GAMBARAN PENGHAYATAN PERAN IBU DALAM SOS

GAMBARAN PENGHAYATAN PERAN IBU DALAM SOSIALISASI IDENTITAS GENDER ANAK PEREMPUAN KELUARGA TIONGHOA

Oleh Anastasia Setyaning A.S. 2008-070-048

Dipertahankan di hadapan Dewan Penguji Fakultas Psikologi Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya di Jakarta pada tanggal..................................

Menyetujui,

Pembimbing Skripsi

Dr. Nani I.R. Nurrachman, Psikolog.

Dekan Fakultas Psikologi Universitas Katolik Atma Jaya

Dr. phil. Juliana Murniati

Fakultas Psikologi Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya, Jakarta Juli 2012

ABSTRAK

Anastasia Setyaning A.S. 2008-070-048 Gambaran Penghayatan Peran Ibu dalam Sosialisasi Identitas Gender Anak Perempuan Keluarga Tionghoa ix + 112 halaman, 11 tabel, 2 gambar Bibliografi 49 (1978-2012)

Relasi paling awal yang dialami seorang manusia adalah hubungan dengan ibunya (Chodorow, 1978). Melalui relasi dengan ibu, self anak terbentuk dan anak memahami self -nya berdasarkan hubungan dirinya dengan ibu. Diri seorang ibu sebagai perempuan adalah self-in relation (Chodorow, 1978). Maka secara bersamaan ibu pun membentuk self dan pemahaman dirinya tentang self melalui interaksi dengan anak-nya. Pada anak perempuan yang memiliki kesamaan ketubuhan dengan ibu, perkembangan dirinya dibangun melalui connectedness dengan ibu. Di pihak ibu, kesamaan ketubuhan ini menyebabkan hadirnya kembali seluruh pengalaman hidup ibu sebagai perempuan. Berbeda dari psikologi arus utama yang memandang self terbentuk melalui otonomi dan keterpisahan dari pengasuh utama, psikologi perempuan melihat diri perempuan terbentuk melalui relasi ibu dan anak perempuan.

Pada keluarga Tionghoa yang patriarkis, ibu dan anak perempuan memiliki pengalaman dibedakan yang sama. Sebab perempuan dipandang sebagai warga kelas dua dalam budaya Tionghoa (Meij, 2009). Pada konteks kehidupan masyarakat Indonesia, perempuan Tionghoa bahkan mengalami dibedakan dua kali. Pertama, dibedakan karena gendernya, kedua, dibedakan karena etnisnya. Sementara perempuan keluarga Tionghoa tetap bertahan hidup dan menjalani kehidupannya sehari-hari dari generasi ke genarasi. Setiap hari dalam keseharian hidupnya, mereka mengalami pembedaan ini dari lingkungan sosial. Maka dalam kondisi seperti ini, peneliti tertarik untuk mengetahui gambaran peran ibu dalam sosialisasi identitas gender anak perempuan di keluarga Tionghoa. Sebab dengan mengetahui peran ibu, dapat diketahui gambaran pembentukan identitas gender yang dilakukan ibu kepada anak perempuan yang notabene memiliki kesamaan ketubuhan dengan ibu. Selain itu, dengan mengetahui pengalaman ibu sebagai anak dan perempuan, dapat ditelusuri bagaimana seorang ibu menginternalisasi, merefleksikan, menginterpretasikan dan menghayati hidupnya. Pada akhirnya keseluruhan proses ini mempengaruhi Ibu saat menjalani perannya.

Untuk memperoleh gambaran penghayatan peran ibu ini, dilakukan penelitian dengan metode kualitatif, yaitu melalui wawancara mendalam ( in-depth interview) pada dua pasang ibu dan anak perempuan keluarga Tionghoa yang berdomisili di Jakarta. Subjek dikontrol melalui pembatasan usia anak perempuan yang terlibat dalam penelitian ini, yaitu dewasa muda ( early adulthood) . Berdasarkan hasil penelitian, terlihat bahwa ibu menghayati perannya sebagai agen perubahan bagi anak perempuannya sehingga anak perempuan tidak lagi mengalami pembedaan karena gender seperti yang dialami ibunya.

KATA PENGANTAR

Penelitian ini berawal dari kepedulian dan keingintahuan pribadi yang tak dapat dilepaskan dari stimulus orang-orang dan lingkungan yang ada di sekitar peneliti. Maka pertama-tama peneliti ingin berterima kasih pada (Alm.) Emak Maria Gouw Giok Eng (1917-2005) yang memberikan paparan ( exposure ) pertama bagaimana menjalani hidup sebagai perempuan peranakan Tionghoa- Indonesia. Serta fasilitasi pembelajaran luar biasa yang telah diberikan oleh kedua orang tua peneliti sampai hari ini, Stephanus Djoko Satriyo dan Anselma Wiwiek Widiarti.

Pada saat menjalani proses penelitian, peneliti mengalami banyak proses pembelajaran melalui kendala literatur, subyektivitas pribadi dan faktor individual peneliti. Maka peneliti juga ingin berterima kasih pada orang-orang yang telah berkontribusi secara akademis maupun moril dan emosional terhadap peneliti sepanjang penulisan skripsi ini, yaitu :

1. Dr. Nani I.R.Nurrachman, Psikolog., pembimbing akademik sekaligus pembimbing skripsi peneliti. Terima kasih untuk relasi menghidupkan yang menstimulus rasa ingin tahu dan pembelajaran akan dinamika dan kearifan hidup, dimulai dari diri sendiri.

2. Dra. Prilyani Pranaya. Terima kasih telah memberikan bantuan literatur dan koneksi untuk menghubungi Ibu Myra Sidharta dan Prof. Dr. Melani Budianta. Untuk Ibu Myra Sidharta dan Prof. Dr. Melani Budianta, terima kasih untuk bantuan literatur dan pemikiran pada tahap awal penelitian ini.

3. Dr. Sherley-Lim dari Gender Studies, University of California. Pertemuan penuh kesan di Ubud Writers & Readers Festival pada bulan Oktober 2011, dilanjutkan pertemuan pada Biennale Sastra Komunitas Salihara, yang memberikan kontribusi pemikiran dan bantuan literatur.

4. Aquino Hayunta, S. Sos. Terima kasih telah memfasilitasi perkenalan dengan Diyah Wara, M.Si, ketua komunitas pemuda Ikatan Indonesia- Tionghoa (INTI). Tempat peneliti berdiskusi menjelang pengambilan data responden.

5. Perpustakaan Kajian Wanita Universitas Indonesia, Salemba yang menyediakan berbagai literatur yang dibutuhkan peneliti untuk menyusun kerangka penelitian.

6. Anggita Hotna Panjaitan yang memfasilitasi perkenalan dengan Farid Hanggawan, S.H.. Terima kasih untuk kesedian berdiskusi dan bantuan literatur tentang filsuf perempuan.

7. Ibu dan anak perempuan yang menjadi subjek penelitian ini. Mereka menjadi pionir usaha dan kerinduan untuk memotret kehidupan ibu- anak perempuan keluarga Tionghoa masa kini.

