B. Diskusi

V.B. Diskusi

Pengalaman Ibu yang tidak mengenakkan pada waktu ia sebagai anak dan tidak adanya kesempatan mewujudkan aspirasinya, mempengaruhi cara Ibu membesarkan dan mendidik anaknya. Melalui perspektif psikodinamika, terlihat Ibu melakukan proyeksi pada anaknya. Ini menjadi landasan pola asuh yang Ibu berikan kepada anak perempuan mereka. Kebebasan dan keterbukaan yang tidak mereka dapatkan sebagai anak, kini mereka berikan kepada anak perempuan mereka. Perubahan ini menyebabkan identitas gender dipahami secara setara antara laki-laki dan perempuan, mereka menyadari bahwa mereka memiliki hak yang sama dengan laki-laki untuk berkembang dan mengaktualisasikan diri.

Namun di sisi lain mereka menyadari bahwa identitas ke-Tionghoa-an mereka memberikan batasan untuk mengaktualisasikan diri di dalam masyarakat. Melalui penelitian ini terlihat masalah baru yang lebih krusial, yaitu bagaimana identitas etnis menghalangi aktualisasi diri para perempuan Tionghoa di masyarakat

Pada tahun 1979 dan 1984, Myra Sidharta pernah membuat tulisan

“Wanita Peranakan Cinta” dan “The Making of Indonesian Chinese Woman” yang menceritakan bagaimana kehidupan perempuan Tionghoa Indonesia dari

tahun 1920-an, 1940-an hingga 1970-an. Pada perkembangan zaman sekarang ini, tulisan tersebut tidak lagi relevan untuk memahami perempuan Tionghoa di masa kini. Oleh karena itu, penelitian ini diharapkan dapat menjadi awal dari penelitian selanjutnya untuk mengkonstruksi apa artinya menjadi perempuan Tionghoa- Indonesia di masa kini.

Menurut peneliti, identitas keetnisan dibebankan kepada para perempuan Tionghoa Indonesia semata-mata karena tampilan fisik mereka yang berkulit kuning langsat dan bermata sipit. Padahal di dalam diri mereka sendiri, belum tentu mereka masih menghayati nilai-nilai ke-Tionghoa-an mereka seperti yang ditemukan dari subyek penelitian ini. Maka pertanyaan yang muncul kemudian adalah siapa yang berhak menentukan identitas keetnisan seseorang?

Merujuk pada teori pembentukan diri ( self) yang terjadi melalui suatu hasil interaksi. Bagaimana tarik menarik antara diri ( self) yang dihayati oleh individu dengan diri ( self) yang dipandang dan diekspektasi oleh lingkungan sekitarnya? Di titik mana perempuan Tionghoa Indonesia dapat memantapkan definisi mengenai dirinya?

Pada titik ini sesungguhnya tersimpan isu laten yang lebih krusial. Jika menurut teori Erikson (Santrock, 2008) seorang individu mempertanyakan mengenai identitas dirinya di masa remaja pada tahap identity vs identity Pada titik ini sesungguhnya tersimpan isu laten yang lebih krusial. Jika menurut teori Erikson (Santrock, 2008) seorang individu mempertanyakan mengenai identitas dirinya di masa remaja pada tahap identity vs identity

Terlebih lagi jika menyadari bahwa perempuan mendefinisikan dirinya dalam hubungannya dengan orang lain atau self-in relation . Bagaimana orang lain memberikan penilaian dan justifikasi akan mempengaruhi bagaimana perempuan mendefinisikan dirinya. Tak heran jika ibu Lely, salah satu subyek penelitian lebih merasa dirinya sebagai Cina ketimbang merasa sebagai orang Indonesia dengan alasan “sebab dari kecil saya sudah di-Cina-Cinakan oleh orang-orang di sekitar saya”.

Terdeteksi suatu gejala kebingungan di titik mana seharusnya perempuan Tionghoa berpijak. Sebagai bagian dari masyarakat timur yang menjunjung kolektivisme, diri ( self) didefinisikan melalui interdependen dengan sistem sosial yang melingkupinya (Aronson, 2008). Dimulai dari interdependen dalam lingkup terkecil, yaitu keluarga sampai interdependen dalam cakupan yang lebih luas seperti di dalam masyarakat Indonesia.

Maka di tengah keberhasilan para ibu sebagai transformator sosialisasi gender sesungguhnya tersimpan isu laten mengenai identitas diri perempuan Tionghoa. Sesungguhnya saat ini mereka sedang dan masih bergelut dalam upaya mendefinisikan identitas diri. Diri ( self) yang menjadi ( becoming) masih menjadi tema utama hidup mereka. Pergumulan masih akan terus berlangsung. Pertanyaan selanjutnya adalah apakah pergumulan ini sungguh disadari oleh para perempuan Tionghoa ataukah mereka menatap lurus ke depan mengabaikan dinamika internal Maka di tengah keberhasilan para ibu sebagai transformator sosialisasi gender sesungguhnya tersimpan isu laten mengenai identitas diri perempuan Tionghoa. Sesungguhnya saat ini mereka sedang dan masih bergelut dalam upaya mendefinisikan identitas diri. Diri ( self) yang menjadi ( becoming) masih menjadi tema utama hidup mereka. Pergumulan masih akan terus berlangsung. Pertanyaan selanjutnya adalah apakah pergumulan ini sungguh disadari oleh para perempuan Tionghoa ataukah mereka menatap lurus ke depan mengabaikan dinamika internal

Terkait dengan pemaparan Fischer (1991) pada Bab 1 penelitian ini mengenai variabel-variabel yang perlu dipertimbangkan dalam penelitian mengenai ibu dan anak perempuan, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian serupa pada etnis-etnis lain di Indonesia dengan mempertimbangkan faktor demografi. Penelitian lintas budaya mengenai ibu dan anak perempuan dapat menjadi sarana untuk mengetahui kondisi riil dan kontekstual mengenai perubahan nilai-nilai yang ada di keluarga sebagai sistem terkecil dalam masyarakat namun memiliki peran serta dampak yang signifikan dalam pertumbuhkembangan manusia.

Penelitian ini memberikan kesadaran pada peneliti mengenai relevansi pendapat R.A. Kartini pada kehidupan perempuan hingga zaman ini,

“...Perempuan seb agai pendukung peradaban! Saya yakin sungguh bahwa dari perempuan akan timbul pengaruh besar, yang baik atau buruk akan

berakibat besar bagi kehidupan. Dari perempuanlah manusia itu pertama-tama menerima pendidikan. Di pangkuan perempuanlah seseorang mulai belajar merasa, berpikir dan berkata-kataa...dan bagaimanakah ibu-ibu dapat mendidik anak- anaknya, kalau mereka sendiri tidak berpendidikan?” (Surat kepada Nyonya M.C.E. Ovink-Soer, 2 November 1900 dalam Sulastin, 1977).