).
Shinta merasa nilai kerja keras yang ditanamkan oleh ibunya merupakan bagian dari nilai (value) yang dimiliki oleh orang Cina pada umumnya.
Aku rasa sih karena orang Cina, dari nenek moyangnya itu orangnya emang pekerja keras dan konsisten...Kalo dari yang aku liat, menurut pandangan aku, semua orang Cina itu pekerja keras...
Di saat ini Ibu Olga berusaha untuk memperlakukan anak secara setara. Hal ini juga yang dirasakan oleh Shinta di mana ia merasa dapat berdiskusi dengan ibunya. Termasuk memberi masukan mengenai cara berpakaian ibunya.
Begitu juga kita ke mama, Ih jangan pake itu sih ke mama, pake yang lain lah yang lebih santai. Kayak saling kritik pakaiannya. Kalo misalnya mau ke pesta, pake ini aja, pake ini aja. Walaupun tegas bisa juga jadi temen yang seumuran.
Shinta menyadari hubungan yang setara dengan ibunya baru dirasakannya akhir- akhir ini ketika semakin beranjak dewasa. Sementara pada waktu ia kecil, ibunya tergolong tegas dalam mendisiplinkan anak. Terutama berkaitan dengan nilai akademis di sekolah dan kepatuhan menjalani peraturan di rumah. Sosialisasi dan pengkondisian seperti ini dari Ibu Olga terinternalisasi di dalam diri Shinta sebagai nilai-nilai hidup yang membuatnya berusaha melakukan yang terbaik.
Karena mungkin...aku sendiri takut, tiap kali ambil raport, aduuh jangan merah. Kalo merah, nggak tau nih diapain...takut digebukin gitu (tertawa), takut diomelin...ntar bisa nggak boleh pergi jalan- jalan...pokoknya jangan merah. Jadi kayak, mau nggak mau, berusaha gitu supaya nilainya bagus...Supaya nantinya bisa seneng-seneng, jangan sampe kayak haha hihi sekarang trus kalo nilainya jelek, ntar nggak bisa berbuat apa-apa, nggak naik kelas lagi... belom lagi malunya kalo nggak naik kelas...males lagi ngulang.
Shinta menyetujui pola hubungan seperti yang ia alami bersama ibunya. Anak bisa berdiskusi dengan orang tua namun juga tetap hormat pada orang tua.
Aku sih setuju-setuju aja sih, nggak ada komplain.Menurut aku ada saatnya orang tua bisa jadi temen, bisa ngomongin apa aja ya nggak semuanya sih tapi bisa nggak takut mau cerita ke orang tua. Tapi dengan mereka tegas, semacam ada boundaries, jadi kita tahu ada batasannya walaupun dekat, nggak bisa kayak temen.
Shinta mengaku memiliki selera berpakaian yang sama dengan ibunya. Walaupun demikian, Shinta tetap merasa adanya perbedaan antara dirinya dan ibunya terutama dalam hal pemikiran. Menurut Shinta, ibunya sering mengkhawatirkan Shinta mengaku memiliki selera berpakaian yang sama dengan ibunya. Walaupun demikian, Shinta tetap merasa adanya perbedaan antara dirinya dan ibunya terutama dalam hal pemikiran. Menurut Shinta, ibunya sering mengkhawatirkan
Yang sering bentrok sih masalah pemikiran aja...Mungkin karena aku sempet sekolah di luar gitu. Kadang aku merasa mama suka worried hal- hal yang seharusnya ga di-worried gitu...jadinya aku, yaudahlah...tapi mama suka nggak terima. Tapi kalo hal-hal lain, nggak sih...jarang berantem juga...Mama khawatirin...yah..gitulah...anak-anaknya...entar bagaimana kalo misalnya udah kawin, kalo misalnya...pasangannya jahat...atau ntar misalnya tinggal sendiri, kerja, nggak bisa menghasilkan uang sendiri, yang susah, gitu-gitu lah...Kayak mama lebih khawatir kalo nanti anaknya entar susah.
Menurut Shinta, kekhawatiran yang dimiliki Ibu Olga terhadap masa depan anak- anaknya membentuk bagaimana perilaku Ibu Olga kepada anak-anaknya. Ibu Olga menekankan pada ketiga anaknya untuk dapat hidup mandiri tanpa bergantung pada orang lain.
Makanya mungkin dari dini, ditanemin ke anak-anaknya pokoknya kalo apa-apa harus mandiri, bisa sendiri. Kayak kita nih, sebelum SMA, sebelum umur 17 harus belajar nyetir, harus bisa naik mobil, jangan bergantung sama supir. Jangan bergantung sama siapa-siapa, mungkin karena cewek semua kali ya...mama khawatir...Jadi sebisa mungkin tuh semua anaknya tidak bergantung sama orang lain. Jadi kalo misalnya entar ditinggal sama orang lain, pasangannya, sama temennnya...itu nggak yang gimana, masih bisa berdiri sendiri...