8. Teman-teman, karyawan dan dosen Fakultas Psikologi Unika Atma Jaya yang memfasilitasi pembelajaran dan dukungan melalui interaksi sehari-hari. Terutama untuk :

- Sebastian Partogi, S.Psi, Raina Paramitha, S. Psi, Rebeka Pinaima, S.Psi, Pithe Lim, S.Psi., dan Okki Sutanto, S.Psi. - Grace Maria Sininta, S.Psi, Amelia Hartono, S.Psi, Kenny Ahldrin, S.Psi, Anastasia Primasari, S. Psi, Cendy Sanada, Silvyana, Griselda Jane, Marius Dion dan Almira Rahma.

- Sylvia Dewi Suryaganda dan Nadya Regina Pryana. - Inez Kristanti, Tesar Gusmawan, Arnold Lukito, Gabriela Angie,

Edwin Nathaniel.

9. Stephani Fitria Winda Satriyo dan Maria Yohanna Widianti Satriyo. Kedua adik peneliti, sparing partner tumbuh berkembang sebagai perempuan, yang memberi ruang pemakluman dan pembelajaran selama menyelesaikan skripsi. Keluarga besar Akong Lim Bun Jie yang telah memberikan bantuan dan dukungan.

10. Bontor Humala, S.T.. Terima kasih untuk kesegaran, ketenangan, keteguhan dan semangat yang peneliti peroleh melalui interaksi bersama.

Hidup adalah proses bertanya. Jawaban hanyalah persinggahan dinamis yang bisa berubah seiring dengan berkembangnya pemahaman kita (Dee, 2011). Pada titik persinggahan saat ini, penelitian ini menjadi kulminasi pencarian dan pertanyaan saya. Terima kasih yang dalam untuk transendensi yang mengejewantah dalam Allah, Cinta dan alam semesta yang memungkinkan diri saya untuk menjadikan ini ada.

Exploration is really the essence of the human spirit (Frank Borman). Who looks outside, dreams. Who looks inside, awaken (Carl Jung).

Jakarta, Juli 2012

Peneliti

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1.A.1. Dinamika relasi ibu dan anak perempuan dalam sosialisasi..........7 Gambar II.B.1. Dinamika Teori Penelitian...........................................................41

DAFTAR LAMPIRAN

Surat Pernyataan Kesediaan Subjek Panduan Pertanyaan Tabel Analisa Perbandingan Ibu-Anak Perempuan

BAB I PENDAHULUAN

I.A. Latar Belakang Masalah

Know Thy Self~Socrates (469-399 SM)

Manusia adalah makhluk yang senantiasa mempertanyakan dirinya, yang selalu “menjadi” ( becoming) . Perjalanan manusia dalam mempertanyakan dan mengenal dirinya dapat dilihat dari perjalanan sejarah manusia (Wibowo, 2009). Di dalam ilmu psikologi, perjalanan sejarah seorang manusia dari konsepsi sampai kematian dipelajari pada Psikologi Perkembangan. Pembelajaran mengenai life-span development berisi informasi mengenai siapa diri kita, mengapa kita menjadi seperti saat ini dan bagaimana seluruh pengalaman hidup mempengaruhi masa depan kita (Santrock, 2008). Proses pembelajaran ini dapat memunculkan isu dan pertanyaan terkait perkembangan diri manusia.

Pada diri peneliti, pertanyaan muncul dari hasil refleksi diri terhadap pengalaman hidup selama dua puluh tahun sebagai perempuan dikaitkan dengan materi Psikologi Perkembangan. Peneliti menyadari adanya perbedaan identitas feminin yang diperoleh dalam interaksi di keluarga inti dengan ekspektasi identitas feminin yang ada di lingkungan masyarakat.

Kedua orang tua peneliti sampai saat ini tidak pernah mendidik ketiga anak perempuannya menggunakan batasan gender. Kedua orang tua terutama ibu, mendidik anak perempuan dengan paradigma sebagai manusia ciptaan Tuhan Kedua orang tua peneliti sampai saat ini tidak pernah mendidik ketiga anak perempuannya menggunakan batasan gender. Kedua orang tua terutama ibu, mendidik anak perempuan dengan paradigma sebagai manusia ciptaan Tuhan

Melalui interaksi dengan teman sebaya sejak tingkat sekolah dasar hingga hari ini yang dilegitimasi melalui komunikasi pribadi (12 April 2011), peneliti memperoleh informasi bahwa pemahaman dan keyakinan yang dimiliki oleh teman-teman perempuan mengenai bagaimana harus berpikir dan bertingkah laku sebagai perempuan diperoleh dari ibu mereka. Seorang teman, Bunga (bukan nama sebenarnya) memperoleh pengajaran dari ibunya bahwa seorang perempuan semandiri apapun tetap harus mengurus dan memikirkan keluarganya. Sedangkan teman lain, sebut saja Citra memperoleh pengajaran dari ibunya bahwa sebagai perempuan harus bisa menjadi orang yang mandiri dan bisa berdiri di atas kaki sendiri sehingga kehidupannya terutama dari segi keuangan tidak tergantung pada suami. Teman lain bernama Sari diajari ibunya sejak kecil untuk bangun pagi dan rajin membereskan kamar sebab ia seorang anak perempuan.

Teman lain, Mita, diminta ibunya untuk selalu menjaga kebersihan kuku tangan dan kakinya sebab nanti mertua perempuan akan menilai menantunya dari kebersihan kuku tangan dan kaki. Sementara Kasih, tidak diperbolehkan ibunya menggaruk kulit tangannya jika digigit nyamuk. Sebab ibunya tidak ingin kulit Teman lain, Mita, diminta ibunya untuk selalu menjaga kebersihan kuku tangan dan kakinya sebab nanti mertua perempuan akan menilai menantunya dari kebersihan kuku tangan dan kaki. Sementara Kasih, tidak diperbolehkan ibunya menggaruk kulit tangannya jika digigit nyamuk. Sebab ibunya tidak ingin kulit

Melalui wawancara lebih lanjut, diketahui pengajaran para ibu kepada anak perempuannya ini diperoleh dari pengalaman ibu sebagai perempuan. Pengalaman yang berbeda-beda dari para ibu memunculkan pengasuhan yang berbeda pada anak perempuan. Pengalaman ibu di budaya patriarki diwariskan kepada anak perempuan yang memiliki kesamaan ketubuhan dengan ibu. Maka, Ibu akan merasa tegang dan sangat khawatir bila anak perempuannya gagal memenuhi tuntutan peran yang diharapkan oleh budaya patriarki (Poerwandari, 2011).

Seorang sosiolog dan psikoanalis feminis, Nancy Chodorow (1978) berpendapat bahwa perempuan dan laki-laki mengalami perkembangan dan sosialisasi berbeda karena pengalaman hidup mereka terkait dengan jenis kelamin. Maka untuk memahami perkembangan manusia secara penuh hanya bisa dicapai dengan memahami pengalaman laki-laki dan pengalaman perempuan secara spesifik (Surrey, 1985).

Pengalaman ibu dan anak perempuan yang hidup di budaya patriarkis seperti yang dipaparkan di atas tidak pernah dibahas dalam psikologi arus utama (Miller, 1986). Padahal relasi ibu dan anak perempuan mempengaruhi dasar dari struktur utama self mereka (Surrey, 1985). Menurut Chodorow (1978) self dibentuk dari Pengalaman ibu dan anak perempuan yang hidup di budaya patriarkis seperti yang dipaparkan di atas tidak pernah dibahas dalam psikologi arus utama (Miller, 1986). Padahal relasi ibu dan anak perempuan mempengaruhi dasar dari struktur utama self mereka (Surrey, 1985). Menurut Chodorow (1978) self dibentuk dari

Secara spesifik, ibu dan anak perempuan memiliki ikatan yang lebih khusus dibandingkan ibu dengan anak laki-laki (Chodorow, 1978). Dari segi biologis ibu dan anak perempuan memiliki aspek ketubuhan yang sama sehingga identitas feminin anak perempuan berkembang dalam konteks keterikatan dengan ibunya, demikian telaah Nurrachman (2011) terhadap Chodorow. Identitas feminin anak perempuan dipengaruhi oleh sosialisasi yang dialami dalam hidupnya. Salah satu agen sosialisasi yang berperan bagi anak perempuan adalah ibunya sendiri. Hal- hal yang ditransmisikan ibu terhadap anak perempuan di dalam proses sosialisasi tersebut amat dipengaruhi oleh bagaimana ibu menginternalisasikan nilai budaya dan masyarakat di mana ia berada (Chodorow, 1978).

Menariknya, jika dilihat dalam kehidupan sehari-hari di masyarakat peran menjadi ibu telah dipersiapkan dan disosialisasikan kepada perempuan sejak ia masih kanak-kanak (Hidajadi, 2010). Chodorow (1978) bahkan memaparkan bahwa kemampuan untuk menjadi ibu “direproduksi” dari ibu kepada anak

perempuannya melalui struktur di dalam hubungan keluarga yang menciptakan landasan psikologis untuk menjadi ibu ( mothering ). Misalnya saja, sejak kecil anak perempuan diberikan mainan yang berkisar pada boneka-bonekaan dan alat- alat memasak yang menstimulus munculnya perilaku mengasuh dan merawat perempuannya melalui struktur di dalam hubungan keluarga yang menciptakan landasan psikologis untuk menjadi ibu ( mothering ). Misalnya saja, sejak kecil anak perempuan diberikan mainan yang berkisar pada boneka-bonekaan dan alat- alat memasak yang menstimulus munculnya perilaku mengasuh dan merawat

Ketika seorang perempuan menjadi ibu yang membesarkan anak perempuan, ia akan bercermin pada dirinya sendiri dengan harapan bahwa anak perempuannya memperoleh tempat di masyarakat yang patriarki ini (Hidajadi, 2010). Walaupun demikian, pemahaman dan penghayatan konsep perempuan akan dipersepsi berbeda-beda oleh perempuan itu sendiri. Perbedaan biopsikologis dan pengalaman hidup yang melekat pada perempuan membawa konsekuensi pada cara perempuan mempersepsi dan menghayati dunia realitas serta melakukan aktivitas di dalamnya (Nurrachman, 2011). Akhirnya, muncul sosok Ibu sebagai suatu peran dengan dua sisi identitas, yaitu sisi personal berupa konsep diri dan sisi sosial di mana peran ibu dipengaruhi oleh mitos-mitos dan harapan masyarakat. Hal ini merupakan telaah Nani Nurrachman terhadap Rubin (2011).

Bagi anak perempuan, figur ibu tampil sangat kuat sebagai stimulus dalam kognisi anak, yaitu secara ketubuhan, cara berpikir, konsep, maupun dalam nilai simbolik (Nurrachman, 2011). Di dalam interaksi ibu dan anak perempuan terjadi proses sosialisasi gender (Corell, 2007) yang meliputi proses kognitif yang mempengaruhi bagaimana ibu dan anak perempuan menerima, menginterpretasi dan merespon dunia sosial mereka

Maka, pembentukan gender bukan hanya terjadi secara alamiah tetapi dipengaruhi oleh sosialisasi ibu di dalam keluarga yang merupakan sistem sosial pertama bagi anak (Gerungan, 2004). Konsep gender sendiri berada di tiga tahap analisis, yaitu individual, interaksional , dan struktural (Risman, 1998).

Kajian terhadap berbagai penelitian mengenai gender dengan paradigma psikologi sosial, memberikan pemahaman bahwa gender bukanlah sebuah atribut menetap melainkan sebuah proses interaksi yang terus menerus terjadi (West & Zimmerman, 1987). Gender juga dilihat sebagai suatu sistem yang multi-level (Shelley, 2007). Dengan demikian, gender di tataran individu merupakan suatu identitas yang diperoleh melalui interaksi sehari-hari di masyarakat berdasarkan ekspektasi gender yang ada.

Terkait dengan interaksi, munculnya interaksi yang tidak seimbang secara berulang antara laki-laki dan perempuan memunculkan keyakinan kultural mengenai perbedaan gender (Eagly & Steffen, 1984 dan Ridgeway dalam Shelley, 2007). Keyakinan kultural mengenai perbedaan gender ini dibawa dan ditransmisikan oleh ibu dalam interaksinya dengan anak perempuan. Selain pengaruh keyakinan kultural, cohort kelahiran dan generasi di mana ibu tumbuh dan berkembang juga akan mempengaruhi bagaimana ia menunjukkan perannya sebagai ibu dan mentransmisikan sosialisasi gender kepada anak perempuannya (Fischer, 1991).

Menurut Fischer (1991) ikatan di antara ibu dan anak perempuan, terutama pada anak perempuan dewasa menjadikan peran ibu ( mothering) sebagai hal Menurut Fischer (1991) ikatan di antara ibu dan anak perempuan, terutama pada anak perempuan dewasa menjadikan peran ibu ( mothering) sebagai hal

Bio Psiko Sosio

Media

Anak Perempuan

Budaya

Pembelajaran, Penghayatan &

Bio Psiko Sosio

Bio Psiko Sosial Media

Gambar 1.A.1. Dinamika relasi ibu dan anak perempuan dalam sosialisasi

Seperti yang telah dipaparkan di atas, perlu ditengarai bagaimana proses sosialisasi peran gender dilakukan oleh ibu sebagai pengasuh pertama dan utama anak perempuan. Hal ini perlu dilakukan untuk semakin memahami diri perempuan sebagai manusia dengan keunikan dan karakteristik yang khas. Sosialisasi peran gender yang diperoleh dari interaksi antara ibu dengan anak perempuannya akan memberikan gambaran yang lebih kontekstual dan komprehensif mengenai dinamika perempuan sebagai manusia.

Menurut Fischer (1991) ada beberapa variabel yang perlu dipertimbangkan dalam melakukan penelitian antara ibu dan anak perempuan. Variabel tersebut antara lain, cohort generasi ibu maupun anak perempuan seperti yang sudah dipaparkan di atas, kelas sosial dan kultur. Woehrer dalam Fischer (1991) memaparkan adanya perbedaan ekspektasi keluarga dan perilaku terkait dengan etnisitas.

Indonesia sebagai negara multikultural memiliki keunikan dan kekhasan etnis yang beragam. Setiap etnis memiliki karakteristiknya masing-masing. Interaksi dan persinggungan antar etnis pun juga memunculkan dinamika dan karakteristik yang unik. Di dalam penelitian terhadap peran ibu dalam sosialisasi gender terhadap anak perempuan ini, penelitian akan difokuskan kepada satu etnis yaitu etnis Tionghoa. Pemilihan ini berdasarkan kenyataan adanya pelekatan stereotipe dua kali pada perempuan beretnis Tionghoa (Meij, 2009). Pertama pada identitasnya sebagai perempuan, kemudian ditambahkan lagi dengan penghayatan psikologis yang ditimbulkan dari internalisasi etnis Tionghoa di dalam dirinya.

Pelekatan stereotipe dua kali pada perempuan beretnis Tionghoa menyebabkan munculnya perasaan didiskriminasi. Merasa berbeda dan didiskriminasi mempengaruhi pemaknaan self pada perempuan Tionghoa seperti yang dipaparkan Mely G. Tan (2008) dari hasil wawancara terhadap perempuan berusia

31 tahun yang berdomisili di Bali, "We are Indonesians of Chinese origin, but we also know we are not Balinese. We are different from the Balinese, but then we are not real Chinese either". Pada generasi muda Tionghoa di Indonesia juga muncul kebingungan sebab mereka lebih melihat diri sebagai orang Indonesia ketimbang Tionghoa. Mereka menyadari darah Tionghoa mereka walaupun memiliki pengetahuan yang minim tentang tradisi dan budaya Tionghoa. Namun mereka merasa diperlakukan berbeda dari mayoritas etnis lain yang ada di Indonesia. Kondisi ini juga dirasakan oleh dua belas orang mahasiswa Fakultas Psikologi Unika Atma Jaya dalam komunikasi pribadi (22 November 2011).

Kedekatan peneliti dengan budaya Tionghoa dikarenakan memiliki ibu yang ber-etnis Tionghoa diharapkan dapat meningkatkan sensitivitas yang diperlukan untuk memahami permasalahan di dalam penelitian ini. Selain itu melalui kajian literatur ditemukan bahwa penelitian mengenai Tionghoa di Indonesia amatlah minim, padahal mereka berkontribusi terhadap tujuh puluh persen sektor ekonomi swasta Negara Indonesia (Tan, 2008). Maka, penelitian semacam ini diharapkan dapat membantu masyarakat memahami perilaku manusia dari etnis yang telah berasimilasi dan bersinggungan dengan masyarakat Indonesia lainnya. Pengakuan akan ke-Bhinneka Tunggal Ika-an negara Indonesia perlu diwujudkan dalam penelitian seperti ini.

Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran penghayatan peran ibu dalam sosialisasi identitas gender anak perempuan keluarga Tionghoa. Jika tujuan penelitian ini tercapai maka ilmu psikologi yang bertujuan untuk memahami manusia (dirinya sendiri) berdasarkan interaksi antar manusia dapat semakin terwujud dan dikembangkan. Terlebih tujuan dari psikologi perempuan secara khusus, yaitu untuk memahami realitas kehidupan perempuan yang bersumber dari pengalaman hidup individu perempuan. Secara bersamaan terjadi proses refleksi atas pengalaman serta interaksi yang reflektif untuk menghasilkan temuan serta pengetahuan ilmiah yang berspektif perempuan, serta lebih realistis dan humanis (Nurrachman, 2011).

Untuk mencapai tujuan dari penelitian ini, maka penelitian ini dilakukan dengan metode kualitatif yang bersifat deskriptif. Penelitian akan dilakukan dengan teknik wawancara mendalam ( in-depth interview) yang akan dilakukan pada ibu dan anak perempuan usia dewasa muda yang berada dalam satu ikatan keluarga kandung dan tinggal bersama di satu rumah.

I.B. Perumusan Masalah

“Bagaimana gambaran pengha yatan peran Ibu dalam sosialisasi identitas gender

anak perempuan keluarga Tionghoa?

I.C. Tujuan Penulisan

Penulisan ini bertujuan untuk memahami secara mendalam mengenai peran ibu dalam sosialisasi identitas gender anak perempuan. Dengan demikian tercipta usaha memahami realitas kehidupan perempuan yang bersumber dari pengalaman hidup individu perempuan.

I.D. Manfaat Penelitian

I.D.1. Manfaat Teoritis

Perolehan gambaran mengenai peran ibu dalam sosialisasi identitas gender anak perempuan diharapkan memberi referensi dalam perkembangan psikologi perempuan di Indonesia. Terutama mengenai pemahaman yang lebih mendalam mengenai dinamika peran ibu dalam proses sosialisasi para calon ibu untuk generasi selanjutnya, yaitu para anak perempuan.

1.D.2. Manfaat Praktis

1. Memberikan pemahaman kepada psikolog, aktivis dan konselor mengenai peran ibu dalam sosialisasi identitas gender anak perempuan

2. Memberikan kesadaran pada ibu dan anak perempuan yang terlibat dalam siklus ibu-anak secara berkelanjutan dalam memahami dinamika relasi dan peran masing-masing di dalam relasi tersebut.

A. Sistematika Penulisan

Bab I berisi pendahuluan yang terdiri dari latar belakang, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian serta sistematika penulisan. Pada Bab 1 Bab I berisi pendahuluan yang terdiri dari latar belakang, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian serta sistematika penulisan. Pada Bab 1

BAB II LANDASAN TEORI

II.A. Psikologi Perempuan Berbeda dengan Psikologi Laki-laki

Psikologi arus utama yang berkembang dewasa ini seringkali menyamaratakan pengalaman hidup laki-laki dan perempuan, terlebih jika hal ini dikuantifikasikan ke dalam angka. Laki-laki dan perempuan hanya menjadi simbol jenis kelamin yang tak bermakna apa-apa pada hasil-hasil penelitian yang dipublikasikan. Padahal jika ingin memahami manusia secara utuh, diperlukan usaha untuk menyelami kehidupan perempuan maupun laki-laki secara holistik pula (Nurrachman, 2011). Psikologi yang berkembang di Barat menurut Nurrachman (2011) cenderung mengarah ke sifat andosentris di mana konsep- konsep yang terbentuk memerlukan usaha rekonstruksi agar sesuai dengan pemaknaan yang lebih tepat bagi perempuan.

Psikologi perempuan berbeda dari psikologi laki-laki, sebab perlu disadari bahwa perbedaan pengalaman hidup perempuan tidak bisa dilepaskan dari faktor biologis dirinya yang dikenai persepsi sosial-budaya lingkungannya. Perjalanan perempuan untuk memahami dirinya masih berada dalam batasan-batasan objektif ketubuhan dan lingkungan sosial budaya. Hal ini sangat jauh berbeda dari pengalaman dan batasan yang diberikan kepada laki-laki di dalam masyarakat. Tentu saja hal ini juga akan mempengaruhi bagaimana laki-laki mempersepsikan diri dan dunia sosialnya. Pada perempuan, salah satu batasan yang dialaminya adalah melalui perannya sebagai ibu (Nurrachman, 2011). Peran sebagai ibu yang Psikologi perempuan berbeda dari psikologi laki-laki, sebab perlu disadari bahwa perbedaan pengalaman hidup perempuan tidak bisa dilepaskan dari faktor biologis dirinya yang dikenai persepsi sosial-budaya lingkungannya. Perjalanan perempuan untuk memahami dirinya masih berada dalam batasan-batasan objektif ketubuhan dan lingkungan sosial budaya. Hal ini sangat jauh berbeda dari pengalaman dan batasan yang diberikan kepada laki-laki di dalam masyarakat. Tentu saja hal ini juga akan mempengaruhi bagaimana laki-laki mempersepsikan diri dan dunia sosialnya. Pada perempuan, salah satu batasan yang dialaminya adalah melalui perannya sebagai ibu (Nurrachman, 2011). Peran sebagai ibu yang

Melalui perspektif psikologi perempuan, diharapkan perempuan dapat dipandang dan dipahami sebagai manusia dengan segala dinamika psike yang dialaminya. Kecenderungan yang ada selama ini tinjauan mengenai perempuan cenderung dilihat sebagai ‘yang lain’ oleh konstruksi sosial budaya masyarakat. Oleh karena itu, tinjauan menggunakan faktor biospikososiokultural yang berperan di dalam kehidupan perempuan diharapkan mampu memberikan konteks untuk memahami perempuan sebagai subjek (Nurrachman, 2011) sekaligus untuk memperoleh gambaran bagaimana pe rempuan “menyatakan diri” melalui penghayatan dirinya.

Peneliti mengambil posisi sebagai perempuan dengan menggunakan perspektif psikologi perempuan untuk melihat diri ibu dan anak perempuan dalam keluarga Tionghoa secara holistik dan reflektif melalui penuturan mereka akan pengalaman hidup sebagai perempuan. Perkembangan psikologi perempuan secara teoritis akan dipaparkan di bawah ini.

II.B. Psikologi Perkembangan Perempuan

II.B.1. Perkembangan Diri Sendiri

II.B.1.1. Teori Gender

One is born female or male, but one is socialized to be feminine or masculine

(Cobb, 2000)

Gender merupakan salah satu bagian penting di dalam pembentukan konsep diri ( self concept) sebab gender memainkan peran penting dalam usaha manusia untuk mendefinisikan dan menjalani dunia mereka (Sroufe, 1996). Salah satu sarana penting untuk memahami diri adalah melalui pemahaman mengenai gendernya. Proses identifikasi gender ini dimulai dari umur dua tahun (Cobb, 2000) di mana anak dapat mengidentifikasikan dirinya sebagai anak laki-laki atau anak perempuan. Proses ini disebut sebagai labelisasi gender ( gender labeling) . Sebagian besar anak-anak usia dini, kesulitan membedakan jenis kelamin ( sex) dengan gender. Jika jenis kelamin merujuk pada perbedaan biologis seperti sistem reproduksi (Cobb, 2000), maka gender lebih menekankan pada pemahaman dan pembentukan kultural mengenai apa yang disebut sebagai maskulin dan feminin. Perbedaan gender ditentukan secara sosial melalui proses sosialisasi.

Pada rentang usia antara tiga sampai lima tahun, anak mulai mengembangkan pemahaman mengenai gender constancy (Cobb, 2000). Pemahaman ini sejalan dengan sex constancy di mana anak memahami bahwa jenis kelamin merupakan suatu hal yang permanen dan tidak akan berubah semata-mata berdasarkan cara seseorang berpakaian. Kemudian secara bertahap muncul stereotipe gender ( gender stereotyping) yang mengajarkan pada anak mengenai tipe pakaian yang ia kenakan, mainan seperti apa yang cocok untuk dimainkan serta membayangkan pekerjaan seperti apa yang dijalaninya sebagai Pada rentang usia antara tiga sampai lima tahun, anak mulai mengembangkan pemahaman mengenai gender constancy (Cobb, 2000). Pemahaman ini sejalan dengan sex constancy di mana anak memahami bahwa jenis kelamin merupakan suatu hal yang permanen dan tidak akan berubah semata-mata berdasarkan cara seseorang berpakaian. Kemudian secara bertahap muncul stereotipe gender ( gender stereotyping) yang mengajarkan pada anak mengenai tipe pakaian yang ia kenakan, mainan seperti apa yang cocok untuk dimainkan serta membayangkan pekerjaan seperti apa yang dijalaninya sebagai

Perkembangan stereotipe gender pada anak terjadi melalui berbagai cara. Secara umum ada tiga pandangan mengenai terbentuknya stereotipe gender, yaitu perspektif social-learning-theory , perspektif psikodinamika dan perspektif developmental constructive (Cobb, 2000) .

II.B.1.1.1. Perspektif social-learning-theory

Social-learning-theory menekankan pentingnya peran kekuatan eksternal dalam membentuk perilaku yang sesuai dengan gender di mana perilaku-perilaku tersebut merupakan hasil dari suatu pembelajaran. Orang tua memiliki peran penting dalam proses pembelajaran, baik sebagai model yang diimitasi oleh anak maupun sebagai pemeran aktif dalam membentuk perilaku anak-anak mereka. Secara sadar pada umumnya orang tua merasa tidak membeda-bedakan perilaku dalam bersikap terhadap anak laki-laki dan anak perempuannya. Namun pada sebuah penelitian yang mengobservasi perilaku ibu (Will, Self & Datan dalam Cobb, 2000) ditemukan bahwa ibu akan memberikan mainan yang berbeda saat berinteraksi dengan balita yang dianggap sebagai laki-laki dan perempuan.

Para ibu yang terlibat dalam penelitian ini berkata pada para peneliti bahwa mereka tidak akan bersikap berbeda kepada anak laki-laki dan perempuan mereka. Pada masa ini pula perilaku sesuai dengan jenis kelamin ( sex-typed behavior) mulai muncul di usia dua tahun (Sroufe, 1996). Walaupun pada Para ibu yang terlibat dalam penelitian ini berkata pada para peneliti bahwa mereka tidak akan bersikap berbeda kepada anak laki-laki dan perempuan mereka. Pada masa ini pula perilaku sesuai dengan jenis kelamin ( sex-typed behavior) mulai muncul di usia dua tahun (Sroufe, 1996). Walaupun pada

II.B.1.1.2. Perspektif psikodinamika

Perspektif psikodinamika berawal dari pandangan aliran psikoanalisa mengenai proses internalisasi mengenai perilaku melalui proses identifikasi. Melalui identifikasi pada orang tua berjenis kelamin yang sama dengan dirinyaa ( same-sex parent) , anak menginternalisasikan semua perilaku dan sikap dari orang tuanya. Keinginan yang kuat untuk menjadi sama seperti orang tua dari gender yang sama menyebabkan anak akan mengadopsi perilaku, sikap dan nilai-nilai yang dimiliki oleh orang tuanya (Soufre, 1996). Proses pengadopsian ini melibatkan elemen kognitif karena membutuhkan kemampuan anak untuk mengenali persamaan gender antara dirinya dengan salah satu dari kedua orang tuanya, lalu membuat abstraksi yang membantunya menggolongkan orangtuanya sebagai laki-laki atau perempuan.

Chodorow (1978) melihat bahwa anak perempuan mendefinisikan femininitasnya melalui persamaan yang dimiliki dengan ibunya. Teori Chodorow berdasar pada asumsi Freudian di mana laki-laki dan perempuan memiliki hubungan yang paling kuat dalam relasi dengan ibunya. Anak laki-laki memisahkan diri dari ibunya dalam usaha mengidentifikasi diri, sedangkan anak perempuan menekankan pada kesamaan antara dirinya dengan ibunya. Proses Chodorow (1978) melihat bahwa anak perempuan mendefinisikan femininitasnya melalui persamaan yang dimiliki dengan ibunya. Teori Chodorow berdasar pada asumsi Freudian di mana laki-laki dan perempuan memiliki hubungan yang paling kuat dalam relasi dengan ibunya. Anak laki-laki memisahkan diri dari ibunya dalam usaha mengidentifikasi diri, sedangkan anak perempuan menekankan pada kesamaan antara dirinya dengan ibunya. Proses

II.B.1.1.3. Perspektif developmental constructive

Pendekatan ini mengasumsikan anak-anak mengkonstruksikan identitas seksual mereka dengan meniru perilaku orang lain yang sesuai gender secara selektif, baik perilaku gender yang dilakukan oleh orang tuanya maupun oleh orang lain. Persepsi selektif dan bukan identifikasi dianggap sebagai proses yang bertanggung jawab pada perkembangan perilaku gender yang diharapkan (Marin & Helverson, Bem dalam Cobb, 2000).

Proses persepsi yang selektif ini dibimbing oleh skema gender. Skema gender merupakan suatu struktur kognitif yang mengarahkan proses pemerolehan informasi mengenai dirinya sendiri. Skema gender bekerja sesuai dengan tingkat kesiapan menerima informasi tertentu berdasarkan konsistensi dari suatu skema gender seseorang . Melalui sebuah penelitian yang dilakukan Carol Martin dan Halverson serta Bruce Carter dan Gary Levy dalam Cobb (2000) pada anak-anak di taman kanak-kanak, ditemukan bahwa anak-anak dengan skema gender yang lebih kuat dan solid memiliki kesulitan mengingat gambar dari suatu aktivitas yang inkonsisten dengan peran jenis kelamin ( sex roles) dan lebih mungkin Proses persepsi yang selektif ini dibimbing oleh skema gender. Skema gender merupakan suatu struktur kognitif yang mengarahkan proses pemerolehan informasi mengenai dirinya sendiri. Skema gender bekerja sesuai dengan tingkat kesiapan menerima informasi tertentu berdasarkan konsistensi dari suatu skema gender seseorang . Melalui sebuah penelitian yang dilakukan Carol Martin dan Halverson serta Bruce Carter dan Gary Levy dalam Cobb (2000) pada anak-anak di taman kanak-kanak, ditemukan bahwa anak-anak dengan skema gender yang lebih kuat dan solid memiliki kesulitan mengingat gambar dari suatu aktivitas yang inkonsisten dengan peran jenis kelamin ( sex roles) dan lebih mungkin

Sandra Bem dalam Cobb (2000) berpendapat bahwa gender memiliki cognitive primacy melebihi kategori sosial lainnya karena pentingnya gender di dalam suatu masyarakat. Perkembangan anak-anak menggunakan skema gender dalam memproses informasi mengenai diri mereka dan anak-anak lain sedikit banyak bergantung pada bagaimana gender dikembangkan dalam proses sosialisasi di masyarakat. Selain itu, perkembangan konsep mengenai peran gender juga dipengaruhi oleh tingkat kematangan kognitif serta berbagai pengalaman yang diceritakan maupun diperlihatkan sebagai perilaku yang sesuai untuk anak laki-laki dan anak perempuan.

Penelitian ini akan menggunakan perspektif social-learning theory dan perspektif psikodinamika. Kedua perspektif ini digunakan untuk lebih memahami permasalahan penelitian secara lebih komprehensif dan holistik. Sesuai dengan teori Chodorow (1978) bahwa pembentukan identitas antara ibu dan anak perempuan terbentuk dari interaksi di dalam relasi mereka. Ibu menjadi seorang ibu dan berperilaku seperti ibu karena adanya kehadiran dari anak perempuan dan anak perempuan berperilaku seperti perempuan karena adanya kehadiran ibu.

Kehadiran ibu dan anak perempuan memunculkan interaksi mutualisme yang saling memunculkan identitas mereka masing-masing sebagai perempuan. Di dalam diri mereka masing-masing terjadi pula perkembangan psikodinamika sebagai individu yang menghayati diri di dalam relasi. Pemaknaan terhadap relasi Kehadiran ibu dan anak perempuan memunculkan interaksi mutualisme yang saling memunculkan identitas mereka masing-masing sebagai perempuan. Di dalam diri mereka masing-masing terjadi pula perkembangan psikodinamika sebagai individu yang menghayati diri di dalam relasi. Pemaknaan terhadap relasi

II.B.1.2. Sosialisasi Identitas Gender

Setelah mengetahui bagaimana gender dipahami anak sejak usia dini, perlu dipahami pula bagaimana sosialisasi gender terjadi di dalam keluarga sebagai lingkup sosial yang terkecil. Psikologi sosial tentang gender mempelajari bagaimana gender dibentuk dan dipengaruhi melalui interaksi sosial (Correl, 2007). Selain dipengaruhi oleh interaksi sosial, sosialisasi gender juga melibatkan proses kognitif (Correl, 2007). Gender mempengaruhi bagaimana kita menerima, menginterpretasi dan memberikan respon pada dunia sosial di sekitar kita. Sosialisasi gender juga melibatkan mekanisme bagaimana interaksi tersebut didefinisikan dalam rangka transmisi makna mengenai gender. Oleh karena itu, gender bukanlah semata-mata trait dari seorang individu saja melainkan prinsip yang terorganisir di dalam semua sistem sosial, termasuk keluarga, pekerjaan, sekolah, ekonomi, sistem hukum dan interaksi sehari-hari (Correl. 2007).

Para ilmuwan mengkonseptualisasikan gender sebagai institusi di dalam tiga tingkatan analisis, yaitu tingkat individual, interaksional dan struktural (Risman dalam Correl, 2007). Tingkat individual merujuk pada trait yang stabil dari laki-laki dan perempuan yang muncul selama kurun waktu tertentu. Perbedaan di tingkat individual dipercaya berakar dari perbedaan biologis atau Para ilmuwan mengkonseptualisasikan gender sebagai institusi di dalam tiga tingkatan analisis, yaitu tingkat individual, interaksional dan struktural (Risman dalam Correl, 2007). Tingkat individual merujuk pada trait yang stabil dari laki-laki dan perempuan yang muncul selama kurun waktu tertentu. Perbedaan di tingkat individual dipercaya berakar dari perbedaan biologis atau

Penelitian ini akan menggunakan tingkatan analisis individual dan interaksional. Tingkatan analisis individual diperlukan untuk memahami karakteristik individu ibu dan anak perempuan, sedangkan tingkatan interaksional diperlukan untuk memahami bagaimana interaksi antara anak maupun ibu di dalam relasi mereka maupun dengan lingkungan sosial di sekitarnya membentuk pola perilaku gender tertentu berdasarkan pandangan yang dimiliki oleh keluarga Tionghoa mengenai perempuan sebagai ibu maupun anak.

II.2.2. Reproduksi Peran Ibu

II.2.2.1. Peran Ibu

Chodorow (1978) mengatakan Ibu memiliki peran penting sebagai pengasuh pertama dan utama bagi anak sehingga ia menjadi sumber identifikasi ( identification) bagi anak. Ibu berperan sebagai pendidik pertama anak, konselor Chodorow (1978) mengatakan Ibu memiliki peran penting sebagai pengasuh pertama dan utama bagi anak sehingga ia menjadi sumber identifikasi ( identification) bagi anak. Ibu berperan sebagai pendidik pertama anak, konselor

Boyd dalam Bickmore (1995) mengatakan bahwa ibu menjadi role model utama dan pendidik dalam nilai-nilai budaya ( cultural values). Pengalaman ibu bertahan hidup di dunia yang patriarki menjadi landasan baginya untuk mentransmisikan nilai dan aturan terkait keperempuanan pada anak perempuannya sehingga anak perempuannya juga dapat bertahan ( survive) di dunia ini (Gilbert & Webster dalam Bickmore, 1995). Pada ibu di kelompok masyarakat ( society) yang memberikan pengasuhan eksklusif serta menjadikan hubungan ini paling bermakna bagi anaknya maka anak mampu menumbuhkembangkan sense of self bertitik tolak pada hubungan dengan ibunya (Chodorow, 1978). Cara ibu mengasuh melalui interaksi dengan anak menjadi landasan bagi anak di kemudian harinya untuk mengembangkan hubungan intim dan romantik berdasarkan pengalaman bersama ibu. Anak mendambakan kebersatuan dalam hubungan bersama dengan orang lain seperti pengalamannya bersama ibunya ketika ia masih kecil (Chodorow, 1978). Ketika anak menjadi ibu di saat dewasa, ia akan mengulang kembali pengalaman ia bersama ibunya dahulu kala. Maka pengalaman menjadi ibu dan ekspektasi yang dimiliki ibu dipengaruhi Boyd dalam Bickmore (1995) mengatakan bahwa ibu menjadi role model utama dan pendidik dalam nilai-nilai budaya ( cultural values). Pengalaman ibu bertahan hidup di dunia yang patriarki menjadi landasan baginya untuk mentransmisikan nilai dan aturan terkait keperempuanan pada anak perempuannya sehingga anak perempuannya juga dapat bertahan ( survive) di dunia ini (Gilbert & Webster dalam Bickmore, 1995). Pada ibu di kelompok masyarakat ( society) yang memberikan pengasuhan eksklusif serta menjadikan hubungan ini paling bermakna bagi anaknya maka anak mampu menumbuhkembangkan sense of self bertitik tolak pada hubungan dengan ibunya (Chodorow, 1978). Cara ibu mengasuh melalui interaksi dengan anak menjadi landasan bagi anak di kemudian harinya untuk mengembangkan hubungan intim dan romantik berdasarkan pengalaman bersama ibu. Anak mendambakan kebersatuan dalam hubungan bersama dengan orang lain seperti pengalamannya bersama ibunya ketika ia masih kecil (Chodorow, 1978). Ketika anak menjadi ibu di saat dewasa, ia akan mengulang kembali pengalaman ia bersama ibunya dahulu kala. Maka pengalaman menjadi ibu dan ekspektasi yang dimiliki ibu dipengaruhi

Ibu menjadi simbol ketergantungan, regresi, pasivitas dan minimnya adaptasi terhadap realita. Menurut Chodorow (1978) dengan berbalik dari diri ibu seseorang dapat menjadi wanita dan laki-laki dewasa. Sayangnya ibu seringkali merasa bahwa dirinya memiliki kebersatuan ( oneness) dengan anak. Anak juga dipandangnya sebagai perluasan dari dirinya ( extension of the self) . Ibu perlu mengetahui kapan saat yang tepat untuk membiarkan anaknya berdiferensiasi dari dirinya dan mulai memisahkan diri. Pada situasi seperti ini ibu menciptakan ambivalensi pada anak.

Di satu sisi ia harus memberikan kesempatan pada anaknya untuk memisahkan diri dan berbeda dari dirinya tapi di sisi lain ia juga masih harus membimbing anaknya hingga mencapai tahap pertumbuhkembangan yang maksimal. Ibu menjadi figur yang sangat kuat tampil sebagai stimulus dalam kognisi anak, khususnya pada anak perempuan secara ketubuhan, cara berpikir, konsep, maupun dalam nilai simbolik (Nurrachman, 2011).

II.B.2.2. Interaksi Ibu dan Anak Perempuan

Ibu tercipta karena adanya kehadiran anak, anak pun terlahir karena adanya ibu. Maka eksistensi Ibu dan anak sama-sama muncul di saat yang bersamaan melalui interaksi mereka. Interaksi ibu dan anak memiliki kekhasan sebab selama sembilan bulan pertama anak menjadi bagian (a part ) dari ketubuhan ibu di dalam kandungannya, demikian telaah Nurrachman (2011) Ibu tercipta karena adanya kehadiran anak, anak pun terlahir karena adanya ibu. Maka eksistensi Ibu dan anak sama-sama muncul di saat yang bersamaan melalui interaksi mereka. Interaksi ibu dan anak memiliki kekhasan sebab selama sembilan bulan pertama anak menjadi bagian (a part ) dari ketubuhan ibu di dalam kandungannya, demikian telaah Nurrachman (2011)

Proses ini bukanlah suatu hal yang mudah bagi ibu, sebab secara sadar maupun tidak sadar ibu sering menganggap ada kemenyatuan ( oneness) antara dirinya dengan anak dan anak merupakan perluasan dari diri ibu ( extension of the self) (Chodorow, 1978). Anak perempuan yang memiliki aspek ketubuhan yang sama dengan ibu akan semakin merasa sulit memisahkan diri dari ibu dalam proses identifikasi yang dimulai sejak usia empat tahun ini (Nurrachman, 2011). Memahami hubungan di antara mereka menjadi hal yang penting sebab ikatan antara anak perempuan dengan ibunya merupakan relasi yang kompleks dan saling ketergantungan. Ikatan ini seringkali menghambat anak perempuan untuk membangun identitas dirinya sendiri (Bickmore, 1995). Dari sisi ibu, ia mengembangkan hubungan dan identitas yang lebih kuat dengan anak perempuannya sebagai perluasan dari dirinya sendiri. Menurut Carol Boyd dalam Lucy Fisher pada Journal of Mother-Daughter Relationship (1995) sepanjang hidupnya anak perempuan akan bergumul untuk memisahkan diri dari ibunya.

Berdasarkan pengalaman hidupnya sendiri sebagai perempuan, ibu mendidik anak perempuan tergantung pada orang lain. Menurut Nice dalam Bickmore (1995) ibu mendidik anak perempuannya untuk memenuhi kebutuhan laki-laki dan menekan kebutuhannya sendiri. Perempuan dididik menjadi atraktif Berdasarkan pengalaman hidupnya sendiri sebagai perempuan, ibu mendidik anak perempuan tergantung pada orang lain. Menurut Nice dalam Bickmore (1995) ibu mendidik anak perempuannya untuk memenuhi kebutuhan laki-laki dan menekan kebutuhannya sendiri. Perempuan dididik menjadi atraktif

Pada interaksi yang kompleks ini masing-masing pihak memiliki pemaknaan tersendiri terhadap interaksi mereka sehingga mereka pun memiliki persepsi masing-masing yang berbeda di dalam relasi ini (Kraemer, 2006). Teori psikoanalisa memandang interaksi ibu dan anak perempuan secara tidak sadar menginternalisasikan nilai-nilai pengasuhan ibu ( maternal values) dan pemaknaan terhadap nilai dan perilaku yang dimunculkan ibu pada diri anak perempuan (Boyd, 1989). Sementara teori social learning melihat bahwa anak perempuan belajar menjadi ibu dan menjadi seperti ibunya melalui konsistensi dan penguatan perilaku ( reinforcement) yang diberikan ibu ketika ia meniru perilaku ibunya (Weitzman dalam Boyd ,1984).

Ikatan antara ibu dan anak perempuan merupakan expresi yang yang jelas dan detail tentang kedekatan ( intimacy) dan keberjarakkan ( distance) , hasrat ( passion) dan kekerasan ( violance) . Hubungan yang paling pribadi sekaligus paling universal di saat yang bersamaan (Boyd, 1989). Pada hubungan ini pula anak perempuan memunculkan ambivalensi terhadap ibu sebagai musuh sekaligus objek dari keinginan ( object of desire) . Hubungan yang ambivalen ini Ikatan antara ibu dan anak perempuan merupakan expresi yang yang jelas dan detail tentang kedekatan ( intimacy) dan keberjarakkan ( distance) , hasrat ( passion) dan kekerasan ( violance) . Hubungan yang paling pribadi sekaligus paling universal di saat yang bersamaan (Boyd, 1989). Pada hubungan ini pula anak perempuan memunculkan ambivalensi terhadap ibu sebagai musuh sekaligus objek dari keinginan ( object of desire) . Hubungan yang ambivalen ini

Sampai masa dewasa, ibu masih menjadi inner object yang penting bagi anak perempuan dalam telaah object-relation psychologist. Dalam relasi ibu dengan anak perempuannya, sebenarnya ibu juga sedang mengurai relasinya yang belum terselesaikan dengan ibunya sendiri (Boyd, 1989). Interaksi antara ibu dan anak perempuan merupakan suatu proses yang berkesinambungan dan berkelanjutan. Menurut Jung dalam Boyd (1989), di dalam diri setiap ibu bersemayam anak perempuan di dalam dirinya dan setiap anak perempuan memiliki diri ibunya. Setiap perempuan mengalami proses putar balik ke belakang terhadap ibunya dan ke depan menghadapi anak perempuannya.

Nurrachman (2011) dalam telaah terhadap teori Chodorow mengatakan bahwa penghayatan keibuan merupakan sublimasi psikologis. Bagaimana perempuan mengkonstruksi dan menghayati perannya sebagai ibu tidak terlepas dari figur ibunya sendiri. Ibu menjadi aktor utama dalam dasar pembentukan pribadi anak perempuan. Proses diferensiasi antara anak perempuan dengan ibunya, akan menjadi landasan bagi anak perempuan untuk menjadi perempuan yang berbeda dari ibunya (Nurrrachman, 2011).

Menjadi ibu merupakan proses yang dipelajari dan ditanamkan terus menerus ke dalam diri perempuan. Dapat dilihat dalam kehidupan sehari-hari bahwa peran menjadi ibu telah dipersiapkan sejak seorang perempuan masih kanak-kanak (Hidajadi, 2010). Hal ini terlihat dari mainan yang diberikan pada Menjadi ibu merupakan proses yang dipelajari dan ditanamkan terus menerus ke dalam diri perempuan. Dapat dilihat dalam kehidupan sehari-hari bahwa peran menjadi ibu telah dipersiapkan sejak seorang perempuan masih kanak-kanak (Hidajadi, 2010). Hal ini terlihat dari mainan yang diberikan pada

Ketika seorang perempuan menjadi ibu yang harus membesarkan anak perempuannya, ia akan bercermin pada dirinya sendiri dengan harapan bahwa anak perempuannya memperoleh tempat di masyarakat yang patriarki ini (Hidajadi, 2010). Pemahaman dan penghayatan konsep perempuan akan dipersepsi berbeda-beda oleh perempuan itu sendiri. Perbedaan biopsikologis dan pengalaman hidup yang melekat pada perempuan membawa konsekuensi pada cara perempuan mempersepsi dan menghayati dunia realitas serta melakukan aktivitas di dalamnya (Nurrachman, 2011).

Peran gender ini akan terbawa pada dinamika interpersonal antara ibu dengan anak perempuannya. Ini mencakup bagaimana ibu dan anak perempuan sebagai sesama perempuan menghadapi mitos dan stereotipi masyarakat dan sejauh mana ibu dan anak perempuannya saling mengakui satu sama lain sebagai indiividu (Nurrachman, 2011) dan mengembangkan identitas diri sebagai diri pribadi yang sejati ( real-self) berhadapan dengan diri perempuan yang diidealkan masyarakat (idealized self) . Sebagai contoh, Titi Sjuman-seorang aktris, musikus dan seniman- dalam wawancara dengan majalah F emina (“4 Cinta”, 2011) mengatakan untuk urusan cita-cita anak perempuannya bernama Miyake yang Peran gender ini akan terbawa pada dinamika interpersonal antara ibu dengan anak perempuannya. Ini mencakup bagaimana ibu dan anak perempuan sebagai sesama perempuan menghadapi mitos dan stereotipi masyarakat dan sejauh mana ibu dan anak perempuannya saling mengakui satu sama lain sebagai indiividu (Nurrachman, 2011) dan mengembangkan identitas diri sebagai diri pribadi yang sejati ( real-self) berhadapan dengan diri perempuan yang diidealkan masyarakat (idealized self) . Sebagai contoh, Titi Sjuman-seorang aktris, musikus dan seniman- dalam wawancara dengan majalah F emina (“4 Cinta”, 2011) mengatakan untuk urusan cita-cita anak perempuannya bernama Miyake yang

Padahal menurutnya setiap anak berhak memiliki kebebasan memilih cita- cita. Maka ketika saat ini ia menjadi ibu bersama dengan suami yang berprofesi sebagai musikus, ia merasa wajib memperkenalkan pengetahuan dasar musik pada Miyake. Tetapi kalau anaknya tidak tertarik, ia tidak akan dipaksa. Walaupun sejauh ini, anaknya senang musik dan sudah pandai bernyanyi. Dari pengalaman Titi, dapat dilihat bahwa pengembangan diri pribadi perempuan mengacu pada refleksi atas sosialisasi dan pengalaman yang diperolehnya semasa ketika ia menjadi anak perempuan sampai akhirnya ia sendiri menjadi ibu dan kini melihat ibunya melalui kacamata perempuan dewasa (Nurrachman, 2011).